Setting Artikel
Sebelum menguraikan pemahaman saya terhadap isi dari
artikel, ada baiknya saya sampaikan
setting kejadian protes yang ada dalam artikel ini.
Aksi protes ini bermula dari digagalkannya kesepakatan
antara pemerintah dengan sebuah perusahaan pupuk Kanada bernama Agrium yang
disinyalir dapat menyediakan 50 jenis pekerjaan penuh waktu (full time jobs), dan dilakukan di daerah
yang kaya minyak dan gas bumi
Aksi protes dilakukan dengan memblokade jalan yang
terjadi pada tahun 1996 selama 5 (lima) hari di Argentine Patagonia yang
dilakukan oleh piqueteros, yang dalam artikel
ini disebut sebagai picketers. Piquetero adalah anggota faksi politik
yang modus operandinya berbasis pada piquete.
Piquete adalah tindakan di mana
sekelompok orang memblokir jalan dengan tujuan untuk menunjukkan serta menarik
perhatian atas isu atau permintaan tertentu. Tren ini dimulai di Argentina pada
pertengahan 1990-an, selama pemerintahan Presiden Carlos Menem, yang segera
menjadi bentuk protes yang sering dipakai dan masih berlaku di kancah
sosio-politik Amerika Selatan. Tujuh puluh persen piquetero adalah perempuan ( http://en.wikipedia.org/wiki/Piquetero).
Tuntutan yang disuarakan oleh para picketers tersebut utamanya adalah penyediaan lapangan kerja, makanan,
serta penyediaan gas bumi dan listrik untuk 2.500 keluarga yang listrik serta
gas diputus karena tidak dapat melunasi tagihan. Protes ini menggambarkan
kelaparan yang diderita oleh penduduk dan yang kemudian dikeluarkannya wacana
‘Darurat Pekerjaan dan Kehidupan Sosial’.
Aksi ini mereda setelah ditandatanganinya kesepakatan
antara picketers dengan pemerintah
dimana penandatanganan tersebut dimaknai oleh salah satu picketer (Laura) sebagai penandatanganan aksi melawan
ketidakadilan, penghinaan dan kesengsaraan.
Pemahaman atas Artikel
Dalam
artikel yang ditulis oleh Marc Edelman berjusul ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’,
Edelman mengetengahkan kekhususan Antropologi dalam melihat suatu aksi kolektif
yaitu diketengahkannya lived experience
of activists and non-activists atau pengalaman hidup dari para aktivis dan
non-aktivis. Mengapa para aktivis dan non-aktivis karena adanya pandangan dalam
dunia Antropologi bahwa pengalaman pribadi reflektif dalam kehidupan masyarakat
dimana masyarakat merupakan tempat orang itu hidup. Hal terakhir inilah yang
merefleksikan adanya relasi orang dengan orang lainnya (relasi sosial) dimana
di dalamnya lahir gerakan-gerakan sosial. Artikel ini mengetengahkan beberapa
penjelasan berdasarkan lived experience,
yang dalam artikel ini disebut sebagai everyday
life, salah satu picketer yaitu Laura Padilla, yang dalam artikel ini diketengahkan
sebagai orang yang menandatangani kesepakatan dengan pemerintah. Dari pemaknaan
Laura atas kehidupannya, dia memaknai kemiskinan, atau poverty, sebagai apa yang selama ini dia derita sehingga dia harus
tetap berjuang dan berusaha untuk menghidupi anak-anaknya serta rasa malu yang
harus selalu dia tanggung setiap kali berada dalam sistem pengadilan untuk memperoleh
hak asuh serta tunjangan hidup untuk anak-anaknya dari suaminya yang selama dia
menikah selalu menyiksanya.
Media
Radio turut ambil bagian dalam ‘menggerakkan’ Laura untuk ambil bagian dalam
aksi kolektif ini dimana radio mensuarakan dan membuat keadaan yang selama ini
ditanggung oleh Laura menjadi logis. Singkatnya protes yang dilakukan bukanlah
semata aksi politik namun lebih merupakan pernyataan para demonstran yang
merefleksikan kegelisahan yang dalam kehidupan sehari-hari mereka alami.
Artikel
ini mengetengahkan gagasan utama yaitu adanya hubungan antara kehidupan
sehari-hari dengan aksi protes dengan 3 (tiga) argument yaitu (1) sejarah hidup, bisa juga disebut dengan lived experience atau life history, membentuk aksi, pikiran
dan perasaan; (2) agenda rutin politik mempengaruhi hakikat dan bentuk dari
protes; serta (3) sejarah setempat menunjukkan pemahaman bersama para
demonstran.
