Menilik pada tujuan William
pada Bab VII ini bahwa dia berusaha “to
present an interpretation of the important principles and ideas which influence
and condition the practice of social life at the local level” atau diterjemahkan sebagai “untuk mengetengahkan
interpretasi dari prinsip dan gagasan penting yang mempengaruhi dan membentuk
praktik kehidupan sosial setempat”, maka dapat dikatakan bahwa William sedang
berusaha untuk memaknai sistem nilai yang ada di kuan dan ume dalam komunitas di Desa Meto, dan yang
kemudian mewujud dalam praktik – praktik sosial dan salah satunya adalah
praktik pernikahan. Sekali lagi saya harus mengetengahkan definisi akan sistem
nilai karena konsep sistem nilai ini lah yang melandasi pengamatan William.
Sistem nilai budaya Koentjaraningrat lah (2010: 387-388) yang menurut saya
sesuai untuk digunakan:
“Sistem nilai budaya adalah
suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan
berharga dalam hidupnya. Dengan demikian suatu sistem nilai-budaya itu biasanya
merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong
kelakuan manusia. Karena sistem nilai-budaya itu hanya merupakan konsep-konsep
yang abstrak, tanpa perumusan yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya
bisa dirasakan, tetapi sering tidak dinyatakan dengan tegas oleh warga
masyarakat yang bersangkutan. … Kalau sistem nilai-budaya itu merupakan
pengarah bagi tindakan manusia, maka pedomannya yang nyata adalah norma-norma,
hukum dan aturan, yang biasanya memang bersifat tegas dan konkret”
Ada beberapa kata kunci dalam tulisan
William di bab ini yang menyebabkan saya memilih definisi Sistem Nilai Budaya
Koentjaraningrat, yaitu (1) ideas, (2)
important, dan (4) influence and condition the practice of
social life. Dalam definisi Koentjaraningrat “Konsep abstrak yang hidup
dalam alam pikiran” saya maknai sama dengan ideasnya
Willliam; sementara “…, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga
dalam hidupnya … yang berfungsi
sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia” sesuai dengan apa yang ditulis
William sebagai important dan influence and condition the practice of
social life.
Saya menemukan ada satu nilai
dalam komunitas di Desa Meto yang kemudian mempengaruhi praktik kehidupan
sosial mereka dan salah satunya adalah praktik serta aturan dalam pernikahan. Nilai
tersebut adalah bahwa kelompok atau keluarga pertama yang menduduki suatu
daerah, yang kemudian dipahami sebagai penduduk asli, memiliki otoritas
terhadap wilayah hutan sekitarnya (hal. 161). Otoritas tersebut
meliputi berbagai bidang yaitu secara politik, ekonomi dan sosial. Praktik –
praktik sosial yang lahir dari nilai yang demikian diketengahkan dalam tulisan
William. Yang pertama adalah bahwa bahkan dengan adanya sistem kepemerintahan desa yang
mendudukkan Kepala Desa sebagai pengatur desa, sang Kepala Desa meneruskan
permintaan pengelolaan lahan dari para pendatang kepada pemuka kampung atau
dusun (hamlet). Yang kedua
adalah pemuka
kampung atau dusun tersebut biasanya merupakan anggota laki-laki tertua dari
kelompok yang disebutkan sebelumnya. Praktik
selanjutnya adalah memiliki nama marga yang sama dengan nama adalah praktik lainnya
yang merefleksikan nilai yang melandasinya dimana dengan memiliki nama marga
yang sama dengan orang tua laki-laki atau kakek atau buyut dari kelompok atau
keluarga yang menguasai suatu area memperluas akses terhadap sumber daya hutan.
Nilai yang dikemukakan di
atas disadari oleh para pendatang yang kemudian menikahi perempuan dari
kelompok penguasa dan disebut sebagai pihak yang ‘makan’ dari tanah keluarga
pemberi istri karena afiliasi dengan penduduk asli harus diciptakan agar
memiliki kesempatan untuk mengambil sumber daya yang ada. Di dalam trah penduduk asli itu sendiri terdapat
hirarki dimana garis keturunan yang paling awal (elder sibling line) menentukan kesenioran seorang laki – laki
meskipun umurnya lebih muda dari laki – laki lain dalam satu marga namun dia
berada dalam garis keturunan yang relalif muda (younger sibling line) dan dalam praktiknya apabila terjadi
perselisihan antar garis keturunan ini, maka pihak yang berasal dari garis
keturunan yang relatif muda akan menyingkir dan membentuk kuannya sendiri.
Mempertahankan keotoritasan
suatu marga dalam suatu wilayah ditunjukkan meskipun anak perempuannya harus
kehilangan nama marga karena suatu pernikahan. Namun demikian, hilangnya nama
marga ini bukan berarti kehilangan otoritas, karena adanya nilai bahwa keluarga
pemberi perempuan merupakan keluarga yang memberikan kehidupan terhadap
keluarga lain yang berafiliasi dengannya melalui sebuah perkawinan dan secara
sosial keluarga pemberi wanita itu dianggap superior. Nilai ini pun kembali
lagi kepada nilai yang saya sebutkan di atas bahwa kelompok atau keluarga
pertama yang menduduki suatu daerah, yang kemudian dipahami sebagai penduduk
asli, memiliki otoritas terhadap wilayah hutan sekitarnya berdasarkan pada
pernyataan William “ ... marriage is
important in terms of control over resources and political authority” (hal.
172). Dan pada saat si istri tidak dapat memberikan keturunan kontrol terhadap
sumber daya dan otoritas politik ini tetap dipertahankan dengan menikahkan
saudara perempuan si istri dengan si laki-laki.
Saya ingin menutup review ini dengan mengetengahkan pendapat saya bahwa ‘keaslian’ dalam konteks ini lebih untuk kontrol sumber daya.
No comments:
Post a Comment