Saturday, March 6, 2010

Review: Antropologi Koentjaraningrat Sebuah Tafsir Epistemologis Sebuah Tulisan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra

Latar Belakang Penafsiran Antropologi Koentjaraningrat
Ada latar belakang, yang saya tangkap, diketengahkannya penulisan penafsiran Epistemologis Antropologi Koentjaraningrat oleh Heddy. Namun sebelum mengetengahkan latar belakang tersebut, pertanyaan yang timbul di benak saya waktu membaca judul tersebut adalah mengapa antropologi Koentjraningrat. Hal ini terjawab dalam ulasan Heddy pada halaman 25-26 yaitu Koentjaraningrat sudah dianggap sebagai sosok yang berdekatan bahkan melekat pada ilmu antropologi sehingga tidak berlebihan bahwa beliau disebut sebagai the founding father of Anthropology in Indonesia. Ketekunan dan kerja keras beliau yang dlakukan secara seimbang antara penelitian dan pengkajian ilmu Antropologi tidaklah merupakan sifat kebanyakan peneliti di Indonesia yang condong pada melakukan penelitian saja. Ditambahkan oleh Heddy bahawa Koentjaraningrat memiliki keyakinan yang kuat bahwa antropologi dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku-bangsa dengan berbagai macam adat-istiadat mereka. Dan dari semua yang diketengahkan diatas, Koentjaraningrat juga dianggap memberikan jasa-jasa dalam terbentuknya disiplin antropologi di Indonesia.
Selain memiliki keyakinan bahwa antropologi dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan di Indonesia, Koentjaraningrat memiliki visi agar antropologi di Indonesia harus mempunyai cirinya sendiri yangmana di dalamnya terkandung himpunan konsep-konsep, metode-metode dan teori-teori yang dapat menganalisa keanekaragaman masyarakat dan kebudayaannya yang nantinya bisa menjadi alternatif dalam menjawab kebutuhan Indonesia. Visi Koentjaraningrat inilah yang kemudian sangat disarankan oleh Heddy untuk juga menjadi visi dan lebih lanjut juga menjadi misi dari para antropolog di Indonesia yang kemudian dimodelkan menjadi visi pembangunan gedung antropologi dengan gaya arsitektur Indonesia.
Tulisan Heddy ini berlandaskan pada pertanyaaan-pertanyaan apakah fondasi dari Antropologi Koentjaraningrat (yang kemudian disebut sebagai Antrop-Koen oleh Heddy) yang sudah ada sudah kuat?, bagaimana dengan bentuk gedung teorinya yang didirikan atas dasar asumsi, model-model dan konsep-konsep yang kemudian menjadi dipertajam menjadi seperti apakah materi asumsi, model-model dan konsep-konsep yang nantinya akan diaduk, dijadikan satu dan didirikan sebagai gedung antropologi di Indonesia.
Tulisan ini adalah sebuah tafsir oleh karena ketidakeksplisitan landasan filosofis Antrop-Koen sendiri sehingga Heddy lebih mengadakan review pustaka dari pengikut-pengikut Koentjaraningrat yang telah secara eksplisit menguraikannya. Di sini Heddy kemudian langsung mengetengahkan ciri-ciri epistemologi Antrop-Koen yang dia anggap positivistis. Di sini Heddy langsung menunjuk pada positivisme tanpa mengetengahkan alasan pemilihan penunjukkan pada mengapa positivisme yang dipilih. Juga tidak disebutkan secara eksplisit bahwa Heddy menyamakan landasan filosofis sebagai sebuah epistemologi. Namun saya ingin membandingkannya dengan penjelasan Heddy sendiri dalam perkuliahannya Epistemologi Antropologi, dimana dia menjelaskan apa itu Epistemologi dengan mengetengahkan 9 elemen paradigma yang dia ketengahkan berdasarkan review yang dia lakukan terhadap definisi Paradigma Thomas Khun dan teori paradigma oleh Newton Smith. Elemen-elemen tersebut adalah:
  1. Asumsi dasar
Heddy menerangkan asumsi dasar sebagai pendapat-pendapat yang dianggap benar (tidak harus diuji, sudah mapan) yang bisa diambil dari pandangan-pandangan filosofis dan/ataupun dari teori-teori mapan yang sudah disepakati
  1. Nilai
Nilai telah disepakati dalam perkuliahan tersebut sebagai patokan-patokan atau pendapat-pendapat untuk menentukan baik buruknya dan bermanfaat tidaknya suatu hal minimal dalam ilmu pengetahuan.
  1. Model atau perumpamaan atau analogi
Model bertujuan untuk menyederhanakan. Dalam perkuliahan ini tidak dibahas apa definisi dari model namun dari Kamus Sosiologi Antropologi yang ditulis oleh M. Dahlan Yacub Al-Barry, model memiliki dua arti. Yang pertama adalah pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan dan yang terakhir adalah sesuatu yang menjadi teladan dalam sosialisasi kanak-kanak.
  1. Masalah
  2. Konsep
  3. Metode Penelitian
  4. Metode analisis
  5. Hasil analisis
  6. Representasi atau Etnografi
Ada alasan mengapa saya tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai poin 4-9 karena menurut Heddy poin 1-3 ini lah yang disebut Epistemologi.
Epistemologi Koentjaraningrat
Seperti telah dikemukakan oleh Heddy di tulisannya ini epistemologi Koentjaraningrat merupakan antropologi dengan ciri-ciri positivistis. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menilik apa itu Positivisme.
Positivisme
Ada dua pandangan mengenai apa itu positivisme. Pertama dalah menurut Kolawski dimana dia memandang positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia atau “a collection of rules and evaluative criteria for referring to human knowledge” dan “a normative attitude regulating how we use such term as ‘knowledge’, ‘science’, ‘cognition’, and ‘information’. (halaman 29 paragraf 2). Dari pandangan ini ada 4 aturan utama. Yang pertama adalah merekam apa yang sebenarnya kita alami dan menolak hal-hal yang tidak dapat dinalar oleh pengetahuan manusia atau yang disingkat oleh Heddy adalah pengalaman dasar terpenting dari pengetahuan manusia. Aturan ke dua adalah yang menyebutkan bahwa kita tidak boleh beranggapan bahwa setiap pemahaman yang dirumuskan dalam isstilah-istilah yang umum dapat mengacu selain kepada fakta-fakta individual (halaman 29 paragraf 4). Aturan yang ketiga kita wajib menolak pandangan yang mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan ciri-ciri dari dunia sekitar kita karena cara perolehan nilai yang tidak sama. Sedangkan aturan yang terakhir adalah kita harus memili pandangan bahwa tidak ada perbedaan yang penting dan mendasar antara metode ilmu pengetahuan alam dan metode ilmu sosial budaya (halaman 30 paragraf 3). Heddy berpikir bahwa apa yang dikemukakan Kolawski ini tidak dibarengi dengan aplikasi aturan-aturan tersebut dalam suatu cabang ilmu sosial budaya karena masih dalam taraf pemikiran filsafat atau dengan kata lain tidak konkrit.
Kedua adalah menurut Giddens yang dianggap Heddy dapat mengisi kekosongan Kolawski dengan apa yang Giddens sebut sebagai “positivistic attitude” yang kemudian diketengahkan sebagai sebuah pandangan. Pandangan ini mencakup 3 hal. Pertama, “the procedures of natural science may be directly adapted to sociology”. Yang ke dua, “the end results of sociological investigations can be formulated as “laws” or “law-like” generalization of the same kind as those established by natural scientist”. Sedangkan yang terakhir adalah “sociology has technical character”.
