Monday, December 31, 2012

Transformasi Kesuperioritasan Orang Tua dalam Keluarga Jawa ke Dalam Posisi Sesepuh Pada Ritual Garebek Kupat di Mertoyudan, Magelang - Analisa Singkat

Garebek Kupat
Pada tahun 2012, acara Garebek Kupat[1] ini dilaksanakan pada bulan Syawal yang dimaknai sebagai bulan dimana manusia menjadi bersih seperti bayi baru lahir. Acara Garebek Kupat ini diawali dari lapangan yang letaknya tepat di tengah kampung Dawung. Sebagian besar warga mengenakan pakaian adat Jawa, busana muslim, dan kostum kesenian tradisional. Pada barisan paling depan, sesepuh setempat dengan membawa kendi berisikan air dari sumber mata air Dawung, diikuti oleh para gadis desa yang membawa tumpengan nasi kuning. Terdapat gunungan kupat yang dipanggul oleh empat pemuda desa dan diikuti berbagai keompok kesenian tradisional dan para warga dan disusul tetabuhan gamelan dari bende kendang dan bedug. Sampai di tengah – tengah desa, sesepuh desa membasuh beberapa warga sebagai simbol ajakan untuk menyucikan pikiran dan jiwa dalam setiap laku. Setelah itu sesepuh desa menaburkan kembang ke arah tumpeng sebagai simbol ajakan untuk selalu bersyukur dengan setiap rahmat. Selanjutnya seorang Kiai memimpin doa, dan diakhiri dengan dibunyikannya gamelan sebagai tanda Garebek Kupat dimulai.

Garebek Kupat sebagai Sebuah Ritual
Definisi Ritual (Diambil dari: Introducing Anthropology of Religion: Culture to the Ultimate, Jack Eller, Taylor & Francis, 2007).
Victor Turner mendefinisikan ritual sebagai “perilaku yang bersifat formalitas yang dikonstruksikan untuk acara – acara yang “bebas-teknologi”, serta adanya kepercayaan terhadap makhluk atau kekuasaan mistis dimana simbol merupakan unit terkecil dari ritual tersebut”. Stanley Tambiah mendefinisikan secara panjang lebar pemahamannya akan ritual, yaitu merupakan sistem komunikasi simbolik yang dikonstruksi secara kultural, yang terdiri dari urutan kata – kata serta perilaku yang berpola dan berurutan, yang acapkali diekspresikan melalui beberapa media serta berisi dan dibedakan atas dasar keformalitasannya (konvensional), sterotip (kekakuan), kondensasi (fusi), serta pengulangannya. Anthony Wallace menjelaskan ritual sebagai komunikasi tanpa informasi sehingga ritual diyakini sebagai  serangkaian sinyal yang memungkinkan ketidakpastian, tanpa pilihan, dan oleh karena itu dalam pengertian statistik teori informasi,  di dalam ritual tidak terjadi pertukaran informasi antara pengirim dan penerima sehingga ritual merupakan sistem keteraturan dan satu perbedaan saja dianggap sebagai suatu kesalahan. Sementara pemahaman ritual yang akan saya gunakan di sini adalah apa yang ada dalam buku “The Social Implications of Ritual Behavior in Maya Lowlands: A Perspective from Minanha, Belize” yang ditulis oleh Sonja Andrea Schwake dimana ritual merupakan aksi bermakna karena aksi – aksi tersebut berhubungan dengan posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial mereka.

Pentingnya (Menjadi Lebih) Tua dalam Masyarakat Jawa
Hubungan Orang Tua dan Anak dalam Keluarga Jawa
Kesuperioritasan menjadi orang tua nampak dalam sebuah tesis yang berjudul “Alokasi Waktu bagi Anak – Anak di Des Jawa” dan ditulis oleh Ekna Satriyati. Satriyati menuliskan bahwa “Alokasi waktu mempunyai nilai kontrol orang dewasa terhadap anak – anak” (Orang tua memiliki posisi superior dan anak – anak dalam posisi subordinat) dan juga “Bagi orang tua, alokasi waktu (yang diterapkan pada anak – anak disertai) dengan menaruh harapan moril dan beban pekerjaan (yang diberikan pada anak) (adalah) sebagai bekal awal mendidik anak.”
Saudara yang Lebih Tua Mendapatkan Sumber Daya Lebih
Makmuri Sukarno dalam disertasinya yang berjudul “The Transition from School to Work and Job-Seeking Behavior Among Youth in Three Cities of Java” menyatakan bahwa secara sosiologis “Alokasi sumber daya dilakukan berdasarkan pada urutan kelahiran”

