Friday, November 30, 2012

Kinship


A.   LATAR BELAKANG
Kita mungkin pernah mendengar pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ yang berarti bahwa perilaku seorang anak tidak akan berbeda jauh dari orang tuanya. Dalam bahasa Jawa, kita dapat menemukan ungkapan yang hampir sama, yaitu kacang ora ninggal lanjaran yang diartikan dengan kabiyaksane anak niru wong tuwane (Drs. Wibisana, 2007) atau yang dalam bahasa Indonesia saya terjemahkan sebagai kebiasaan anak adalah tiruan dari kebiasaan orang tua. Drs. Wibisana juga mengetengahkan pepatah-pepatah lain dalam bahasa Jawa dalam menunjukkan hubungan orang tua dan anak seperti kebo kabotan sungu (kerbau dengan tanduk yang terlalu berat) yang berarti orang tua yang kesulitan karena memiliki anak banyak dan juga ora ono banyu mili menduwur (tidak ada air yang mengalir ke atas) yang artinya sifat anak biasanya meniru sifat orang tua. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai pepatah-pepatah mengenai hubungan dengan orang tua dan anak, namun saya akan membahas kinship dalam kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Kata kinship ini biasanya diterjemahkan menjadi kekeluargaan atau kewangsaan (Kurniawan: 2008). Istilah lain yang digunakan untuk mengartikan kinship adalah kekerabatan.
Paper ini akan mengetengahkan pola kekerabatan anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Anggota-anggota yang saya maksud di sini adalah anggota-anggota kelompok yang “tidak memakai baju”. “Tidak memakai baju” di sini adalah anggota-anggota kelompok yang hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada pada kehidupan sehari-harinya. Jumlah dari anggota yang ‘tidak memakai baju’ adalah berjumlah 40 orang dari sekitar 700 orang anggota kelompok tersebut.
  
B.   MASALAH
Fokus dari paper ini adalah untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1.    Apa jenis diagram keturunan dari anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu?
2.    Bagaimana pola dari postmarital residence dari anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu?



C.   PEMBAHASAN MASALAH
Keesing (1992) mengetengahkan kekerabatan sebagai berikut:
“Kekerabatan, bagi kita, secara intuisi menunjuk pada “hubungan darah”. Yang kita maksud dengan kerabat adalah mereka yang bertalian berdasarkan ikatan “darah” dengan kita. Kerabat perkawinan, untuk jelasnya menjadi kerabat karena perkawinan dan bukan karena hubungan darah – dan begitu juga dengan beberapa dari paman dan bibi kita. Tetapi hubungan keturunan antara orang tua dan anaklah yang merupakan ikatan pokok kekerabatan”. Pernyataan Keesing tersebut senada dengan apa yang diuraikan oleh Radcliffe-Brown (1952) yang menyebut kinship dengan sistem kekeluargaan sebagai istilah yang lebih singkat dari sistem kekeluargaan dan perkawinan atau kekeluargaan dan hubungan darah.
Koentjaraningrat memulai pembahasannya mengenai sistem-sistem kekerabatan dengan mengetengahkan stages along the life-cycle (1977). Koentjaraningrat menyatakan bahwa tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang di dalam kitab-kitab antropologi sering disebut stages along the life-cycle itu, adalah misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dsb. Mustapa (1985) agaknya menggunakan tahap-tahap life-cycle ini dalam mengetengahkan tulisannya mengenai adat istiadat orang Sunda dimana dalam bukunya ini diketengahkan adat pengajaran, adat orang ngidam, adat menjaga orang hamil, adat menyunat/khitanan, adat menikah hingga adat kematian.
Perkawinan dianggap Koentjaraningrat sebagai suatu saat peralihan yang terpenting pada life-cycle dan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan sexnya, ialah kelakuan-kelakuan sex, terutama persetubuhan. Mustapa sependapat dengan Koentjaranigrat dengan menyatakan, “…, tetapi sebagai manusia yang normal, yaitu laki-laki dengan perempuan kalau mau bercampur harus menikah dahulu”.
Satu hal yang pasti akan dilihat dalam pembahasan-pembahasan mengenai kekerabatan adalah ditampilkannya bagan kekerabatan atau yang saya sebut di sini dengan family tree atau pohon keluarga. Saya akan coba ketengahkan ringkasan bagan kekerabatan atau bagan keturunan anggota-anggota yang ‘buka baju’ di kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu ini dalam bagan berikut ini. Mohon diperhatikan bahwa istilah-istilah dalam bagan ini adalah untuk menunjukkan panggilan yang disebutkan oleh si ‘ego’. Penjelasan akan istilah ‘ego’ saya ambil dari tulisan Marvin Harris (1927) sebagai berikut:
Anthropologists employ the word ego to denote the “I” from whose point of view kinship relations are being reckoned. It is sometimes necessary to state whether the reference person is a male ego or a female ego.

