- Asumsi dasar
- Nilai
- Model atau perumpamaan atau analogi
- Masalah
- Konsep
- Metode Penelitian
- Metode analisis
- Hasil analisis
- Representasi atau Etnografi
RINGKASAN
Banyaknya perdebatan yang muncul dan tulisan-tulisan yang dihasilkan dari para antropolog dan para sosiolog mengenai pendekatan etnosains dan etnometodologi serta perlunya publikasi antologi terbaru menjadi latar belakang penulisan perbandingan dua aliran ini (halaman 103 paragraf 1). Perbedaan sifat kedua pendekatan ini tidak disarankan oleh Heddy (yang kemudian saya tulis sebagai penulis) untuk menjadi pusat perhatian dimana Etnosains, dengan unsur kata sains, dianggap memiliki sifat pasif sedangkan Etnometodologi, dengan unsur kata metodologi didalamnya, dianggap memiliki sifat aktif. Di lain pihak kedua pendekatan ini juga memiliki persamaan dalam hal pengambilan sudut pandang dalam penelitian. Yaitu memandang dari sudut pandang orang-orang yang terlibat di dalamnya dan mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan mereka.
Tulisan ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama akan menyuguhkan akar-akar pemikiran yang dibarengi dengan penyuguhan penyebab-penyebab munculnya pemikiran tersebut. Tentu saja di dalamnya mencakup asumsi-asumsi dasar dan juga melihat cabang-cabang ilmu yang mempengaruhi kedua pendekatan tersebut. Bagian kedua akan membandingkan kedua metode pendekatan atau cara analisis kedua pendekatan dengan didahului penyajian sebuah data. Bagian ketiga akan lebih mengulas mengenai persamaan dan perbedaan kedua aliran dan yang terakhir akan disuguhkan ringkasan serta pandangan penulis mengenai hubungan yang ada diantara kedua pendekatan ini dan bagaimana hubungannya dengan kegiatan pembangunan di Indonesia.
Dalam ringkasan ini saya memasukkan analisa data etnosains dan etnometodologi ke dalam ringkasan masing-masing pendekatan.
Etnosains
Dipandang sebagai sebuah pendekatan yang memiliki tujuan akhir yang sama dengan Etnografi, yaitu “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world”, namun menggunakan metode baru yang dianggap dapat menjawab permasalahan yang selama ini ditemui oleh para peneliti pada saat mereka mencoba untuk berbagai macam kebudayaan suku-suku bangsa di dunia. Tiga masalah pokok yang mereka temui adalah pertama, perbedaan minat ahli antropologi yang menyebabkan perbedaan data yang dikumpulkan, kedua adalah perbedaan metode dan masalah yang ketiga atau yang terakhir adalah ketidaksamaan pendapat diantara para antropolog dalam menentukan kriteria pengklasifikasian. Kemudian disepakatilah bahwa kelemahan para antropolog adalah pada cara pelukisan kebudayaan. Pendekatan dari linguistik yaitu cabang dari ilmu fonologi, yaitu fonemik dan fonetik kemudian digunakan. Namun penggunaan model ini juga tidak mampu menjawab permasalahan tersebut diatas oleh karena model ini masih tetap menggunakan sudut pandang si peneliti tetap terjadi perbedaan. Merekapun kembali memetakan letak permasalahan utama dan ditemukanlah bahwa perbedaan definisi kebudayaan diantara penelitilah yang mendasari permasalahan yang mereka temui selama ini.
Sebagai tambahan, peneliti disarankan untuk memberikan pertanyaan yang menggunakan konsep-konsep yang dimiliki oleh masyarakat yang diteliti tersebut (peneliti menyimpan dulu konsep-konsep yang dia ketahui) dan yang paling penting adalah menguasai bahasa masyarakat yang diteliti. Hal ini berlandaskan pada anggapan bahwa pemberian nama kepada bermacam-macam hal akan memudahkan klasifikasi dan menangkap pandangan hidup masyarakat tersebut. Hal ini merupakan akibat dari definisi kebudayaan menurut Goodenough. Definisi Goodenough mengenai kebudayaan, menurut yang saya tangkap dengan keterbatasan pemahaman saya, adalah pengorganisasian masyarakat, tingkah lau, emosi-emosi dan hal-hal lain. Apa yang mereka lakukan, katakan, tata cara hubungan sosial dan pelaksanaan even-even merupakan hasil penafsiran, penangkapan dan pengamatan-pengamatan berdasarkan situasi tertentu. Goodenough mengharuskan peneliti untuk mengetahui sistem pengetahuan suatu masyarakat yang meliputi klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hal-hal lain.
