Tulisan ini terinspirasi dari demonstrasi yang terjadi
pada tanggal 5 September 2012 di Medan, Sumatera Utara. Demonstrasi dilakukan
oleh puluhan orang dari Advokasi Jaringan Lembaga Sumtera Utara (Aksi Jaga
Sumut) yang dituliskan merasa prihatin melihat kondisi Danau Toba dan banyaknya
perusahaan yang beroperasi di sekitar Danau Toba. Demonstrasi dilakukan di
Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara. Para demonstran yang terdiri dari
pecinta lingkungan dan masyarakat menuntut pihak BLH untuk menutup PT Allegrindo,
yang berkantor di Jakarta dan Singapura, yang bergerak di bidang peternakan
babi dan diduga telah mencemari Danau Toba dengan limbah padat dan cair[1]. Bupati Samosir yang
berada dalam kursi kepemimpinan pada saat demonstrasi tersebut terjadi adalah
Mangindar Simbolon yang beristrikan Roma Arta Sitinjak. Sementara itu, Ketua
DPRD Samosir adalah Tongam Sitinjak dengan Wakil Ketuanya yang bernama Jonny Sihotang.
Aksi Jaga Sumut yang melakukan demonstrasi tersebut dikoordinatori oleh Nanang
Ardiansyah Lubis. Kepala BLH Sumatera
Utara adalah Hj. Hidayati.
Judul yang saya tuliskan di atas merupakan ringkasan dari
analisa yang akan coba saya uraikan dengan terlebih dahulu memberikan beberapa
poin yang mendukung.
DANAU
TOBA
Danau Toba, dituliskan oleh Leach[2],
sebagai gambaran dari apa yang disebut dengan ‘ketentraman’ (serenity) dan gerbang menuju surga (gateway to heaven). Menurut cerita
rakyat[3],
ikan dan segala kehidupan flora dan fauna di dalam air Danau Toba tercipta dari
akar pohon Ara yang jatuh ke danau tersebut. Oleh karenanya, pohon Ara (Banyan tree) disebut sebagai pohon
kehidupan[4].
Danau Toba merupakan salah satu tempat wisata daerah di
Indonesia[5]. Dituliskan oleh Causey[6] bahwa Danau Toba
diharapkan dapat memberikan pengalaman kepada para wisatawan akan apa yang
disebut dengan keindahan alami (natural
beauty). Causey menuliskan bahwa daerah yang dikelilingi oleh Danau Toba
merupakan tanah air para Batak Toba yang merupakan para petani subsisten. Mereka
yang tinggal di daerah pinggiran danau acapkali dikunjungi oleh wisatawan dan
dinilai, oleh Causey, memiliki kehidupan yang lebih nyaman, Para penduduk di
pinggiran danau tersebut membuat kerajinan tangan yang merupakan ukiran kayu
sebagai tambahan dari kegiatan pertanian mereka. Setelah kebakaran hutan yang
terjadi di Kalimantan dan Sumatera, jumlah wisatawan menurun sangat drastis.
BATAK
Shufeldt[7]
menuliskan bahwa pada tahun 1866, bangsa Melayu tinggal di sepanjang pantai dan
menyebabkan orang Batak tinggal di daerah pedalaman (interior) sementara pada tahun 1886, orang Batak menempati daerah
sekitar Danau Toba.
Leach[8] menyimpulkan bahwa beberapa tulisan mengenai orang
Batak menunjukkan bahwa mereka terdiri dari tiga kelas, yaitu (1) bangsawan,
(2) orang biasa, serta (3) budak. Pemukiman penduduk mengikuti pola yang
disebut sebagai homologis (homologous)
yang berarti memiliki hubungan secara genetis ataupun sejarah. Lee[9] menuliskan bahwa kata ‘Batak’ dalam Melayu Kuno
berarti perampok atau pemakan babi. Orang Batak semuanya merupakan keturunan Si
Raja Batak, seseorang yang lahir dari orang tua yang merupakan makhluk gaib dari
Bukit Pusuk, sebuah gunung di pinggir barat Danau Toba. Lee juga menuliskan bagaimana para Antropolog berpikir
bahwa orang Batak berasal dari suku yang tinggal di pegunungan di utara
Thailand dan Burma pada jaman Neolitikum. Orang Batak terkadang disebut sebagai
pekerja dan bukannya pemikir. Dijelaskan lebih lanjut bahwa orang Batak yang
tinggak di Danau Toba sifatnya agresif, blak-blakan,flamboyán, pemberani dan dinamis.
