A. Latar Belakang
Perubahan dalam satu atau dua hal mempengaruhi perubahan di bidang lainnya. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah diambilnya kebijaksanaan oleh pemerintah Belanda pada peralihan abad ke-19 ke abad 20 dengan sebutan Politik Etis. Diungkapkan oleh Kardiyat Wiharyanto sebagai berikut:
“Usaha – usaha untuk sedikit memperbaiki nasib rakyat Indonesia baru dilaksanakan pada peralihan abad ke-19 ke-20. Kebijaksanaan yang melandasinya dikenal dengan sebutan Politik Etis” (Wiharyanto, 2006: 133).
Pemerintah Belanda memandang buruknya keadaan rakyat Indonesia dan berusaha untuk memperbaikinya dengan kebijakan Politik Etisnya. Dengan diambilnya kebijakan Politik Etis diharapkan dapat merubah keadaan rakyat Indonesia tersebut. Perubahan yang diharapkan tidaklah seperti yang diinginkan. Pada bagian yang sama Wiharyanto menambahkan sebagai berikut:
“Dengan demikian walaupun pemerintah Belanda menjalankan Politik Etis yang mendasarkan diri pada triloginya van Deventer (irigasi, edukasi dan imigrasi), pelaksanaannya hanya untuk menguntungkan pemerintah Belanda.” (Wiharyanto, 2006: 134). Ditambahkan beberapa fakta oleh Wiharyanto kebijakan yang dikeluarkan untuk memperbaiki keadaan ekonomi tersebut tidak lah menguntungkan untuk masyarakat dengan menyatakan, “Irigasi dibuat untuk perkebunan – perkebunan Belanda, edukasi dibuka untuk menghasilkan tenaga – tenaga trampil yang murah, dan imigrasi dilakukan untuk mengirimkan tenaga kuli yang murah ke perkebunan – perkebunan Belanda luar Pulau Jawa”.
Perubahan akan diterapkannya kebijakan Politik Etis oleh penguasa pada waktu itu, yaitu pemerintah Belanda, telah memotivasi gerakan – gerakan perlawanan di beberapa daerah yang disebutkan oleh Wiharyanto pada halaman yang sama terjadi di Saparua, Palembang, Minangkabau, Jawa, Bali, Banjar dan Aceh.
Suhartono W. Pranoto menjelaskan perjalanan perubahan kebijakan pemerintah Belanda dalam hal ekonomi dalam bukunya Jawa (Bandit – Bandit Pedesaan) yang merupakan sebuah studi historis tahun 1850 – 1942. Suhartono mengawali dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Belanda pada tahun 1830 – 1833 dimana Sistem Tanam Paksa diterapkan yang menurut Suhartono diterapkan untuk mengeksploitasi tanah dan tenaga petani. Pada tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihapuskan yang kemudian digantikan dengan Sistem Liberal yang berjalan dari tahun 1870 – 1990. Pada tahun 1900 – 1942 Sistem Etis diterapkan. Suhartono menulis , “eksploitasi agraris makin intensif dan petani menderita kemiskinan dan kelaparan”. (Suhartono: 2010: 2). Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam tulisan Suhartono ini adalah munculnya perbanditan yang menurut Suhartono “adalah salah satu respon petani yang diwujudkan dalam bentuk protes” (2010: 5).
Selain kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan masalah ekonomi, keadaan politik juga mempengaruhi suatu perubahan dalam suatu masyarakat atau komunitas. Untuk mendukung pernyataan ini saya akan mengetengahkan beberapa fakta sebagaimana pernah saya tuliskan dalam paper saya sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah Teori Simbol dengan beberapa tambahan sebagai berikut.