Ada tiga kelompok yang digolongkan berhubungan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi. Kelompok pertama menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka (halaman 108 paragraf 2). Didalamnya terdapat pengklasifikasian oleh masyarakat sendiri dalam mereka menghadapi lingkungan dan hasil akhirnya adalah peta kognitif. Prinsip-prinsip universal yang dihasilkan dilakukan dengan sistem perbandingan. Kelompok kedua menekankan pada aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Seperti halnya kelompok pertama, prinsip-prinsip universal juga dihasilkan melalui sistem perbandingan. Kelompok yang ketiga atau yang g terakhir memandang kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Ada empat cara yang yang menurut Spradley dapat digunakan dalam mendapatkan tema-tema budaya. Pertama, setelah mendapatkan berbagai macam kategorisasi, peneliti membaca kembali data tersebut dan kemudian melihat kaitan antar berbagai macam kategorisasi. Kedua, memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada. Ketiga adalah dengan menganalisis secara mendalam sistem kategorisasi mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu kegiatan tertentu. Dan yang terakhir adalah menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Seperti pada kelompok kedua, kelompok ini juga memperhatikan sistem klasifikasi yang ada di masyarakat menggunakan landasan teori tentang makna. Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.
Ketiga kelompok tersebut di atas merupakan wujud dari aliran etnosains yang istilahnya sendiri belum disepakati oleh para ahli antropologi. Berbagai macam istilah yang dipakai berlandaskan pada apa yang dianggap penting namun memiliki keseragaman yaitu pada metode yang dipakai. Etnosains akhirnya disepakati sebagai metode. Etnosains atau Ethnoscience berasal dari kata Ethnos yang berarti bangsa dan Scientia yang berarti pengetahuan.
Hasil akhir sebuah penelitian yang menggunakan metode etnosains adalah pelukisan sistem pengetahuan yang ada pada warga masyarakat atu kelompok masyarakat tertentu, dan bukan pola dari tingkah laku mereka.
Etnometodologi
Dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul dan tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah. Hal ini agak berlainan dengan Goodenough yang menyatakan bahwa phenomenal order adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola tingkah-laku yang diamati. Kesadaran memiliki dua aspek yaitu proses sadar dan obyek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di dalamnya yang saling berhubungan dan menjadi apa yang disebut intersubjective dimana terjadi timbal balik perspektif. Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat mempengaruhi hal-hal tersebut.
Perbandingan
Saya ingin meringkasnya ke dalam tabel persamaan dan perbedaan.
Metode | Persamaan | Perbedaan |
Etnosains | 1. Menggunakan data bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan analisa 2. Tidak mempersoalkan apakah pengetahuan tersebut salah atau benar menurut kriteria tertentu 3. Berusaha mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah-laku manusia 4. Mencoba menemukan prinsip-prinsip yang universal 5. Berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia dimana manusia pada dasarnya selalu memberi makna terhadap gejala yang dihadapai. | 1. Mencapai prinsip-prinsip universal menggunakan metode perbandingan yang membawanya pada tingkat etnologi. 2. Pada tingkat etnografi, etnosains tidak mencari keuniversalan dan berusaha menggambarkan aspek tertentu dari suatu kebudayaan dengan cara tertentu agar dapat dibandingkan dengan data lain. 3. Lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku |
Etnometodologi | 1. Berusaha mendapatkan basic rule 2. Mencapai prinsip-prinsip universal bertitik-tolak dari phenomenologi yang berupaya mendapatkan essential features 3. Lebih banyak memperhatikan dengan usaha untuk menentukan basic features of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality is created outof the interlocked activity of human actors becomes an important and critical topic for examination |
Relevansi Etnosains di Indonesia
Penulis lebih memfokuskan diri pada etnosains dengan alasan pengetahuan penulis yang minim mengenai etnometodologi. Penekanan aliran ini pada aspek kognitif mempengaruhi metode-metode untuk penelitian, pelukisan dan pengembangannya. Dalam kaitannya dengan pembangunan, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi siapa sebenarnya obyek pembangunan itu sendiri yang tentu saja manusia. Namun manusia yang mana itu yang harus digarisbawahi. Berlandaskan pada pengetahuan bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai macam kebudayaan, mengetahui kebudayaan setempat dan melibatkan partisipasi mereka adalah cara yang tepat menurut penulis. Dengan sudut pandang inilah kemudian etnosains menjadi metode yang bisa digunakan karena etnosains berangkat dari pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran yang ada pada masyarakat yang diteliti. Etnosains mencoba melihat lingkungan dimana suatu masyarakat berada lewat kacamata masyarakat itu sendiri, mencoba menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada dengan memperhatikan juga penafsiran-penafsiran para pelaku (halaman 130 paragraf 3 baris 1-5).
