Tsing menyuguhkan dua hal dalam menganalisa proses gerakan sosial dalam skala
global. Yang pertama adalah gerakan sebagai sebuah mobilitas atau gerak
perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat, baik secara fisik maupun
secara sosial (Kamus Sosiologi Antropologi, M. Dahlan Yacub Al-Barry) dan yang
kedua adalah gerakan sebagai sebuah mobilisasi sosial atau perpindahan (tempat,
kedudukan, atau tingkah laku) orang – orang dalam masyarakat dengan pola yang
baru (Kamus Sosiologi Antropologi, M. Dahlan Yacub Al-Barry). Gerakan sebagai
sebuah mobilitas, dijelaskan lebih lanjut oleh Tsing, sebagai bentuk - bentuk
aktivisme yang berpindah tempat (traveling forms of activism) sedangkan
gerakan sebagai sebuah mobilisasi merupakan transformasi dari kesadaran (transformation
of consciousness). Dalam menyuguhkan pemaparan gerakan sebagai sebuah
mobilitas dan mobilisasi, Tsing memulai dengan bentuk gerakan pada era pasca
perang dingin (post cold wars).
Gerakan
Liberalisme
Pada
era tersebut gerakan – gerakan yang muncul merupakan gerakan liberalisme yang
mengambil bentuk advokasi hak – hak asasi manusia. Gerakan liberalisme tersebut
dipandang sebagai sebuah usaha untuk membebaskan diri dari takhayul, jarak dan
hirarki kultural dan membentuk dunia yang bebas dan dunia yang tanpa
perpecahan. Jika gerakan liberalisme memandang kebebasan sebagai usaha untuk
menghilangkan segala macam hambatan dan gerakan tersebut semata hanya untuk
memenuhi hasrat perorangan, maka tidak perlu dilakukan mobilisasi. NGO,
advokasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil berubah menjadi bentuk penguasa
imperial yang baru. Liberalisme kemudian terjebak dalam kekuasaan tersebut
karena pola berpikir bahwa liberalisme dimaknai sebagai kebebasan. Praktik – praktik
lokal, tentu saja, dalam gerakan semacam ini kehilangan kekuatannya.
Tsing berpikir bahwa suatu gerakan semestinya
menggambarkan bentuk – bentuk dari mobilitas dengan definisinya secara kultural
dan politik dan mobilisasi membentuk makna baru atas identitas meskipun lahir
dari hubungan dan perbandingan dengan pihak luar. Dalam memobilisasi, sebuah
gerakan harus memberikan model perubahan yang dapat dibayangkan oleh para
aktivis perorangan dan kelompok – kelompok sosial. Ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam mewujudkan gerakan yang demikian.
Yang pertama adalah individu dan kelompok seperti apa yang dapat
menjadi agen pengubah (agents of change). Yang kedua adalah hubungan
yang saling mempengaruhi yang dilakukan secara hati-hati antara paham
nasionalisme dan transnasionalisme dibawah tekanan Order Baru.
Transnasionalisme memiliki praktik – praktik atau kegiatan yang regular,
instan, simultan, prevalen dan intens (Asian Americans = Contemporary Trends
and Issues, Pyong Gap Min), merupakan produk dari globalisasi (Traversing
Transnationalism: The Horizons of Literary and Cultural Studies disunting oleh
Pier Paolo, Frassinelli, Ronit Frenkel, David Watson), dan dapat dilihat
sebagai sebuah proses sosial (Anthropology and Migration: Essays on
Transnationalism, Ethnicity, and Identity, Caroline Brettell). Sedangkan
nasionalisme oleh Bennedict Anderson (Deep Mexico, Silent Mexico: An
Anthropology of Nationalism, Claudio Lomnitz-Adler) dijelaskan sebagai (1)
bentuk spesifik dari komunitarianisme dimana keadaan cultural dari kemungkinan
– kemungkinan ditentukan oleh perkembangan media komunikasi dan tatanegara
kolonial, (2) semacam penerus budaya universalisme agama pra-modern (Eropa), dan
(3) konstruksi budaya yang memiliki pertalian dengan “kekerabatan” atau
“agama”. Sementara Adler berpikir bahwa nasionalisme merupakan sebuah idiom
yang mengartikulasikan warga negara ke dalam beberapa komunitas dari keluarga,
kelompok usaha, desa, kota hingga tingkat nasional. Dan yang ketiga atau yang terakhir adalah
mobilisasi agen – agen yang bersemangat pada era desentralisasi pasca Order
Baru dimana lokalisasi etnis, agama dan gender digunakan secara transnasional.