Di sini Heddy hanya mengetengahkan apa itu positivisme dari 2 orang saja, saya ingin menambahkan satu pemahaman positivisme, yang saya ambil dari buku hasil penulisan Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D dalam bukunya Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, yang menurut saya juga mendukung Giddens yaitu positivisme Talcot Parsons, yang dipengaruhi oleh teori Durkheim bahwa fakta sosial seharusnya dianggap sebagai gejala, yang mendasarkan konsepnya pada realisme analitis. Istilah “realisme” menunjukkan eksistensi suatu dunia obyektif dari kejadian-kejadian yang tidak acak yang bersifat eksternal bagi pengamat sosiologis. Yang kemudian oleh Rhoads disebutkan bahwa Komitmen positivisme Parsons mendorongnya pada konseptualisasi materi subyek sosiologi seperti sebuah sistem keyakinan Durkheim mengenai kemungkinan sosiologi ilmiah memandang faka sosial sebagai gejala. Positivisme tidak hanya melengkapi metode untuk memandang fakta, tetapi juga membentuk fakta agar sesuai dengan kebutuhannya.
Pandangan kaum positivis mengenai ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut mereka adalah suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang “predictive” dan “explanatory” mengenai dunia luar sana. Hal ini mengharuskan orang membangun teori-teori yang berisi pernyataan-pernyataan umum yang mendeskripsikan “regular relationship” gejala-gejala di luar diri manusia.
Metode Pengumpulan Fakta Antropologi Koentjaraningrat
Bagian ini dimulai dengan tiga tingkat pencapaian antropologi sebagai ilmu menurut Koentjaraningrat. Pertama adalah pengumpulan fakta, kedua dalah penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi dan sistem dan yang terakhir adalah verifikasi (halaman 21 paragraf 1). Yang kemudian saya mencoba meringkasnya menurut masing-masing tingkat pencapaian.
Pengumpulan Fakta
Dikemukakan oleh Heddy, pengumpulan fakta kebudayaan dan masyarakat dilakukan terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan analisa ilmiah. Pengumpulan fakta dilakukan dengan menggunakan metode-metode observasi, mencatat, mengolah dan menuliskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat yang hidup. Penelitian lapangan yang dilakukan dalam waktu beberapa bulan ataupun bahkan tahunan dianggap salah satu cara yang penting namun di lain pihak penelitian perpustakaan juga penting. Hal ini juga diterapkan oleh Koentjaraningrat namun Koentjaraningrat menempatkan library review di posisi sentral.
Koentjaraningrat mengusulkan agar peneliti menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif agar generalisasi yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini berlandaskan pada pemikiran dia yang menganggap bahwa kedua metode ini saling mengisi. Namun di keterangan selanjutnya diketengahkan bahwa ternyata Koentjaraningrat lebih condong kepada metode kuantitatif yang dianggapnya lebih dapat menentukan apakah suatu generalisasi dalam antropologi dapat dipercaya dan “obyektif”
Penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi dan sistem
Metode yang penting untuk dipakai dalam proses generalisasi adalah metode perbandingan dan metode klasifikasi atau tipologi. Dengan menggunakan metode perbandingan sifat-sifat umum dalam fakta yang kemudian dirumuskan dalam kategori-kategori atau tipe-tipe tertentu yang juga menjadi sarana untuk mengkasifikasikan obyek-obyek yang diteliti atau fakta-fakta yang diperoleh akan diketahui. Upaya pengkasifikasian seperti ini kemudian disebut sebagai taksonomi. Taksonomi kemudian, menurut yang saya pahami dari tulisan Heddy ini, dianggap sebagai strategi yang nantinya akan membantu peneliti mengetahui persamaan serta perbedaan antara kebudayaan satu dengan yang lainnya.
Buku Koentjaraningrat yang berjudul Introduction to the Peoples and Cultures of Indonesia and Malaysia lebih menonjolkan aspek mata pencaharian dan lokasi kebudayaan dalam penamaan tipe-tipe kebudayaan dan taksonominya dibandingkan pengaruh kontak kebudayaan. Namun Koentjaraningrat mengemukakan empat tipe kebudayaan. Yang pertama adalah kebudayaan-kebudayaan yang berdasarkan pada “shifting cultivation, yams, taro, and other root crops”, yang kedua adalah kebudayaan-kebudayaan pedalaman yang berdasarkan pada “swidden agriculture or irrigated agriculture, with rice as the principal crop”, yang ketiga kebudayaan pantai adalah berdasarkan atas “swidden agriculture or irrigated agriculture with rice as principal crop”, dan yang terakhir adalah kebudayaan pedalaman berdasarkan atas “wet-rice agriculture”.
Ada pandangan yang melatarbelakangi perlunya taksonomi kebudayaan, yaitu “nature is uniform” hal ini dilandasi pada dua dalil yaitu “nature is orderly and regular” dan yang terakhir adalah alam bekerja mengikuti certain patterns of regularity. Hal ini memberikan implikasi bahwa tidak ada kata kebetulan dimana apa yang muncul memiliki penyebab meskipun fenomena yang muncul tampak unik. Pandangan yang dianut yang juga penting dalam proses klasifikasi adalah tidak adanya perbedaan yang mendasar antara fenomena alam dan fenomena sosial-budaya karena nature tidak diarikan sebagai alam fisik saja namun juga mencakup gejala-gejala sosial-budaya (halaman 36 paragraf 2).
Pengklasifikasian perlu didukung dengan metode atau proses berpikir yang induktif. Apa itu induktif. Dalam proses berpikir induktif, ahli antropologi memulainya dengan berbagai macam fakta sosial budaya yang merupakan hasil pengamatan dan wawancara, mengkasifikasikan fakta-fakta tersebut kemudian melakukan generalisasi. Proses ini harus didukung analisa kuantitatif. Dalam penggunaanya sehari-hari, proses penalaran induktif dipakai setiap kali seseorang menilai suatu situasi berdasarkan atas pengalaman yang diperolehnya dari situasi yang kurang lebih sama sebelumnya. Selain prose berpikir induktif ada proses berpikir lainnya juga yang biasa disebut dengan deduktif. Dalam proses berfikir ini, prosesnya berawal dari perumusan-perumusan umum yang kemudian ke arah fakta-fakta yang khusus.
Verifikasi
Studi perbandingan disarankan oleh Koenjaraningrat untuk digunakan dalam melakukan verifikasi agar tercapai generalisasi yang kokoh fondasi empirisnya yang bisa berupa hukum-hukum. Proses verifikasi ada dua macam yaitu pertama adalah prediksi atau prakiraan yang tidak bersifat kebetulan dan yang kedua adalah berdasarkan atas konsensus atau persetujuan antara para ilmuwan.
Menurut Koentjaraningrat gejala-gejala dapat dijelaskan melalui “hukum-hukum” atau dalil. Jadi diharapkan oleh Koentjaraningrat bahwa disiplin antropologi tidak hanya menjadi ilmu deskriptif namun juga ilmu yang dapat merumuskan hukum-hukum mengenai berbagai macam gejala sosial-budaya.
Studi perbandingan yang meluas sangat ditekankan agar tercapai perumusan hubungan-hubungan yang mantap antar gejala sosial-budaya dimana peneliti bisa mengetahui apakah ada korelasi antara berbagai unsur kebudayaan yang sama-sama ditemui dalam berbagai macam kebudayaan. Konsep penting ada dua dalam epistemologi studi perbandingan lintas budaya yaitu probabilitas empiris dimana model deduktif-nomologis dan induktif-statistis yang diuji lewat statistik dan lawful processes yang tidak dijelaskan lebih lanjut oleh penulis.
.
Fungsi dan Kebudayaan