Bagan Kekerabatan
Sebelum saya memulai mengetengahkan bagan kekerabatan anggota-anggota tersebut, ada baiknya kita menengok apa yang dimaksud dengan pohon keluarga. Marvin Harris (1927) mengetengahkan beberapa macam bagan. Berikut ini adalah empat dari beberapa bagan tersebut:
1.    Bilateral descent
Dalam bagan kekerabatan, masing-masing orang dalam bagan memiliki hubungan keturunan dengan ego
2.    Ambilineal descent
Keturunan dilihat dari garis orang tua laki-laki dan perempuan
3.    Patrilineal descent
Keturunan dilihat dari garis orang tua laki-laki
4.    Matrilinieal descent
Keturunan dilihat dari garis orang tua perempuan
Macam-macam garis keturunan itu sendiri kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yang disebut dengan cognatic descent rules dan unilineal descent rules. Pada halaman 262 Harris menjelaskan kedua kelompok besar tersebut dengan penjelasan sebagai berikut:
Cognatic descent rules are those in which both male and females parentage are used to establish any of the above-mentioned duties, rights, and privilieges. Unilineal descent rules, on the other hand, restrict parental links exclusively to males or exclusively to females.
Koentjaraningrat (1977) sepertinya mengacu pada tulisan Harris pada saat dia mengetengahkan bahwa menurut para sarjana ada paling sedikit empat macam prinsip keturunan yaitu prinsip patrilineal, prinsip matrilineal, prinsip bilaneal dan prinsip bilateral. Koentjaraningrat kemudian mengetengahkan sistem istilah kekerabatan dengan menunjukkannya pada bagan yang dia tampilkan untuk menunjukkan sistem kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Iroquis. Bagan berikut ini menunjukkan garis keturunan anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu tersebut beserta istilahnya:



Dalam bagan ini diperlihatkan istilah-istilah yang digunakan ‘ego’ untuk menyebut individu-individu dalam garis keturunannya. Saya akan mendaftarnya sebagai berikut dengan membandingkannya dengan istilah dalam bahasa Inggris.
1.    Bapak Tua (Inggris: Grandfather)
2.    Made (Inggris: Grandmother)
3.    Paman (Inggris: Uncle)
4.    Bibi (Inggris: Aunt)
5.    Bapak (Inggris: Father)
6.    Emak (Inggris: Mother)
7.    Aang (Inggris: Brother)

Pola Tempat Tinggal Pasca Perkawinan
Marvin Harris mengetengahkan pola tempat tinggal pasca perkawinan yang tidak disinggung oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Beberapa Pokok Antropologi Sosial dan juga oleh Keesing dalam bukunya Antropologi Budaya secara gambling pada saat mereka membahas sistem kekerabatan. Ada Sembilan pola tempat tinggal oleh Harris sebagai berikut:
1.    Neolocality, terpisah dari keluarga suami ataupun istri
2.    Bilocality, berpindah-pindah dari keluarga suami dan perempuan
3.    Ambilocality, beberapa pasangan menetap dengan keluarga suami dan beberapa pasangan menetap dengan keluarga istri
4.    Patrilocality, menetap dengan orang tua laki-laki suami
5.    Matrilocality, menetap dengan orang tua perempuan istri
6.    Avunculocality, menetap dengan saudara laki-laki ibu dari suami
7.    Amitalocality, menetap dengan saudara perempuan ayah dari istri
8.    Uxorilocality, menetap dengan keluarga istri
9.    Virilocality, menetap dengan keluarga suami

Terdapat empat dari empat puluh anggota-anggota kelompok SDHBBSI yang menetap bersama dengan orang tua mereka. Keterbatasan saya dalam mencari tahu informasi lebih lanjut, menyebabkan saya tidak mengetahui apakah keempat anggota tersebut menetap dengan keluarga istri atau suami, namun pada saat saya mengunjungi padepokan kelompok ini, saya mengetahui ada dua keluarga yang menetap bersama dengan keluarga istri.

D.   KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat saya simpulkan bahwa garis keturunan anggota-anggota ini mengambil bentuk garis keturunan ambilinieal dimana garis keturunan dilihat dari garis laki-laki dan perempuan sedangkan pola tempat tinggal pasca perkawinan adalah neolocality dimana pasangan – pasangan ini menetap terpisah dari keluarga istri maupun suami.

E.    DAFTAR PUSTAKA

Harris, Marvin. 1927. “Culture, People, Nature: An Introduction to General Anthropology”. 
Longman, An imprint of Addison Wesley Longman, Inc.

Koentjaraningrat. 1977. “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”. Penerbit Dian Rakyat.

Radcliffe-Brown, A R. 1952. “Structure and Function in Primitive Society”. Routledge & Kegan 
Paul, London and Henley.

Mustapa, R H Hasan. 1985. “Adat Istiadat Orang Sunda”. Penerbit Alumni, Bandung.

Keesing, Roger M. 1992. “Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer”. Penerbit Erlangga, 
Jakarta.

Kurniawan, Joeni Arianto. 2008. “Hukum Kekerabatan”. Sebuah presentasi. Universitas Airlangga 
Fakultas Hukum, Departemen Dasar Ilmu Hukum.


