Friday, September 28, 2012

Seklumit Pemahaman terhadap 'The Nuer' yang ditulis oleh E. E. Evans-Pritchard


Membaca segmentasi dari suku atau Tribe dari orang – orang Nuer, seperti melihat sebuah negara dengan propinsi - propinsi, kabupaten - kabupaten, kecamatan - kecamatan, desa - dea dan rumah tangga – rumah tangga di dalamnya. Tribe adalah merupakan pusat Negara itu sendiri. Tribe ini kemudian tersegmentasi ke dalam primary tribal sections (yang bisa dianalogikan sebagai propinsi – propinsi), primary tribal sections ini kemudian tersegmentasi lagi ke dalam secondary tribal sections (yang bisa dianalogikan sebagai kabupaten/kota). Secondary tribal sections tersegmentasi lagi ke dalam tertiary tribal sections (yang bisa dianalogikan sebagai kecamatan – kecamatan), dan tertiary tribal sections ini tersegmentasi lagi ke dalam wilayah desa – desa dimana terdapat domestic groups di dalamnya.
Seperti halnya dalam sebuah negara dengan desa-desa yang tersegmentasi berdasarkan wilayahnya, suku atau Tribe yang terpisah-pisah ke dalam beberapa wilayah juga memandang diri mereka sendiri sebagai komunitas yang terpisah. Yang menyatukan rasa persatuan mereka adalah relasi antar segmen dan kemampuan membedakan mana yang merupakan dikenal dan tidak dikenal. Rasa persatuan di tingkat Tribe (saya sebut juga pusat kekuasaan) tersebut lebih lemah dibandingkan dengan di daerah – daerah lainnya karena di daerah –daerah relasi yang terjalin lebih intens.
Sistem politik Tribe orang – orang Nuer ini menggambarkan analogi sistem politik perlawanan anak-anak muda Indonesia terhadap Soeharto (perlawanan ‘anak’ kepada ‘bapak’). Sistem politik Tribe Nuer yang tersegmentasi bedasarkan pada struktur kekerabatan. 

Sekelumit Pemahaman terhadap 'Pahlawan-Pahlawan Belia' yang ditulis oleh Saya Sasaki Shiraishi


Segala hal yang diketengahkan dalam buku ini, pada akhirnya, mengambil analogi bahwa pemberontakan-pemberontakan atau gerakan-gerakan sosial yang terjadi selama era Soeharto merupakan perlawanan ‘anak’ kepada ‘bapak’ dengan meletakkan pola pengasuhan dalam keluarga dan juga pemahaman mengenai apa itu keluarga. Dalam tesis Ekna Satriyati yang berjudul ‘Alokasi Waktu bagi Anak-Anak di Desa Jawa’ dituliskan bahwa orangtua memiliki posisi superior dan anak-anak dalam posisi subordinat. Dengan demikian, saya dapat mengatakan bahwa apapun yang diperintahkan oleh orangtua harus ditanggapi sebagai sabda pandhita ratu tan kena wola – wali.
Nampaknya nilai kepemimpinan ini lah yang diterapkan oleh Soeharto, dimana apabila seorang pemimpin bertitah, maka titahnya tersebut mengandung ketetapan hukum dan harus dilaksanakan.
Kritisi saya pada Saya dalam melihat perlawanan ‘anak’ kepada ‘bapak’ adalah tidak disinggungnya bentuk hubungan resiprositas anak dan orangtua dalam sebuah keluarga. Pada sebuah thesis yang mengetengahkan studi kasus di Desa Sriharjo, Yogyakarta. Sukamtiningsih, menuliskan bahwa “ … anak bagi orang tua dapat dijadikan sebagai tumpuan hidup nantinya di hari tua … mempertahankan salah satu anaknya supaya dapat tetap tinggal dalam rumah (tabon) … umunya adalah anak yang dianggap dapat dijadikan tumpuan hidupnya.” (Hal. 141)
Adakah hubungan yang bersifat resiprositas terhadap ‘anak’ dan ‘bapak’ yang teridentifikasi dalam buku ini?