Antrop-Koen dipandang fungsionalitis oleh penulis walaupun jarang dipaparkan secara eksplisit, panjang lebar dan mendetail. Pertanyaannya kemudian menjadi apa itu fungsi. Fungsi oleh Koentjaraningrat adalah satu sebagai konsep yang menerangkan hubungan kovariabel antara satu hal dengan hal yang lain dan yang kedua adalah fungsi sebagai konsep yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang bulat atau kalau boleh saya menggunakan kata lain adalah hubungan unsur satu dengan unsur yang lain dalam sebuah sistem dimana kalau menurut penjelasan Heddy dalam perkuliahannya Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern, sistem adalah Kesatuan dari unsur – unsur yang berhubungan satu sama lain secara fungsional membentuk suatu kesatuan sehingga perubahan pada satu unsur akan menimbulkan perubahan pada satu unsur atau pada keseluruhan sistem.
Sedangkan definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah sebuah sistem dengan unsur-unsurnya yang terintegrasi satu sama lain. Pemahaman mengenai fungsi unsur kebudayaan dipandang sangat penting karena akan membantunya dalam melakukan studi perbandingan yang terkendali.
TANGGAPAN
Pertanyaan apakah Antropologi Koentjaraningrat itu positivistis atau tidak dijawab oleh penulis dengan mengatakan bahwa Antropologi Koentjaraningrat merupakan antropologi dengan epistemologi yang positivistis atau paling tidak banyak mengikuti pandangan epistemologis yang biasanya ada di kalangan positivisme.
Namun jawaban akan pertanyaan-pertanyaan Heddy seperti yang disebutkan di latar belakang tidak dijawab secara eksplisit. Saya berasumsi bahwa Heddy mengajak pembaca untuk mencari tahu jawaban-jawaban pertanyaan Heddy dengan paradigma pembaca itu sendiri. Sedangkan untuk bagaimana epistemologi antropologi Koentjaraningrat ini nantinya memberikan kontribusi dalam pembangunan Indonesia juga tidak diketengahkan karena Koentjaraningrat sendiri bertujuan untuk memberikan alternatif dalam menjawab kebutuhan Indonesia. Positivisme seperti yang ada dalam buku Saifuddin, yaitu Positivisme tidak hanya melengkapi metode untuk memandang fakta, tetapi juga membentuk fakta agar sesuai dengan kebutuhannya, yang dengan pemahaman dan pengetahuan saya yang cekak akan dapat memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan pembangunan di Indonesia. Asumsi saya setelah membaca positivisme yang diketengahkan Saifuddin ini adalah bahwa hasil dari pengumpulan fakta, pengeneralisasian dan verifikasi dalam positivisme akan membantu peneliti dalam mencari kebutuhan yan sesungguhnya yang kemudian akan mempengaruhi pengambilan tindakan yang akan menjawab kebutuhan yang telah diteliti, diamati, digeneralisasikan dan diverifikasi tersebut. Namun melihat pembangunan tidaklah hanya dilihat dari manusia-manusia yang ada di dalamnya. Menurut saya pengamatan juga harus dilakukan pada pertumbuhan pembangunan Indonesia itu sendiri, kebijakan-kebijakan pembangunan yang telah dilakukan, pelaksanaan-pelaksanaan pembangunan, tantangan-tantangan yang masih dihadapi dan praktek-praktek baik yang bisa replicable untuk lokasi lain. Jadi perubahan, terlepas dari harus berubah atau tidak, dalam sebuah pembangunan tidak hanya berlaku untuk masyarakat dalam tujuannya untuk beradaptasi dengan perubahan di luar sistem mereka yang mungkin berpotensi menjadi intrusi namun perubahan juga harus dilakukan pada tataran birokrasi atau pemerintahan.
Saya melihat bahwa kontribusi Antropologi dalam pembangunan di Indonesia lebih pada memberikan landasan teori dan juga acuan metode-metode penelitian, analisa serta verifikasi dari berbagai macam kebudayaan yang ada di Indonesia. Sedangkan aplikasi secara teknis dan mendetail perlu disetujui oleh para ahli antropolog, para peneliti dan kemudian disusun.
Uraian mengenai antropologi Koentjaraningrat dan teori-teorinya ini saya pikir akan membantu saya dalam merumuskan pertanyaan yang didalamnya terkandung asumsi dimana landasan filosofis juga terkandung didalamnya.
Untuk mengakhiri review ini ijinkan saya mengetengahkan fakta yang ada dalam suatu komunitas di Indonesia. Tujuan saya di sini adalah untuk terus mengingatkan saya mengenai adanya fakta ini dan mungkin bisa juga Mas Heddy sebagai dosen mata kuliah yang saya ambil ini, yaitu Epistemologi Antropologi, dapat bersama-sama dengan saya memikirkan kontribusi apa yang bisa diberikan oleh Antropologi Koentjaraningrat terutama dalam pembangunan manusia-manusia yang ada di Indonesia.
Terdapatlah sebuah komunitas di Jawa Barat yang bertujuan merehabilitasi dasar, ajaran dan watak masing-masing individu ke dalam dasar ngaji rasa. Ngaji rasa di sini adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.
Anggota komunitas ini tidak diberikan Kartu Tanda Penduduk oleh karena mereka tidak menuliskan apa agama mereka dalam kolom agama. Komunitas ini tidak bisa menerima apabila mereka harus menuliskan salah satu agama yang berlaku di Indonesia karena agama-agama tersebut bukanlah keyakinan yang mereka anut. Mereka pernah diminta untuk menulis aliran kepercayaan dalam kolom tersebut, namun mereka juga menolak karena keyakinan mereka bukanlah aliran kepercayaan. Pada saat mereka diminta untuk membubuhkan tanda strip (-) pada kolom tersebut mereka juga menolak karena tidak ada agama yang strip (-).
Berkenaan dengan KTP, aliran kepercayaan tidak bisa dimasukkan lagi dalam kolom agama di KTP dan saat ini Depdagri sedang mengkaji penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi kehidupan anggota komunitas ini dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar komunitas itu tidak memiliki sumber pendapatan yang rutin atau lebih tepatnya yang mereka katakan sebagai kerja serabutan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan beberapa merupakan nelayan. Mereka pernah mengajukan permohonan tanah milik masyarakat yang bisa mereka jadikan lahan pertanian sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan rutin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Permintaan mereka selalu ditolak karena mereka tidak memiliki KTP. Informasi lainnya adalah bahwa aliran ini dianggap sesat oleh sebuah organisasi masa berlandaskan agama dan terkadang juga menjadi incaran salah satu organisasi masa lain yang juga berlandaskan agama untuk diobrak-abrik.
Menurut pengakuan komunitas ini, masyarakat di sekitar komunitas ini tidak memiliki masalah mendasar dengan mereka yang mereka kuatkan dengan alasan bahwa tidak pernah ada silang pendapat, pertengkaran atapun gangguan sosial yang disebabkan oleh adanya komunitas ini. Komunitas ini memetakan bahwa intrusi yang mereka terima adalah dari kebijakan pemerintah dan juga kebijakan sebuah organisasi masa dengan nama yang besar terkadang tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.
Saya acap kali menceritakan keberadaan komunitas ini ke banyak orang yang saya temui dan saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mengetahui mengenai keberadaan komunitas ini walaupun terkadang di ekspos oleh media massa dan satu lagi pernyataan menarik dari salah satu anggota komunitas tersebut adalah tidak mudah untuk mengetahui essensi dasar keyakinan mereka dan membuat dasar teori mengenai komunitas mereka karena kalau saya boleh menggunakan kata-kata dia adalah “ýang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah” (konsep ngaji rasa).