Orde Baru Rente terbentuk pada tahun 1970-an dimana negara menduduki posisi investor terbesar yang disusul pengusaha Cina pada urutan kedua dan pengusaha pribumi pada urutan ketiga. Perusahaan – perusahaan Negara banyak yang mengalami kerugian namun kondisi ekonomi pengusahanya sendiri mengalami peningkatan. Pengusaha Cina yang menduduki urutan kedua sebagai investor mengalami peningkatan usaha akibat koneksinya dengan pejabat tinggi Negara dan pengusaha pribumi yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Negara juga mengalami perkembangan usaha. Namun rakyat Indonesia sendiri tidak terbebas dari kemiskinan karena pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh beberapa orang saja. 60% penduduk Indonesia atau sekitar pada tahun tersebut mengalami kemiskinan pada tahun 1970 dan jumlah itu menurun hingga sekitar 54 juta penduduk atau sekitar 40% dari jumlah penduduk Indonesia mengalami kemiskinan pada tahun 1976. Meskipun pada akhir 1970-an, pembangunan di Indonesia mengalami kendala akibat “non market failure”. Dampak yang ditimbulkan berkaitan dengan hal ini adalah naiknya jumlah penduduk yang berada pada garis kemiskinan dan kesenjangan dalam hal pendapatan karena kegagalan tersebut. (Sumber: http://pmiigadjahmada.wordpress.com/2010/05/16/analisis-kondisi-ekonomi-politik-indonesia-tahun-1945-%E2%80%93-2007/).
Sementara itu pada waktu yang bersamaan seorang nelayan sedang berbincang – bincang dengan seorang pemuda nelayan bernama Takmad yang berasal dari Malang Semirang, Indramayu dan memiliki kemampuan bela diri. Nelayan ini meminta Takmad untuk mengajarkan bela diri kepada masyarakat Losarang Indramayu. Sebuah perguruan bela diri pun dibentuk di Losarang Indramayu pada tahun 1970. Perguruan bela diri yang mengajarkan ilmu kanuragan ini pada tahun 1974 diberi nama Silat Serbaguna. Kata serbaguna sendiri oleh dapat diartikan bahwa ilmu yang dipelajari dapat digunakan untuk mendapatkan pengasihan, rezeki, digeruni, pelaris, dan untuk mengobati penyakit jasmani dan rohani (Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2860072). Perguruan silat ini berjalan terus hingga pada tahun 1992 Takmad mengumpulkan maling – maling untuk melakukan pencurian dalam segala bentuknya yang kemudian hasilnya diberikan kepada masyarakat yang memerlukan seperti masyarakat yang miskin atau yang kurang makan. Perkumpulan maling – maling ini kemudian disebut dengan Maling Guna. Sementara itu pada tahun yang sama Soeharto mengumumkan ada 27 juta rakyat miskin di Indonesia. Pada tahun ini juga Negara mengangkat isu kemiskinan untuk menjadi perhatian publik.
Maling Guna ini tetap melakukan kegiatannya hingga pada tahun 1997 kelompok ini mengganti namanya dengan nama Suku Dayak yang bisa diartikan dengan mengayak diri sendiri. Ajaran yang disampaikan pada saat itu adalah bahwa sebelum kita mengajarkan orang lain, kita mengajar diri sendiri atau melihat kesalahan sendiri. Nama Suku Dayak itu sendiri kemudian pada tahun yang sama berubah menjadi nama Suku Dayak Siswa yang memiliki mazhab belajar, yaitu belajar untuk mengendalikan diri untuk menjadi yang lebih baik. Pemaknaan menjadi lebih baik ini dengan mereka membuka baju dan hanya menggunakan celana pendek saja dalam kehidupan sehari – hari. Mazhab untuk menjadi lebih baik ini mereka sebut dengan mazhab ngaji rasa. Pada tahun yang sama kerusuhan Banjarmasin meledak. “Pada tanggal 23 Mei 1997, Banjarmasin dilanda kerusuhan massal pada hari terakhir putaran kampanye yang dilakukan Golkar menjelang pemilu 1997. Dilihat dari skala kerusuhan dan jumlah korban serta kerugiannya, peristiwa yang kemudian disebut sebagai “Jumat Membara” ini sebagai termasuk salah satu yang terbesar dalam sejarah Orde Baru. Namun, akibat ketertutupan pemerintah, tidak ada laporan yang akurasinya bisa dipercaya penuh mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dilapangan pada waktu itu. Dibandingkan dengan skalanya, berita-berita pers sangat terbatas dan tidak sebanding.” (Sumber: http://persma.com/baca/2009/11/01/refleksi-kerusuhan-banjarmasin-1997-bag-1.html).