Thursday, September 27, 2012

Review: ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’, Tulisan Marc Edelman


                Konsep-Konsep dalam Judul Artikel
Dari judul artikel ini tersendiri, terdapat banyak konsep di dalamnya. Saya akan memulai review ini dengan mengetengahkan pemahaman, mudah-mudahan secara Antropologis, dari konsep – konsep yang ada dalam judul artikel ini. Konsep, oleh Ahimsa-Putra, didefinisikan sebagai “istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk memahami, menafsirkan, menganalisis dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari” (2007: 13). Paling tidak ada empat konsep utama yang terdapat dalam judul artikel ini. Saya rasa penting untuk memahami konsep-konsep dalam judul artikel ini untuk lebih mudah memahami isi dari artikel.
Pertama adalah kata ‘social’ yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata ‘sosial’. Pada saat saya mencoba mencari tahu makna dari kata ‘social’ dalam dunia Antropologi, beberapa tulisan menyandingkannya langsung dengan kata Antropologi sehingga terbentuk istilah Sosial Antropologi (The Social Anthropology of Radcliffe-Brown tulisan Adam Kuper, Anthropology tulisan Ram Nath Sharma dan Rajendra Kumar Sharma, Elements of Social Organisation tulisan Raymond Firth, Marxist Analyses and Social Anthropology tulisan Maurice Bloch, Social & Cultural Anthropology in Perspective tulisan I. M. Lewis, Social Anthropology tulisan Redfield dan Wilcox, dan tulisan Nigel Rapport yang berjudul Social and Cultural Anthropology: The Key Concepts). Dari tulisan – tulisan tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa pada saat kita berbicara mengenai sesuatu yang ‘sosial’, maka kita berbicara mengenai relasi sosial orang dengan orang yang lain.
Konsep yang kedua adalah konsep dari ‘movement’ yang kemudian dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata ‘gerakan’, dan bukannya pergerakan. Menurut saya pengertian ‘movement’ menjadi gerakan karena konsep ‘social movement’ dalam artikel ini ada dalam konteks politik, yang merupakan konsep lain yang perlu diketengahkan dan akan saya ketengahkan dalam bagian ini. Robert Mirsel memahami gerakan tersebut sebagai proses perubahan (atau paling kurang, perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004: 12).
Konsep yang ketiga adalah konsep ‘paradigms’ yang dalam Bahasa Indonesia dimengerti dengan kata ‘paradigma’. ‘Paradigma’ memiliki kata lain yaitu Kerangka Teori. Kerangka Teori menurut Ahimsa-Putra adalah “seperangkat pernyataan tentang hakekat cara memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab suatu persoalan dengan menggunakan cara dan tata-urut tertentu, yang akan dapat menghasilkan pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut” (2007: 5).
Konsep yang terakhir adalah konsep dari kata ‘politics’ atau kata ‘politik’. Paris dan Howell mendefiniskan ‘politics’ sebagai “distribution, understandings, and use of power in social group” (distribusi, pemahaman dan penggunaan kekuasaan dalam kelompok sosial).
Melihat dari keempat konsep utama dalam judul artikel tersebut, dapat dipahami bahwa artikel ini berbicara mengenai gerakan sosial, yang terbentuk dari relasi orang dengan orang lainnya, terhadap distribusi, pemahaman serta penggunaan kekuasaan dalam kelompok sosial. Secara lebih khusus, artikel ini dibayangkan akan membicarakan mengenai perubahan cara memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab persoalan gerakan sosial serta perubahan politik yang melatarbelakangi perubahan cara pandang, perumusan dan cara menjawab gerakan sosial yang ada.  

      Pemahaman Singkat Mengenai Artikel 
Ada tiga permasalahan mendasar yang saya garisbawahi setelah membaca artikel ini. Pertama adalah paradigm shift atau pergeseran paradigma, kedua adalah applicability atau penerapannya, dan yang ketiga adalah conventional approach atau pendekatan konvensional. Istilah ‘pendekatan konvensional’ amat sangat dapat dipahami karena pada dasarnya artikel ini menerapkan kronologi ‘lahirnya paradigma-paradigma dalam melihat fenomena gerakan-gerakan sosial yang ada dimana paradigma yang muncul di awal kemudian disebut sebagai pendekatan yang konvensional karena dianggap sudah out of date atau ketinggalan jaman, tidak mungkin lagi untuk diterapkan (unapplicable).
Membaca artikel ini seperti layaknya menonton pertandingan antara Antropologi melawan Sosiologi dan Ilmu Politik dalam arena memahami fenomena gerakan-gerakan sosial. Mengingat bahwa Edelman adalah seorang Antropolog, dapat dipahami bahwa Edelman banyak mengetengahkan kritisi beliau mengenai paradigma yang selama ini digunakan oleh Sosiologi dan Ilmu Politik, serta sekaligus menunjukkan kekhususan Antropologi dalam memahami fenomena gerakan sosial. Ada tiga hal yang diketengahkan atas kekhususan Antropologi dalam memahami fenomena gerakan sosial.
Yang pertama adalah scope of analysis atau cakupan analisa. Hal tersebut dapat dipahami karena diutamakannya particularities atau kekhasan. Dan hal tersebut mengarah pada hal yang kedua yaitu kesmallscalean dari Antropologi yang dihadapkan pada paradigma Sosiologi dan Ilmu Politik yang mengarah pada generalization atau generalisasi yang dihasilkan dari kajian Sosiologi dan Ilmu Politik. Generalisasi dari Ilmu Sosiologi dalam analisa gerakan aksi sosial, yang diketengahkan dalam artikel ini, dapat dimengerti dengan mudah apabila kita membaca tulisan Sosiolog Henry A. Landsberger dalam salah satu tulisannya berjudul Peasant Unrest: Themes and Variations yang diambil dari bukunya yang berjudul Rural Protest: Peasant Movements and Social Change (1973: 19) dimana dia mengetengahkan empat ciri suatu aksi:
(1)  Adanya kesamaan nasib
(2)  Aksi yang dilakukan merupakan aksi kolektif dalam artian jumlah orang yang terlibat dan terkoordinasi dan terorganisirnya kegiatan tersebut
(3)  Aksi tersebut bersifat instrumental dalam artian dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan bersifat ekspresif
(4)  Aksi yang dilakukan berdasarkan semata pada status ekonomi dan politik yang rendah

