A.
LATAR
BELAKANG
Kita
mungkin pernah mendengar pepatah yang mengatakan ‘buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya’ yang berarti bahwa perilaku seorang anak tidak akan berbeda jauh dari
orang tuanya. Dalam bahasa Jawa, kita dapat menemukan ungkapan yang hampir
sama, yaitu kacang ora ninggal lanjaran
yang diartikan dengan kabiyaksane anak
niru wong tuwane (Drs. Wibisana, 2007) atau yang dalam bahasa Indonesia
saya terjemahkan sebagai kebiasaan anak adalah tiruan dari kebiasaan orang tua.
Drs. Wibisana juga mengetengahkan pepatah-pepatah lain dalam bahasa Jawa dalam
menunjukkan hubungan orang tua dan anak seperti kebo kabotan sungu (kerbau dengan tanduk yang terlalu berat) yang
berarti orang tua yang kesulitan karena memiliki anak banyak dan juga ora ono banyu mili menduwur (tidak ada
air yang mengalir ke atas) yang artinya sifat anak biasanya meniru sifat orang
tua. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai pepatah-pepatah mengenai
hubungan dengan orang tua dan anak, namun saya akan membahas kinship dalam kelompok Suku Dayak Hindu
Budha Bumi Segandu Indramayu. Kata kinship
ini biasanya diterjemahkan menjadi kekeluargaan atau kewangsaan (Kurniawan:
2008). Istilah lain yang digunakan untuk mengartikan kinship adalah kekerabatan.
Paper ini akan
mengetengahkan pola kekerabatan anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha
Bumi Segandu Indramayu. Anggota-anggota yang saya maksud di sini adalah
anggota-anggota kelompok yang “tidak memakai baju”. “Tidak memakai baju” di
sini adalah anggota-anggota kelompok yang hanya mengenakan celana pendek dan
bertelanjang dada pada kehidupan sehari-harinya. Jumlah dari anggota yang
‘tidak memakai baju’ adalah berjumlah 40 orang dari sekitar 700 orang anggota
kelompok tersebut.
B.
MASALAH
Fokus dari paper ini adalah
untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa
jenis diagram keturunan dari anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha
Bumi Segandu Indramayu?
2. Bagaimana
pola dari postmarital residence dari
anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu?
C.
PEMBAHASAN
MASALAH
Keesing
(1992) mengetengahkan kekerabatan sebagai berikut:
“Kekerabatan, bagi kita, secara intuisi menunjuk pada
“hubungan darah”. Yang kita maksud dengan kerabat adalah mereka yang bertalian
berdasarkan ikatan “darah” dengan kita. Kerabat perkawinan, untuk jelasnya
menjadi kerabat karena perkawinan dan bukan karena hubungan darah – dan begitu
juga dengan beberapa dari paman dan bibi kita. Tetapi hubungan keturunan antara
orang tua dan anaklah yang merupakan ikatan pokok kekerabatan”. Pernyataan
Keesing tersebut senada dengan apa yang diuraikan oleh Radcliffe-Brown (1952)
yang menyebut kinship dengan sistem
kekeluargaan sebagai istilah yang lebih singkat dari sistem kekeluargaan dan
perkawinan atau kekeluargaan dan hubungan darah.
Koentjaraningrat
memulai pembahasannya mengenai sistem-sistem kekerabatan dengan mengetengahkan stages along the life-cycle (1977).
Koentjaraningrat menyatakan bahwa tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang
di dalam kitab-kitab antropologi sering disebut stages along the life-cycle itu, adalah misalnya masa bayi, masa
penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah,
masa hamil, masa tua dsb. Mustapa (1985) agaknya menggunakan tahap-tahap life-cycle ini dalam mengetengahkan
tulisannya mengenai adat istiadat orang Sunda dimana dalam bukunya ini
diketengahkan adat pengajaran, adat orang ngidam, adat menjaga orang hamil,
adat menyunat/khitanan, adat menikah hingga adat kematian.
Perkawinan
dianggap Koentjaraningrat sebagai suatu saat peralihan yang terpenting pada life-cycle dan merupakan pengatur
kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan sexnya, ialah kelakuan-kelakuan sex,
terutama persetubuhan. Mustapa sependapat dengan Koentjaranigrat dengan
menyatakan, “…, tetapi sebagai manusia yang normal, yaitu laki-laki dengan
perempuan kalau mau bercampur harus menikah dahulu”.
Satu
hal yang pasti akan dilihat dalam pembahasan-pembahasan mengenai kekerabatan
adalah ditampilkannya bagan kekerabatan atau yang saya sebut di sini dengan family tree atau pohon keluarga. Saya
akan coba ketengahkan ringkasan bagan kekerabatan atau bagan keturunan anggota-anggota
yang ‘buka baju’ di kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu ini dalam
bagan berikut ini. Mohon diperhatikan bahwa istilah-istilah dalam bagan ini
adalah untuk menunjukkan panggilan yang disebutkan oleh si ‘ego’. Penjelasan
akan istilah ‘ego’ saya ambil dari tulisan Marvin Harris (1927) sebagai
berikut:
Anthropologists employ the word ego to
denote the “I” from whose point of view kinship relations are being reckoned.
It is sometimes necessary to state whether the reference person is a male ego
or a female ego.
