Review: From Confusions to Common Sense: Using Political
Ethnography to Understand Social Mobilization in the Brazilian Northeast, Wendy
Wolford (Dalam ‘New Perspectives in Political
Ethnography’, Disunting oleh: Lauren Joseph, Matthew
Mahler, dan Javier Auyero)
PEMAHAMAN AKAN ARTIKEL
Peralihan dari Perkebunan serta Penyulingan Tebu ke
Tanaman Subsisten, Pisang dan Kelapa / Identitas Pekerja menjadi Pemilik Lahan
Wolford
memulai tulisannya dengan mengetengahkan krisis sektoral yang biasanya
merupakan respon terhadap perubahan pasokan dan permintaan barang Internasional.
Digambarkan bagaimana dekade 1990-an merupakan dekade yang dirasa cukup sulit
yang kemudian diperburuk oleh pemerintahan baru Brasil, yang dituliskan sebagai
pemerintahan yang demokratis, mulai
“melucuti” dan secara perlahan –
lahan menarik subsidi bagi produsen tebu di daerah Timur Laut. Ditariknya
subsidi tersebut menyebabkan 15 dari 26 penyulingan tebu di Pernambuco mati
atau berada dalam ambang kebangkrutan. Pemilik perkebunan dan penyulingan pun
akhirnya meninggalkan tanah mereka dan beralih ke industri (pariwisata) yang
lebih sehat di tempat lain. Yang paling merasakan dampak dari krisis ini adalah
para buruh kasar. Karena industri penyulingan tebu ini sangat bergantung pada
tenaga kerja atau buruh kasar, matinya dan sekaratnya industri penyulingan tebu
menyebabkan 350.000 pekerja menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan bahkan
pada saat musim panen.
Semakin
parahnya krisis, gerakan pekerja pedesaan yang tak bertanah atau MST pun secara
efektif mulai memobilisasi para mantan pekerja di pedesaan untuk menduduki lahan perkebunan
yang dianggurkan dan menekan pemerintah agar mendistribusikan tanah. Kefektifan
ini, saya rasa, dinilai dari tercapainya tujuan untuk mendistribusikan tanah
kepada para pekerja pedesaan, pada tahun 1996, yang identitasnya diraih melalui
posisi pekerjaannya di perkebunan[1]. Para pekerja pedesaan ini
kemudian diberi kepemilikan atas suatu wilayah dan berubah menjadi petani
kecil. Atas desakan dari para pemimpin MST, mereka menanam tanaman subsisten[2] serta pisang dan kelapa
untuk kebutuhan pasar.
MST (O Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra)
Dibentuk
di daerah Selatan Brasil pada tahun 1984 dengan tujuan untuk memperjuangkan
reformasi agraria. Pemimpin – pemimpin gerakan ini beranggapan bahwa
dilakukannya mobilisasi di daerah timur laut negara itu, yang merupakan daerah
yang miskin, merupakan langkah penting dalam mentrasformasikan gerakan regional
menjadi gerakan nasional. Metode yang digunakan oleh MST ini adalah dengan
menunjukkan pembangkangan warga sipil misalnya dengan okupasi dan perampasan
yang sifatnya simbolis atas perkebunan dan peternakan yang berskala besar,
gedung – gedung pemerintah serta jalan umum dengan tujuan tertentu. Ideologi
gerakan MST mencerminkan kepemimpinan yang berakar dari budaya petani di bagian
Selatan Brasil dan campuran eklektik pemikiran para radikal kiri seperti Karl
Marx, Antonio Gramsci, Paulo Freire, Mao Tse-Tung, dan Mahatma Ghandi.
Peralihan dari ke Tanaman Subsisten, Pisang dan Kelapa ke
Perkebunan serta Penyulingan Tebu
Pada
tahun 1999, harga tebu meningkat dua kali lipat. Sebagian besar pemukim di
Flora, bagian dari Pernambuco, kembali bekerja dalam perkebunan dan penyulingan
tebu. MST tidak lagi dianggap sebagai perwakilan resmi politik Flora dan MST
merasa posisinya di wilayah tersebut berada dalam keadaan krisis. Ada dua cara
dalam melihat ditinggalkannya MST, yaitu (1) para mantan pekerja di pedesaan
meninggalkan gerakan karena mereka tidak lagi membutuhkannya dan hal itu
dipahami sebagai tanggapan rasional terhadap perubahan harga tebu, dan (2)
adanya kesadaran palsu, sebagaimana dipahami oleh para pemimpin MST, karena
para pemukim tidak bisa membebaskan diri dari hegemoni sistem perkebunan.
Peralihan
– peralihan yang terjadi (tebu ke subsisten, pisang dan kelapa kemudian beralih
lagi ke tebu; peralihan dari pekerja menjadi pemilik lahan; peralihan dari
menjadi anggota MST kemudian keluar dari MST) dipandang sebagai suatu kebingungan dan dari kebingungan ini, baik
dari pihak petani maupun MST, Wolford menarik dua hal. Yang pertama adalah
perlu digarisbawahinya alasan strategis (yang bagi pengamat alasannya adalah
politik atau kesolidaritasan) yang dipandang dari luar maupun dari dalam
gerakan itu sendiri jarang mencerminkan apa yang terjadi di tataran akar rumput.
Dan yang kedua adalah jalan menuju mobilisasi sosial “diaspal” dengan unsur kesengajaan.