Analisa ini pada akhirnya tidak akan berakhir pada teori kelas apa pun karena hubungan orang tua – anak yang bertransformasi tersebut pada dasarnya merupakan hubungan yang resiprosikal. Hal ini dibuktikan oleh Sukamtiningsih dalam tesisnya berjudul “Resiprositas antara Anak dan Orang Tua dalam Keluarga Jawa”. Sukamtiningsih menuliskan, “ … anak bagi orang tua dapat dijadikan sebagai tumpuan hidup nantinya di hari tua … mempertahankan salah satu anaknya supaya dapat tetap tinggal dalam rumah (tabon) … umunya adalah anak yang dianggap dapat dijadikan tumpuan hidupnya” (Hal. 141). Usaha yang dilakukan orang tua antara lain (1) memberi tabon/tanah garapan ataupun ternaknya, (2) memberikan bantuan dari anak yang tinggal serumah berupa kebutuhan sehari-hari, (3) ikut terlibat meringankan pekerjaan dalam rumah tangga anak, serta (4) memberikan bantuan keuangan untuk yang tidak terencana.



[1]       Suara Merdeka, Rabu 28 Agustus 2012, Hal. 25

Wednesday, December 12, 2012

Sedikit Mengenai Toward an Anthropology of Democracy, Julia Paley


Saya akan mengetengahkan definisi dan pemahaman atas konsep – konsep kunci dalam artikel ini. Hal yang harus diketengahkan adalah definisi dan/atau pemahaman akan istilah ‘democracy’ (demokrasi) yang menurut saya merupakan tema utama dalam artikel ini. Selanjutnya yang perlu diketengahkan adalah (1) civil society (masyarakat sipil), (2) social movement (gerakan sosial), (3) citizenship (kewarganegaraan), (4) governmentality (kepemerintahan), serta (5) NGO (LSM).

Democracy (Demokrasi)
1.     Secara filosofis, konstitusional dan sosiologis; demokrasi dipahami sebagai “sesuatu tentang masyarakat”[1]
2.     Demokrasi merupakan perjuangan terus-menerus untuk mewujudkan tatanan sosial yang mengupayakan musyawarah logis, mempromosikan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, secara adil dan merata mendistribusikan kekuatan politik-ekonomi serta memfasilitasi keikutsertaan budaya di dalamnya[2]
Definisi yang kedua ini lah yang menurut Levinson dan Pollock coba ditunjukkan oleh Paley dalam tulisannya dimana suatu demokrasi merupakan suatu perjuangan yang terus-menerus dilakukan terlepas dari (1) diketengahkannya beragam bentuk – bentuk kultural dari alasan dan argumentasi dalam suatu musyawarah (sebagai bentuk keterlibatan budaya di dalamnya), (2) dipromosikannya beragam partisipasi bermakna, serta (3) betapa adil dan meratanya kekuasaan yang didistribusikan. Bidney dan Bidney mengenalkan apa yang mereka tuliskan sebagai demokrasi kultural dimana demokrasi kultural merupakan suatu usaha untuk mengutamakan kehendak mayoritas tanpa menghilangkan kaum yang secara kultural merupakan kaum minoritas[3]. Sementara itu Benedict dan Mead mengetengahkan pemahaman atas demokrasi dalam makna lintas-budaya (cross-cultural meaning) yaitu apa yang dikenal dengan “dari, oleh dan untuk masyarakat” yang pada dasarnya memberikan suara pada masyarakat untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri[4].
Paley menuliskan beberapa pemahaman atas demokrasi, yaitu (1) aspirasi bagi mereka yang hidup dalam rejim yang opresif, (2) apabila tercapai menjadi suatu kemenangan populer, serta (3) secara politis dan personal diinvestasikan dalam perjuangan untuk hak asasi manusia, aturan hukum, mitigasi dari ketimpangan pendapatan yang buruk. Namun demikian Paley mengingatkan beragamnya pemahaman atas demokrasi. Hingga akhirnya pada akhir artikel ini diketengahkan dengan apa yang disebutnya dengan demokratisasi etnografi dimana hal tersebut dicapai pada saat dilakukannya transofrmasi relasi kekuasaan dengan pengetahuan dari peneliti, tineliti, dan publik secara luas.