Kekayaan dan kekuasaan, dijelaskan oleh Lee, bukanlah hal
– hal yang menentukan status sebuah keluarga di masyarakat. Orang Batak
mengenal apa yang disebut dengan Dalihan
Natau atau Segitiga Demokrasi yang menunjukan interdependensi hubungan
masing – masing hirarki orang Batak yang melarang dominasi satu kelompok kepada
kelompok yang lain. Lee menuliskan apa yang disebut sebagai kelompok yang
inferior dan superior. Mereka yang berada dalam kelompok superior adalah mereka
yang dalam hirarki keluarga dinilai senior dan mereka yang berada dalam
kelompok inferior adalah penerima wanita.
Orang Batak (di Danau) Toba
Meijl dan Benda-Beckman[10] menuliskan bahwa ada lima
kelompok orang Batak yang tinggal di Danau Toba yaitu Toba Karo, Pakpak,
Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Kelimanya merupakan keturunan Si Raja
Batak yang tinggal di gunung Pusuk Buhit (Bukit Pusuk) yang merupakan tempat
tinggal salah satu makhluk gaib (Sombaon)
di bumi yang paling sakti. Bagian ujung utara dari danau merupakan milik Batak
Toba yang berarti hukum adatnya diterapkan di sebagian besar wilayah sekitar
danau. Ada tiga hal yang perlu dicermati mengenai hubungan orang Batak Toba
dengan Danau Toba, yaitu (1) unit sosial yang ada menunjukkan hubungan satu
sama lain, (2) hubungan yang berkaitan
dengan lahan, serta (3) hak, kewajiban, keuntungan, serta kemungkinan yang
dimiliki oleh masing – masing unit sosial semata – mata berdasarkan pada
hubungan yang berkaitan dengan lahan.
Telah dituliskan di atas bahwa, orang Batak mengenal apa
yang disebut dengan superior dan inferior. Meijl dan Benda-Beckman mengemukakan
hal lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Unit sosial yang superior
disebut dengan bius yang terdiri dari
beberapa marga. Kelompok yang lebih inferior dari bius adalah yang disebut dengan portalian,
yang diikuti oleh golat dan huta. Meskipun berada dalam hirarki yang
lebih bawah, kelompok yang berada dalam golat
dan huta ini lah yang mengatur
dan memberikan hak pada masing – masing anggota marga dalam hal penggunaan dan
penguasaan lahan. Golat sendiri
sekarang dimengerti oleh beberapa sebagai hak memiliki tanah.
Precedence
Saya ingin menjelaskan keturunan Si Raja Batak dan marga
– marga keturunannya untuk menunjukkan kesenioritasan, sekaligus
kesuperioritasan marga.
Si
Raja Batak
Si Raja Batak memiliki dua orang anak bernama (1) Guru
Tatea Bulan, dan (2) Raja Isombaon.
(1)
Guru Tatea Bulan
Guru Tatea Bulan memiliki anak
(1.1) Raja Uti
(1.2) Tuan
Sariburaja (Pasaribu) – melahirkan marga-marga seperti Situmorang, Sinaga (Almarhum Wakil Bupati Samosir adalah
Mangadap Sinaga), Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan
Siregar.
Salah satu keturunan Tuan Sariburaja menikah dengan Raja Borbor dan
melahirkan marga Lubis (Ketua Aksi Jaga
Sumut adalah Nanang Ardiansyah Lubis)
(1.3) Limbong Mulana
(Limbong)
(1.4) Sagala Raja (Sagala)
(1.5) Silau Raja (Malau,
Manik, Ambarita, Gurning)
(2)
Raja Isombaon
Salah satu anak Raja Isombaon, yaitu Si Raja Lontung menikah dengan anak
dari Tuan Sariburaja (anak dari Guru Tatea Bulan) melahirkan marga Pandiangan
yang melahirkan marga Sitinjak (istri
dari Bupati Samosir adalah Roma Arta Sitinjak, Ketua DPRD Samosir adalah Tongam
Sitinjak)
Anak lain dari Raja Isombaon, yaitu Tuan Sorimangaraja menikah dengan Nai
Ambaton dan melahirkan marga-marga seperti Simbolon (Bupati Samosir adalah Mangindar Simbolon). Marga lain keturunan
Sorimangaraja adalah Sorbadibanua yang melahirkan Raja Oloan yang melahirkan
Sigodang Ulu yang kemudian melahirkan marga Sihotang (Wakil Ketua DPRD Samosir adalah Jonny Sihotang).