'Kasarnya' Tari Tayub dan Tari Topeng Pada Saat Ini

A.   LATAR BELAKANG

Sebuah perubahan akan mempengaruhi perubahan dalam hal yang lainnya. Beberapa contoh yang bisa saya sampaikan untuk mendukung pernyataan ini adalah munculnya gerakan Samin sebagai bentuk resistensi terhadap kebijakan pemerintah Belanda, munculnya gerakan dari golongan kaum petani dengan kegiatan perbanditan sosialnya sebagai bentuk respon terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Belanda, dan beberapa contoh lainnya yang dapat ditemui di beberapa buku mengenai perubahan dan gerakan sosial yang sebagian besar bercerita mengenai gerakan rakyat melawan elite yang dilatarbelakangi kebijakan ekonomi dan politik. Nampak bahwa perubahan yang dilakukan dapat membawa perubahan yang lain. Dalam hal ini perubahan dalam sistem mata pencaharian hidup dapat membawa perubahan dalam sistem organisasi sosial. Soekanto dalam sebuah makalah di http://isbdti.blog.uns.ac.id/2009/11/09/makalah-perubahan-kebudayaan-karena-pengaruh-dari-luar/ menyatakan, “Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi  organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990)”. Apabila Soekanto menyebutkan beberapa bagian dari kebudayaan dalam penjelasannya, Koentjaraningrat menyebutkan bagian kebudayan sebagai unsur-unsur kebudayaan sebagai berikut (2000: 203-204):
     
      Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia adalah:
1.    Bahasa
2.    Sistem pengetahuan
3.    Organisasi sosial
4.    Sistem peralatan hidup dan teknologi
5.    Sistem mata pencaharian hidup
6.    Sistem religi
7.    Kesenian

Masing-masing unsur kebudayaan itu sendiri memiliki tiga aspek, yaitu aspek ideational, behavioral, dan material (Ahimsa-Putra, 2007) yang ketiga hal tersebut disebut sebagai wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat (2000: 186-187).

Apabila perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan perubahan sosial itu sendiri? Perubahan sosial didefinisikan oleh Robert H. Lauer sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, serta “setiap modifikasi pola antarhubungan yang mapan dan standar perilaku” (1993: 3).

Pada saat kita ingin mengkaji perubahan masyarakat Sunda, maka kita akan dihadapkan dengan sedikitnya tulisan mengenai perubahan yang terjadi pada kebudayaan suku ini yang beredar di masyarakat. Sebagian besar tema-tema yang diangkat mengenai suku ini adalah mengenai resep masakan dan juga tata cara pelaksanaan pernikahan adat Sunda. Selain dari dua hal tersebut, sedikit tulisan saya temui mengenai kesenian Sunda dalam bentuk tari dan tari Sunda ini lah yang akan coba saya kaji dalam paper ini. Tari Sunda yang saya maksud di sini adalah tari topeng, Tayub dan Ronggeng.


B.   MASALAH

Berdasarkan latar belakang tertulis di atas serta keterbatasan pengetahuan, paper saya kali ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut di bawah ini:
1.  Ideologi apakah yang termuat dalam tari topeng, tayub dan ronggeng dan adakah perubahan ideologi pada tari-tari tersebut pada saat ini?
2.    Dari lapisan sosial masyarakat mana kah tari-tari tersebut lebih diapresiasi?

C.   PEMBAHASAN MASALAH

Dalam mencoba menJawab permasalahan di atas, saya melakukan kajian pustaka yang tidak begitu banyak. Sebelum memulai untuk menjawab pertanyaan pertama, ada baiknya kita melihat dulu pengertian dari seni. Maruska Svasek, pada bukunya yang berjudul Anthropology, Art and Cultural Production mengetengahkan pandangan Boas akan seni yang kemudian dikaji oleh ilmuwan lain menggunakan paradigma Fungsionalisme, Strukturalisme dan Etnosains pada bab 3 yang berjudul From Visual Communication to Object Agency. Boas, dengan teori relativisme kebudayaannya (Cultural Relativism), mendefinisikan seni sebagai bentuk aksi lintas budaya dengan ciri-ciri khusus, dengan kekhasan budaya, makna atau fungsi yang bisa dikaji dan dibandingkan secara obyektif (2007: 38).

Salah satu pandangan yang berlandaskan pada paradigma Fungsionalisme adalah dimana seni dipandang sebagai sistem komunikasi yang kemudian dikritisi oleh Geertz yang memandang bahwa bahwa hubungan antara seni dan kehidupan kolektif tidak semata-mata dipandang begitu saja karena seni memiliki nilai simbolis yang kemudian dipandang oleh Clifford tidak dapat menkritisi relativisme kebudayaan Boaz yang merupakan sumber dari pemikiran Fungsionalisme. Relativisme kebudayaan Boaz, menurut Svasek hanya dapat dihindari dengan memiliki pemahaman bahwa kebudayaan adalah suatu signifying process and examining objects in transit and transition. Barthes, dalam bab ini, adalah ilmuwan yang menyatakan bahwa signification was a dynamic process, not a timeless system (2007: 43). Pada kesimpulannya Svasek menyatakan bahwa para ilmuwan pada perkembangannya memusatkan perhatian mereka pada proses dan ideologi dari produksi budaya.