Nama Suku Dayak Siswa untuk kelompok ini berubah lagi pada tahun 1998 sebelum terjadi kerusuhan Mei 1998. Nama kelompok ini berubah menjadi Suku Dayak Mahasiswa yang memiliki mazhab untuk menjadi pembela masyarakat. Kerusuhan Mei 1998 itu sendiri terjadi pada tanggal 13 – 15 Mei 1998. “Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.”
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998).
Umar Juoro menyatakan penyebab utama kerusuhan Mei 1998 kepada Radio Nederland Wereldomroep. Berikut ini kutipan dari wawancara tersebut:
Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Pak Umar, agak balik dulu nih. Apa penyebab kerusuhan ketika itu?
Umar Juoro: Sebetulnya, situasinya sangat kacau. Tapi jelas sekali bahwa pada waktu itu kan demonstrasi mahasiswa menentang kepemimpinan almarhum Presiden Soeharto. Lalu, kemudian juga, banyak pihak lain yang terlibat, sehingga terjadi kerusuhan yang di luar kendali oleh aparat keamanan sekali pun. Dan itu menjadi pemicu utama jatuhnya Soeharto pada waktu itu, digantikan oleh Pak Habibie.
(Sumber: http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/kerusuhan_mei98_080513-redirected).
Pasca turunnya Soeharto, mulai pada tahun 2000 muncul beberapa peristiwa kekerasan di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah konflik agama yang pertama kali muncul di Poso, Sulawesi Tengah pada tahun 2000, kekerasan antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan dan juga terjadinya pemboman gereja pada hari Natal pada tahun 2000. Mulai pada tahun 2000, nama Suku Dayak Mahasiswa berubah menjadi Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu dengan pengertian masing – masing kata sebagai berikut:
- Suku kaki (masing – masing tujuan dan kepercayaan)
- Dayak ramai (banyaknya tujuan dan kepercayaan manusia) atau juga
bisa diartikan secara bahasa yaitu di ayak / nyaring antara salah dan benar
- Hindu di dalam kandungan / rahim
- Budha wudha, telanjang (manusia terlahir dalam keadaan telanjang)
- Bumi sebagai wujud
- Segandu sekujur badan
- Indramayu In (inti yang paling dalam)
Darma (orang tua)
Ayu: wanita
(Sumber: Lembaran Sejarah Alam Ngaji Rasa – ditulis oleh Komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu di Losarang). Dan pada tahun 2001, Megawati menjadi Presiden pertama wanita di Indonesia. Nama komunitas ini tidak berubah hingga tulisan ini dibuat.
Mulder dalam bukunya berjudul Southeast Asian Images: Towards Civil Society yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Wacana Publik Asia Tenggara: Menuju Masyarakat Madani menyatakan hal yang sama mengenai kekacauan pasca turunnya Soeharto sebagai berikut, “Pada tanggal 21 bulan itu, Soeharto turun. Sesudah 32 tahun, Orde Baru, yang lahir dari kekerasan dan kekacauan, ebrakhir seperti lahirnya dulu” (Mulder, 2005: 122).
B. Perumusan Masalah
Dalam paper ini saya berusaha untuk membahas perubahan yang terjadi pada komunitas di Losarang yang dalam latar belakang paper ini disebut dengan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu.