DANAU TOBA
(ADALAH MILIK) KAMI
Samosirkami dapat dipahami dalam tiga kerangka
berpikir (paradigma) sebagai berikut:
1.
Yang menduduki posisi pemerintahan
Terlihat jelas
bagaimana garis keturunan beserta kesenioritasn, kesuperioritasan, serta
keinferioritasan menentukan siapa yang duduk dalam kursi kepemimpinan.
Mangindar Simbolon, yang untuk sementara ini saya sebut sebagai cicit keturunan
Si Raja Batak, dinilai layak untuk berperan sebagai Bupati Samosir melihat
bahwa dia merupakan keturunan yang dekat dengan nenek moyang orang Batak Toba
dan berpasangan dengan Mangadap Sinaga (alm.) yang juga merupakan cicit
keturunan Si Raja Batak. Ketua DPRD yaitu Tongam Sitinjak merupakan anak dari
cicit keturunan Si Raja Batak, atau kurang senior dibandingkan Simbolon dan
Sinaga, dan berpasangan dengan Jonny Sihotang yang bahkan lebih kurang senior
dari ketiganya karena dia merupakan cicit dari cicit keturunan Si Raja Batak.
Penempatan Sitinjak sebagai Ketua DPRD dapat dipahami karena Sitinjak merupakan
marga pemberi istri untuk Simbolon.
2.
Hubungan orang Batak dengan lingkungannya
Tulisan yang
menyatakan bahwa Danau Toba berpotensi meningkatkan taraf hidup masyarakat dari
tujuh kabupaten/kota (Simalungun, Dairi, Karo, Toba Samosir, Humbang
Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Samosir) pemilik kawasan Danau Toba[11]
bukanlah berlebihan menilik dari cerita rakyat yang ada. Kehidupan perairan serta hutan yang ada yang
“lahir” dari akar pohon Ara seolah – olah melegitimasi pendapat tersebut.
Dengan pemahaman bahwa (1) Danau Toba sebagai simbol ketentraman, (2)
lingkungan sekitar Danau Toba merupakan tanah air nenek moyang orang Batak
Toba, serta (3) gunung Bukit Pusuk sebagai gerbang menuju surga, sangat
dimengerti bagaimana masyarakat bersikeras untuk menjaga kejernihan danau
tersebut.
3. Paradigma atau kerangka berpikir yang
ketiga dapat ditarik dari apa yang dituliskan oleh Meijl dan Benda-Beckman[12]
yang menuliskan bagaimana keprihatinan atas Danau Toba serta lingkungan
sekitarnya digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan isu hak kepemilikan
atas lahan yang muncul dari hubungan yang timpang dan seringkali tidak dapat
terrekonsiliasi antara pemerintah pusat dan masyarakat daerah, aturan nasional
dan hukum adat, serta kepentingan ekonomi nasional dan setempat.
[4] Lee, Khoon Chog. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. World Scientific
Publishing Co, Pte.Ltd., Singapore.
[5] Causey, Andrew. ‘The Hard Sell – Anthropologists as Brokers of Crafts in the Global
Marketplace’. Dalam
‘Artisans and Cooperatives: Developing
Alternate Trade for the Global Economy’, disunting oleh Kimberly M. Grimes
dan Barbara Lynne Milgram. 2000. University of Arizona Press, USA.
[6] Causey, Andrew. ‘The Hard Sell – Anthropologists as Brokers of Crafts in the Global
Marketplace’. Dalam
‘Artisans and Cooperatives:
Developing Alternate Trade for the Global Economy’, disunting oleh Kimberly
M. Grimes dan Barbara Lynne Milgram. 2000. University of Arizona Press, USA.
[7] Shufeldt, R. W. Notes on Bhils, Burmese, and Battaks. Dalam Popular Science
Monthly, Vol. L, November 1896. D. Appleton and Company, New York.
[9] Lee, Khoon Chog. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis.
World Scientific Publishing Co, Pte.Ltd., Singapore.
[10] van
Meijl, Toon dan von Benda-Beckman, Franz. 2010. Property Rights and Economic
Development: Land and Natural Resources in Southeast Asia and Oceania.
Routledge, Oxon.
[12] van
Meijl, Toon dan von Benda-Beckman, Franz. 2010. Property Rights and Economic
Development: Land and Natural Resources in Southeast Asia and Oceania.
Routledge, Oxon.
No comments:
Post a Comment