Latar Belakang Penafsiran Antropologi Koentjaraningrat
Ada latar belakang, yang saya tangkap, diketengahkannya penulisan penafsiran Epistemologis Antropologi Koentjaraningrat oleh Heddy. Namun sebelum mengetengahkan latar belakang tersebut, pertanyaan yang timbul di benak saya waktu membaca judul tersebut adalah mengapa antropologi Koentjraningrat. Hal ini terjawab dalam ulasan Heddy pada halaman 25-26 yaitu Koentjaraningrat sudah dianggap sebagai sosok yang berdekatan bahkan melekat pada ilmu antropologi sehingga tidak berlebihan bahwa beliau disebut sebagai the founding father of Anthropology in Indonesia. Ketekunan dan kerja keras beliau yang dlakukan secara seimbang antara penelitian dan pengkajian ilmu Antropologi tidaklah merupakan sifat kebanyakan peneliti di Indonesia yang condong pada melakukan penelitian saja. Ditambahkan oleh Heddy bahawa Koentjaraningrat memiliki keyakinan yang kuat bahwa antropologi dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku-bangsa dengan berbagai macam adat-istiadat mereka. Dan dari semua yang diketengahkan diatas, Koentjaraningrat juga dianggap memberikan jasa-jasa dalam terbentuknya disiplin antropologi di Indonesia.
Selain memiliki keyakinan bahwa antropologi dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan di Indonesia, Koentjaraningrat memiliki visi agar antropologi di Indonesia harus mempunyai cirinya sendiri yangmana di dalamnya terkandung himpunan konsep-konsep, metode-metode dan teori-teori yang dapat menganalisa keanekaragaman masyarakat dan kebudayaannya yang nantinya bisa menjadi alternatif dalam menjawab kebutuhan Indonesia. Visi Koentjaraningrat inilah yang kemudian sangat disarankan oleh Heddy untuk juga menjadi visi dan lebih lanjut juga menjadi misi dari para antropolog di Indonesia yang kemudian dimodelkan menjadi visi pembangunan gedung antropologi dengan gaya arsitektur Indonesia.
Tulisan Heddy ini berlandaskan pada pertanyaaan-pertanyaan apakah fondasi dari Antropologi Koentjaraningrat (yang kemudian disebut sebagai Antrop-Koen oleh Heddy) yang sudah ada sudah kuat?, bagaimana dengan bentuk gedung teorinya yang didirikan atas dasar asumsi, model-model dan konsep-konsep yang kemudian menjadi dipertajam menjadi seperti apakah materi asumsi, model-model dan konsep-konsep yang nantinya akan diaduk, dijadikan satu dan didirikan sebagai gedung antropologi di Indonesia.
Tulisan ini adalah sebuah tafsir oleh karena ketidakeksplisitan landasan filosofis Antrop-Koen sendiri sehingga Heddy lebih mengadakan review pustaka dari pengikut-pengikut Koentjaraningrat yang telah secara eksplisit menguraikannya. Di sini Heddy kemudian langsung mengetengahkan ciri-ciri epistemologi Antrop-Koen yang dia anggap positivistis. Di sini Heddy langsung menunjuk pada positivisme tanpa mengetengahkan alasan pemilihan penunjukkan pada mengapa positivisme yang dipilih. Juga tidak disebutkan secara eksplisit bahwa Heddy menyamakan landasan filosofis sebagai sebuah epistemologi. Namun saya ingin membandingkannya dengan penjelasan Heddy sendiri dalam perkuliahannya Epistemologi Antropologi, dimana dia menjelaskan apa itu Epistemologi dengan mengetengahkan 9 elemen paradigma yang dia ketengahkan berdasarkan review yang dia lakukan terhadap definisi Paradigma Thomas Khun dan teori paradigma oleh Newton Smith. Elemen-elemen tersebut adalah:
- Asumsi dasar
Heddy menerangkan asumsi dasar sebagai pendapat-pendapat yang dianggap benar (tidak harus diuji, sudah mapan) yang bisa diambil dari pandangan-pandangan filosofis dan/ataupun dari teori-teori mapan yang sudah disepakati
- Nilai
Nilai telah disepakati dalam perkuliahan tersebut sebagai patokan-patokan atau pendapat-pendapat untuk menentukan baik buruknya dan bermanfaat tidaknya suatu hal minimal dalam ilmu pengetahuan.
- Model atau perumpamaan atau analogi
Model bertujuan untuk menyederhanakan. Dalam perkuliahan ini tidak dibahas apa definisi dari model namun dari Kamus Sosiologi Antropologi yang ditulis oleh M. Dahlan Yacub Al-Barry, model memiliki dua arti. Yang pertama adalah pola (contoh, acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan dan yang terakhir adalah sesuatu yang menjadi teladan dalam sosialisasi kanak-kanak.