Wiharyanto dan Suhartono mengetengahkan analisanya pada kondisi ekonomi di kalangan para petani akibat kebijakan pemerintah yang berkuasa pada saat itu yang memotivasi gerakan – gerakan sosial di beberapa daerah, Pertanyaan yang ingin saya ketengahkan adalah:
1. Apa yang coba direpresentasikan oleh komunitas ini dengan perubahan nama dan cara berpakaian mereka?
.
C. Landasan Teori
Sebelum mengetengahkan landasan teori paper ini. Saya berpendapat perlu diketengahkannya definisi akan teori itu sendiri. Ahimsa-Putra menyebutkan definisi akan teori pada makalah yang disampaikannya dalam pelatihan “Metodologi Penelitian”, yang diselenggarakan oleh CRCS – UGM, di Yogyakarta, pada tanggal 12 Pebruari – 19 Maret 2007. Menurut Ahimsa – Putra teori “… diartikan sebagai suatu pernyataan, pendapat atau pandangan tentang (a) hakekat suatu kenyataan, atau suatu fakta, atau tentang (b) hubungan antara kenyataan atau fakta tersebut dengan kenyataan atau fakta yang lain, dan kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui metode dan prosedur tertentu” (Ahimsa – Putra, 2007: 4).
Berdasarkan pada pertanyaan di atas saya akan mengetengahkan pengertian akan kata representasi. Alfathri Adlin dalam buku tulisan Yasraf Amir Piliang yang berjudul Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna menyatakan sebagai berikut, “representasi pada dasarnya adalah sesuatu yang hadir namun menunjukkan bahwa sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan. Representasi tidak menunjuk kepada dirinya sendiri, namun kepada yang lain” (Piliang, 2003: 28). Hal ini saya mengerti sebagai adanya proses penafsiran akan sesuatu yang lain oleh si presenter tersebut.
Tema utama dari paper ini adalah gerakan sosial yang merupakan reaksi dari suatu perubahan. Saya akan memulai dengan mengetengahkan dua pandangan akan gerakan, atau dalam bahasa Inggris adalah movement.
Sosiolog Henry A. Landsberger dalam salah tulisannya berjudul Peasant Unrest: Themes and Variations yang diambil dari bukunya yang berjudul Rural Protest: Peasant Movements and Social Change (1973: 19) tidak mengetengahkan definisi akan gerakan, namun dia mengusulkan untuk melihat pada empat ciri suatu aksi:
1. Adanya kesamaan nasib
2. Aksi yang dilakukan merupakan aksi kolektif dalam artian jumlah orang yang terlibat dan terkoordinasi dan terorganisirnya kegiatan tersebut
3. Aksi tersebut bersifat instrumental dalam artian dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan bersifat ekspresif
4. Aksi yang dilakukan berdasarkan semata pada status ekonomi dan politik yang rendah
Robert Mirsel di lain pihak mendefinisikan gerakan kemasyarakatan sebagai proses
perubahan (atau paling kurang, perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004: 12).
D. Tinjauan Pustaka
Dalam mencoba menjawab pertanyaan di atas ada upaya pemaknaan akan tindakan
yang dilakukan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, yang menurut saya merupakan hal yang dilakukan setiap orang dalam menanggapi suatu perubahan terlepas dari apakah perubahan tersebut merupakan hal yang baru ataukah hal yang pernah muncul sebelumnya. Ijinkan saya untuk melandasi pernyataan saya tersebut dengan mengetengahkan pemikiran Geertz yang menyatakan bahwa “manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan – jaringan makna yang ditenunnya sendiri, …” (1992: 5). Irwan Abdullah, dalam menganalisa gunungan pada upacara Garebeg, juga melandaskan diri pada teori kebudayaan Geertz dengan penambahan unsur historis dan adanya pewarisan kebudayaan dalam bentuk simbolik. Kutipan dari teori kebudayaan menurut Geertz yang dituliskan oleh Abdullah adalah sebagai berikut, “Kebudayaan menurut Geertz (1973: 89) adalah pola dari pengertian – pengertian atau makna – makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol – simbol dan ditransmisikan secara historis, juga merupakan sistem mengenai konsepsi – konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan” (2002: 1).
