Zigon[1] menuliskan
bahwa “kepemerintahan terdiri dari strategi dan praktik – praktik yang
diterapkan oleh negara – negara modern dalam rangka membentuk, mengubah, serta
mempengaruhi perilaku seseorang … dirancang untuk diterapkan pada orang – orang
itu sendiri” atau yang disebut oleh Foucault sebagai teknologi diri (technologies of the self) atau yang
disebut oleh Dean[2],
sebagai interpretasi governmentality Faoucault,
sebagai “conduct of conduct”. Dalam
buku tulisan Elina Penttinen yang berjudul Globalization,
Prostitution and Sex Trafficking: Corporeal Politics tersirat pemahaman
bahwa konsep governmentality Foucault
digunakan untuk menjelaskan dengan mudah bagaimana globalisasi bergerak sebai
suatu sistem kekuasaan.
Appadurai
banyak menyinggung mengenai demokrasi yang menurut dia nilai – nilainya dapat
dipahami (makes sense) ketika
demokrasi digambarkan (dibayangkan) dan diatur secara universal, dalam artian
ketika dunia global bersentuhan dengannya “Yet
its values make sense only when they are conceived and deployed universally,
which is to say, when they are global in reach”. Pernyataan ini lah yang
saya anggap merupakan pernyataan Appadurai yang memperlihatkan penggunaan
konsep Foucault dalam melihat proses demokrasi.
Appadurai,
dalam buku yang lain[3]
pada saat dia menulis mengenai masyarakat di Kalkuta, dia menyuguhkan apa yang
disebut dengan pemerintahan dari bawah. Dalam kaitannya dengan masyarakat sipil
dan kepemerintahan, Paley menyatakan bahwa beberapa Antropolog mulai
mempertanyakan apakah demokrasi pada akhirnya memperkuat masyarakat sipil. NGO
disinyalir menciptakan apa yang disebut dengan kepemerintahan dari bawah atau
konter balik kepemerintahan. Kegusaran Paley ini bisa jadi dijawab oleh
Appadurai dengan menawarkan apa yang disebut dengan deep democracy dimana lokalitas, ke-smallscale-an, serta kedekatan dengan apa yang coba dilihat
keberhubungannya merupakan hal yang mendasar.
No comments:
Post a Comment