Civil Society (Masyarakat Sipil)
Pemahaman klasik atas masyarakat sipil diketengahkan oleh Angela Cheater[5] dimana masyarakat sipil mengimplikasikan bebasnya para individu dan kelompok dalam membentuk asosiasi dan organisasi yang independen dari negara dalam usahanya untuk memediasi warganegara dan negara. Isabelle Clark-Deces[6] mengetengahkan tiga hal yang berkaitan dengan masyarakat sipil, yaitu (1) bentuk asosiasi sukarela antarorang di luar ranah negara dan pasar, (2) nilai – nilai tanggungjawab dan penghormatan kepada orang lain, serta (3) gagasan atas ruang dimana orang – orang dapat berkumpul sedemikianrupa dimana mereka dapat mendiskusikan dan berpartisipasi dalam urusan publik. Sementara itu, Akihiro Agawa[7] menyatakan bahwa masyarakat sipil merupakan “sekumpulan kehidupan individu – suatu ruang solidaritas dan moral … merupakan arena kewarganegaraan yang aktif dan peduli akan isu – isu publik”.
Dalam kaitannya dengan masyarakat sipil dan kepemerintahan, Paley menyatakan bahwa beberapa Antropolog mulai mempertanyakan apakah demokrasi pada akhirnya memperkuat masyarakat sipil. NGO disinyalir menciptakan apa yang disebut dengan kepemerintahan dari bawah atau konter balik kepemerintahan.

Social Movement (Gerakan Sosial)
Robert Mirsel memahami gerakan tersebut sebagai proses perubahan (atau paling kurang, perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004: 12). Rao[8] menyatakan bahwa gerakan sosial berbentuk pengorganisasian diri kolektif demi pengakuan sosial dan penegasan akan hak atau kepentingan eksistensial yang selama ini ditolak oleh orang atau kelompok tertentu. Gerakan sosial tersebut merupakan bentuk keterlibatan aktif dalam melawan ancaman pada hak dan keberadaan kelompok atau orang – orang tertentu.

Citizenship (Kewarganegaraan)
Secara singkat dipahami sebagai anggota suatu bangsa dimana di dalamnya terkandung cara berpikir, cara berdebat dan cara bertindak dalam aturan singkat suatu permainan yang umum bagi kita semua[9]. Konsepsi secara politik terhadap kewarganegaraan dibentuk oleh makna, hak serta kewajiban anggota dalam public, serta bentuk badan dan modalitas partisipasi yang diimplikasikan dengan keanggotaan tersebut[10]. Sementara itu Clough-Riquelme menyatakan bahwa Antropologi Kewarganegaraan semestinya memusatkan perhatian pada interaksi di tingkat lokal yang disebut sebagai “jendela” kesempatan atau peluang yang tidak dihubungkan dengan kontrol dan aturan negara, namun lebih pada ruang yang menyediakan akses untuk informasi, saran dan orientasi yang berhubungan dengan spektrum isu dimana negara memiliki yurisdiksinya[11].
Dalam kaitannya dengan kualitas kewarganegaraan, Paley dalam artikelnya ini menyatakan bahwa orang – orang secara berbeda berada dalam sirkuit nasional dan internasional dan hal tersebut menimbulkan pengalaman kewarganegaraan dan relasi dengan badan pemerintah yang beragam.

Governmentality (Kepemerintahan)
Zigon[12] menuliskan bahwa “kepemerintahan terdiri dari strategi dan praktik – praktik yang diterapkan oleh negara – negara modern dalam rangka membentuk, mengubah, serta mempengaruhi perilaku seseorang … dirancang untuk diterapkan pada orang – orang itu sendiri” atau yang disebut oleh Foucault sebagai teknologi diri (technologies of the self) atau yang disebut oleh Dean[13], sebagai interpretasi governmentality Faoucault, sebagai “conduct of conduct”.

NGO (LSM)
Dijelaskan oleh Singer dan Erikson[14] sebagai organisasi swasta sukarela yang menjalankan kegiatan dalam rangka meringankan penderitaan, mempromosikan kepentingan orang miskin, melindungi lingkungan, menyediakan layanan sosial dasar, atau melaksanakan pemberdayaan masyarakat.

Kajian Antropologis pada era pasca perang, poskolonial dan akhir perang dingin.
       (1)   Periode Kolonial
Antropolog Sosial Inggris pada periode ini banyak melakukan kajian yang sinkronis serta menggunakan paradigma Fungsional Struktural (lokalisme). Kritik yang disampaikan terhadap kajian yang seperti ini adalah bahwa kajian ini tidak mencari tahu pola dan dampak dari kepemerintahan kolonial
       (2)   Poskolonial
Antropolog Amerika banyak bermunculan pada era ini dimana banyak diulas mengenai permasalahan atas faktor – faktor pembentuk dan penguat demokrasi. Pada era ini demokrasi dianggap sebagai sinyal kemodernan.
       (3)   Akhir perang dingin
Pada periode ini banyak dibahas mengenai bangsa (state), globalisasi, lembaga politik formal, pemerintahan yang baik (good governance) dan juga demokrasi.