Ernst Cassirer mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum dimana “pemikiran simbolis dan tingkah simbolis merupakan ciri yang betul – betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi – kondisi itu” (1944: 41). Sisi lain dari apa yang dilakukan manusia menurut Ahimsa-Putra dalam perkuliahannya Teori Kebudayaan pada tanggal 21 Oktober 2010 adalah adanya proses belajar. Lebih lengkapnya Ahimsa-Putra menyatakan bahwa, “Kebudayaan adalah seperangkat simbol yang diperoleh lewat proses belajar dan digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan”. Uraian yang lebih panjang dari pernyataannya dalam perkuliahan tersebut dapat ditemukan dalam Makalah Dialog Budaya yang berjudul Peran dan Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia yang diketengahkannya pada Desember 2007 yang menyatakan sebagai berikut, “…, maka kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan tanda dan simbol yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan keberadaannya sebagai mahluk hidup, yang diperolehnya lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat atau komunitas” (2007: 3). Adanya proses belajar ini terlebih dahulu telah dikenalkan oleh Koentjaraningrat yang saya kutip dari http://www.syahroneiy.co.cc/2010/05/manusia-dan-kebudayaan.html yang menuliskan sebagai berikut, “Lain halnya dengan Koentjaraningrat: 1979 yang mengartikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Berdasarkan teori – teori tersebut di atas saya akan merangkumnya dengan bahwa dari proses belajar, manusia kemudian menciptakan simbol – simbol penuh makna yang di dalamnya terdapat gagasan yang kemudian muncul dalam bentuk tindakan dan menciptakan suatu hasil karya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Saya tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai adaptasi itu sendiri, namun saya berpikir bahwa suatu perubahan adalah merupakan salah satu bentuk adaptasi. Kata perubahan didefiniskan oleh M. Dahlan Yacub Al-Barry dalam kamus Sosiologi Antropologi sebagai peralihan suatu kondisi atau keadaan sesuatu dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain, baik dalam bentuk, cara, maupun sistemnya (2001: 253).
Mengutip dari presentasi Prof. Dr. Kodiran dalam perkuliahannya Masyarakat Asia Tenggara dalam perubahan, Kodiran mempresentasikan empat teori perubahan sosial:
Perubahan Sosial adalah
1. Transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu (Malcons, 1987: 635)
2. Modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat (Persel, 1987: 586)
3. Mengacu pada variasi hubungan antarindividu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritter et.al., 1987: 560)
4. Perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley, 1990: 626)
Kodiran lebih memfokuskan diri pada teori yang ke-dua dan ke-empat. Lebih lanjut Kodiran mempresentasikan faktor – faktor penyebab perubahan sosial yang bersumberkan pada tulisan Grindsberg (1958) sebagai berikut:
1. Keinginan – keinginan secara sadar dan keputusan para pribadi
2. Sikap tindak pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi – kondisi yang berubah, misalnya karena ada perubahan nilai
3. Perubahan struktural dan halangan struktural, misalnya perkembangan struktural sosial.
Kembali lagi kepada tema dari paper ini adalah gerakan sosial maka saya akan mulai dengan mendefinisikan kata gerakan itu sendiri. Berbicara mengenai perubahan, dalam hal ini perubahan sosial, maka gerakan yang muncul akibat perubahan tersebut dalam paper ini adalah suatu gerakan sosial yang didefinisikan dalam kamus Sosiologi Antropologi sebagai tindakan atau agitasi terencana dan terorganisir yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat disertai program terencana yang ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola – pola dan masyarakat yang ada (Al-Barry, 2001: 92).