TANGGAPAN DAN KRITIK
Satu pernyataan dari Heddy yang saya ingat dan saya sangat setuju adalah bahwa seorang peneliti bukan hanya mencari kesenangan semata namun dia juga harus melihat apa kegunaan dari penelitian tersebut dalam pembangunan di Indonesia. Jadi tanggapan dan kritik saya lebih akan kepada hubungan pendekatan ini dengan pembangunan di Indonesia.
Sebelum saya memberikan tanggapan dan kritik, saya ingin mengcopy paste suatu kenyataan yang terjadi di Indonesia seperti yang saya tuliskan di tugas Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern dimana saya membahas tulisan A. R. Radcliffe-Brown yang berjudul Religion and Society.
Terdapatlah sebuah komunitas di Jawa Barat yang bertujuan merehabilitasi dasar, ajaran dan watak masing-masing individu ke dalam dasar ngaji rasa. Ngaji rasa di sini adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.
Anggota komunitas ini tidak diberikan Kartu Tanda Penduduk oleh karena mereka tidak menuliskan apa agama mereka dalam kolom agama. Komunitas ini tidak bisa menerima apabila mereka harus menuliskan salah satu agama yang berlaku di Indonesia karena agama-agama tersebut bukanlah keyakinan yang mereka anut. Mereka pernah diminta untuk menulis aliran kepercayaan dalam kolom tersebut, namun mereka juga menolak karena keyakinan mereka bukanlah aliran kepercayaan. Pada saat mereka diminta untuk membubuhkan tanda strip (-) pada kolom tersebut mereka juga menolak karena tidak ada agama yang strip (-).
Berkenaan dengan KTP, aliran kepercayaan tidak bisa dimasukkan lagi dalam kolom agama di KTP dan saat ini Depdagri sedang mengkaji penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi kehidupan anggota komunitas ini dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar komunitas itu tidak memiliki sumber pendapatan yang rutin atau lebih tepatnya yang mereka katakan sebagai kerja serabutan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan beberapa merupakan nelayan. Mereka pernah mengajukan permohonan tanah milik masyarakat yang bisa mereka jadikan lahan pertanian sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan rutin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Permintaan mereka selalu ditolak karena mereka tidak memiliki KTP. Informasi lainnya adalah bahwa aliran ini dianggap sesat oleh sebuah organisasi masa berlandaskan agama dan terkadang juga menjadi incaran salah satu organisasi masa lain yang juga berlandaskan agama untuk diobrak-abrik.
Menurut pengakuan komunitas ini, masyarakat di sekitar komunitas ini tidak memiliki masalah mendasar dengan mereka yang mereka kuatkan dengan alasan bahwa tidak pernah ada silang pendapat, pertengkaran atapun gangguan sosial yang disebabkan oleh adanya komunitas ini. Komunitas ini memetakan bahwa intrusi yang mereka terima adalah dari kebijakan pemerintah dan juga kebijakan sebuah organisasi masa dengan nama yang besar terkadang tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.