- Masalah
- Konsep
- Metode Penelitian
- Metode analisis
- Hasil analisis
- Representasi atau Etnografi
Ada alasan mengapa saya tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai poin 4-9 karena menurut Heddy poin 1-3 ini lah yang disebut Epistemologi.
Epistemologi Koentjaraningrat
Seperti telah dikemukakan oleh Heddy di tulisannya ini epistemologi Koentjaraningrat merupakan antropologi dengan ciri-ciri positivistis. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menilik apa itu Positivisme.
Positivisme
Ada dua pandangan mengenai apa itu positivisme. Pertama dalah menurut Kolawski dimana dia memandang positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia atau “a collection of rules and evaluative criteria for referring to human knowledge” dan “a normative attitude regulating how we use such term as ‘knowledge’, ‘science’, ‘cognition’, and ‘information’. (halaman 29 paragraf 2). Dari pandangan ini ada 4 aturan utama. Yang pertama adalah merekam apa yang sebenarnya kita alami dan menolak hal-hal yang tidak dapat dinalar oleh pengetahuan manusia atau yang disingkat oleh Heddy adalah pengalaman dasar terpenting dari pengetahuan manusia. Aturan ke dua adalah yang menyebutkan bahwa kita tidak boleh beranggapan bahwa setiap pemahaman yang dirumuskan dalam isstilah-istilah yang umum dapat mengacu selain kepada fakta-fakta individual (halaman 29 paragraf 4). Aturan yang ketiga kita wajib menolak pandangan yang mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan ciri-ciri dari dunia sekitar kita karena cara perolehan nilai yang tidak sama. Sedangkan aturan yang terakhir adalah kita harus memili pandangan bahwa tidak ada perbedaan yang penting dan mendasar antara metode ilmu pengetahuan alam dan metode ilmu sosial budaya (halaman 30 paragraf 3). Heddy berpikir bahwa apa yang dikemukakan Kolawski ini tidak dibarengi dengan aplikasi aturan-aturan tersebut dalam suatu cabang ilmu sosial budaya karena masih dalam taraf pemikiran filsafat atau dengan kata lain tidak konkrit.
Kedua adalah menurut Giddens yang dianggap Heddy dapat mengisi kekosongan Kolawski dengan apa yang Giddens sebut sebagai “positivistic attitude” yang kemudian diketengahkan sebagai sebuah pandangan. Pandangan ini mencakup 3 hal. Pertama, “the procedures of natural science may be directly adapted to sociology”. Yang ke dua, “the end results of sociological investigations can be formulated as “laws” or “law-like” generalization of the same kind as those established by natural scientist”. Sedangkan yang terakhir adalah “sociology has technical character”.
Di sini Heddy hanya mengetengahkan apa itu positivisme dari 2 orang saja, saya ingin menambahkan satu pemahaman positivisme, yang saya ambil dari buku hasil penulisan Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D dalam bukunya Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, yang menurut saya juga mendukung Giddens yaitu positivisme Talcot Parsons, yang dipengaruhi oleh teori Durkheim bahwa fakta sosial seharusnya dianggap sebagai gejala, yang mendasarkan konsepnya pada realisme analitis. Istilah “realisme” menunjukkan eksistensi suatu dunia obyektif dari kejadian-kejadian yang tidak acak yang bersifat eksternal bagi pengamat sosiologis. Yang kemudian oleh Rhoads disebutkan bahwa Komitmen positivisme Parsons mendorongnya pada konseptualisasi materi subyek sosiologi seperti sebuah sistem keyakinan Durkheim mengenai kemungkinan sosiologi ilmiah memandang faka sosial sebagai gejala. Positivisme tidak hanya melengkapi metode untuk memandang fakta, tetapi juga membentuk fakta agar sesuai dengan kebutuhannya.
Pandangan kaum positivis mengenai ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut mereka adalah suatu upaya untuk memperoleh pengetahuan yang “predictive” dan “explanatory” mengenai dunia luar sana. Hal ini mengharuskan orang membangun teori-teori yang berisi pernyataan-pernyataan umum yang mendeskripsikan “regular relationship” gejala-gejala di luar diri manusia.
Metode Pengumpulan Fakta Antropologi Koentjaraningrat
Bagian ini dimulai dengan tiga tingkat pencapaian antropologi sebagai ilmu menurut Koentjaraningrat. Pertama adalah pengumpulan fakta, kedua dalah penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi dan sistem dan yang terakhir adalah verifikasi (halaman 21 paragraf 1). Yang kemudian saya mencoba meringkasnya menurut masing-masing tingkat pencapaian.