Masa
Orde Baru
Orde Baru memberikan janji untuk membentuk
Indonesia yang modern dengan melahirkan peraturan hukum, sains dan usaha
transnasional yang bermutu. Gerakan lingkungan, yang kemudian membuka
jalan bagi bentuk gerakan yang lain pada tahun 1990an, mengalami represi tanpa
ujung di bawah rejim Orde Baru. Mereka mempertanyakan bagaimana caranya agar
menjadi pihak oposisi yang kritis dapat terwujud. Pertanyaan tersebut dijawab
dengan ditemukannya kebutuhan akan jejaring transnasional dan jika relevan
dengan permasalahan nasional. Nasionalisme khayalan pun diciptakan dan
membayang-bayangi negara. Transnasionalisme disalurkan ke dalam nasionalisme
dan disiplin ilmu pun diterapkan.
Gerakan lingkungan yang dilakukan oleh WALHI mengusung
isu – isu seperti isu hutan, pestisida dan perubahan iklim. Mereka memiliki
anggota di masing – masin gpropinsi, aktivis masyarakat pedesaan dan pecinta
lingkungan di tingkat propinsi. WALHI menggunakan bentuk perlawanan yang
menggunakan liberalisme untuk melawan liberalisme itu sendiri melalui jalur hukum.
Dengan kata lain liberalisme dapat digunakan untuk melawan liberalisme ketika
berhadapan dengan permasalahan hukum. Dengan cara ini mereka berharap untuk
memberikan kesadaran politik dan mengubah prioritas nasional menjadi gerakan
transnasional. Ada banyak kendala yang dihadapi seperti lambatnya mobillisasi
petani, banyak kesalahpahaman terhadap apa yang diperjuangkan, taktik ad hoc
dinilai tidak demokratis, serta sebagian besar keberhasilan yang dicapai
hanyalah simbolik. Mereka kemudian melakukan penterjemahan terhadap istilah –
istilah dalam liberalisme sehingga dapat dimengerti oleh pendukungnya.
Pasca
Orde Baru
Pada masa ini ruang politik terbuka lebar dan
ideologi yang selama ini ditekan bermunculan. Tsing menggambarkan keadaan pasca
rezim Orde Baru sebagai periode reformasi yang penuh harapan namun semrawut
serta desentralisasi dijadikan agenda nasional. Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana memobilisasi orang – orang marjinal, yang dalam tulisan ini disebut
sebagai disenfranchised people, agar berjuang untuk hak – hak
mereka. Jawabannya adalah melokalkan inisiatif nasional dengan cara
menyebarluaskan cerita – cerita transnasional yang memberikan harapan
alternatif.
Tsing berpendapat bahwa mobilitas tidak ada artinya
tanpa mobilisasi dan melihat bahwa aktivisme mengambil kesempatan atas
kebingungan yang terjadi serta reformasi yang terbuka lebar. Gerakan lingkungan di Indonesia pada era
pasca Order Baru berkembang ke gerakan perjuangan hak – hak manusia dan isu
buruh. Mereka berusaha untuk menciptakan budaya untuk melawan pembangunan
negara yang dipaksakan dan memberikan kesempatan pada pemimpin di daerah – daerah
pedesaan untuk bicara. Isu – isu yang dibawa adalah ancaman pada lingkungan
seperti polusi, pembangunan yang berdampak buruk, atau pencurian hasil hutan
dari masyarakat pedesaan. Mereka berusaha untuk
mewujudkan gerakan nasional (aktivisme transnasional) untuk melindungi
lingkungan.
Politik bergerak ke arah pinggiran. Mereka mulai menciptakan
aliansi – aliansi pada tingkat domestik dan dalam waktu yang bersamaan
melakukan advokasi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Hal ini
dilatarbelakangi dari semangat bahwa hanya dengan bekerja dari dalam dan
sekitar Negara, aktivis dapat membanyangkan alternative untuk mendapatkan
dukungan dana atas kerusakan lingkungan. Dan pergerakan ini berkembang sebagian
karena beberapa teknokrat dalam birokrasi pemerintahan Negara mendukung gerakan
mereka. Pergerakan
ini terjadi ketika mereka tidak lagi bertumpu pada konteks budaya dan politik
dimana mereka muncul.
Ada banyak teori – teori dan pandangan Tsing
mengenai gerakan, terlepas dari fakta bahwa buku ini merupakan suatu tulisan
etnografis, namun saya masih kurang puas dengan tidak disuguhkannya
(1) Definisi
gerakan secara kultural dan politik
(2) Definisi
atas transnasionalisme dan nasionalisme
No comments:
Post a Comment