Review Etnosains dan Etnometodologi Sebuah Perbandingan Heddy Shri Ahimsa-Putra

RINGKASAN

Banyaknya perdebatan yang muncul dan tulisan-tulisan yang dihasilkan dari para antropolog dan para sosiolog mengenai pendekatan etnosains dan etnometodologi serta perlunya publikasi antologi terbaru menjadi latar belakang penulisan perbandingan dua aliran ini (halaman 103 paragraf 1). Perbedaan sifat kedua pendekatan ini tidak disarankan oleh Heddy (yang kemudian saya tulis sebagai penulis) untuk menjadi pusat perhatian dimana Etnosains, dengan unsur kata sains, dianggap memiliki sifat pasif sedangkan Etnometodologi, dengan unsur kata metodologi didalamnya, dianggap memiliki sifat aktif. Di lain pihak kedua pendekatan ini juga memiliki persamaan dalam hal pengambilan sudut pandang dalam penelitian. Yaitu memandang dari sudut pandang orang-orang yang terlibat di dalamnya dan mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan mereka.

Tulisan ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama akan menyuguhkan akar-akar pemikiran yang dibarengi dengan penyuguhan penyebab-penyebab munculnya pemikiran tersebut. Tentu saja di dalamnya mencakup asumsi-asumsi dasar dan juga melihat cabang-cabang ilmu yang mempengaruhi kedua pendekatan tersebut. Bagian kedua akan membandingkan kedua metode pendekatan atau cara analisis kedua pendekatan dengan didahului penyajian sebuah data. Bagian ketiga akan lebih mengulas mengenai persamaan dan perbedaan kedua aliran dan yang terakhir akan disuguhkan ringkasan serta pandangan penulis mengenai hubungan yang ada diantara kedua pendekatan ini dan bagaimana hubungannya dengan kegiatan pembangunan di Indonesia.

Dalam ringkasan ini saya memasukkan analisa data etnosains dan etnometodologi ke dalam ringkasan masing-masing pendekatan.

Etnosains

Dipandang sebagai sebuah pendekatan yang memiliki tujuan akhir yang sama dengan Etnografi, yaitu “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world”, namun menggunakan metode baru yang dianggap dapat menjawab permasalahan yang selama ini ditemui oleh para peneliti pada saat mereka mencoba untuk berbagai macam kebudayaan suku-suku bangsa di dunia. Tiga masalah pokok yang mereka temui adalah pertama, perbedaan minat ahli antropologi yang menyebabkan perbedaan data yang dikumpulkan, kedua adalah perbedaan metode dan masalah yang ketiga atau yang terakhir adalah ketidaksamaan pendapat diantara para antropolog dalam menentukan kriteria pengklasifikasian. Kemudian disepakatilah bahwa kelemahan para antropolog adalah pada cara pelukisan kebudayaan. Pendekatan dari linguistik yaitu cabang dari ilmu fonologi, yaitu fonemik dan fonetik kemudian digunakan. Namun penggunaan model ini juga tidak mampu menjawab permasalahan tersebut diatas oleh karena model ini masih tetap menggunakan sudut pandang si peneliti tetap terjadi perbedaan. Merekapun kembali memetakan letak permasalahan utama dan ditemukanlah bahwa perbedaan definisi kebudayaan diantara penelitilah yang mendasari permasalahan yang mereka temui selama ini.

Sebagai tambahan, peneliti disarankan untuk memberikan pertanyaan yang menggunakan konsep-konsep yang dimiliki oleh masyarakat yang diteliti tersebut (peneliti menyimpan dulu konsep-konsep yang dia ketahui) dan yang paling penting adalah menguasai bahasa masyarakat yang diteliti. Hal ini berlandaskan pada anggapan bahwa pemberian nama kepada bermacam-macam hal akan memudahkan klasifikasi dan menangkap pandangan hidup masyarakat tersebut. Hal ini merupakan akibat dari definisi kebudayaan menurut Goodenough. Definisi Goodenough mengenai kebudayaan, menurut yang saya tangkap dengan keterbatasan pemahaman saya, adalah pengorganisasian masyarakat, tingkah lau, emosi-emosi dan hal-hal lain. Apa yang mereka lakukan, katakan, tata cara hubungan sosial dan pelaksanaan even-even merupakan hasil penafsiran, penangkapan dan pengamatan-pengamatan berdasarkan situasi tertentu. Goodenough mengharuskan peneliti untuk mengetahui sistem pengetahuan suatu masyarakat yang meliputi klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hal-hal lain.