Aksi
protes tersebut dipicu oleh adanya perubahan besar yang secara tidak langsung
membentuk aksi kolektif dengan mempengaruhi kepentingan, kesempatan, organisasi
dan identitas orang awam dimana aksi kolektif tersebut merupakan hasil dari
harapan bersama dan improvisasi – improvisasi yang dipelajari. Khasanah,
atau repertoire, yang diusung
merupakan hasil dari pergumulan yang dialami oleh para demonstran.
Komentar
Membaca
dari sebuah buku yang ditulis oleh K.S. Krishna Rao yang berjudul ‘Introduction to Social Anthropology’
saya berpikir bahwa aksi protes yang dikemukakan di atas merupakan dapat
dimasukkan dalam sebuah aksi protes yang berada dalam sistem stratifikasi yang
terbuka (open system stratification)
dimana protes yang dilakukan dalam sistem stratifikasi yang terbuka biasanya
muncul pada saat mobilitas terkendala oleh sistem (protest occurs when for some reason mobility is blocked within the
system). Pertanyaan selanjutnya adalah mobilitas apa atau mungkin
mobilitas siapa yang terkendala. Hal
tersebut dapat dijawab oleh Emilio F. Moran dalam bukunya yang berjudul ‘Transforming Societies, Transforming
Anthropology’ dimana dia mengatakan “The
defining characteristics of more recent protest movement is the access of the
poor to natural resources” atau karakter yang mendefinisikan gerakan protes
pada akhir – akhir ini adalah akses masyarakat miskin terhadap sumber daya
alam.
Mengacu
pada penjelasan Rao mengenai Economism yaitu
bahwa “Economism does not challenge the hierarchy, but attacks those who, it
is believed, have not played fair by the rules of the extant hierarchical
system”, yang kemudian terjemahan lepasnya adalah Ekonomisme tidak
menantang hirarki, tetapi menyerang orang-orang yang diyakini tidak bermain
adil berdasarkan pada aturan dari sistem hirarki yang masih ada, saya berpikir
bahwa aksi protes di Argentina pada tahun 1996 ini merupakan aksi protes yang
mengambil bentuk Economism. Dijelaskan
lebih lanjut oleh Rao bahwa “protests of
this sort will recall working class traditions, tales of bravery and sacrifice,
homilies and aphorisms of moral probity and virtue, to realize a community,
even a fraternity, that is redolent with a multitude of specific
characteristics” yang saya pahami sebagai bahwa protes semacam ini akan
mengingatkan kita pada tradisi kelas pekerja, cerita keberanian dan
pengorbanan, homily dan aforisme dari kejujuran moral dan kebajikan, untuk mewujudkan
masyarakat, bahkan bentuk persaudaraan, yang diwarnai dengan banyak
karakteristik yang spesifik.
Komentar
saya ini tentu saja masih sangat dapat diperdebatkan karena perlu dilihat
sistem hirarki mana yang dimaksud serta pada bagian mana orang – orang yang
berada pada sistem hirarki ini tidak bermain dengan adil. Namun saya akan
mempertahankannya berdasar pada pernyataan bahwa ada ketidakadilan yang
disuarakan oleh media radio dalam menggerakkan aksi ini dan juga pada mindset yang ditanamkan oleh ayah Laura
dimana politik itu jahat, politikus itu ‘kotor’ dan korup.
Ada
beberapa bagian yang saya pikir perlu untuk kita kaji atau cari tahu lebih
dalam adalah:
(1) Pernyataan structural change on collective action and the transformation of the
culture of popular protest. Hal ini membuat saya berpikir bahwa kita perlu
menkaji lebih dalam budaya protes yang ada dalam suatu masyarakat
(2) Terlibatnya orang – orang yang sudah
memiliki pekerjaan, pemilik toko bahkan para pekerja dalam aksi ini. Saya
berpikir bahwa kita juga perlu mencari tahu driving
force orang – orang ini dalam mengikuti aksi protes. Pada aspek kehidupan
sehari-hari mereka serta lived experience
mereka yang mana yang ‘menggiring mereka mengikuti aksi ini.
(3) Routine
politics – routine politics, menurut saya, tidak
digambarkan secara lengkap karena lebih menunjukkan sedikit dari kebijakan –
kebijakan politik yang kemudian memicu aksi protes tersebut
No comments:
Post a Comment