Raymond Firth juga menulis mengenai seni dalam sebuah artikelnya yang berjudul Art and Anthropology dalam sebuah buku yang diedit oleh Jeremy Coote dan Anthony Shelton yang berjudul Anthropology Art and Aesthetics. Sebelum mengemukakan pandangannya akan seni, pertama-tama dia mengetengahkan pandangan Robert Redfield yang melihat seni sebagai perluasan dari pengalaman (enlargement of experience) (1992: 15). Namun Firth memandang bahwa seni adalah “… part of the result of attributing meaningful pattern to experience or imagined experience. It is primarily a matter of perception of order in relations, accompanied by a feeling of rightness in that order, not necessarily pleasurable or beautiful but satisfying some inner recognition of values” (1992: 16). Dari pernyataan Firth tersebut ada satu hal yang saya garisbawahi yaitu values atau nilai-nilai. Berdasarkan pada kesimpulan Svasek dan Firth, kesenian atau seni memiliki ideologi atau nilai-nilainya tersendiri dan adanya proses dalam kesenian itu sendiri.

Dalam paper ini saya menggunakan definisi seni oleh Firth yang pada garis besarnya memandang seni sebagai pemaknaan akan sesuatu yang berpola. Setelah mengetengahkan definisi akan seni, saya akan melanjutkan pembahasan mengenai kata ‘tari’ itu sendiri. Sebuah buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan, Kesenian dan Pengetahuan bersama-sama dengan JavaInstituut” yang berjudul Tari DJawa dan Sunda, tari dimengerti sebagai cara menggerakkan badan yang selaras dengan irama yang menjadi jelmaan hidup-jiwa mewujud menjadi hasil seni (1948: 61).

“Dari purbakala sampai sekarang, dalam kalangan bangsa manapun djua di muka bumi ini tjara menggerakkan badan jang selaras dengan irama itu memang ada. Itulah tari, jang mendjadi djelmaan hidup-djiwa, mewudjud djadi hasil seni.”

Pangeran Jati Kusumah pada acara pembukaan Seren Taun di Kuningan, Jawa Barat pada tahun 2007 memaknai tari sebagai menata diri pada saat diminta untuk menari pada pembukaan acara tersebut.

Berdasarkan pada dua definisi saja akan tari tersebut, saya memaknai tari sebagai gerakan berpola yang terkandung ideologi tertentu di dalamnya.



Tari Sunda, Orang Sunda dan Ideologi Orang Sunda

Menurut buku Tari Djawa dan Sunda disebutkan bahwa orang Sunda memiliki tari tersendiri yang disebut dengan igel yang terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah tari halus yang disebut dengan ibing dan kategori yang kedua adalah tari yang dilakukan sewajarnya saja yang disebut dengan djoged (1948: 61). Berikut ini merupakan paparan buku ini mengenai dua kategori tersebut (halaman 61).

Ibing tadi mempunjai beberapa jenis, diantaranja:
           a.    Ibing najub
           b.    Ibing wajang atau topeng
           c.    Ibing mamarung

Djoged djuga matjam-matjam djenisnya; misalnya tari menurut irama angklung berlainan dengan tari menurut irama rebana; berlainan pula dengan tari didalam pentjak. Masing – masing mempunjai tjara bergerak dan aturan sendiri.

Dalam buku ini pada halaman berikutnya dijelaskan bahwa pada tahun-tahun berikutnya, ibing dihidupkan kembali terutama ibing najub yang telah dicampur dengan jenis tari lainnya seperti tari wayang, tari topeng dan juga tari pentjak. Tari yang berasal dari Kuningan lah yang menurut buku ini banyak dipakai.

Kembali pada pernyataan saya bahwa tari adalah gerakan berpola dengan ideologi tertentu, pada bagian akhir halaman 62 pada buku ini disebutkan, “(Djika penari itu mengerti dan pandai mempergunakannja, setiap gerak itu mengandung djiwa)”.

Berbicara mengenai ideologi orang Sunda, ada dua pemikiran yang pertama adalah menurut R. H. Hasan Mustapa dalam bukunya Adat Istiadat Orang Sunda dan yang kedua adalah menurut Hasan Djafar dalam bukunya Kompleks Percandian Batujaya – Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat.

Berikut ini apa yang dituliskan oleh Mustapa yang telah diterjemahkan oleh Maryati Sastrawijaya:

Semua orang yang membaca buku ini tentu mengerti, bahwa bahasa Sunda asli di Priangan yang mempercayai kepada hiang: agamanya tentu menganut ke bangsa hiang: yang membuat buku ini adalah orang Sunda yang berbahasa Sunda, bangsa Sunda, agamanya menganut ke bangsa Yang. Karena itu di Sunda ada batas sembahiang, Gusti Yang Agung.
Jaman dahulu kala sudah menanyakan kepada orang tua-orang tua Sunda: “Apa sebabnya kita disebut bangsa Sunda, dan tanah perhiangan? Apakah diberi nama oleh orang luar, atau menurut pengakuan orang di sini?”
Jawabnya: “Disebut Sunda oleh kita juga; kata Sunda berasal dari Sundek, bisa juga dari sundul, atau suda, semuanya ada artinya”.
Disebut sundek: karena negaranya dekat-dekat, dan tidak begitu lebar-lebar, dari sebelah selatan tepi laut; sebelah utara Kerawang, Jakarta: sebelah barat Banten, Ujungkulon; sebelah timur KaJawan; jadi dikelilingi oleh tanah PaSundan. Menyebut jauh kepada yang dianggapnya paling jauh, ada nama tanpa rupa. Kalau menjampi untuk menolak celaka. “jauhlah jauh ke sana ke Madiun, ke seberang ke Palembang, ke Ujungkulon”. Tidak mengetahui jauh dekatnya.
Pengetahuannya sundek tidak mempunyai fikiran panjang dalam peribahasanya jadi manusia the kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, artinya harus berdiri di atas jalan yang sungguh-sungguh, berbakti kepada siapa yang terasa melindungi kepada pribadinya.
(1985: 177)
Kata sundek, artinya cukup dengan sedikit, cukup dengan hasil taninya, misalnya aksara satu agar bersatu mencintai perabotnya.
……
Dan lagi disebut sundek, karena suka membuang huruf h di depan atau di tengah, misalnya nyaho; hanteu nyaho, dibuang di depan menjadi teu nyaho, yang lebih kasar lagi nyao, artinya tidak tahu.
(1985: 178)
…..
Yang dimaksud dengan keSundaannya dan keSundaannya orang Sunda, yaitu lembek hatinya, tidak pernah mempunyai pikiran yang jarang dialami, malam menjadi terpuji, menak yang suka mengasih dan menyayang kepada rakyat kecil, walaupun suka memarahi.
(1985: 181)