Pengumpulan Fakta
Dikemukakan oleh Heddy, pengumpulan fakta kebudayaan dan masyarakat dilakukan terlebih dahulu yang kemudian dilanjutkan dengan analisa ilmiah. Pengumpulan fakta dilakukan dengan menggunakan metode-metode observasi, mencatat, mengolah dan menuliskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat yang hidup. Penelitian lapangan yang dilakukan dalam waktu beberapa bulan ataupun bahkan tahunan dianggap salah satu cara yang penting namun di lain pihak penelitian perpustakaan juga penting. Hal ini juga diterapkan oleh Koentjaraningrat namun Koentjaraningrat menempatkan library review di posisi sentral.
Koentjaraningrat mengusulkan agar peneliti menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif agar generalisasi yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini berlandaskan pada pemikiran dia yang menganggap bahwa kedua metode ini saling mengisi. Namun di keterangan selanjutnya diketengahkan bahwa ternyata Koentjaraningrat lebih condong kepada metode kuantitatif yang dianggapnya lebih dapat menentukan apakah suatu generalisasi dalam antropologi dapat dipercaya dan “obyektif”
Penentuan sifat-sifat umum atau generalisasi dan sistem
Metode yang penting untuk dipakai dalam proses generalisasi adalah metode perbandingan dan metode klasifikasi atau tipologi. Dengan menggunakan metode perbandingan sifat-sifat umum dalam fakta yang kemudian dirumuskan dalam kategori-kategori atau tipe-tipe tertentu yang juga menjadi sarana untuk mengkasifikasikan obyek-obyek yang diteliti atau fakta-fakta yang diperoleh akan diketahui. Upaya pengkasifikasian seperti ini kemudian disebut sebagai taksonomi. Taksonomi kemudian, menurut yang saya pahami dari tulisan Heddy ini, dianggap sebagai strategi yang nantinya akan membantu peneliti mengetahui persamaan serta perbedaan antara kebudayaan satu dengan yang lainnya.
Buku Koentjaraningrat yang berjudul Introduction to the Peoples and Cultures of Indonesia and Malaysia lebih menonjolkan aspek mata pencaharian dan lokasi kebudayaan dalam penamaan tipe-tipe kebudayaan dan taksonominya dibandingkan pengaruh kontak kebudayaan. Namun Koentjaraningrat mengemukakan empat tipe kebudayaan. Yang pertama adalah kebudayaan-kebudayaan yang berdasarkan pada “shifting cultivation, yams, taro, and other root crops”, yang kedua adalah kebudayaan-kebudayaan pedalaman yang berdasarkan pada “swidden agriculture or irrigated agriculture, with rice as the principal crop”, yang ketiga kebudayaan pantai adalah berdasarkan atas “swidden agriculture or irrigated agriculture with rice as principal crop”, dan yang terakhir adalah kebudayaan pedalaman berdasarkan atas “wet-rice agriculture”.
Ada pandangan yang melatarbelakangi perlunya taksonomi kebudayaan, yaitu “nature is uniform” hal ini dilandasi pada dua dalil yaitu “nature is orderly and regular” dan yang terakhir adalah alam bekerja mengikuti certain patterns of regularity. Hal ini memberikan implikasi bahwa tidak ada kata kebetulan dimana apa yang muncul memiliki penyebab meskipun fenomena yang muncul tampak unik. Pandangan yang dianut yang juga penting dalam proses klasifikasi adalah tidak adanya perbedaan yang mendasar antara fenomena alam dan fenomena sosial-budaya karena nature tidak diarikan sebagai alam fisik saja namun juga mencakup gejala-gejala sosial-budaya (halaman 36 paragraf 2).
Pengklasifikasian perlu didukung dengan metode atau proses berpikir yang induktif. Apa itu induktif. Dalam proses berpikir induktif, ahli antropologi memulainya dengan berbagai macam fakta sosial budaya yang merupakan hasil pengamatan dan wawancara, mengkasifikasikan fakta-fakta tersebut kemudian melakukan generalisasi. Proses ini harus didukung analisa kuantitatif. Dalam penggunaanya sehari-hari, proses penalaran induktif dipakai setiap kali seseorang menilai suatu situasi berdasarkan atas pengalaman yang diperolehnya dari situasi yang kurang lebih sama sebelumnya. Selain prose berpikir induktif ada proses berpikir lainnya juga yang biasa disebut dengan deduktif. Dalam proses berfikir ini, prosesnya berawal dari perumusan-perumusan umum yang kemudian ke arah fakta-fakta yang khusus.