Artikel ini mengetengahkan digunakannya pengamatan tentang perbedaan budaya untuk mempermasalahkan asumsi universalis dari praktik demokrasi di Barat itu sendiri. Dari beberapa etnografi, disimuplkan bahwa kewenangan tradisional merugikan kinerja demokrasi 


[1]       “Democracy is ‘something of the people’ (Readings in African Politics, Tom Young)
[2]       “Democracy is the continual striving toward a social order that sponsors reasoned deliberation, promotes civic participation in decision making, justly and equitably distributes political-economic power, and facilitate cultural inclusiveness” (A Companion to the Anthropology of Education, Bradley A. U. Levinson dan Mica Pollock)
[3]       Theoretical Anthropology: Second Edition, David Bidney dan martin Bidney
[4]       An Anthropologist at Work, Ruth Benedict dan Margaret Mead
[5]       The Anthropology of Power, Angela Cheater
[6]       A Companion to the Anthropology of India, Isabelle Clark-Deces
[7]       “A unity of individual lives – a sphere of solidarity and moral sentiment … it is an arena of active citizenry and concern about public issues” (The Failure of Civil Society?: The Third Sector and The State in Contemporary Japan, Akihiro Agawa)
[8]       Introduction to Indian Social Anthropology, K. S. Krishna Rao
[9]       “member of the nation … a way of thinking, a way of debating, a way of acting, in brief rules of the game that are common to all of us” (A Companion to the Anthropology of Europe, Ulrich Kockel, et.al.)
[10]     A Companion to the Anthropology of Education, Bradley A. U. Levinson dan Mica Pollock
[11]     Gender, Citizenship, and Local Democracy in Paraguay: A comparative Analysis of Social Power and Political Participation in the Central Region, Jane Clough-Riquelme
[12]     Morality: An Anthropological Perspective, Jarnett Zigon
[13]     Dalam Governing the Female Body: Gender, Health, and Networks of Power, Lori Stephens Reed dan Paula Saukko
[14]     A Companion to Medical Anthropology, Merril Singer dan Pamela I. Erikson

Thursday, December 6, 2012

Review: From Confusions to Common Sense: Using Political Ethnography to Understand Social Mobilization in the Brazilian Northeast, Wendy Wolford


Review: From Confusions to Common Sense: Using Political Ethnography to Understand Social Mobilization in the Brazilian Northeast, Wendy Wolford (Dalam ‘New Perspectives in Political Ethnography’, Disunting oleh: Lauren Joseph, Matthew Mahler, dan Javier Auyero)

PEMAHAMAN AKAN ARTIKEL
Peralihan dari Perkebunan serta Penyulingan Tebu ke Tanaman Subsisten, Pisang dan Kelapa / Identitas Pekerja menjadi Pemilik Lahan
Wolford memulai tulisannya dengan mengetengahkan krisis sektoral yang biasanya merupakan respon terhadap perubahan pasokan dan permintaan barang Internasional. Digambarkan bagaimana dekade 1990-an merupakan dekade yang dirasa cukup sulit yang kemudian diperburuk oleh pemerintahan baru Brasil, yang dituliskan sebagai pemerintahan yang demokratis, mulai  “melucuti” dan  secara perlahan – lahan menarik subsidi bagi produsen tebu di daerah Timur Laut. Ditariknya subsidi tersebut menyebabkan 15 dari 26 penyulingan tebu di Pernambuco mati atau berada dalam ambang kebangkrutan. Pemilik perkebunan dan penyulingan pun akhirnya meninggalkan tanah mereka dan beralih ke industri (pariwisata) yang lebih sehat di tempat lain. Yang paling merasakan dampak dari krisis ini adalah para buruh kasar. Karena industri penyulingan tebu ini sangat bergantung pada tenaga kerja atau buruh kasar, matinya dan sekaratnya industri penyulingan tebu menyebabkan 350.000 pekerja menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan bahkan pada saat musim panen.
Semakin parahnya krisis, gerakan pekerja pedesaan yang tak bertanah atau MST pun secara efektif mulai memobilisasi para mantan pekerja di  pedesaan untuk menduduki lahan perkebunan yang dianggurkan dan menekan pemerintah agar mendistribusikan tanah. Kefektifan ini, saya rasa, dinilai dari tercapainya tujuan untuk mendistribusikan tanah kepada para pekerja pedesaan, pada tahun 1996, yang identitasnya diraih melalui posisi pekerjaannya di perkebunan[1]. Para pekerja pedesaan ini kemudian diberi kepemilikan atas suatu wilayah dan berubah menjadi petani kecil. Atas desakan dari para pemimpin MST, mereka menanam tanaman subsisten[2] serta pisang dan kelapa untuk kebutuhan pasar.