Ada tiga kelompok yang digolongkan berhubungan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi. Kelompok pertama menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka (halaman 108 paragraf 2). Didalamnya terdapat pengklasifikasian oleh masyarakat sendiri dalam mereka menghadapi lingkungan dan hasil akhirnya adalah peta kognitif. Prinsip-prinsip universal yang dihasilkan dilakukan dengan sistem perbandingan. Kelompok kedua menekankan pada aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Seperti halnya kelompok pertama, prinsip-prinsip universal juga dihasilkan melalui sistem perbandingan. Kelompok yang ketiga atau yang g terakhir memandang kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Ada empat cara yang yang menurut Spradley dapat digunakan dalam mendapatkan tema-tema budaya. Pertama, setelah mendapatkan berbagai macam kategorisasi, peneliti membaca kembali data tersebut dan kemudian melihat kaitan antar berbagai macam kategorisasi. Kedua, memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada. Ketiga adalah dengan menganalisis secara mendalam sistem kategorisasi mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu kegiatan tertentu. Dan yang terakhir adalah menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Seperti pada kelompok kedua, kelompok ini juga memperhatikan sistem klasifikasi yang ada di masyarakat menggunakan landasan teori tentang makna. Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.

Ketiga kelompok tersebut di atas merupakan wujud dari aliran etnosains yang istilahnya sendiri belum disepakati oleh para ahli antropologi. Berbagai macam istilah yang dipakai berlandaskan pada apa yang dianggap penting namun memiliki keseragaman yaitu pada metode yang dipakai. Etnosains akhirnya disepakati sebagai metode. Etnosains atau Ethnoscience berasal dari kata Ethnos yang berarti bangsa dan Scientia yang berarti pengetahuan.

Hasil akhir sebuah penelitian yang menggunakan metode etnosains adalah pelukisan sistem pengetahuan yang ada pada warga masyarakat atu kelompok masyarakat tertentu, dan bukan pola dari tingkah laku mereka.

Etnometodologi

Dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul dan tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah. Hal ini agak berlainan dengan Goodenough yang menyatakan bahwa phenomenal order adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola tingkah-laku yang diamati. Kesadaran memiliki dua aspek yaitu proses sadar dan obyek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di dalamnya yang saling berhubungan dan menjadi apa yang disebut intersubjective dimana terjadi timbal balik perspektif. Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat mempengaruhi hal-hal tersebut.

Perbandingan

Saya ingin meringkasnya ke dalam tabel persamaan dan perbedaan.

Metode

Persamaan

Perbedaan

Etnosains

1. Menggunakan data bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan analisa

2. Tidak mempersoalkan apakah pengetahuan tersebut salah atau benar menurut kriteria tertentu

3. Berusaha mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah-laku manusia

4. Mencoba menemukan prinsip-prinsip yang universal

5. Berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia dimana manusia pada dasarnya selalu memberi makna terhadap gejala yang dihadapai.

1. Mencapai prinsip-prinsip universal menggunakan metode perbandingan yang membawanya pada tingkat etnologi.

2. Pada tingkat etnografi, etnosains tidak mencari keuniversalan dan berusaha menggambarkan aspek tertentu dari suatu kebudayaan dengan cara tertentu agar dapat dibandingkan dengan data lain.

3. Lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku

Etnometodologi

1. Berusaha mendapatkan basic rule

2. Mencapai prinsip-prinsip universal bertitik-tolak dari phenomenologi yang berupaya mendapatkan essential features

3. Lebih banyak memperhatikan dengan usaha untuk menentukan basic features of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality is created outof the interlocked activity of human actors becomes an important and critical topic for examination

Relevansi Etnosains di Indonesia

Penulis lebih memfokuskan diri pada etnosains dengan alasan pengetahuan penulis yang minim mengenai etnometodologi. Penekanan aliran ini pada aspek kognitif mempengaruhi metode-metode untuk penelitian, pelukisan dan pengembangannya. Dalam kaitannya dengan pembangunan, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi siapa sebenarnya obyek pembangunan itu sendiri yang tentu saja manusia. Namun manusia yang mana itu yang harus digarisbawahi. Berlandaskan pada pengetahuan bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai macam kebudayaan, mengetahui kebudayaan setempat dan melibatkan partisipasi mereka adalah cara yang tepat menurut penulis. Dengan sudut pandang inilah kemudian etnosains menjadi metode yang bisa digunakan karena etnosains berangkat dari pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran yang ada pada masyarakat yang diteliti. Etnosains mencoba melihat lingkungan dimana suatu masyarakat berada lewat kacamata masyarakat itu sendiri, mencoba menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada dengan memperhatikan juga penafsiran-penafsiran para pelaku (halaman 130 paragraf 3 baris 1-5).

TANGGAPAN DAN KRITIK

Satu pernyataan dari Heddy yang saya ingat dan saya sangat setuju adalah bahwa seorang peneliti bukan hanya mencari kesenangan semata namun dia juga harus melihat apa kegunaan dari penelitian tersebut dalam pembangunan di Indonesia. Jadi tanggapan dan kritik saya lebih akan kepada hubungan pendekatan ini dengan pembangunan di Indonesia.

Sebelum saya memberikan tanggapan dan kritik, saya ingin mengcopy paste suatu kenyataan yang terjadi di Indonesia seperti yang saya tuliskan di tugas Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern dimana saya membahas tulisan A. R. Radcliffe-Brown yang berjudul Religion and Society.

Terdapatlah sebuah komunitas di Jawa Barat yang bertujuan merehabilitasi dasar, ajaran dan watak masing-masing individu ke dalam dasar ngaji rasa. Ngaji rasa di sini adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.

Anggota komunitas ini tidak diberikan Kartu Tanda Penduduk oleh karena mereka tidak menuliskan apa agama mereka dalam kolom agama. Komunitas ini tidak bisa menerima apabila mereka harus menuliskan salah satu agama yang berlaku di Indonesia karena agama-agama tersebut bukanlah keyakinan yang mereka anut. Mereka pernah diminta untuk menulis aliran kepercayaan dalam kolom tersebut, namun mereka juga menolak karena keyakinan mereka bukanlah aliran kepercayaan. Pada saat mereka diminta untuk membubuhkan tanda strip (-) pada kolom tersebut mereka juga menolak karena tidak ada agama yang strip (-).

Berkenaan dengan KTP, aliran kepercayaan tidak bisa dimasukkan lagi dalam kolom agama di KTP dan saat ini Depdagri sedang mengkaji penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi kehidupan anggota komunitas ini dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar komunitas itu tidak memiliki sumber pendapatan yang rutin atau lebih tepatnya yang mereka katakan sebagai kerja serabutan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan beberapa merupakan nelayan. Mereka pernah mengajukan permohonan tanah milik masyarakat yang bisa mereka jadikan lahan pertanian sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan rutin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Permintaan mereka selalu ditolak karena mereka tidak memiliki KTP. Informasi lainnya adalah bahwa aliran ini dianggap sesat oleh sebuah organisasi masa berlandaskan agama dan terkadang juga menjadi incaran salah satu organisasi masa lain yang juga berlandaskan agama untuk diobrak-abrik.

Menurut pengakuan komunitas ini, masyarakat di sekitar komunitas ini tidak memiliki masalah mendasar dengan mereka yang mereka kuatkan dengan alasan bahwa tidak pernah ada silang pendapat, pertengkaran atapun gangguan sosial yang disebabkan oleh adanya komunitas ini. Komunitas ini memetakan bahwa intrusi yang mereka terima adalah dari kebijakan pemerintah dan juga kebijakan sebuah organisasi masa dengan nama yang besar terkadang tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.