Baik berfokus pada orang yang terlibat dalam aksi kolektif ataupun pada
beberapa perwakilan yang (dinilai) hegemonik (elit perkebunan dan penyulingan
tebu) yang memanipulasi orang lain, seseorang, yang memiliki akses informasi
yang sempurna dan akses ke pasar politik yang kompetitif, telah membuat
keputusan (secara sepihak). Dan ketika kita menemui seorang informan yang
bertentangan dengan diri mereka sendiri, atau yang tidak menjelaskan motivasi
mereka dalam mengikuti gerakan, hal ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Dengan kata lain, Wolford mempermasalahkan etik dan emik dari suatu gerakan
sosial, dimana ada perbedaan mendasar antara keduanya, dan perbedaan itulah
yang disebutnya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan menimbulkan
kebingungan. Dengan demikian, menurut saya, kebingungan (confusiĆ³n) tidak hanya terjadi
pada informan (yang tidak bisa menjelaskan motivasi mereka mengikuti
gerakan) maupun pada MST (ditinggalkannya mereka oleh para pekerja/pemilik
lahan), namun juga pada para peneliti (tidak sinkronnya antara pandangan
informan/pekerja dengan MST). Wolford menilai bahwa dalam hal perubahan dan
mobilisasi sosial, orang – orang merasa bingung, merasa bahwa kehidupan itu
rumit, emosional dan tidak menentu:
“people are “confused, life is complicated,
emotional and uncertain,” to our analyses of social change and mobilization”
Etnografi
Politik sebagai Pemecah Kebingungan
Kebingungan atau ketidakmasukakalan
ini berusaha dijawab oleh Wolford dengan mempertimbangkan aspek budaya yang
dipahami sebagai sebuah akal sehat dan akal sehat itu sendiri adalah kebenaran
sederhana atas hal – hal yang ditangkap secara begitu saja (dalam artikel
disebut sebagai artlessly yang bisa
dimaknai sebagai secara kasar dan tidak terampil). Analisis terhadap
kontradiksi, diamnya serta kebingungan pelaku gerakan hanya bisa dilakukan
dengan mendekat pada yang berwujud saja dan menggunakan Etnografi Politik
yangmana memiliki arti ganda, yaitu (1) mengacu pada dipolitisirnya etnografi sebagai metode yang
unik serta sesuai untuk menganalisa serta mengungkap hubungan kekuasaan yang
mengubah akhiran semua kehidupan sosial, serta (2) mengacu pada kebutuhan
(serta praktik) penyelidikan etnografi politik dimana pemilu dan negara tidak
lagi menjadi hal yang istimewa dalam kehidupan politik, namun orang – orang lah
yang menjadi pusat perhatian.
Memusatkan perhatian pada orang (–
orang) berarti kita memusatkan perhatian pada lokasi, pengalaman hidup, serta
intensi dan/atau bukan intensi akan memperkaya kemampuan kita dalam memahami
dan menjelaskan gerakan sosial. Wolford memberikan contoh dengan menyuguhkan wawancaranya
dengan Cicero dan muncul dengan 4 (empat) kesimpulan.
Pertama,
kebingungan dan kontradiksi yang ada dalam diri Cicero hadiah tidak dapat begitu
saja dinilai sebagai suatu kesalahan atau tidak penting namun merupakan bagian
dari usahanya untuk mempertemukan keadaan pribadinya dengan cara dia
membayangkan dunia ini “berputar”.
Kedua, rasa
ketidakpastian Cicero dalam meninggalkan MST menunjukkan ketidakjelasan
keanggotaan suatu gerakan secara lebih umum - dalam setiap gerakan, ada
berbagai tingkat keterlibatan, dan melakukan wawancara sepanjang kontinum
memberikan kita gambaran yang lebih representatif atas politik gerakan dari
sekedar mewawancarai para “pecandu” dan elit gerakan.
Ketiga,
kebanggaan Cicero dalam memiliki tanah harus diletakkan dalam sejarah
“penahanan” perkebunan yang cukup lama: sebagai mantan pekerja perkebunan, ia
merasakan kebebasan baru. Bagi para pemimpin gerakan, kebebasan ini berarti
kebebasan dari dominasi elit perkebunan dan penyulingan tebu, serta negara,
akan tetapi bagi Cicero, kebebasan berarti mampu mengalokasikan waktu kerjanya
sendiri dan bekerja kapanpun dia inginkan. Kebebasan, untuk Cicero, berarti hak
untuk menolak saran MST dan akhirnya menarik diri dari gerakan.
Keempat atau yang
terakhir adalah, diskusi Cicero mengenai politik di permukiman menyoroti sejauh
mana partisipasinya dalam MST menjadi dasar bagi partisipasi politiknya di masa depan. Bahkan jika gerakan itu sendiri
tidak pernah mendapatkan kembali kekuatan politik di kawasan itu, alat-alat
partisipasi yang aktivis gerakan terapkan pasti akan digunakan lagi. Gerakan sosial
datang dan pergi, tetapi mereka membangun dan menghasilkan repertoar yang lebih
luas dari perjuangan; repertoar ini akan hilang bila kita mengistimewakan
gerakan sebagai obyek penelitian yang terbatas.
[1] Di perkebunan ada empat
identitas yang bisa dikenali berdasarkan posisinya. Keempat identitas tersebut
ada dituliskan dalam artikel ini, yaitu (1) bos, (2) pekerja administratif elit,
(3) buruh biasa, (4) pembantu rumah tangga.
[2] Tanaman yang ditanam hanya sekedar dimanfaatkan
untuk kebutuhan hidup sehari-hari
No comments:
Post a Comment