MST (O Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra)
Dibentuk di daerah Selatan Brasil pada tahun 1984 dengan tujuan untuk memperjuangkan reformasi agraria. Pemimpin – pemimpin gerakan ini beranggapan bahwa dilakukannya mobilisasi di daerah timur laut negara itu, yang merupakan daerah yang miskin, merupakan langkah penting dalam mentrasformasikan gerakan regional menjadi gerakan nasional. Metode yang digunakan oleh MST ini adalah dengan menunjukkan pembangkangan warga sipil misalnya dengan okupasi dan perampasan yang sifatnya simbolis atas perkebunan dan peternakan yang berskala besar, gedung – gedung pemerintah serta jalan umum dengan tujuan tertentu. Ideologi gerakan MST mencerminkan kepemimpinan yang berakar dari budaya petani di bagian Selatan Brasil dan campuran eklektik pemikiran para radikal kiri seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, Paulo Freire, Mao Tse-Tung, dan Mahatma Ghandi.

Peralihan dari ke Tanaman Subsisten, Pisang dan Kelapa ke Perkebunan serta Penyulingan Tebu
Pada tahun 1999, harga tebu meningkat dua kali lipat. Sebagian besar pemukim di Flora, bagian dari Pernambuco, kembali bekerja dalam perkebunan dan penyulingan tebu. MST tidak lagi dianggap sebagai perwakilan resmi politik Flora dan MST merasa posisinya di wilayah tersebut berada dalam keadaan krisis. Ada dua cara dalam melihat ditinggalkannya MST, yaitu (1) para mantan pekerja di pedesaan meninggalkan gerakan karena mereka tidak lagi membutuhkannya dan hal itu dipahami sebagai tanggapan rasional terhadap perubahan harga tebu, dan (2) adanya kesadaran palsu, sebagaimana dipahami oleh para pemimpin MST, karena para pemukim tidak bisa membebaskan diri dari hegemoni sistem perkebunan.
Peralihan – peralihan yang terjadi (tebu ke subsisten, pisang dan kelapa kemudian beralih lagi ke tebu; peralihan dari pekerja menjadi pemilik lahan; peralihan dari menjadi anggota MST kemudian keluar dari MST) dipandang sebagai suatu kebingungan dan dari kebingungan ini, baik dari pihak petani maupun MST, Wolford menarik dua hal. Yang pertama adalah perlu digarisbawahinya alasan strategis (yang bagi pengamat alasannya adalah politik atau kesolidaritasan) yang dipandang dari luar maupun dari dalam gerakan itu sendiri jarang mencerminkan apa yang terjadi di tataran akar rumput. Dan yang kedua adalah jalan menuju mobilisasi sosial “diaspal” dengan unsur kesengajaan. Baik berfokus pada orang yang terlibat dalam aksi kolektif ataupun pada beberapa perwakilan yang (dinilai) hegemonik (elit perkebunan dan penyulingan tebu) yang memanipulasi orang lain, seseorang, yang memiliki akses informasi yang sempurna dan akses ke pasar politik yang kompetitif, telah membuat keputusan (secara sepihak). Dan ketika kita menemui seorang informan yang bertentangan dengan diri mereka sendiri, atau yang tidak menjelaskan motivasi mereka dalam mengikuti gerakan, hal ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan kata lain, Wolford mempermasalahkan etik dan emik dari suatu gerakan sosial, dimana ada perbedaan mendasar antara keduanya, dan perbedaan itulah yang disebutnya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan menimbulkan kebingungan. Dengan demikian, menurut saya, kebingungan (confusión) tidak hanya terjadi  pada informan (yang tidak bisa menjelaskan motivasi mereka mengikuti gerakan) maupun pada MST (ditinggalkannya mereka oleh para pekerja/pemilik lahan), namun juga pada para peneliti (tidak sinkronnya antara pandangan informan/pekerja dengan MST). Wolford menilai bahwa dalam hal perubahan dan mobilisasi sosial, orang – orang merasa bingung, merasa bahwa kehidupan itu rumit, emosional dan tidak menentu:
people are “confused, life is complicated, emotional and uncertain,” to our analyses of social change and mobilization