Verifikasi
Studi perbandingan disarankan oleh Koenjaraningrat untuk digunakan dalam melakukan verifikasi agar tercapai generalisasi yang kokoh fondasi empirisnya yang bisa berupa hukum-hukum. Proses verifikasi ada dua macam yaitu pertama adalah prediksi atau prakiraan yang tidak bersifat kebetulan dan yang kedua adalah berdasarkan atas konsensus atau persetujuan antara para ilmuwan.
Menurut Koentjaraningrat gejala-gejala dapat dijelaskan melalui “hukum-hukum” atau dalil. Jadi diharapkan oleh Koentjaraningrat bahwa disiplin antropologi tidak hanya menjadi ilmu deskriptif namun juga ilmu yang dapat merumuskan hukum-hukum mengenai berbagai macam gejala sosial-budaya.
Studi perbandingan yang meluas sangat ditekankan agar tercapai perumusan hubungan-hubungan yang mantap antar gejala sosial-budaya dimana peneliti bisa mengetahui apakah ada korelasi antara berbagai unsur kebudayaan yang sama-sama ditemui dalam berbagai macam kebudayaan. Konsep penting ada dua dalam epistemologi studi perbandingan lintas budaya yaitu probabilitas empiris dimana model deduktif-nomologis dan induktif-statistis yang diuji lewat statistik dan lawful processes yang tidak dijelaskan lebih lanjut oleh penulis.
.
Fungsi dan Kebudayaan
Antrop-Koen dipandang fungsionalitis oleh penulis walaupun jarang dipaparkan secara eksplisit, panjang lebar dan mendetail. Pertanyaannya kemudian menjadi apa itu fungsi. Fungsi oleh Koentjaraningrat adalah satu sebagai konsep yang menerangkan hubungan kovariabel antara satu hal dengan hal yang lain dan yang kedua adalah fungsi sebagai konsep yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang bulat atau kalau boleh saya menggunakan kata lain adalah hubungan unsur satu dengan unsur yang lain dalam sebuah sistem dimana kalau menurut penjelasan Heddy dalam perkuliahannya Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern, sistem adalah Kesatuan dari unsur – unsur yang berhubungan satu sama lain secara fungsional membentuk suatu kesatuan sehingga perubahan pada satu unsur akan menimbulkan perubahan pada satu unsur atau pada keseluruhan sistem.
Sedangkan definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah sebuah sistem dengan unsur-unsurnya yang terintegrasi satu sama lain. Pemahaman mengenai fungsi unsur kebudayaan dipandang sangat penting karena akan membantunya dalam melakukan studi perbandingan yang terkendali.
TANGGAPAN
Pertanyaan apakah Antropologi Koentjaraningrat itu positivistis atau tidak dijawab oleh penulis dengan mengatakan bahwa Antropologi Koentjaraningrat merupakan antropologi dengan epistemologi yang positivistis atau paling tidak banyak mengikuti pandangan epistemologis yang biasanya ada di kalangan positivisme.
Namun jawaban akan pertanyaan-pertanyaan Heddy seperti yang disebutkan di latar belakang tidak dijawab secara eksplisit. Saya berasumsi bahwa Heddy mengajak pembaca untuk mencari tahu jawaban-jawaban pertanyaan Heddy dengan paradigma pembaca itu sendiri. Sedangkan untuk bagaimana epistemologi antropologi Koentjaraningrat ini nantinya memberikan kontribusi dalam pembangunan Indonesia juga tidak diketengahkan karena Koentjaraningrat sendiri bertujuan untuk memberikan alternatif dalam menjawab kebutuhan Indonesia. Positivisme seperti yang ada dalam buku Saifuddin, yaitu Positivisme tidak hanya melengkapi metode untuk memandang fakta, tetapi juga membentuk fakta agar sesuai dengan kebutuhannya, yang dengan pemahaman dan pengetahuan saya yang cekak akan dapat memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan pembangunan di Indonesia. Asumsi saya setelah membaca positivisme yang diketengahkan Saifuddin ini adalah bahwa hasil dari pengumpulan fakta, pengeneralisasian dan verifikasi dalam positivisme akan membantu peneliti dalam mencari kebutuhan yan sesungguhnya yang kemudian akan mempengaruhi pengambilan tindakan yang akan menjawab kebutuhan yang telah diteliti, diamati, digeneralisasikan dan diverifikasi tersebut. Namun melihat pembangunan tidaklah hanya dilihat dari manusia-manusia yang ada di dalamnya. Menurut saya pengamatan juga harus dilakukan pada pertumbuhan pembangunan Indonesia itu sendiri, kebijakan-kebijakan pembangunan yang telah dilakukan, pelaksanaan-pelaksanaan pembangunan, tantangan-tantangan yang masih dihadapi dan praktek-praktek baik yang bisa replicable untuk lokasi lain. Jadi perubahan, terlepas dari harus berubah atau tidak, dalam sebuah pembangunan tidak hanya berlaku untuk masyarakat dalam tujuannya untuk beradaptasi dengan perubahan di luar sistem mereka yang mungkin berpotensi menjadi intrusi namun perubahan juga harus dilakukan pada tataran birokrasi atau pemerintahan.
