Garebek
Kupat
Pada tahun 2012, acara Garebek Kupat[1] ini dilaksanakan pada
bulan Syawal yang dimaknai sebagai bulan dimana manusia menjadi bersih seperti
bayi baru lahir. Acara Garebek Kupat ini diawali dari lapangan yang letaknya
tepat di tengah kampung Dawung. Sebagian besar warga mengenakan pakaian adat Jawa,
busana muslim, dan kostum kesenian tradisional. Pada barisan paling depan,
sesepuh setempat dengan membawa kendi berisikan air dari sumber mata air
Dawung, diikuti oleh para gadis desa yang membawa tumpengan nasi kuning.
Terdapat gunungan kupat yang dipanggul oleh empat pemuda desa dan diikuti
berbagai keompok kesenian tradisional dan para warga dan disusul tetabuhan
gamelan dari bende kendang dan bedug. Sampai di tengah – tengah desa, sesepuh
desa membasuh beberapa warga sebagai simbol ajakan untuk menyucikan pikiran dan
jiwa dalam setiap laku. Setelah itu sesepuh desa menaburkan kembang ke arah
tumpeng sebagai simbol ajakan untuk selalu bersyukur dengan setiap rahmat.
Selanjutnya seorang Kiai memimpin doa, dan diakhiri dengan dibunyikannya
gamelan sebagai tanda Garebek Kupat dimulai.
Garebek
Kupat sebagai Sebuah Ritual
Definisi
Ritual (Diambil dari: Introducing
Anthropology of Religion: Culture to the Ultimate,
Jack Eller, Taylor & Francis, 2007).
Victor Turner mendefinisikan ritual sebagai “perilaku
yang bersifat formalitas yang dikonstruksikan untuk acara – acara yang
“bebas-teknologi”, serta adanya kepercayaan terhadap makhluk atau kekuasaan
mistis dimana simbol merupakan unit terkecil dari ritual tersebut”. Stanley
Tambiah mendefinisikan secara panjang lebar pemahamannya akan ritual, yaitu
merupakan sistem komunikasi simbolik yang dikonstruksi secara kultural, yang
terdiri dari urutan kata – kata serta perilaku yang berpola dan berurutan, yang
acapkali diekspresikan melalui beberapa media serta berisi dan dibedakan atas
dasar keformalitasannya (konvensional), sterotip (kekakuan), kondensasi (fusi),
serta pengulangannya. Anthony Wallace menjelaskan ritual sebagai komunikasi
tanpa informasi sehingga ritual diyakini sebagai serangkaian sinyal yang memungkinkan
ketidakpastian, tanpa pilihan, dan oleh karena itu dalam pengertian statistik
teori informasi, di dalam ritual tidak terjadi
pertukaran informasi antara pengirim dan penerima sehingga ritual merupakan
sistem keteraturan dan satu perbedaan saja dianggap sebagai suatu kesalahan. Sementara
pemahaman ritual yang akan saya gunakan di sini adalah apa yang ada dalam buku
“The Social Implications of Ritual Behavior in Maya Lowlands: A Perspective
from Minanha, Belize” yang ditulis oleh Sonja Andrea Schwake dimana ritual
merupakan aksi bermakna karena aksi – aksi tersebut berhubungan dengan posisi
seseorang atau kelompok dalam struktur sosial mereka.
Pentingnya
(Menjadi Lebih) Tua dalam Masyarakat Jawa
Hubungan
Orang Tua dan Anak dalam Keluarga Jawa
Kesuperioritasan menjadi orang tua nampak dalam sebuah
tesis yang berjudul “Alokasi Waktu bagi Anak – Anak di Des Jawa” dan ditulis
oleh Ekna Satriyati. Satriyati menuliskan bahwa “Alokasi waktu mempunyai nilai
kontrol orang dewasa terhadap anak – anak” (Orang tua memiliki posisi superior
dan anak – anak dalam posisi subordinat) dan juga “Bagi orang tua, alokasi
waktu (yang diterapkan pada anak – anak disertai) dengan menaruh harapan moril
dan beban pekerjaan (yang diberikan pada anak) (adalah) sebagai bekal awal
mendidik anak.”
Saudara
yang Lebih Tua Mendapatkan Sumber Daya Lebih
Makmuri Sukarno dalam disertasinya yang berjudul “The Transition from
School to Work and Job-Seeking Behavior Among Youth in Three Cities of Java”
menyatakan bahwa secara sosiologis “Alokasi sumber daya
dilakukan berdasarkan pada urutan kelahiran”
Analisa ini pada akhirnya tidak akan berakhir pada
teori kelas apa pun karena hubungan orang tua – anak yang bertransformasi
tersebut pada dasarnya merupakan hubungan yang resiprosikal. Hal ini dibuktikan
oleh Sukamtiningsih dalam tesisnya berjudul “Resiprositas antara Anak dan Orang Tua dalam
Keluarga Jawa”. Sukamtiningsih menuliskan, “ … anak bagi orang tua dapat dijadikan sebagai
tumpuan hidup nantinya di hari tua … mempertahankan salah satu anaknya supaya
dapat tetap tinggal dalam rumah (tabon) … umunya adalah anak yang
dianggap dapat dijadikan tumpuan hidupnya” (Hal. 141). Usaha yang dilakukan
orang tua antara lain (1) memberi tabon/tanah garapan ataupun ternaknya,
(2) memberikan bantuan dari anak yang tinggal serumah berupa kebutuhan
sehari-hari, (3) ikut terlibat meringankan pekerjaan dalam rumah tangga anak,
serta (4) memberikan bantuan keuangan untuk yang tidak terencana.