Disebutkan dalam artikel ini bahwa “ethnographic research resist grand theoretical generalizations because close-up views of collective action often looked messy” atau penelitian etnografis menolak dilakukannya generalisasi karena generalisasi tersebut kelihatan sembarangan. Yang terakhir adalah diketengahkannya lived experience of activists and non-activists atau pengalaman hidup dari para aktivis dan non-aktivis. Mengapa para aktivis dan non-aktivis karena adanya pandangan dalam dunia Antropologi bahwa pengalaman pribadi reflektif dalam kehidupan masyarakat dimana masyarakat merupakan tempat orang itu hidup. Hal terakhir inilah yang merefleksikan adanya relasi orang dengan orang lainnya (relasi sosial) dimana di dalamnya lahir gerakan-gerakan sosial.
Diambil dari sumber lain, Jason Bradley de Fay, seorang Sosiolog, berpikir bahwa gabungan ilmu politik, ekonomi dan sosiologi dapat membantu dalam memahami bagaimana dan mengapa gerakan sosial bermula dalam papernya yang berjudul The Sociology of Social Movements dimana Sidney Tarrow memberikan contoh yang baik bagaimana hubungan antara ilmu politik, ekonomi dan sosiologi telah membantu dalam  memahami bagaimana dan mengapa gerakan sosial bermula. Berdasarkan pada teori marx, Durkheim dan Smith Fay berusaha “to come to a better understanding of different dimensions of collective identity and their socioeconomic repercussions”. Teori Tingkah laku Kolektif (collective behavior) Durkheim lah yang digunakan dirasa Fay memberikan kontribusi dalam analisa gerakan sosial.
Satu hal yang bermanfaat dari artikel ini adalah diketengahkannya definisi  dari kata ‘identity’ atau kata ‘identitas’ yaitu “a process through which social actors construct meaning on the basis of cultural attributes that are given priority over other potential sources of meaning” (suatu proses dimana para aktor sosial membangun makna atas dasar atribut budaya yang diberikan daripada atas dasar sumber-sumber makna potensial lainnya).
Meskipun tidak dituliskan secara langsung, saya berpikir bahwa Edelman berusaha mengetengahkan bahwa pendekatan New Social Movements dirasa sesuai untuk melihat gerakan-gerakan sosial yang muncul pada era saat ini.
Jason Bradley de Fay dalam papernya yang berjudul The Sociology of Social Movements mengetengahkan adanya New Social Movements (NSM) yang menggunakan paradigma Postmodernisme dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1.    There is a tendency for the social base of new social movements to transcend class structure
2.    The ideological characteristics of NSMs stand in sharp contrast to the working class movement and to the Marxist conception of ideology as a unifying and totalizing element for collective action
3.    NSMs often involve the emergence of new or formerly weak dimensions of identity
4.    The relation between the individual and the collective is blurred
5.    NSMs often involve personal and intimate aspects of human life
6.    The use of radical mobilization tactics of disruption and resistance that differ from those practiced by the working-class movement
7.    The organization and proliferation of new social movement groups are related to the credibility crisis of the conventional channels for participation in Western democracies.
8.    NSM organizations tend to be segmented, diffuse and decentralized

Referensi
1.   Ahimsa-Putra, H.S. 2007. Paradigma, Epistomologi, dan Metode Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pemetaan. Makalah Pelatihan
2.   Jenel Willians Paris, Brian M. Howell. 2010. Introducing Cultural Anthropology: A Christian Perspective