Bagan
Kekerabatan
Sebelum
saya memulai mengetengahkan bagan kekerabatan anggota-anggota tersebut, ada baiknya
kita menengok apa yang dimaksud dengan pohon keluarga. Marvin Harris (1927) mengetengahkan
beberapa macam bagan. Berikut ini adalah empat dari beberapa bagan tersebut:
1. Bilateral descent
Dalam bagan kekerabatan,
masing-masing orang dalam bagan memiliki hubungan keturunan dengan ego
2. Ambilineal descent
Keturunan dilihat dari garis
orang tua laki-laki dan perempuan
3. Patrilineal descent
Keturunan dilihat dari garis
orang tua laki-laki
4. Matrilinieal descent
Keturunan dilihat dari garis
orang tua perempuan
Macam-macam
garis keturunan itu sendiri kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok besar
yang disebut dengan cognatic descent
rules dan unilineal descent rules. Pada
halaman 262 Harris menjelaskan kedua kelompok besar tersebut dengan penjelasan
sebagai berikut:
Cognatic descent rules are those in
which both male and females parentage are used to establish any of the
above-mentioned duties, rights, and privilieges. Unilineal descent rules, on
the other hand, restrict parental links exclusively to males or exclusively to
females.
Koentjaraningrat
(1977) sepertinya mengacu pada tulisan Harris pada saat dia mengetengahkan
bahwa menurut para sarjana ada paling sedikit empat macam prinsip keturunan
yaitu prinsip patrilineal, prinsip matrilineal, prinsip bilaneal dan prinsip
bilateral. Koentjaraningrat kemudian mengetengahkan sistem istilah kekerabatan
dengan menunjukkannya pada bagan yang dia tampilkan untuk menunjukkan sistem
kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Iroquis. Bagan berikut ini menunjukkan
garis keturunan anggota-anggota kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu
Indramayu tersebut beserta istilahnya:
Dalam
bagan ini diperlihatkan istilah-istilah yang digunakan ‘ego’ untuk menyebut
individu-individu dalam garis keturunannya. Saya akan mendaftarnya sebagai
berikut dengan membandingkannya dengan istilah dalam bahasa Inggris.
1. Bapak
Tua (Inggris: Grandfather)
2. Made
(Inggris: Grandmother)
3. Paman
(Inggris: Uncle)
4. Bibi
(Inggris: Aunt)
5. Bapak
(Inggris: Father)
6. Emak
(Inggris: Mother)
7. Aang
(Inggris: Brother)
Pola
Tempat Tinggal Pasca Perkawinan
Marvin
Harris mengetengahkan pola tempat tinggal pasca perkawinan yang tidak
disinggung oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Beberapa Pokok Antropologi
Sosial dan juga oleh Keesing dalam bukunya Antropologi Budaya secara gambling
pada saat mereka membahas sistem kekerabatan. Ada Sembilan pola tempat tinggal
oleh Harris sebagai berikut:
1. Neolocality,
terpisah dari keluarga suami ataupun istri
2. Bilocality, berpindah-pindah
dari keluarga suami dan perempuan
3. Ambilocality, beberapa
pasangan menetap dengan keluarga suami dan beberapa pasangan menetap dengan keluarga
istri
4. Patrilocality, menetap
dengan orang tua laki-laki suami
5. Matrilocality,
menetap dengan orang tua perempuan istri
6. Avunculocality, menetap
dengan saudara laki-laki ibu dari suami
7. Amitalocality,
menetap dengan saudara perempuan ayah dari istri
8. Uxorilocality, menetap
dengan keluarga istri
9. Virilocality,
menetap dengan keluarga suami
Terdapat
empat dari empat puluh anggota-anggota kelompok SDHBBSI yang menetap bersama
dengan orang tua mereka. Keterbatasan saya dalam mencari tahu informasi lebih
lanjut, menyebabkan saya tidak mengetahui apakah keempat anggota tersebut
menetap dengan keluarga istri atau suami, namun pada saat saya mengunjungi
padepokan kelompok ini, saya mengetahui ada dua keluarga yang menetap bersama
dengan keluarga istri.
D.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan tersebut dapat saya simpulkan bahwa garis keturunan anggota-anggota
ini mengambil bentuk garis keturunan ambilinieal dimana garis keturunan dilihat
dari garis laki-laki dan perempuan sedangkan pola tempat tinggal pasca
perkawinan adalah neolocality dimana
pasangan – pasangan ini menetap terpisah dari keluarga istri maupun suami.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Harris,
Marvin. 1927. “Culture, People, Nature: An Introduction to General
Anthropology”.
Longman, An imprint of Addison Wesley Longman, Inc.
Koentjaraningrat.
1977. “Beberapa Pokok Antropologi Sosial”. Penerbit Dian Rakyat.
Radcliffe-Brown,
A R. 1952. “Structure and Function in Primitive Society”. Routledge & Kegan
Paul, London and Henley.
Mustapa,
R H Hasan. 1985. “Adat Istiadat Orang Sunda”. Penerbit Alumni, Bandung.
Keesing,
Roger M. 1992. “Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer”. Penerbit
Erlangga,
Jakarta.
Kurniawan,
Joeni Arianto. 2008. “Hukum Kekerabatan”. Sebuah presentasi. Universitas
Airlangga
Fakultas Hukum, Departemen Dasar Ilmu Hukum.
No comments:
Post a Comment