Dalam hal gerakan itu sendiri, Suhartono menyatakan dalam perkuliahan Gerakan Sosial di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2010 menyatakan bahwa gerakan adalah berpindah dari satu posisi ke posisi lain dengan tujuan tertentu dimana gerakan juga merupakan suatu organisasi formal dan informal yang juga merupakan embro dari konflik. Dijelaskan olehnya bahwa konflik adalah perbedaan interest. Ditambahkan olehnya bahwa inti dari gerakan sosial adalah dari masalah – masalah sosial dan ekonomi. Hal ini juga dinyatakannya untuk menjelaskan penyebab munculnya perbanditan dalam bukunya Jawa (Bandit – Bandit Pedesaan) dimana lembaga-lembaga tradisional yang telah ada mulai terdesak keberadaannya dan begitu pule kehidupan sosial ekonomi petani makin terancam. (2010: 3). Perbanditan di sin menurut Suhartono merupakan kegiatan yang dilakukan olej sekelompok orang marginak dari masyarakat petani. Hampir senada dengan Suhartono, Landsberger menyatakan bahwa gerakan kaum petani perlu dilihat dari dimensi ekonomi dan politik (1973: 10).
Jason Bradley de Fay dalam papernya yang berjudul The Sociology of Social Movements menuliskan bahwa Sidney Tarrow telah memberikan contoh yang baik bagaimana hubungan antara ilmu politik, ekonomi dan sosiologi telah membantu dalam memahami bagaimana dan mengapa gerakan sosial bermula. Berdasarkan pada teori Marx, Durkheim dan Smith Fay berusaha “to come to a better understanding of different dimensions of collective identity and their socioeconomic repercussions” (http://defay.org/jason/academic/SM%20Paper.pdf, halaman 3).
Durkheim, menurut Fay, memberikan kontribusi dalam analisa gerakan sosial dengan teori Fungsionalnya yang menjadi pondasi teori Tingkah Laku Kolektif (collective behavior theory) yang tekanannya pada organisasi sosial yang merupakan hasil paksaan, impulsive dan spontan dan cenderung diaplikasikan pada kegiatan – kegiatan yang melibatkan banyak massa dan kerusuhan.
Satu hal yang saya garisbawahi mengenai penuturan Fay akan teori Marx adalah “For Marx, the ultimate social movement (revolution) would occur once the workers realized their own true class interests. … For Marx, class consciousness was of paramount importance in the development of working class revolution” (: 15).
Teori yang terakhir adalah adalah teori yang berorientasi pada perseorangan sebagai pusat kritis dari aksi kolektif. Dimana oleh Nolson individu – indiviu ini merupakan unit dasar dalam analisa dimana individu – individu bergabung berdasarkan pada kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan bersama.
Pada akhir penjelasan tiga teori tersebut, Fay melanjutkan dengan mengetengahkan adanya New Social Movements (NSM) yang menggunakan paradigma Postmodernis yang memiliki ciri – ciri sebagai berikut (33):
1. There is a tendency for the social base of new social movements to transcend class structure.
2. The ideological characteristics of NSMs stand in sharp contrast to the working class movement
and to the Marxist conception of ideology as a unifying and totalizing element for collective action.
3. NSMs often involve the emergence of new or formerly weak dimensions of identity.
4. The relation between the individual and the collective is blurred.
5. NSMs often involve personal and intimate aspects of human life.
6. The use of radical mobilization tactics of disruption and resistance that differ from those practiced by the working-class movement.
7. The organization and proliferation of new social movement groups are related to the credibility crisis of the conventional channels for participation in Western democracies.
8. NSM organizations tend to be segmented, diffuse and decentralized (Laraña et al. 1994).
Dari seluruh teori yang saya ungkapkan pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa suatu gerakan sosial merupakan suatu tindakan yang dihasilkan dari kesadaran penuh pelakunya sebagaimana diungkapkan oleh Landsberger bahwa consciousness merupakan salah satu dimensi dalam suatu reaksi kolektif (1973: 23).