Etnografi Politik sebagai Pemecah Kebingungan
Kebingungan atau ketidakmasukakalan ini berusaha dijawab oleh Wolford dengan mempertimbangkan aspek budaya yang dipahami sebagai sebuah akal sehat dan akal sehat itu sendiri adalah kebenaran sederhana atas hal – hal yang ditangkap secara begitu saja (dalam artikel disebut sebagai artlessly yang bisa dimaknai sebagai secara kasar dan tidak terampil). Analisis terhadap kontradiksi, diamnya serta kebingungan pelaku gerakan hanya bisa dilakukan dengan mendekat pada yang berwujud saja dan menggunakan Etnografi Politik yangmana memiliki arti ganda, yaitu (1) mengacu pada  dipolitisirnya etnografi sebagai metode yang unik serta sesuai untuk menganalisa serta mengungkap hubungan kekuasaan yang mengubah akhiran semua kehidupan sosial, serta (2) mengacu pada kebutuhan (serta praktik) penyelidikan etnografi politik dimana pemilu dan negara tidak lagi menjadi hal yang istimewa dalam kehidupan politik, namun orang – orang lah yang menjadi pusat perhatian.
Memusatkan perhatian pada orang (– orang) berarti kita memusatkan perhatian pada lokasi, pengalaman hidup, serta intensi dan/atau bukan intensi akan memperkaya kemampuan kita dalam memahami dan menjelaskan gerakan sosial. Wolford memberikan contoh dengan menyuguhkan wawancaranya dengan Cicero dan muncul dengan 4 (empat) kesimpulan.
Pertama, kebingungan dan kontradiksi yang ada dalam diri Cicero hadiah tidak dapat begitu saja dinilai sebagai suatu kesalahan atau tidak penting namun merupakan bagian dari usahanya untuk mempertemukan keadaan pribadinya dengan cara dia membayangkan dunia ini “berputar”.
Kedua, rasa ketidakpastian Cicero dalam meninggalkan MST menunjukkan ketidakjelasan keanggotaan suatu gerakan secara lebih umum - dalam setiap gerakan, ada berbagai tingkat keterlibatan, dan melakukan wawancara sepanjang kontinum memberikan kita gambaran yang lebih representatif atas politik gerakan dari sekedar mewawancarai para “pecandu” dan elit gerakan.
Ketiga, kebanggaan Cicero dalam memiliki tanah harus diletakkan dalam sejarah “penahanan” perkebunan yang cukup lama: sebagai mantan pekerja perkebunan, ia merasakan kebebasan baru. Bagi para pemimpin gerakan, kebebasan ini berarti kebebasan dari dominasi elit perkebunan dan penyulingan tebu, serta negara, akan tetapi bagi Cicero, kebebasan berarti mampu mengalokasikan waktu kerjanya sendiri dan bekerja kapanpun dia inginkan. Kebebasan, untuk Cicero, berarti hak untuk menolak saran MST dan akhirnya menarik diri dari gerakan.
Keempat atau yang terakhir adalah, diskusi Cicero mengenai politik di permukiman menyoroti sejauh mana partisipasinya dalam MST menjadi dasar bagi partisipasi politiknya  di masa depan. Bahkan jika gerakan itu sendiri tidak pernah mendapatkan kembali kekuatan politik di kawasan itu, alat-alat partisipasi yang aktivis gerakan terapkan pasti akan digunakan lagi. Gerakan sosial datang dan pergi, tetapi mereka membangun dan menghasilkan repertoar yang lebih luas dari perjuangan; repertoar ini akan hilang bila kita mengistimewakan gerakan sebagai obyek penelitian yang terbatas.


[1]    Di perkebunan ada empat identitas yang bisa dikenali berdasarkan posisinya. Keempat identitas tersebut ada dituliskan dalam artikel ini, yaitu (1) bos, (2) pekerja administratif elit, (3) buruh biasa, (4) pembantu rumah tangga.

[2]    Tanaman yang ditanam hanya sekedar dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari

Friday, November 30, 2012

Kinship


A.   LATAR BELAKANG
Kita mungkin pernah mendengar pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ yang berarti bahwa perilaku seorang anak tidak akan berbeda jauh dari orang tuanya. Dalam bahasa Jawa, kita dapat menemukan ungkapan yang hampir sama, yaitu kacang ora ninggal lanjaran yang diartikan dengan kabiyaksane anak niru wong tuwane (Drs. Wibisana, 2007) atau yang dalam bahasa Indonesia saya terjemahkan sebagai kebiasaan anak adalah tiruan dari kebiasaan orang tua. Drs. Wibisana juga mengetengahkan pepatah-pepatah lain dalam bahasa Jawa dalam menunjukkan hubungan orang tua dan anak seperti kebo kabotan sungu (kerbau dengan tanduk yang terlalu berat) yang berarti orang tua yang kesulitan karena memiliki anak banyak dan juga ora ono banyu mili menduwur (tidak ada air yang mengalir ke atas) yang artinya sifat anak biasanya meniru sifat orang tua. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai pepatah-pepatah mengenai hubungan dengan orang tua dan anak, namun saya akan membahas kinship dalam kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Kata kinship ini biasanya diterjemahkan menjadi kekeluargaan atau kewangsaan (Kurniawan: 2008). Istilah lain yang digunakan untuk mengartikan kinship adalah kekerabatan.
Paper ini akan mengetengahkan pola kekerabatan anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Anggota-anggota yang saya maksud di sini adalah anggota-anggota kelompok yang “tidak memakai baju”. “Tidak memakai baju” di sini adalah anggota-anggota kelompok yang hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada pada kehidupan sehari-harinya. Jumlah dari anggota yang ‘tidak memakai baju’ adalah berjumlah 40 orang dari sekitar 700 orang anggota kelompok tersebut.
  
B.   MASALAH
Fokus dari paper ini adalah untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1.    Apa jenis diagram keturunan dari anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu?
2.    Bagaimana pola dari postmarital residence dari anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu?



C.   PEMBAHASAN MASALAH
Keesing (1992) mengetengahkan kekerabatan sebagai berikut:
“Kekerabatan, bagi kita, secara intuisi menunjuk pada “hubungan darah”. Yang kita maksud dengan kerabat adalah mereka yang bertalian berdasarkan ikatan “darah” dengan kita. Kerabat perkawinan, untuk jelasnya menjadi kerabat karena perkawinan dan bukan karena hubungan darah – dan begitu juga dengan beberapa dari paman dan bibi kita. Tetapi hubungan keturunan antara orang tua dan anaklah yang merupakan ikatan pokok kekerabatan”. Pernyataan Keesing tersebut senada dengan apa yang diuraikan oleh Radcliffe-Brown (1952) yang menyebut kinship dengan sistem kekeluargaan sebagai istilah yang lebih singkat dari sistem kekeluargaan dan perkawinan atau kekeluargaan dan hubungan darah.
Koentjaraningrat memulai pembahasannya mengenai sistem-sistem kekerabatan dengan mengetengahkan stages along the life-cycle (1977). Koentjaraningrat menyatakan bahwa tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang di dalam kitab-kitab antropologi sering disebut stages along the life-cycle itu, adalah misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dsb. Mustapa (1985) agaknya menggunakan tahap-tahap life-cycle ini dalam mengetengahkan tulisannya mengenai adat istiadat orang Sunda dimana dalam bukunya ini diketengahkan adat pengajaran, adat orang ngidam, adat menjaga orang hamil, adat menyunat/khitanan, adat menikah hingga adat kematian.
Perkawinan dianggap Koentjaraningrat sebagai suatu saat peralihan yang terpenting pada life-cycle dan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan sexnya, ialah kelakuan-kelakuan sex, terutama persetubuhan. Mustapa sependapat dengan Koentjaranigrat dengan menyatakan, “…, tetapi sebagai manusia yang normal, yaitu laki-laki dengan perempuan kalau mau bercampur harus menikah dahulu”.
Satu hal yang pasti akan dilihat dalam pembahasan-pembahasan mengenai kekerabatan adalah ditampilkannya bagan kekerabatan atau yang saya sebut di sini dengan family tree atau pohon keluarga. Saya akan coba ketengahkan ringkasan bagan kekerabatan atau bagan keturunan anggota-anggota yang ‘buka baju’ di kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu ini dalam bagan berikut ini. Mohon diperhatikan bahwa istilah-istilah dalam bagan ini adalah untuk menunjukkan panggilan yang disebutkan oleh si ‘ego’. Penjelasan akan istilah ‘ego’ saya ambil dari tulisan Marvin Harris (1927) sebagai berikut:
Anthropologists employ the word ego to denote the “I” from whose point of view kinship relations are being reckoned. It is sometimes necessary to state whether the reference person is a male ego or a female ego.