Saya acap kali menceritakan keberadaan komunitas ini ke banyak orang yang saya temui dan saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mengetahui mengenai keberadaan komunitas ini walaupun terkadang di ekspos oleh media massa dan satu lagi pernyataan menarik dari salah satu anggota komunitas tersebut adalah tidak mudah untuk mengetahui essensi dasar keyakinan mereka dan membuat dasar teori mengenai komunitas mereka karena kalau saya boleh menggunakan kata-kata dia adalah “ýang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah” (konsep ngaji rasa).

Saya sangat setuju apabila kemudian etnosains digunakan sebagai metode untuk meneliti masyarakat ini. Namun kemudian karena kenyataan di atas ada unsur pemerintah dan organisasi massa yang lain saya pikir perlu ditambahkan pengamatan sistem kepemerintahan, analisa hukum dan perundang-undangan yang telah diberlakukan oleh pemerintah dalam mengatur kebudayaan, kebebasan memeluk agama dan keyakinanya, peraturan perundangan pembentukan dan operasional sebuah organisasi massa dan juga menganalisa dan mengamati kebudayaan atau agama atau keyakinan yang bersinggungan dengan kebudayaan atau agama atau keyakinan tersebut.

Alasan lain yang menguatkan saya untuk menyetujui penggunaan etnosains adalah kelompok ketiga yang digolongkan menurut implikasi-implikasi permasalahan di antropologi yang saya pikir cara berpikir dan metodenya dapat digunakan. Yaitu kelompok yang melihat kebudayaan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk perceiving dan dealing with circumstances. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Tema-tema budaya inilah yang nantinya akan membantu peneliti dalam melihat budaya-budaya di Indonesia yang kemudian akan menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia dalam merencanakan pembangunannya karena disitu salah satunya adalah memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada dan yang tidak kalah pentingnya juga menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti.

Dalam makalah pembahasan tulisan Brown tersebut saya juga mengungkapkan bahwa cara penelitian intensif dan detil juga diperlukan dan hal ini juga diketengahkan oleh oleh penulis bahwa kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.

Review Bab 1 - 4 Manusia dan Kebudayaan Ernst Cassirer

RINGKASAN

Bab I - Krisis dalam Pengenalan-Diri Manusia

Dalam bab ini diuraikan penjelasan dan juga upaya-upaya yang telah ditempuh oleh beberapa pihak mengenai pentingnya pengenalan diri manusia yang ditegaskan oleh Ernst “sebagai kewajiban dasar manusia” (hal 6). Upaya pertama, yang dituliskan dalam buku ini, dalam pengenalan diri yang menjadi syarat utama untuk realisasi diri dan untuk mereguk kebebasan sejati diwujudkan dalam bentuk sebuah pendekatan dari metode introspeksi. Namun metode ini disangsikan oleh kaum skeptisis yang pandangan-pandangannya dinilai sebagai penyeimbang terhadap humanisme yang mutlak-mutlakan. Lebih lanjut pendekatan ini, menurut Ernst, hanya diakui oleh sedikit psikolog modern karena dianggap sebagai metode yang rawan. Hal ini berlawanan dengan pemikiran pada masa penulisan buku ini dimana pengenalan diri menuju ke arah yang berlawanan. Sehingga muncullah pendekatan behavourisme-objektif. Namun pendekatan ini dianggap gagal memecahkan semua problem psikologis karena keradikalan dan kekonsitenannya namun di lain pihak memberikan kontribusi dalam mempertimbangkan kemungkinan kekeliruan-kekeliruan metodologis.

Kembali pada metode introspeksi, Ernst memiliki pandangannya sendiri terlepas dari kritik atau sangsi terhadap metode tersebut. Ernst berpikir bahwa introspeksi diperlukan untuk menentukan lapangan psikologi yang didalamnya juga mencakup penyadaran langsung atas perasaan-perasaan, keharuan-keharuan, persepsi-persepsi dan pikiran-pikiran walaupun metode ini menyumbang sebagian kecil saja untuk mengetahui tentang manusia yaitu kodrat manusia itu sendiri.

Berbicara mengenai manusia juga berbicara mengenai lingkungan fisik tempat manusia tersebut bergantung. Pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangannya, manusia belajar melalui lingkungan di luarnya sehingga dia dapat beradaptasi atau bisa disebut juga pandangan extrovert. Perkembangan kebudayaan kemudian mulai mengarah juga ke pandangan introvert yang dikatakan oleh Ernst, “yang menyertai dan melengkapi pandangan yang extrovert” (hal 6, baris 12-13). Dalam dunia religi diwujudkan dalam bentuk semboyan “Kenalilah dirimu sendiri”. Dalam semua bentuk keagamaan yang tinggi, semboyan “Kenalilah dirimu sendiri” dianggap sebagai suatu imperatif kategoris, sebagai moral dasar dan hukum agama. Prinsip ini juga ada dalam perkembangan pandangan-pandangan filosofis yang kemudian berujung pada pertanyaan pada apa itu manusia.

Dijelaskan dalam bab ini bahwa manusia tidak dapat diterangkan berdasar sifat-sifat objektifnya namun berdasarkan pada kesadarannya. “Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-siat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya” (hal 9). Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan masuk ke dalam kehidupan manusia itu sendiri sehingga memperoleh kebenaran pemahaman mengenai manusia. Ditegaskan pada halaman berikutnya dengan kalimat “Kebenaran pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran dialektis ... Kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial”. Ada satu jawaban untuk pertanyaan mengenai manusia yang dianggap jawaban klasik oleh Ernst yaitu, “Manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari dirinya – makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya” dan hal ini merupakan hasil kajiannya berdasarkan atas filsafat Sokrates yang menyatakan “Hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi”. Ernst menyatakan bahwa filsafat ini perlu dibandingkan dengan hasil pemikiran-pemikiran dari filosof yang lain yang dalam buku ini tidak dia jelaskan lebih lanjut mengenai perbandingan-perbandingan tersebut. Namun Ernst mengetengahkan kesimpulan dari pemikiran para filosof yaitu bahwa ”untuk menemukan kodrat dan hakikat manusia kita pertama-tama harus menyisihkan sifat-sifat yang insidental dan eksternal”. Dengan cara ini diharapkan dapat melihat self atau bentuk tak terubahkan dan tak tergoyahkan dari diri manusia.

Namun teori mengenai manusia dari para filosof saja tidak cukup. “Yang dicari sekarang adalah teori umum tentang manusia yang didasarkan atas observasi empiris dan prinsip-prinsip umum logika”. Pemikiran-pemikiran secara matematis pada mulanya dianggap sebagai metode untuk upaya tersebut yang kemudian digantikan dengan pemikiran-pemikiran biologis yang mengutamakan teori evolusinya. Pemikiran baru muncul bahwa pusat perhatian bukanlah pada fakta-fakta empiris dari evolusi manusia tersebut namun bagaimana melakukan interpretasi teoretis atas fakta-fakta tersebut. “Teori evolusi telah menghancurkan batas arbitrer di antara berbagai bentuk kehidupan organis. Tidak ada spesies yang terpisah, hanya ada satu arus kehidupan yang kontinyu dan tidak terputus-putus”. Ernst menutup bab ini dengan mengetengahkan pemikirannya mengenai belum adanya metode untuk “menguasai dan mengorganisasi bahan-bahan itu”. Dan bahan-bahan di sini yang dia maksud adalah fakta-fakta empiris.