Dari penjelasan yang bermacam-macam dari Mustapa tersebut, saya memahami bahwa orang Sunda memiliki gagasan adanya makhluk adikodrati yang memberikan perlindungan kepada orang per orangan dan bahwa orang Sunda harus berbakti kepada makhluk adikodrati yang kemudian disebut dengan Gusti Yang Agung. Dalam penjelasan Mustapa ini diketahui juga bahwa orang Sunda memiliki hati yang lembut dan tidak berprasangka sebelum mengalami sendiri. Untuk kaum bangsawan yang terpuji adalah bangsawan yang mengasihi dan menyayangi rakyatnya tanpa kehilangan ketegasannya.

Berdasarkan pada penilaian Raffles, yang akan saya paparkan lebih lanjut, ada persamaan antara tari ronggeng dengan tarian di India pada bukunya History of Java dan Djafar yang menyebutkan adanya kontak budaya, saya beranggapan bahwa tari ronggeng memiliki ideologi yang sama dengan ideologi religi Buddha khusunya Buddha Mahayana yang berkembang di Jawa Barat (2010: 121). Menurut sebuah sumber di http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080922073312AA3d9bZ, filosofi dari Buddha Mahayana adalah bahwa segala sesuatunya adalah kosong. “Nagarjuna mengembangkan filosofi “kekosongan” Mahayana dan membuktikan bahwa segala sesuatunya adalah “Kosong” dalam buku kecil “Madhyamika-karika””.

Meskipun begitu, di bagian yang mendahului pernyataan Djafar tersebut diungkapkan bahwa pada inskripsi Batujaya menekankan pada masalah karma, sedangkan inskripsi-inskripsi votive tablet stupika menekankan pada masalah dharma (2010: 119). Namun pada intinya ajaran Buddha adalah mengenai rantai sebab-akibat (2010: 118).

Penilaian dini saya berdasarkan sumber – sumber di atas adalah bahwa orang Sunda dengan gagasannya akan Gusti Yang Agung haruslah menata diri karena adanya pemahaman akan sebab-akibat.

Ronggeng Tari Kasar; Tayub Tari Halus

Raffles dalam bukunya History of Java menuliskan “Tarian gadis-gadis yang paling umum di negeri ini, yang tampaknya hampir mirip dengan tarian gadis pada umumnya di India Barat disebut ronggeng, yang pada umumnya menggunakan teknik yang mudah” (2008: 236). Dijelaskan lebih lanjut oleh Raffles bahwa tarian ini mendapatkan penghargaan paling tinggi terutama pada orang-orang kasar yang tinggal di perbukitan daerah Sunda. Selain menari gadis-gadis ronggeng ini juga menyanyi apabila musik gamelan salendro atau pelog tidak disiapkan. Penilaian Raffles terhadap kemiripan tarian gadis di Indonesia dan India Barat dapat dipahami menilik pada pernyataan Hasan Djafar dalam bukunya Kompleks Percandian Batujaya – Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat yang menyatakan bahwa pada masa peralihan dari masa perundagian ke masa Hindu-Buddha, pada wilayah Jawa Barat, khususnya daerah pantai utara Jawa Barat sudah terjadi kontak budaya dengan luar khususnya budaya India melalui jaringan perdagangan internasional (2010: 107). Masa Perundagian yang dimaksud oleh Djafar di sini adalah masa hunian prasejarah yang wujud atau aspek kebudayaan yang ditemui adalah artefak berupa gerabah dan logam.

Raffles juga menuliskan bahwa pakaian yang dikenakan penari dalam pertujukan ronggeng ini bukanlah hal yang diperhatikan karena hal yang lebih dipentingkan oleh penonton yang nantinya ikut menari dengan penari adalah memilih penarinya. Untuk kalangan bangsawan, menari bersama dengan penari ronggeng merupakan satu kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam menari. Lebih tepatnya Raffles menyatakan demikian, “Dalam acara ini, para bangsawan dari kelas tertinggi bersaing satu sama lain dalam menggerakkan kakinya dengan indah, dalam rangka memamerkan gerakan yang anggun, memperlihatkan kecakapan dengan gerakan yang berbelit-belit atau dengan menunjukkan keindahan dengan pengaturan gerakan yang sungguh-sungguh” (2008: 238). Ditambahkan oleh Raffles bahwa “Pertunjukkan ronggeng biasanya diwarnai dengan aksi lucu atau lawakan. Meniru-niru adalah hiburan yang paling disenangi, disamping menirukan gerakan dari para penari ronggeng dengan tingkah laku yang menggelikan, yang kadang-kadang menimbulkan kejenakaan melawan semua kelas dalam masyarakat, dan menunjukkan tingkatan humor yang rendah” (2008: 238).

