Saya akan mengetengahkan definisi dan pemahaman atas
konsep – konsep kunci dalam artikel ini. Hal yang harus diketengahkan adalah
definisi dan/atau pemahaman akan istilah ‘democracy’
(demokrasi) yang menurut saya merupakan tema utama dalam artikel ini. Selanjutnya
yang perlu diketengahkan adalah (1) civil
society (masyarakat sipil), (2) social
movement (gerakan sosial), (3) citizenship
(kewarganegaraan), (4) governmentality (kepemerintahan),
serta (5) NGO (LSM).
Democracy
(Demokrasi)
1. Secara filosofis, konstitusional dan sosiologis;
demokrasi dipahami sebagai “sesuatu tentang masyarakat”[1]
2. Demokrasi merupakan perjuangan terus-menerus untuk
mewujudkan tatanan sosial yang mengupayakan musyawarah logis, mempromosikan
partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, secara adil dan merata
mendistribusikan kekuatan politik-ekonomi serta memfasilitasi keikutsertaan
budaya di dalamnya[2]
Definisi yang kedua ini lah yang menurut Levinson dan
Pollock coba ditunjukkan oleh Paley dalam tulisannya dimana suatu demokrasi
merupakan suatu perjuangan yang terus-menerus dilakukan terlepas dari (1)
diketengahkannya beragam bentuk – bentuk kultural dari alasan dan argumentasi
dalam suatu musyawarah (sebagai bentuk keterlibatan budaya di dalamnya), (2)
dipromosikannya beragam partisipasi bermakna, serta (3) betapa adil dan
meratanya kekuasaan yang didistribusikan. Bidney dan Bidney mengenalkan apa
yang mereka tuliskan sebagai demokrasi kultural dimana demokrasi kultural
merupakan suatu usaha untuk mengutamakan kehendak mayoritas tanpa menghilangkan
kaum yang secara kultural merupakan kaum minoritas[3]. Sementara itu Benedict
dan Mead mengetengahkan pemahaman atas demokrasi dalam makna lintas-budaya (cross-cultural meaning) yaitu apa yang
dikenal dengan “dari, oleh dan untuk masyarakat” yang pada dasarnya memberikan
suara pada masyarakat untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri[4].
Paley menuliskan beberapa pemahaman atas demokrasi, yaitu
(1) aspirasi bagi mereka yang hidup dalam rejim yang opresif, (2) apabila
tercapai menjadi suatu kemenangan populer, serta (3) secara politis dan
personal diinvestasikan dalam perjuangan untuk hak asasi manusia, aturan hukum,
mitigasi dari ketimpangan pendapatan yang buruk. Namun demikian Paley mengingatkan
beragamnya pemahaman atas demokrasi. Hingga akhirnya pada akhir artikel ini
diketengahkan dengan apa yang disebutnya dengan demokratisasi etnografi dimana
hal tersebut dicapai pada saat dilakukannya transofrmasi relasi kekuasaan
dengan pengetahuan dari peneliti, tineliti, dan publik secara luas.
Civil Society (Masyarakat Sipil)
Pemahaman klasik atas masyarakat sipil diketengahkan oleh
Angela Cheater[5] dimana
masyarakat sipil mengimplikasikan bebasnya para individu dan kelompok dalam
membentuk asosiasi dan organisasi yang independen dari negara dalam usahanya untuk
memediasi warganegara dan negara. Isabelle Clark-Deces[6] mengetengahkan tiga hal
yang berkaitan dengan masyarakat sipil, yaitu (1) bentuk asosiasi sukarela
antarorang di luar ranah negara dan pasar, (2) nilai – nilai tanggungjawab dan
penghormatan kepada orang lain, serta (3) gagasan atas ruang dimana orang –
orang dapat berkumpul sedemikianrupa dimana mereka dapat mendiskusikan dan
berpartisipasi dalam urusan publik. Sementara itu, Akihiro Agawa[7] menyatakan bahwa masyarakat
sipil merupakan “sekumpulan kehidupan individu – suatu ruang solidaritas dan
moral … merupakan arena kewarganegaraan yang aktif dan peduli akan isu – isu
publik”.
Dalam kaitannya dengan masyarakat sipil dan
kepemerintahan, Paley menyatakan bahwa beberapa Antropolog mulai mempertanyakan
apakah demokrasi pada akhirnya memperkuat masyarakat sipil. NGO disinyalir
menciptakan apa yang disebut dengan kepemerintahan dari bawah atau konter balik
kepemerintahan.
Social
Movement (Gerakan
Sosial)
Robert
Mirsel memahami gerakan tersebut sebagai proses perubahan (atau paling kurang,
perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004: 12). Rao[8]
menyatakan bahwa gerakan sosial berbentuk pengorganisasian diri kolektif demi
pengakuan sosial dan penegasan akan hak atau kepentingan eksistensial yang
selama ini ditolak oleh orang atau kelompok tertentu. Gerakan sosial tersebut
merupakan bentuk keterlibatan aktif dalam melawan ancaman pada hak dan
keberadaan kelompok atau orang – orang tertentu.