Bab II – Petunjuk Kepada Kodrat Manusia; Simbol

Digantikannya dominasi evolusionisme dari kaum ahli bologi mengenai manusia dan teori mengenai perlunya menilik fakta-fakta empiris dengan metode-metode untuk menguasai dan mengorganisasi bahan-bahan tersebut ditanggapi oleh seorang biolog bernama Johannes von Uexkull dengan mengeluarkan teorinya, “ilmu pengetahuan alam yang harus dibangun menurut metode-metode empiris yang biasa – metode pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimentasi). Dia juga menganalogikan realitas dengan organisme dimana menurut Uexkull realita, mencakup benda-benda dan makhluk hidup, sama dengan organisme yang amat terbagi-bagi, dan begitu banyak bagan dan pola. Seperti organisme yang memiliki pengalamannya sendiri dan organismenya sendiri, demikian juga dengan manusia. Pengalaman – pegalaman tersebut bukanlah bahan perbandingan antara satu organisme dengan organisme yang lain.

Menurut saya yang sedang belajar antropologi, pembahasan dalam bab ini kemudian difokuskan kepada makhluk hidup sebagai bagian dari realita. Makhluk hidup yang bisa kita lihat sehari-hari, atau kalau boleh saya sebut sebagai makhluk hidup yang empiris, adalah binatang dan manusia. Dalam bab ini disebutkan, secara anatomi, manusia dan binatang sama – sama memiliki Merknetz dan Wirknetz tertentu namun ada satu hal khusus yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki binatang yaitu terdapatnya sistem simbolis. Sistem simbolis pada manusia merupakan hasil analisa pada respon – respon yang diberikan manusia terhadap suatu keadaan. Binatang merespon langsung pada stimulus yang diberikan sementara manusia melalui proses berpikir yang memakan waktu lebih lama dari binatang dan lebih rumit. Untuk memberikan perbedaan binatang dan manusia, dalam bab ini disebutkan bahwa binatang lebih memberikan reaksi sedangkan manusia memberikan respon. Simbol-simbol yang ada dalam kehidupan manusia lainnya adalah adanya bahasa, mite, seni dan agama. “Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis ini.” (hal 39 baris2-3). Tidak diketengahkan dalam bab ini konsep mengenai rationale namun pada halaman yang sama disebutkan bahwa manusia adalah animal rationale. Saya hanya bisa menebak bahwa karena memiliki proses berpikir, yang kemudian saya artikan sebagai rationale, yang tidak dimiliki oleh binatang manusia, kemudian disebut sebagai animal rationale.

Penggunaan istilah rationale itu sendiri masih menjadi pertanyaan oleh karena ketidakmungkinan penggunaan rasional dalam mempelajari struktur mitos yang juga merupakan simbol dalam kehidupan manusia yang tidak konseptual dan matematis. Sehingga diusulkanlah istilah animal symbolicum untuk mendefinisikan manusia.

Bab III – Dari Reaksi – Reaksi Binatang ke Respons – Respons Manusiawi

Bab ini dibuka dengan manusia seperti yang diketengahkan pada bagian akhir bab II dimana manusia yang dimodelkan sebagai animal symbolicum. Dengan mendasari pemikiran bahwa “pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondiri itu”. Lebih lanjut pada bab ini akan mengetengahkan perbedaan tajam antara perilaku simbolis pada manusia dan pada dunia binatang menilik pada kenyataan bahwa binatang-binatang pun tidak selalu bereaksi langsung. Metode pertama yang menurut Ernst perlu dilakukan adalah “menemukan titik tolak logis yang tepat dan mengarah kepada interpretasi mendalam dan memadai terhadap fakta-fakta empiris”. Titik tolak yang dimaksud disini adalah definisi tuturan. Ernst mengusulkan untuk menginvestigasi tatanan dan hubungan di antara unsur-unsur penentu daripada membuat definisi tuturan yang siap-pakai.

”Lapisan pertama dan paling dasar tentu saja bahasa emosi” (hal 44 baris 9-10) yang dipandang bukan hanya sebagai ungkapan perasaan namun juga memiliki struktur sintaktis dan logis. Saya menghubungkan teori ini dengan sebuah teori lain dari buku yang pernah saya baca (yang saya lupa judul dan pengarangnya) bahwa dalam diri manusia ada proses objektif – subjektif dan kemudian objektif. Contoh yang bisa menjelaskan ini adalah pada saat seorang individu membaca sebuah buku, sebagai bahan yang objektif, dia mengalami proses pemikiran-pemikiran tertentu yang merupakan sebuah proses peng”subyektifitas”an dan kemudian beralih menjadi proses objektif pada saat dia menuturkan kepada orang lain mengenai pemikiran-pemikiran tersebut agar orang lain bisa memahaminya. Proses objektif yang terakhir ini, menurut saya bila dihubungkan dengan pembahasan Ernst mengenai pengenalan diri manusia pada bab I, adalah saat dimana manusia mencari “kebenaran” melalui proses dialektis. Dalam segi bahasa pun, secara spesifik dalam bahasa proporsional dan emosi, belum ditemukan perbedaan tajam antara manusia dan binatang sehingga diambilah sudut pandang penelaahan yang lain yaitu dari segi inteligensi dan keluarlah teori yang diketengahkan pada halaman 50 yang menyatakan “binatang memiliki inteligensi praktis atau imajinasi-praktis, tetapi hanya manusialah yang mengembangkan suatu bentuk baru: intelegensi-simbolis dan imajinasi simbolis” (hal 50 baris 11-14). “Salah satu ciri istimewa yang paling mencolok pada simbolisme manusia adalah kemungkinannya untuk diterapkan secara umum, berdasarkan kenyataan bahwa setiap hal punya nama” (hal 54 paragraf terakhir).

Berdasarkan teori-teori di atas, muncullah pertanyaan baru atas “ketergantungan pemikiran rasional kepada pemikiran simbolis yang memiliki asumsi dasar “tanpa sistem simbol yang rumit, pemikiran rasional tak mungkin tumbuh apalagi berkembang secara penuh”. Kemampuan mengembangkan inilah yang membedakan manusia dengan binatang meskipun disebutkan bahwa dalam binatang pun ada “benih benih distinctio rationis”. Sehingga pembedaan manusia dengan binatang dari sudut pandang bahasa mulai ditemukan titiknya dengan sebuah teori yang menyatakan bahwa “tuturan adalah suatu proses, suatu fungsi umum dari pikiran manusia”. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah penelitian atas para penderita aphasia yang “tidak hanya kehilangan kemampuan menggunakan kata-kata tetapi mengalami perubahan kepribadian pula. Mereka tidak lagi mampu berpikir dalam konsep – konsep umum atau kategori – kategori umum. Tidak mampu menangkap pengertian – pengertian umum, mereka melekatkan diri pada fakta – fakta langsung pada situasi – situasi kongkret”.