Ronggeng yang tidak disebut sebagai salah satu tari Sunda dalam buku Tari DJawa dan Sunda disebut oleh Tati Narawati sebagai salah satu tari Sunda yang di Jawa Tengah disebut dengan ledhek (2003: 141) dan ditambahkan lagi oleh Narawati bahwa para menak atau para bangsawan lebih tertarik kepada tayub dibandingkan dengan ronggeng hal ini tentu berlawanan dengan apa yang dipaparkan Raffles bahwa pada saat pementasan ronggeng, para bangsawan bersaing satu sama lain dalam menunjukkan keahlian menarinya. Hal ini menurut saya berkaitan dengan geografis penelitian Narawati yang lebih berbicara mengenai tayub di Cirebon yang notabene adalah daerah pesisir sedangkan ronggeng lebih diappresiasi di daerah pegunungan. Selain perbedaan geografis, perbedaan antara ronggeng dengan tayub  adalah pada peminatnya itu sendiri. Seperti diungkapkan oleh Raffles bahwa ronggeng lebih dinikmati para orang – orang ‘kasar’, tayub diwarnai oleh konsep budaya alus (: 156).

Tayub oleh Narawati disebut juga dengan ibing tayub atau apabila menurut buku Tari DJawa dan Sunda adalah ibing nayub yang dikategorikan sebagai tari halus. Tidak banyak disebutkan mengenai ideologi tari ronggeng. Ronggeng lebih dipandang sebagai tari hiburan semata atau dengan kata lain ditarikan sewajarnya saja yang kemudian dapat dikategorikan sebagai djoged bukanlah ibing. Narawati dalam bukunya ini menjelaskan bahwa tayub Cirebon dan Priangan telah mendapatkan pengaruh budaya ‘priyayi’ dan karakterisasi tari Jawa. Perubahan tari tayub Sunda ini lebih kepada bahwa para bangsawan Jawa yang mengibing telah mempengaruhi bangsawan Sunda untuk juga ikut mengibing. Selain pengaruh kebiasaan bangsawan Jawa yang ikut ngibing, kata tayub itu sendiri dikaji oleh Narawati berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘tari hiburan pribadi’ yang dikhususkan untuk kaum pria (: 159).

Tayub dijelaskan pada halaman 143 oleh Narawati mengandung dua fungsi yaitu sebagai sarana ritual pernikahan yang berkaitan dengan ‘kesuburan’ dan sebagai ‘hiburan pribadi’. Ronggeng sebagaimana tayub juga sebagai ‘hiburan pribadi’ atau yang disebut oleh Narawati sebagai tari hiburan kaum pria (2003: 156). Namun kata ronggeng itu sendiri tidak hanya mengacu pada jenis tari namun juga merupakan kata yang digunakan untuk menyebut penari tayub (: 160). Menurut pemahaman saya pada tahun 1919 tidak ada perbedaan antara tayub dan ronggeng berdasarkan pada catatan yang diketengahkan oleh Narawati pada halaman yang sama. Narawati menuliskan bahwa perbedaan antara ronggeng dengan tayub kemudian muncul karena adanya kaidah moral dalam tayub yang pada dasarnya mensyarakatkan bahwa menari itu harus memiliki patokan dan aturan atau yang kemudian pada halaman 162 dijelaskan lebih lanjut oleh Narawati dengan apa yang disebutnya Tatakrama Nayuban.

Ronggeng tidak banyak diulas oleh Narawati, oleh karena itu saya akan melanjutkan dengan pemaparan Narawati mengenai tayub. Kaitannya dengan tayub sebagai sarana ritual pernikahan yang berkaitan dengan ‘kesuburan’, dijelaskan oleh Narawati bahwa orang Sunda merawa bahwa mereka harus berusaha tidak hanya dengan teknologi ataupun sistem namun juga dengan kekuatan kasat mata atau dari makhluk adikodrati.

Tari Topeng

      Tari topeng, sebagaimana disebutkan oleh Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana dalam harian Kompas tertanggal 23 Oktober 2010, sesungguhnya berkembang dan bagian dari wilayah abu-abu, pertemuan ritual kepercayaan dan seni tradisi. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa pada saat diadakan acara Festival Topeng Nusantara pada tanggal 16 Oktober 2010, tari topeng lebih disuguhkan sebagai tari hiburan.