E. Pembahasan
Untuk menganalisa gerakan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu, saya akan menggunakan peasant movement analysis yang diusulkan oleh Landsberger sebagai berikut:
a. Societal changes preceding the establishment of a peasant movement
Penjelasan ini akan saya ketengahkan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini
TAHUN KEADAAN POLITIK DAN EKONOMI DI INDONESIA NAMA KELOMPOK
1970an - Orde Baru Rente lahir
- 60% penduduk Indonesia mengalami kemiskinan (1970)
- 40% penduduk Indonesia mengalami kemiskinan (1974) Silat Serbaguna dimana ilmu yang dipelajari dapat digunakan untuk mendapatkan pengasihan, rezeki, digeruni, pelaris, dan untuk mengobati penyakit jasmani dan rohani (1974)
1992 27 juta rakyat miskin di Indonesia. Pada tahun ini juga Negara mengangkat isu kemiskinan untuk menjadi perhatian publik. Maling Guna
1997 Kerusuhan Banjarmasin
(“Jumat Membara”) Suku Dayak
Suku Dayak Siswa
(Komunitas ini mulai berganti penampilan terutama dalam hal berpakaian)
1998 Kerusuhan Mei 1998 Suku Dayak Mahasiswa
2000-2001 Konflik Agama di Poso
Kerusuhan Etnis Dayak dan Madura
Naiknya Megawati menjadi Presiden Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu (mazhab: ngaji rasa dengan belajar pada anak dan perempuan)
b. The goals and ideologies of the movement
Tujuan dari komunitas ini adalah untuk mencapai tahap akhir dari ngaji rasa yang dilakukan dengan ritual pada malam hari dan siang hari. Pada malam hari, tepatnya tengah malam, mereka merendam tubuh mereka dalam air dengan tujuan agar dapat merasakan penderitaan mereka yang tidak memiliki tempat untuk beristirahat di malam hari tanpa merasakan dinginnya malam. Sedangkan pada siang hari mereka menjemur tubuh mereka pada pukul 1200 tepat untuk dapat merasakan penderitaan mereka yang tidak memiliki tempat berteduh.
c. The means and methods of the movement
Pembahasan pada poin ini belum dapat saya uraikan mengingat bahwa penelitian lapangan diperlukan untuk menganalisa lebih lanjut metode dan cara gerakan mereka demikian juga dengan poin – poin di bawah ini.
d. The mass base of the movement
e. Conditions facilitating organizations
f. The allies of peasant movement
g. Conditions of success and failure
Dalam bagian pembahasan ini saya juga akan mencoba melihat apakah karakteristik NSM juga merupakan karakteristik komunitas ini.
1. There is a tendency for the social base of new social movements to transcend class structure.
2. The ideological characteristics of NSMs stand in sharp contrast to the working class movement and to the Marxist conception of ideology as a unifying and totalizing element for collective action.
3. NSMs often involve the emergence of new or formerly weak dimensions of identity.
4. The relation between the individual and the collective is blurred.
5. NSMs often involve personal and intimate aspects of human life.
6. The use of radical mobilization tactics of disruption and resistance that differ from those practiced by the working-class movement.
7. The organization and proliferation of new social movement groups are related to the credibility crisis of the conventional channels for participation in Western democracies.