Bab IV – Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi

Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan ruang dan waktu yang membingkainya. Menurut Ernst, “lapisan paling rendah boleh kita sebut ruang dan waktu organis. Setiap organisme hidup dalam lingkungan tertentu, dan supaya tetap bertahan organisme itu harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya.” Selain ruang organis yang berada pada lapisan paling rendah, pada binatang – binatang “tinggi” ada yang biasa disebut dengan “ruang perseptual. Ruang ini bukan sekadar data inderawi, sifatnya amat kompleks, memuat unsur-unsur dari berbagai macam pengalaman inderawi – optik, taktik, akustik, dan kinestetik.” Ada kritik mengenai ruang ini dianggap tidak ilmiah atau “benar” secara filosofis. Ilmiah atau kebenaran filosofis dalam bab ini adalah filsafat harus mengabstraksi dari data – data inderawi dan ruang perseptual tidak dapat diabstraksi dari data – data inderawi sehingga ruang ini dapat ditilik dari kebenaran pernyataan – pernyataan dan putusan – putusan. Hal ini juga tidak lepas dari kritik oleh Ernst dimana disebutkan pada halaman 68 paragraf pertama menyebutkan, “dari sudut pandangan kebudayaan atau mentalitas primitif, langkah menentukan dari ruang aksi ke konsep ruang ilmiah atau teoretis – ruang geometri – adalah langkah yang hampir – hampir mustahil”. Sehingga pada halaman 69 disebutkan bahwa ada perbedaan yang jelas “antara penangkapan secara kongkret dan secara abstrak terhadap ruang dan hubungan – hubungan spasial”. Alasan lain yang dikemukakan oleh Ernst adalah “ruang geometris menyisihkan ruang mitis dan magis.” Ada satu teori oleh Kant berhubungan dengan ruang dan waktu yang dia tuliskan sebagai, “ruang adalah bentuk “pengalaman luar”, sedangkan waktu adalah bentuk “pengalaman dalam”. Manusia dengan pengalaman - pengalamannya ini kemudian melalui proses kreatif dan konstruktif yang diterangkan dengan “ingatan manusia harus mengumpulkannya kembali, menata, mencari sintesis, mengarahkannya pada fokus pemikiran.” Menurut saya, spabila kita berbicara mengenai pengalaman maka kita juga berbicara mengenai masa lampau yang kemudian manusia dengan proses kreatif dan konstruktifnya memberikan respon – respon pada situasi masa kini.

Dalam bab ini juga disebutkan “Tujuan kita adalah fenomenologi kebudayaan” yang dicapai dengan cara “menjelaskan dan memberi illustrasi dengan contoh – contoh yang kongkret yang diangkat dari kehidupan manusia” (hal 78 dengan penekanan oleh saya). Saya menangkap bahwa itu juga menjadi tujuan dari Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji gejala sosial budaya dalam masyarakat.

Setelah berbicara masa lampau dan masa kini, manusia juga memiliki masa yang ketiga yaitu masa depan dan belum dapat dipastikan bahwa hal ini juga terdapat pada dunia binatang. Ernst mengungkapkan bahwa masa depan adalah “dalam bentuk paling luhur kewajiban-kewajiban itu melampaui batas – batas kehidupan empiris manusia, yang berhubungan dengan dan beranalogi ketat dengan masalah-simbolis” yang kemudian disebut sebagai masa depan “profetis” atau masa depan kenabian dimana masa depan tersebut bukanlah fakta empiris melainkan kewajiban religius dan etis. Bab ini kemudian ditutup dengan pernyataan bahwa manusia dengan kekuatan simbolisnya mampu mengembara melewati semua batas keberadaannya yang kemudian saya tangkap di sini adalah manusia mampu mengembara melewati batas ruang dan waktu.

REVIEW

Pertama – tama saya ingin mengungkapkan bahwa buku ini adalah salah satu buku dimana saya merasa sangat mengalir pada saat. Yang saya ingat bahwa buku ini diminta untuk dibaca pada saat topik perkuliahan adalah epistemologi Hermeunetik dimana peneliti melakukan tafsir atau interpretasi terhadap suatu fenomena sosial budaya. Saya berasumsi bahwa buku ini akan memperkaya pemahaman saya akan Hermeunetik itu sendiri. Memang dalam Bab I ini dimana diketengahkan perlunya interpretasi terhadap teoretis terhadap fakta-fakta empiris yang ada dalam kehidupan manusia. Namun saya juga memiliki harapan bahwa saya akan melihat secara metodologis dan analitis mengenai Hermeunetik atau dengan kata lain proses berhermeunetik dalam ilmu sosial budaya. Saya akan coba menelaah pemikiran Ernst dalam buku ini dengan kerangka elemen – elemen dasar paradigma terutama pada bagian epistemologinya.

1. Asumsi Dasar

Manusia adalah salah satu spesies dalam makhluk hidup yang berbeda dengan binatang dari segi rasionalnya, bahasa yang mereka gunakan dan kemampuan manusia dalam menembus ruang dan waktu dalam hal ini bukan yang empiris atau organis namun yang perseptual. Hal ini saya pikir merupakan kritik terhadap dominasi kaum biologist dengan teori evolusionismenya dimana manusia tidak berbeda dengan kera – kera antropoid.

2. Nilai

“Kebenaran pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran dialektis ... Kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial”.

3. Model / perumpaan / analogy

Manusia adalah animal symbolicum.

Metode penelitian yang diketengahkan dalam buku ini, yang saya tangkap, adalah observasi dan eksperimentasi. Saya masih ragu apakah obervasi dan eksperimentasi ini sama dengan metode observasi partisipasi dengan landasan berpikir fenomenologinya. Sedangkan untuk metode analisa yang disarankan adalah interpretasi terhadap fakta-fakta empiris terhadap apa yang ditemukan pada kehidupan manusia yang merupakan hasil dari pemikiran yang kreatif dan konstruktif. Fakta – fakta empiris tersebut, sesuai dengan analogi bahwa manusia adalah animal symbolicum, juga merupakan simbol – simbol dalam kehidupan manusia sehingga muncullah saran untuk memberikan interpretasi terhadap fakta – fakta tersebut.

Saya setuju apabila buku ini bisa menjadi referensi untuk pemahaman mengenai epistemologi Hermeunetik lebih kepada penguat alasan pada penggunaan metode interpretasi atau tafsir sebagai metode analisa data yang dimiliki dengan penegasan kepada interpretasi yang teoretis. Namun harus saya akui, membaca buku ini mengalir karena telah sebelumnya terdapat diskusi mengenai Hermeunetik sebelumnya.