Saya acap kali menceritakan keberadaan komunitas ini ke banyak orang yang saya temui dan saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mengetahui mengenai keberadaan komunitas ini walaupun terkadang di ekspos oleh media massa dan satu lagi pernyataan menarik dari salah satu anggota komunitas tersebut adalah tidak mudah untuk mengetahui essensi dasar keyakinan mereka dan membuat dasar teori mengenai komunitas mereka karena kalau saya boleh menggunakan kata-kata dia adalah “ýang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah” (konsep ngaji rasa).
Saya sangat setuju apabila kemudian etnosains digunakan sebagai metode untuk meneliti masyarakat ini. Namun kemudian karena kenyataan di atas ada unsur pemerintah dan organisasi massa yang lain saya pikir perlu ditambahkan pengamatan sistem kepemerintahan, analisa hukum dan perundang-undangan yang telah diberlakukan oleh pemerintah dalam mengatur kebudayaan, kebebasan memeluk agama dan keyakinanya, peraturan perundangan pembentukan dan operasional sebuah organisasi massa dan juga menganalisa dan mengamati kebudayaan atau agama atau keyakinan yang bersinggungan dengan kebudayaan atau agama atau keyakinan tersebut.
Alasan lain yang menguatkan saya untuk menyetujui penggunaan etnosains adalah kelompok ketiga yang digolongkan menurut implikasi-implikasi permasalahan di antropologi yang saya pikir cara berpikir dan metodenya dapat digunakan. Yaitu kelompok yang melihat kebudayaan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk perceiving dan dealing with circumstances. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Tema-tema budaya inilah yang nantinya akan membantu peneliti dalam melihat budaya-budaya di Indonesia yang kemudian akan menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia dalam merencanakan pembangunannya karena disitu salah satunya adalah memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada dan yang tidak kalah pentingnya juga menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti.
Dalam makalah pembahasan tulisan Brown tersebut saya juga mengungkapkan bahwa cara penelitian intensif dan detil juga diperlukan dan hal ini juga diketengahkan oleh oleh penulis bahwa kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.
RINGKASAN
Bab I - Krisis dalam Pengenalan-Diri Manusia
Dalam bab ini diuraikan penjelasan dan juga upaya-upaya yang telah ditempuh oleh beberapa pihak mengenai pentingnya pengenalan diri manusia yang ditegaskan oleh Ernst “sebagai kewajiban dasar manusia” (hal 6). Upaya pertama, yang dituliskan dalam buku ini, dalam pengenalan diri yang menjadi syarat utama untuk realisasi diri dan untuk mereguk kebebasan sejati diwujudkan dalam bentuk sebuah pendekatan dari metode introspeksi. Namun metode ini disangsikan oleh kaum skeptisis yang pandangan-pandangannya dinilai sebagai penyeimbang terhadap humanisme yang mutlak-mutlakan. Lebih lanjut pendekatan ini, menurut Ernst, hanya diakui oleh sedikit psikolog modern karena dianggap sebagai metode yang rawan. Hal ini berlawanan dengan pemikiran pada masa penulisan buku ini dimana pengenalan diri menuju ke arah yang berlawanan. Sehingga muncullah pendekatan behavourisme-objektif. Namun pendekatan ini dianggap gagal memecahkan semua problem psikologis karena keradikalan dan kekonsitenannya namun di lain pihak memberikan kontribusi dalam mempertimbangkan kemungkinan kekeliruan-kekeliruan metodologis.
Kembali pada metode introspeksi, Ernst memiliki pandangannya sendiri terlepas dari kritik atau sangsi terhadap metode tersebut. Ernst berpikir bahwa introspeksi diperlukan untuk menentukan lapangan psikologi yang didalamnya juga mencakup penyadaran langsung atas perasaan-perasaan, keharuan-keharuan, persepsi-persepsi dan pikiran-pikiran walaupun metode ini menyumbang sebagian kecil saja untuk mengetahui tentang manusia yaitu kodrat manusia itu sendiri.