Bagan Kekerabatan
Sebelum saya memulai mengetengahkan bagan kekerabatan anggota-anggota tersebut, ada baiknya kita menengok apa yang dimaksud dengan pohon keluarga. Marvin Harris (1927) mengetengahkan beberapa macam bagan. Berikut ini adalah empat dari beberapa bagan tersebut:
1.    Bilateral descent
Dalam bagan kekerabatan, masing-masing orang dalam bagan memiliki hubungan keturunan dengan ego
2.    Ambilineal descent
Keturunan dilihat dari garis orang tua laki-laki dan perempuan
3.    Patrilineal descent
Keturunan dilihat dari garis orang tua laki-laki
4.    Matrilinieal descent
Keturunan dilihat dari garis orang tua perempuan
Macam-macam garis keturunan itu sendiri kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yang disebut dengan cognatic descent rules dan unilineal descent rules. Pada halaman 262 Harris menjelaskan kedua kelompok besar tersebut dengan penjelasan sebagai berikut:
Cognatic descent rules are those in which both male and females parentage are used to establish any of the above-mentioned duties, rights, and privilieges. Unilineal descent rules, on the other hand, restrict parental links exclusively to males or exclusively to females.
Koentjaraningrat (1977) sepertinya mengacu pada tulisan Harris pada saat dia mengetengahkan bahwa menurut para sarjana ada paling sedikit empat macam prinsip keturunan yaitu prinsip patrilineal, prinsip matrilineal, prinsip bilaneal dan prinsip bilateral. Koentjaraningrat kemudian mengetengahkan sistem istilah kekerabatan dengan menunjukkannya pada bagan yang dia tampilkan untuk menunjukkan sistem kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Iroquis. Bagan berikut ini menunjukkan garis keturunan anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu tersebut beserta istilahnya:



Dalam bagan ini diperlihatkan istilah-istilah yang digunakan ‘ego’ untuk menyebut individu-individu dalam garis keturunannya. Saya akan mendaftarnya sebagai berikut dengan membandingkannya dengan istilah dalam bahasa Inggris.
1.    Bapak Tua (Inggris: Grandfather)
2.    Made (Inggris: Grandmother)
3.    Paman (Inggris: Uncle)
4.    Bibi (Inggris: Aunt)
5.    Bapak (Inggris: Father)
6.    Emak (Inggris: Mother)
7.    Aang (Inggris: Brother)

Pola Tempat Tinggal Pasca Perkawinan
Marvin Harris mengetengahkan pola tempat tinggal pasca perkawinan yang tidak disinggung oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Beberapa Pokok Antropologi Sosial dan juga oleh Keesing dalam bukunya Antropologi Budaya secara gambling pada saat mereka membahas sistem kekerabatan. Ada Sembilan pola tempat tinggal oleh Harris sebagai berikut:
1.    Neolocality, terpisah dari keluarga suami ataupun istri
2.    Bilocality, berpindah-pindah dari keluarga suami dan perempuan
3.    Ambilocality, beberapa pasangan menetap dengan keluarga suami dan beberapa pasangan menetap dengan keluarga istri
4.    Patrilocality, menetap dengan orang tua laki-laki suami
5.    Matrilocality, menetap dengan orang tua perempuan istri
6.    Avunculocality, menetap dengan saudara laki-laki ibu dari suami
7.    Amitalocality, menetap dengan saudara perempuan ayah dari istri
8.    Uxorilocality, menetap dengan keluarga istri
9.    Virilocality, menetap dengan keluarga suami

Terdapat empat dari empat puluh anggota-anggota kelompok SDHBBSI yang menetap bersama dengan orang tua mereka. Keterbatasan saya dalam mencari tahu informasi lebih lanjut, menyebabkan saya tidak mengetahui apakah keempat anggota tersebut menetap dengan keluarga istri atau suami, namun pada saat saya mengunjungi padepokan kelompok ini, saya mengetahui ada dua keluarga yang menetap bersama dengan keluarga istri.

D.   KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat saya simpulkan bahwa garis keturunan anggota-anggota ini mengambil bentuk garis keturunan ambilinieal dimana garis keturunan dilihat dari garis laki-laki dan perempuan sedangkan pola tempat tinggal pasca perkawinan adalah neolocality dimana pasangan – pasangan ini menetap terpisah dari keluarga istri maupun suami.

E.    DAFTAR PUSTAKA

Harris, Marvin. 1927. “Culture, People, Nature: An Introduction to General Anthropology”. 
Longman, An imprint of Addison Wesley Longman, Inc.

Koentjaraningrat. 1977. “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”. Penerbit Dian Rakyat.

Radcliffe-Brown, A R. 1952. “Structure and Function in Primitive Society”. Routledge & Kegan 
Paul, London and Henley.

Mustapa, R H Hasan. 1985. “Adat Istiadat Orang Sunda”. Penerbit Alumni, Bandung.

Keesing, Roger M. 1992. “Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer”. Penerbit Erlangga, 
Jakarta.

Kurniawan, Joeni Arianto. 2008. “Hukum Kekerabatan”. Sebuah presentasi. Universitas Airlangga 
Fakultas Hukum, Departemen Dasar Ilmu Hukum.