Saya melihat bahwa kontribusi Antropologi dalam pembangunan di Indonesia lebih pada memberikan landasan teori dan juga acuan metode-metode penelitian, analisa serta verifikasi dari berbagai macam kebudayaan yang ada di Indonesia. Sedangkan aplikasi secara teknis dan mendetail perlu disetujui oleh para ahli antropolog, para peneliti dan kemudian disusun.
Uraian mengenai antropologi Koentjaraningrat dan teori-teorinya ini saya pikir akan membantu saya dalam merumuskan pertanyaan yang didalamnya terkandung asumsi dimana landasan filosofis juga terkandung didalamnya.
Untuk mengakhiri review ini ijinkan saya mengetengahkan fakta yang ada dalam suatu komunitas di Indonesia. Tujuan saya di sini adalah untuk terus mengingatkan saya mengenai adanya fakta ini dan mungkin bisa juga Mas Heddy sebagai dosen mata kuliah yang saya ambil ini, yaitu Epistemologi Antropologi, dapat bersama-sama dengan saya memikirkan kontribusi apa yang bisa diberikan oleh Antropologi Koentjaraningrat terutama dalam pembangunan manusia-manusia yang ada di Indonesia.
Terdapatlah sebuah komunitas di Jawa Barat yang bertujuan merehabilitasi dasar, ajaran dan watak masing-masing individu ke dalam dasar ngaji rasa. Ngaji rasa di sini adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.
Anggota komunitas ini tidak diberikan Kartu Tanda Penduduk oleh karena mereka tidak menuliskan apa agama mereka dalam kolom agama. Komunitas ini tidak bisa menerima apabila mereka harus menuliskan salah satu agama yang berlaku di Indonesia karena agama-agama tersebut bukanlah keyakinan yang mereka anut. Mereka pernah diminta untuk menulis aliran kepercayaan dalam kolom tersebut, namun mereka juga menolak karena keyakinan mereka bukanlah aliran kepercayaan. Pada saat mereka diminta untuk membubuhkan tanda strip (-) pada kolom tersebut mereka juga menolak karena tidak ada agama yang strip (-).
Berkenaan dengan KTP, aliran kepercayaan tidak bisa dimasukkan lagi dalam kolom agama di KTP dan saat ini Depdagri sedang mengkaji penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi kehidupan anggota komunitas ini dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar komunitas itu tidak memiliki sumber pendapatan yang rutin atau lebih tepatnya yang mereka katakan sebagai kerja serabutan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan beberapa merupakan nelayan. Mereka pernah mengajukan permohonan tanah milik masyarakat yang bisa mereka jadikan lahan pertanian sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan rutin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Permintaan mereka selalu ditolak karena mereka tidak memiliki KTP. Informasi lainnya adalah bahwa aliran ini dianggap sesat oleh sebuah organisasi masa berlandaskan agama dan terkadang juga menjadi incaran salah satu organisasi masa lain yang juga berlandaskan agama untuk diobrak-abrik.
Menurut pengakuan komunitas ini, masyarakat di sekitar komunitas ini tidak memiliki masalah mendasar dengan mereka yang mereka kuatkan dengan alasan bahwa tidak pernah ada silang pendapat, pertengkaran atapun gangguan sosial yang disebabkan oleh adanya komunitas ini. Komunitas ini memetakan bahwa intrusi yang mereka terima adalah dari kebijakan pemerintah dan juga kebijakan sebuah organisasi masa dengan nama yang besar terkadang tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.
Saya acap kali menceritakan keberadaan komunitas ini ke banyak orang yang saya temui dan saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mengetahui mengenai keberadaan komunitas ini walaupun terkadang di ekspos oleh media massa dan satu lagi pernyataan menarik dari salah satu anggota komunitas tersebut adalah tidak mudah untuk mengetahui essensi dasar keyakinan mereka dan membuat dasar teori mengenai komunitas mereka karena kalau saya boleh menggunakan kata-kata dia adalah “ýang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah” (konsep ngaji rasa).
No comments:
Post a Comment