Berbicara mengenai manusia juga berbicara mengenai lingkungan fisik tempat manusia tersebut bergantung. Pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangannya, manusia belajar melalui lingkungan di luarnya sehingga dia dapat beradaptasi atau bisa disebut juga pandangan extrovert. Perkembangan kebudayaan kemudian mulai mengarah juga ke pandangan introvert yang dikatakan oleh Ernst, “yang menyertai dan melengkapi pandangan yang extrovert” (hal 6, baris 12-13). Dalam dunia religi diwujudkan dalam bentuk semboyan “Kenalilah dirimu sendiri”. Dalam semua bentuk keagamaan yang tinggi, semboyan “Kenalilah dirimu sendiri” dianggap sebagai suatu imperatif kategoris, sebagai moral dasar dan hukum agama. Prinsip ini juga ada dalam perkembangan pandangan-pandangan filosofis yang kemudian berujung pada pertanyaan pada apa itu manusia.
Dijelaskan dalam bab ini bahwa manusia tidak dapat diterangkan berdasar sifat-sifat objektifnya namun berdasarkan pada kesadarannya. “Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-siat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya” (hal 9). Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan masuk ke dalam kehidupan manusia itu sendiri sehingga memperoleh kebenaran pemahaman mengenai manusia. Ditegaskan pada halaman berikutnya dengan kalimat “Kebenaran pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran dialektis ... Kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial”. Ada satu jawaban untuk pertanyaan mengenai manusia yang dianggap jawaban klasik oleh Ernst yaitu, “Manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari dirinya – makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya” dan hal ini merupakan hasil kajiannya berdasarkan atas filsafat Sokrates yang menyatakan “Hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi”. Ernst menyatakan bahwa filsafat ini perlu dibandingkan dengan hasil pemikiran-pemikiran dari filosof yang lain yang dalam buku ini tidak dia jelaskan lebih lanjut mengenai perbandingan-perbandingan tersebut. Namun Ernst mengetengahkan kesimpulan dari pemikiran para filosof yaitu bahwa ”untuk menemukan kodrat dan hakikat manusia kita pertama-tama harus menyisihkan sifat-sifat yang insidental dan eksternal”. Dengan cara ini diharapkan dapat melihat self atau bentuk tak terubahkan dan tak tergoyahkan dari diri manusia.
Namun teori mengenai manusia dari para filosof saja tidak cukup. “Yang dicari sekarang adalah teori umum tentang manusia yang didasarkan atas observasi empiris dan prinsip-prinsip umum logika”. Pemikiran-pemikiran secara matematis pada mulanya dianggap sebagai metode untuk upaya tersebut yang kemudian digantikan dengan pemikiran-pemikiran biologis yang mengutamakan teori evolusinya. Pemikiran baru muncul bahwa pusat perhatian bukanlah pada fakta-fakta empiris dari evolusi manusia tersebut namun bagaimana melakukan interpretasi teoretis atas fakta-fakta tersebut. “Teori evolusi telah menghancurkan batas arbitrer di antara berbagai bentuk kehidupan organis. Tidak ada spesies yang terpisah, hanya ada satu arus kehidupan yang kontinyu dan tidak terputus-putus”. Ernst menutup bab ini dengan mengetengahkan pemikirannya mengenai belum adanya metode untuk “menguasai dan mengorganisasi bahan-bahan itu”. Dan bahan-bahan di sini yang dia maksud adalah fakta-fakta empiris.
Bab II – Petunjuk Kepada Kodrat Manusia; Simbol
Digantikannya dominasi evolusionisme dari kaum ahli bologi mengenai manusia dan teori mengenai perlunya menilik fakta-fakta empiris dengan metode-metode untuk menguasai dan mengorganisasi bahan-bahan tersebut ditanggapi oleh seorang biolog bernama Johannes von Uexkull dengan mengeluarkan teorinya, “ilmu pengetahuan alam yang harus dibangun menurut metode-metode empiris yang biasa – metode pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimentasi). Dia juga menganalogikan realitas dengan organisme dimana menurut Uexkull realita, mencakup benda-benda dan makhluk hidup, sama dengan organisme yang amat terbagi-bagi, dan begitu banyak bagan dan pola. Seperti organisme yang memiliki pengalamannya sendiri dan organismenya sendiri, demikian juga dengan manusia. Pengalaman – pegalaman tersebut bukanlah bahan perbandingan antara satu organisme dengan organisme yang lain.