      Aspek ritual kepercayaan dari semua jenis tari topeng di nusantara dijelaskan pada paragraf lima yang menyatakan sebagai berikut, “Menurut Wardiansyah, sesepuh suku Dayak Kenyah, para penari adalah media perantara roh-roh nenek moyang. Mereka datang untuk memberikan nasihat bertani kepada sang dukun dan mengusir hama pertanian” yang kemudian ditegaskan pada paragraph tujuh dimana pada sajian tari topeng panji dulunya dimainkan oleh penari dengan posisi membelakangi penonton. Penari dalam panji saat itu adalah imam dan penonton adalah makmum atau pengikut. Penari panji akan menghadap kotak topeng yang dalam tarian adalah simbol alam semestinya. Dalam artikel ini juga disebutkan bahwa Sunan Kalijaga memasukkan ajaran islam dalam setiap gerakan yang ditampilkan dalam setiap gerak yang ditampilkan, tulis Cahyaningrum dan Harthana mengutip penjelasan dari Nurdin M Noer seorang budayawan Cirebon.

      Sejarah tari topeng dapat kita baca dari buku Narawati yang menyebutkan:
(Dahulu kala, sekitar tahun 1875 dan 1900 topeng itu sangat disenangi … Topeng itu asalnya dari kreativitas [orang] Jawa Tengah, seperti yang sudah diceritakan di atas: seperti wayang wong [drama tari bertopeng dengan ceritera Mahabarata/Ramayana] hanya berbeda pakaian dan lakonnya saja [Panji]. Masuknya ke Pasundan seperti wayang wong, dari Cirebon maju ke [arah] barat berpencar ke [arah] timur, akhirnya menyebar se Pasundan) (2003: 57).

      Selain perbedaan pada pakaian dan lakon, tari topeng Cirebon menggunakan gamelan yang berbeda dengan wayang wong Jawa Tengah dimana tari topeng Cirebon menggunakan selendro dan bukannya laras pelog (2003: 61).

      Pada tahun 1915 tari topeng ini mengalami perubahan pada isi ceritanya. Pada tahun-tahun sebelumnya cerita Panji diketengahkan dari awal hingga akhir, kemudian berubah menjadi hanya beberapa episode saja dan yang kemudian hanya menampilkan bagian kejenakaannya saja (2003: 61).

Narawati melanjutkan pada halaman berikutnya dengan memaparkan bahwa tari topeng dilakukan oleh dalang wayang wong yang mulai kehilangan pesanan untuk tampil. Sehingga pada masa itu penari topeng adalah kebanyakan laki-laki yang juga merupakan dalang wayang wong. Beberapa penari topeng wanita adalah Suji (alm), Sawitri (alm), Dewi (alm), Rasinah dan diantara penari-penari perempuan tersebut disebutkan nama Keni Arja yang dalam halaman pertama Kompas tersebut di atas diambil gambarnya pada saat Arja sedang berlatih di sanggarnya. Tari topeng tidak termasuk dalam salah satu tarian yang dikemukakan oleh Raffles pada tulisannya History of Java yang diterbitkan pada tahun 1817 namun pada tahun 1896 muncul tulisan oleh L. Serrurier dalam bukunya De Wajang Poerwa: Eene Ethnologische Studie sebagaimana dituliskan oleh Narawati. Serruier menyebutkan bahwa pertunjukan tari topeng ini tidak diselenggarakan di tempat-tempat yang permanen namun merupakan pertunjukkan keliling dan hal tersebut juga dikemukakan oleh G.A.J. Hazeu dalam disertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Toneel (Narawati, 2003: 63). Tari topeng sendiri ada dua yaitu tari topeng babakan yang menampilkan cerita babak demi babak dan yang terakhir adalah topeng dalang yang menampilkan cerita drama tari yang utuh.

Narawati menambahkan sebuah fakta akan siapa yang menciptakan tari topeng dimana sebagian masyarakat percaya bahwa tari tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga, namun ada beberapa anggota masyarakat yang yakin bahwa tari topeng tersebut diciptakan oleh putra Sunan Kalijaga yang bernama Sunan Panggung. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tari topeng tersebut diciptakan oleh wali sehingga beberapa mantra yang didaraskan oleh penari sebelum mereka menari merupakan sebuah doa. Meskipun mantra tersebut berisi permohonan kepada makhluk adikodrati agar penonton dapat menikmati tarian dan juga permohonan agar lawan jenis terpikat kepada si penari. Hal tersebut dibuktikan oleh Narawati dengan memberikan fakta adanya dalang yang memiliki tujuh istri (2003: 65).

Babad Cirebon, menurut Narawati, menyebutkan bahwa pertunjukkan topeng oleh Sunan Kalijaga memiliki fungsi untuk mengumpulkan masyarakat untuk mendapatkan ajaran agama Islam. Hal ini dibuktikan oleh Narawati melalui penuturan lisan seorang dalang yang bernama Surjana Arja.

Munculnya penari topeng wanita disinyalir dimulai pada masa Sunan Gunungjati memegang pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon dan berpikir akan diruntuhkannya kerajaan Islamnya ini oleh kerajaan Pangeran Welang yang pada saat itu belum memeluk agama Islam. Penari wanita diminta untuk mempertunjukkan kebolehannya menari topeng di depan Pangeran Welang dan membuat pangeran tersebut jatuh cinta. Persyaratan yang diajukan penari wanita itu agar mau dinikahi adalah agar Pangeran Welang memeluk agama Islam dan menyerahkan senjata pusakanya dan dituruti oleh pangeran tersebut.

Sebagaimana tayub dan ronggeng yang dipertunjukkan untuk memohon kesuburan tanah, tari topeng juga memiliki fungsi yang sama dan ditampilkan oleh dalang wanita.