Citizenship (Kewarganegaraan)
Secara singkat dipahami sebagai anggota
suatu bangsa dimana di dalamnya terkandung cara berpikir, cara berdebat dan
cara bertindak dalam aturan singkat suatu permainan yang umum bagi kita semua[9].
Konsepsi secara politik terhadap kewarganegaraan dibentuk oleh makna, hak serta
kewajiban anggota dalam public, serta bentuk badan dan modalitas partisipasi
yang diimplikasikan dengan keanggotaan tersebut[10].
Sementara itu Clough-Riquelme menyatakan bahwa Antropologi Kewarganegaraan
semestinya memusatkan perhatian pada interaksi di tingkat lokal yang disebut
sebagai “jendela” kesempatan atau peluang yang tidak dihubungkan dengan kontrol
dan aturan negara, namun lebih pada ruang yang menyediakan akses untuk
informasi, saran dan orientasi yang berhubungan dengan spektrum isu dimana
negara memiliki yurisdiksinya[11].
Dalam kaitannya dengan kualitas
kewarganegaraan, Paley dalam artikelnya ini menyatakan bahwa orang – orang
secara berbeda berada dalam sirkuit nasional dan internasional dan hal tersebut
menimbulkan pengalaman kewarganegaraan dan relasi dengan badan pemerintah yang
beragam.
Governmentality
(Kepemerintahan)
Zigon[12]
menuliskan bahwa “kepemerintahan terdiri dari strategi dan praktik – praktik
yang diterapkan oleh negara – negara modern dalam rangka membentuk, mengubah,
serta mempengaruhi perilaku seseorang … dirancang untuk diterapkan pada orang –
orang itu sendiri” atau yang disebut oleh Foucault sebagai teknologi diri (technologies of the self) atau yang
disebut oleh Dean[13],
sebagai interpretasi governmentality Faoucault,
sebagai “conduct of conduct”.
NGO (LSM)
Dijelaskan
oleh Singer dan Erikson[14]
sebagai organisasi swasta sukarela yang menjalankan kegiatan dalam rangka meringankan
penderitaan, mempromosikan kepentingan orang miskin, melindungi lingkungan,
menyediakan layanan sosial dasar, atau melaksanakan pemberdayaan masyarakat.
Kajian
Antropologis pada era pasca perang, poskolonial dan akhir perang dingin.
(1) Periode Kolonial
Antropolog Sosial Inggris pada periode ini banyak
melakukan kajian yang sinkronis serta menggunakan paradigma Fungsional
Struktural (lokalisme). Kritik yang disampaikan terhadap kajian yang seperti
ini adalah bahwa kajian ini tidak mencari tahu pola dan dampak dari
kepemerintahan kolonial
(2) Poskolonial
Antropolog Amerika banyak bermunculan pada era ini dimana
banyak diulas mengenai permasalahan atas faktor – faktor pembentuk dan penguat
demokrasi. Pada era ini demokrasi dianggap sebagai sinyal kemodernan.
(3) Akhir perang dingin
Pada periode ini banyak dibahas mengenai bangsa (state), globalisasi, lembaga politik
formal, pemerintahan yang baik (good
governance) dan juga demokrasi.
Artikel ini mengetengahkan digunakannya pengamatan
tentang perbedaan budaya untuk mempermasalahkan asumsi universalis dari praktik
demokrasi di Barat itu sendiri. Dari beberapa etnografi, disimuplkan bahwa
kewenangan tradisional merugikan kinerja demokrasi
[1] “Democracy
is ‘something of the people’ (Readings in African Politics, Tom Young)
[2] “Democracy
is the continual striving toward a social order that sponsors reasoned
deliberation, promotes civic participation in decision making, justly and
equitably distributes political-economic power, and facilitate cultural
inclusiveness” (A Companion to the Anthropology of Education, Bradley A. U.
Levinson dan Mica Pollock)
[3] Theoretical Anthropology: Second Edition,
David Bidney dan martin Bidney
[4] An Anthropologist at Work, Ruth Benedict
dan Margaret Mead
[5] The Anthropology of Power, Angela Cheater
[6] A Companion to the Anthropology of India,
Isabelle Clark-Deces
[7] “A
unity of individual lives – a sphere of solidarity and moral sentiment … it is
an arena of active citizenry and concern about public issues” (The Failure
of Civil Society?: The Third Sector and The State in Contemporary Japan,
Akihiro Agawa)
[8] Introduction to Indian Social
Anthropology, K. S. Krishna Rao
[9] “member
of the nation … a way of thinking, a way of debating, a way of acting, in brief
rules of the game that are common to all of us” (A Companion to the
Anthropology of Europe, Ulrich Kockel, et.al.)
[10] A Companion to the Anthropology of
Education, Bradley A. U. Levinson dan Mica Pollock
[11] Gender, Citizenship, and Local Democracy in
Paraguay: A comparative Analysis of Social Power and Political Participation in
the Central Region, Jane Clough-Riquelme
[12] Morality: An Anthropological Perspective,
Jarnett Zigon
[13] Dalam Governing the Female Body: Gender,
Health, and Networks of Power, Lori Stephens Reed dan Paula Saukko
[14] A Companion to Medical Anthropology, Merril
Singer dan Pamela I. Erikson
No comments:
Post a Comment