Menurut saya yang sedang belajar antropologi, pembahasan dalam bab ini kemudian difokuskan kepada makhluk hidup sebagai bagian dari realita. Makhluk hidup yang bisa kita lihat sehari-hari, atau kalau boleh saya sebut sebagai makhluk hidup yang empiris, adalah binatang dan manusia. Dalam bab ini disebutkan, secara anatomi, manusia dan binatang sama – sama memiliki Merknetz dan Wirknetz tertentu namun ada satu hal khusus yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki binatang yaitu terdapatnya sistem simbolis. Sistem simbolis pada manusia merupakan hasil analisa pada respon – respon yang diberikan manusia terhadap suatu keadaan. Binatang merespon langsung pada stimulus yang diberikan sementara manusia melalui proses berpikir yang memakan waktu lebih lama dari binatang dan lebih rumit. Untuk memberikan perbedaan binatang dan manusia, dalam bab ini disebutkan bahwa binatang lebih memberikan reaksi sedangkan manusia memberikan respon. Simbol-simbol yang ada dalam kehidupan manusia lainnya adalah adanya bahasa, mite, seni dan agama. “Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis ini.” (hal 39 baris2-3). Tidak diketengahkan dalam bab ini konsep mengenai rationale namun pada halaman yang sama disebutkan bahwa manusia adalah animal rationale. Saya hanya bisa menebak bahwa karena memiliki proses berpikir, yang kemudian saya artikan sebagai rationale, yang tidak dimiliki oleh binatang manusia, kemudian disebut sebagai animal rationale.
Penggunaan istilah rationale itu sendiri masih menjadi pertanyaan oleh karena ketidakmungkinan penggunaan rasional dalam mempelajari struktur mitos yang juga merupakan simbol dalam kehidupan manusia yang tidak konseptual dan matematis. Sehingga diusulkanlah istilah animal symbolicum untuk mendefinisikan manusia.
Bab III – Dari Reaksi – Reaksi Binatang ke Respons – Respons Manusiawi
Bab ini dibuka dengan manusia seperti yang diketengahkan pada bagian akhir bab II dimana manusia yang dimodelkan sebagai animal symbolicum. Dengan mendasari pemikiran bahwa “pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondiri itu”. Lebih lanjut pada bab ini akan mengetengahkan perbedaan tajam antara perilaku simbolis pada manusia dan pada dunia binatang menilik pada kenyataan bahwa binatang-binatang pun tidak selalu bereaksi langsung. Metode pertama yang menurut Ernst perlu dilakukan adalah “menemukan titik tolak logis yang tepat dan mengarah kepada interpretasi mendalam dan memadai terhadap fakta-fakta empiris”. Titik tolak yang dimaksud disini adalah definisi tuturan. Ernst mengusulkan untuk menginvestigasi tatanan dan hubungan di antara unsur-unsur penentu daripada membuat definisi tuturan yang siap-pakai.
”Lapisan pertama dan paling dasar tentu saja bahasa emosi” (hal 44 baris 9-10) yang dipandang bukan hanya sebagai ungkapan perasaan namun juga memiliki struktur sintaktis dan logis. Saya menghubungkan teori ini dengan sebuah teori lain dari buku yang pernah saya baca (yang saya lupa judul dan pengarangnya) bahwa dalam diri manusia ada proses objektif – subjektif dan kemudian objektif. Contoh yang bisa menjelaskan ini adalah pada saat seorang individu membaca sebuah buku, sebagai bahan yang objektif, dia mengalami proses pemikiran-pemikiran tertentu yang merupakan sebuah proses peng”subyektifitas”an dan kemudian beralih menjadi proses objektif pada saat dia menuturkan kepada orang lain mengenai pemikiran-pemikiran tersebut agar orang lain bisa memahaminya. Proses objektif yang terakhir ini, menurut saya bila dihubungkan dengan pembahasan Ernst mengenai pengenalan diri manusia pada bab I, adalah saat dimana manusia mencari “kebenaran” melalui proses dialektis. Dalam segi bahasa pun, secara spesifik dalam bahasa proporsional dan emosi, belum ditemukan perbedaan tajam antara manusia dan binatang sehingga diambilah sudut pandang penelaahan yang lain yaitu dari segi inteligensi dan keluarlah teori yang diketengahkan pada halaman 50 yang menyatakan “binatang memiliki inteligensi praktis atau imajinasi-praktis, tetapi hanya manusialah yang mengembangkan suatu bentuk baru: intelegensi-simbolis dan imajinasi simbolis” (hal 50 baris 11-14). “Salah satu ciri istimewa yang paling mencolok pada simbolisme manusia adalah kemungkinannya untuk diterapkan secara umum, berdasarkan kenyataan bahwa setiap hal punya nama” (hal 54 paragraf terakhir).