8. NSM organizations tend to be segmented, diffuse and decentralized (Laraña et al. 1994).
Meskipun Fay tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kedelapan karakteristik tersebut, namun dari ke delapan karakteristik tersebut di atas, pada saat ini saya berpendapat bahwa (1) ideologi dari komunitas ini berbeda dengan gerakan buruh dan berbeda dengan teori Marx dimana oleh Fay disebutkan “In Marx’s Enlightenment oriented framework then, social revolutions are always supposed to be progressive and positive” sedangkan dalam paper ini tidak berusaha untuk melihat apakah gerakan komunitas ini merupakan sebuah gerakan yang positif, (2) berdasarkan pada ideologi komunitas tersebut, yang menurut saya adalah suatu ideologi yang dapat digunakan untuk individu dan juga untuk kelompok, maka relasi antara individu dan kolektif di sini menjadi kabur, (3) berdasarkan pada fakta bahwa perekrutan anggota komunitas ini dilakukan oleh satu orang saja, yang kemudian di sini dapat dianggap sebagai leader dari komunitas ini, menggunakan pendekatan “bapak-anak” maka secara prematur saya dapat katakana bahwa gerakan ini melibatkan hubungan yang lebih dekat atau intimate, (4) jelas dapat saya katakana bahwa taktik “gangguan” dan resistensi yang mereka lakukan jelas berbeda dengan kaum buruh dimana mereka menggunakan ideologi religi di sini, dan yang terakhir yang dapat saya sampaikan adalah (5) komunitas ini tersebar dimana anggota – anggotanya tidak bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, dalam hal ini dusun yang sama.
Meskipun dari ke delapan karakter hanya lima karakter yang terpenuhi namun saya dapat menyatakan bahwa gerakan komunitas ini tergolong dalam New Social Movement.
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa gerakan komunitas ini merepresentasikan keadaan ekonomi dan politik di Indonesia yang tergolong dalam New Social Movement. Terlalu sedikit dan sederhana apa yang saya simpulkan di atas, sehingga masih banyak hal yang perlu diteliti lebih lanjut yaitu (1) perubahan apa yang ingin dicapai dengan terbentuknya komunitas ini dimana di dalamnya tersirat ketidakpuasan yang mereka alami, (2) The means and methods of the movement, (3) The mass base of the movement, (4) Conditions facilitating organizations, (5) The allies of peasant movement, (6) Conditions of success and failure dan juga untuk menganalisa lebih lanjut keberadaan karakteristik New Social Movement dalam komunitas ini.
G. Referensi
Buku
Wiharyanto, Kadit. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta, 2006.
Pranoto, Suhartono W. Jawa (Bandit – Bandit Pedesaan) Studi Historis 1850 – 1942,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
Komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, Lembaran Sejarah
Alam Ngaji Rasa.
Mulder, Niels. Wacana Publik Asia Tenggara: Menuju Masyarakat Madani. Kanisius,
Yogyakarta. 2005
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya.
Makalah Pelatihan 2007, Makalah disampaikan dalam Pelatihan “Metodologi
Penelitian”, Yogyakarta, 2007.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Peran dan Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia.
Makalah Dialog Budaya, Yogyakarta, Desember 2007.
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Landsberger, Henry A. Rural Protest: Peasant Movements and Social Change. Barnes &
Noble, New York, 1973.
Mirsel, Robert. Teori Pergerakan Sosial. INSIST Press, Yogyakarta, 2004.
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Kanisius, Yogyakarta, 1992.
Abdullah, Irwan. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa – Analisis Gunungan pada
Upacara Garebeg. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, 2002.
Cassirer, Ernst. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. PT
Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta, 1987.
Website
a. http://pmiigadjahmada.wordpress.com/2010/05/16/analisis-kondisi-ekonomi-politik-indonesia-tahun-1945-%E2%80%93-2007/).
b. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2860072
c. http://persma.com/baca/2009/11/01/refleksi-kerusuhan-banjarmasin-1997-bag-1.html
d. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998
e. http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/kerusuhan_mei98_080513-redirected)
f. http://www.syahroneiy.co.cc/2010/05/manusia-dan-kebudayaan.html
g. De Fay, Jason Bradley. The Sociology of Social Movements. University of California,
San Diego, http://defay.org/jason/academic/SM%20Paper.pdf.
Kamus
Al-Barry, Dahlan M. Kamus Sosiologi Antropologi. Penerbit INDAH, Surabaya, April
2001.
Lain – lain
Catatan perkuliahan:
1. Masyarakat Asia Tenggara dalam Perubahan, dosen pengampu: Prof. Dr. Kodiran, M.A.
2. Gerakan Sosial di Indonesia, dosen pengampu: Prof. Dr. Suhartono
No comments:
Post a Comment