Perubahan pada penari, juga terdapat pada busana yang dikenakan oleh penari. Ada beberapa aturan dalam macam-macam busana yang dikenakan penari, seperti misalnya sobrah. Perbedaan sobrah pada satu karakter dengan karakter yang lainnya dalam tari tidak lagi diperhatikan. Perbedaan warna baju pada satu karakter dengan karakter yang lain juga tidak lagi diperhatikan, dimana sekarang mereka mengenakan satu warna saja yaitu hitam untuk seluruh karakter. Perbedaan pada busana untuk tari topeng ini lebih dipengaruhi oleh budaya bangsawan yang ingin tampil berbeda dengan rakyat sementara perubahan yang terjadi sekarang adalah lebih sederhanannya cerita dan busana yang dianggap penyederhanaan ini merupakan budaya rakyat biasa.

D.   KESIMPULAN

Saya akan coba meringkas kemudian menyimpulkan apa yang telah saya kemukakan di atas sebagai berikut:

Asal dari tari Sunda sendiri mengalami perubahan wacana. Raffles berpikir bahwa ada persamaan tari di Indi Barat dengan tari di Jawa yang diperkuat oleh Djafar dengan penelitiannya pada candi Batujaya bahwa telah terjadi kontak dengan budaya India pada masa perundagian. Narawati menilai bahwa tari-tari Sunda merupakan hasil kontak budaya dengan Jawa Tengah dan diyakini tari-tari Sunda tersebut merupakan hasil kreatifitas orang Jawa Tengah. Namun asal dari tari ini bukanlah apa yang saya garisbawahi pada paper ini. Tari Sunda terbagi menjadi dua yaitu tari halus, yang di dalamnya adalah ibing nayub, ibing wayang atau topeng dan ibing mamarung, dan tari biasa atau yang di sini akan saya sebut sebagai tari ‘kasar’ yang disebut dengan joged. Ideologi dari tari halus adalah adanya kepercayaan akan adanya kekuatan yang menguasai alam, atau yang di sini saya sebut sebagai makhluk adikodrati dimana permohonan kepadanya diperlukan karena dia yang menguasai segala yang ada di alam ini dan untuk menunjukkan bakti kepadanya.

Tari halus atau ibing pada saat ini kemudian dicampur dengan tari wayang, tari topeng dan tari pencak. Tayub merupakan jenis tari halus pada masa awal digunakan oleh para bangsawan untuk menunjukkan kemampuan tarinya yang lebih daripada rakyat biasa dan juga berfungsi sebagai hiburan pribadi. Tayub ini menurut saya kemudian berubah menjadi tari ‘kasar’ yang disebut dengan ronggeng yang semata-mata sebagai hiburan pribadi atau hiburan khusus bagi kaum pria.

Tari topeng juga memiliki fungsi sebagai tari ritual dan juga hiburan pribadi. Tari topeng juga berfungsi untuk melakukan permohonan pada makhluk adikodrati. Pada perjalanannya tari topeng ini digunakan untuk melakukan penyebaran agama Islam dengan cara menundukkan kerajaan yang pemimpinnya belum memeluk agama Islam. Saat ini, tari topeng dinilai berada di tengah-tengah atau di wilayah abu-abu yaitu wilayah antara ritual dan hiburan. Tari topeng sebagai acara ritual merupakan penciptaan oleh para bangsawan dan juga kaum ulama dengan keunggulannya dalam beranekaragamnya warna busana untuk masing-masing karakter dan juga cerita. Pada saat ini telah terjadi penyederhanaan pada cerita dan busana yang dianggap sebagai budaya rakyat biasa.

Ringkasan tersebut membawa saya pada kesimpulan bahwa budaya bangsawan pada tari tayub dan topeng telah mulai hilang dan dihilangkan dengan budaya rakyat yang lebih sederhana tanpa muatan ideologi. Tari-tari tersebut juga tidak lagi diapresiasi oleh kaum bangsawan, namun lebih diapresiasi oleh rakyat biasa dengan budaya ‘kasar’nya.

E.    DAFTAR PUSTAKA

Website

Buku
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Peran dan Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia. Makalah 
Dialog Budaya, Yogyakarta, Desember 2007.

Lauer, Robert H. Perspektif tentang Perubahan Sosial. PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Svasek, Maruska. Anthropology, Art and Cultural Production. Pluto Press, London, 2007.

Coote, Jeremy and Shelton, Anthony. Anthropology Art and Aesthetics. Clarendon Press, Oxford, 1992.

Departemen Pendidikan, Kesenian dan Pengetahuan bersama-sama dengan “Java Instituut”. Tari 
Djawa dan Sunda. Kolff N.V., Djakarta, 1949.

Mustapa, R.H. Hasan. Adat Istiadat Orang Sunda. Penerbit Alumni, Bandung, 1985.

Cahyaningrum, Siwi Yunita dan Harthana, Timbuktu. Topeng Nusantara, Pergulatan dengan Roda 
Waktu. Kompas, Jakarta, 23 Oktober 2010.

Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2008.

Djafar, Hasan. Kompleks Percandian Batujaya – Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah 
Pantai Utara Jawa Barat. Penerbit Kiblat Buku Utama, Ecole francaise d’Extreme-Orient, Pusat 
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, KITLV-Jakarta, Bandung, 2010.