Berdasarkan teori-teori di atas, muncullah pertanyaan baru atas “ketergantungan pemikiran rasional kepada pemikiran simbolis yang memiliki asumsi dasar “tanpa sistem simbol yang rumit, pemikiran rasional tak mungkin tumbuh apalagi berkembang secara penuh”. Kemampuan mengembangkan inilah yang membedakan manusia dengan binatang meskipun disebutkan bahwa dalam binatang pun ada “benih benih distinctio rationis”. Sehingga pembedaan manusia dengan binatang dari sudut pandang bahasa mulai ditemukan titiknya dengan sebuah teori yang menyatakan bahwa “tuturan adalah suatu proses, suatu fungsi umum dari pikiran manusia”. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah penelitian atas para penderita aphasia yang “tidak hanya kehilangan kemampuan menggunakan kata-kata tetapi mengalami perubahan kepribadian pula. Mereka tidak lagi mampu berpikir dalam konsep – konsep umum atau kategori – kategori umum. Tidak mampu menangkap pengertian – pengertian umum, mereka melekatkan diri pada fakta – fakta langsung pada situasi – situasi kongkret”.
Bab IV – Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan ruang dan waktu yang membingkainya. Menurut Ernst, “lapisan paling rendah boleh kita sebut ruang dan waktu organis. Setiap organisme hidup dalam lingkungan tertentu, dan supaya tetap bertahan organisme itu harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya.” Selain ruang organis yang berada pada lapisan paling rendah, pada binatang – binatang “tinggi” ada yang biasa disebut dengan “ruang perseptual. Ruang ini bukan sekadar data inderawi, sifatnya amat kompleks, memuat unsur-unsur dari berbagai macam pengalaman inderawi – optik, taktik, akustik, dan kinestetik.” Ada kritik mengenai ruang ini dianggap tidak ilmiah atau “benar” secara filosofis. Ilmiah atau kebenaran filosofis dalam bab ini adalah filsafat harus mengabstraksi dari data – data inderawi dan ruang perseptual tidak dapat diabstraksi dari data – data inderawi sehingga ruang ini dapat ditilik dari kebenaran pernyataan – pernyataan dan putusan – putusan. Hal ini juga tidak lepas dari kritik oleh Ernst dimana disebutkan pada halaman 68 paragraf pertama menyebutkan, “dari sudut pandangan kebudayaan atau mentalitas primitif, langkah menentukan dari ruang aksi ke konsep ruang ilmiah atau teoretis – ruang geometri – adalah langkah yang hampir – hampir mustahil”. Sehingga pada halaman 69 disebutkan bahwa ada perbedaan yang jelas “antara penangkapan secara kongkret dan secara abstrak terhadap ruang dan hubungan – hubungan spasial”. Alasan lain yang dikemukakan oleh Ernst adalah “ruang geometris menyisihkan ruang mitis dan magis.” Ada satu teori oleh Kant berhubungan dengan ruang dan waktu yang dia tuliskan sebagai, “ruang adalah bentuk “pengalaman luar”, sedangkan waktu adalah bentuk “pengalaman dalam”. Manusia dengan pengalaman - pengalamannya ini kemudian melalui proses kreatif dan konstruktif yang diterangkan dengan “ingatan manusia harus mengumpulkannya kembali, menata, mencari sintesis, mengarahkannya pada fokus pemikiran.” Menurut saya, spabila kita berbicara mengenai pengalaman maka kita juga berbicara mengenai masa lampau yang kemudian manusia dengan proses kreatif dan konstruktifnya memberikan respon – respon pada situasi masa kini.
Dalam bab ini juga disebutkan “Tujuan kita adalah fenomenologi kebudayaan” yang dicapai dengan cara “menjelaskan dan memberi illustrasi dengan contoh – contoh yang kongkret yang diangkat dari kehidupan manusia” (hal 78 dengan penekanan oleh saya). Saya menangkap bahwa itu juga menjadi tujuan dari Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji gejala sosial budaya dalam masyarakat.
Setelah berbicara masa lampau dan masa kini, manusia juga memiliki masa yang ketiga yaitu masa depan dan belum dapat dipastikan bahwa hal ini juga terdapat pada dunia binatang. Ernst mengungkapkan bahwa masa depan adalah “dalam bentuk paling luhur kewajiban-kewajiban itu melampaui batas – batas kehidupan empiris manusia, yang berhubungan dengan dan beranalogi ketat dengan masalah-simbolis” yang kemudian disebut sebagai masa depan “profetis” atau masa depan kenabian dimana masa depan tersebut bukanlah fakta empiris melainkan kewajiban religius dan etis. Bab ini kemudian ditutup dengan pernyataan bahwa manusia dengan kekuatan simbolisnya mampu mengembara melewati semua batas keberadaannya yang kemudian saya tangkap di sini adalah manusia mampu mengembara melewati batas ruang dan waktu.
REVIEW
Pertama – tama saya ingin mengungkapkan bahwa buku ini adalah salah satu buku dimana saya merasa sangat mengalir pada saat. Yang saya ingat bahwa buku ini diminta untuk dibaca pada saat topik perkuliahan adalah epistemologi Hermeunetik dimana peneliti melakukan tafsir atau interpretasi terhadap suatu fenomena sosial budaya. Saya berasumsi bahwa buku ini akan memperkaya pemahaman saya akan Hermeunetik itu sendiri. Memang dalam Bab I ini dimana diketengahkan perlunya interpretasi terhadap teoretis terhadap fakta-fakta empiris yang ada dalam kehidupan manusia. Namun saya juga memiliki harapan bahwa saya akan melihat secara metodologis dan analitis mengenai Hermeunetik atau dengan kata lain proses berhermeunetik dalam ilmu sosial budaya. Saya akan coba menelaah pemikiran Ernst dalam buku ini dengan kerangka elemen – elemen dasar paradigma terutama pada bagian epistemologinya.
1. Asumsi Dasar
Manusia adalah salah satu spesies dalam makhluk hidup yang berbeda dengan binatang dari segi rasionalnya, bahasa yang mereka gunakan dan kemampuan manusia dalam menembus ruang dan waktu dalam hal ini bukan yang empiris atau organis namun yang perseptual. Hal ini saya pikir merupakan kritik terhadap dominasi kaum biologist dengan teori evolusionismenya dimana manusia tidak berbeda dengan kera – kera antropoid.
2. Nilai
“Kebenaran pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran dialektis ... Kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial”.
3. Model / perumpaan / analogy
Manusia adalah animal symbolicum.
Metode penelitian yang diketengahkan dalam buku ini, yang saya tangkap, adalah observasi dan eksperimentasi. Saya masih ragu apakah obervasi dan eksperimentasi ini sama dengan metode observasi partisipasi dengan landasan berpikir fenomenologinya. Sedangkan untuk metode analisa yang disarankan adalah interpretasi terhadap fakta-fakta empiris terhadap apa yang ditemukan pada kehidupan manusia yang merupakan hasil dari pemikiran yang kreatif dan konstruktif. Fakta – fakta empiris tersebut, sesuai dengan analogi bahwa manusia adalah animal symbolicum, juga merupakan simbol – simbol dalam kehidupan manusia sehingga muncullah saran untuk memberikan interpretasi terhadap fakta – fakta tersebut.
Saya setuju apabila buku ini bisa menjadi referensi untuk pemahaman mengenai epistemologi Hermeunetik lebih kepada penguat alasan pada penggunaan metode interpretasi atau tafsir sebagai metode analisa data yang dimiliki dengan penegasan kepada interpretasi yang teoretis. Namun harus saya akui, membaca buku ini mengalir karena telah sebelumnya terdapat diskusi mengenai Hermeunetik sebelumnya.