Wednesday, December 12, 2012

Sedikit Mengenai Toward an Anthropology of Democracy, Julia Paley


Saya akan mengetengahkan definisi dan pemahaman atas konsep – konsep kunci dalam artikel ini. Hal yang harus diketengahkan adalah definisi dan/atau pemahaman akan istilah ‘democracy’ (demokrasi) yang menurut saya merupakan tema utama dalam artikel ini. Selanjutnya yang perlu diketengahkan adalah (1) civil society (masyarakat sipil), (2) social movement (gerakan sosial), (3) citizenship (kewarganegaraan), (4) governmentality (kepemerintahan), serta (5) NGO (LSM).

Democracy (Demokrasi)
1.     Secara filosofis, konstitusional dan sosiologis; demokrasi dipahami sebagai “sesuatu tentang masyarakat”[1]
2.     Demokrasi merupakan perjuangan terus-menerus untuk mewujudkan tatanan sosial yang mengupayakan musyawarah logis, mempromosikan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, secara adil dan merata mendistribusikan kekuatan politik-ekonomi serta memfasilitasi keikutsertaan budaya di dalamnya[2]
Definisi yang kedua ini lah yang menurut Levinson dan Pollock coba ditunjukkan oleh Paley dalam tulisannya dimana suatu demokrasi merupakan suatu perjuangan yang terus-menerus dilakukan terlepas dari (1) diketengahkannya beragam bentuk – bentuk kultural dari alasan dan argumentasi dalam suatu musyawarah (sebagai bentuk keterlibatan budaya di dalamnya), (2) dipromosikannya beragam partisipasi bermakna, serta (3) betapa adil dan meratanya kekuasaan yang didistribusikan. Bidney dan Bidney mengenalkan apa yang mereka tuliskan sebagai demokrasi kultural dimana demokrasi kultural merupakan suatu usaha untuk mengutamakan kehendak mayoritas tanpa menghilangkan kaum yang secara kultural merupakan kaum minoritas[3]. Sementara itu Benedict dan Mead mengetengahkan pemahaman atas demokrasi dalam makna lintas-budaya (cross-cultural meaning) yaitu apa yang dikenal dengan “dari, oleh dan untuk masyarakat” yang pada dasarnya memberikan suara pada masyarakat untuk menyuarakan kepentingan mereka sendiri[4].
Paley menuliskan beberapa pemahaman atas demokrasi, yaitu (1) aspirasi bagi mereka yang hidup dalam rejim yang opresif, (2) apabila tercapai menjadi suatu kemenangan populer, serta (3) secara politis dan personal diinvestasikan dalam perjuangan untuk hak asasi manusia, aturan hukum, mitigasi dari ketimpangan pendapatan yang buruk. Namun demikian Paley mengingatkan beragamnya pemahaman atas demokrasi. Hingga akhirnya pada akhir artikel ini diketengahkan dengan apa yang disebutnya dengan demokratisasi etnografi dimana hal tersebut dicapai pada saat dilakukannya transofrmasi relasi kekuasaan dengan pengetahuan dari peneliti, tineliti, dan publik secara luas.

Civil Society (Masyarakat Sipil)
Pemahaman klasik atas masyarakat sipil diketengahkan oleh Angela Cheater[5] dimana masyarakat sipil mengimplikasikan bebasnya para individu dan kelompok dalam membentuk asosiasi dan organisasi yang independen dari negara dalam usahanya untuk memediasi warganegara dan negara. Isabelle Clark-Deces[6] mengetengahkan tiga hal yang berkaitan dengan masyarakat sipil, yaitu (1) bentuk asosiasi sukarela antarorang di luar ranah negara dan pasar, (2) nilai – nilai tanggungjawab dan penghormatan kepada orang lain, serta (3) gagasan atas ruang dimana orang – orang dapat berkumpul sedemikianrupa dimana mereka dapat mendiskusikan dan berpartisipasi dalam urusan publik. Sementara itu, Akihiro Agawa[7] menyatakan bahwa masyarakat sipil merupakan “sekumpulan kehidupan individu – suatu ruang solidaritas dan moral … merupakan arena kewarganegaraan yang aktif dan peduli akan isu – isu publik”.
Dalam kaitannya dengan masyarakat sipil dan kepemerintahan, Paley menyatakan bahwa beberapa Antropolog mulai mempertanyakan apakah demokrasi pada akhirnya memperkuat masyarakat sipil. NGO disinyalir menciptakan apa yang disebut dengan kepemerintahan dari bawah atau konter balik kepemerintahan.

Social Movement (Gerakan Sosial)
Robert Mirsel memahami gerakan tersebut sebagai proses perubahan (atau paling kurang, perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004: 12). Rao[8] menyatakan bahwa gerakan sosial berbentuk pengorganisasian diri kolektif demi pengakuan sosial dan penegasan akan hak atau kepentingan eksistensial yang selama ini ditolak oleh orang atau kelompok tertentu. Gerakan sosial tersebut merupakan bentuk keterlibatan aktif dalam melawan ancaman pada hak dan keberadaan kelompok atau orang – orang tertentu.

Citizenship (Kewarganegaraan)
Secara singkat dipahami sebagai anggota suatu bangsa dimana di dalamnya terkandung cara berpikir, cara berdebat dan cara bertindak dalam aturan singkat suatu permainan yang umum bagi kita semua[9]. Konsepsi secara politik terhadap kewarganegaraan dibentuk oleh makna, hak serta kewajiban anggota dalam public, serta bentuk badan dan modalitas partisipasi yang diimplikasikan dengan keanggotaan tersebut[10]. Sementara itu Clough-Riquelme menyatakan bahwa Antropologi Kewarganegaraan semestinya memusatkan perhatian pada interaksi di tingkat lokal yang disebut sebagai “jendela” kesempatan atau peluang yang tidak dihubungkan dengan kontrol dan aturan negara, namun lebih pada ruang yang menyediakan akses untuk informasi, saran dan orientasi yang berhubungan dengan spektrum isu dimana negara memiliki yurisdiksinya[11].
Dalam kaitannya dengan kualitas kewarganegaraan, Paley dalam artikelnya ini menyatakan bahwa orang – orang secara berbeda berada dalam sirkuit nasional dan internasional dan hal tersebut menimbulkan pengalaman kewarganegaraan dan relasi dengan badan pemerintah yang beragam.

Governmentality (Kepemerintahan)
Zigon[12] menuliskan bahwa “kepemerintahan terdiri dari strategi dan praktik – praktik yang diterapkan oleh negara – negara modern dalam rangka membentuk, mengubah, serta mempengaruhi perilaku seseorang … dirancang untuk diterapkan pada orang – orang itu sendiri” atau yang disebut oleh Foucault sebagai teknologi diri (technologies of the self) atau yang disebut oleh Dean[13], sebagai interpretasi governmentality Faoucault, sebagai “conduct of conduct”.

NGO (LSM)
Dijelaskan oleh Singer dan Erikson[14] sebagai organisasi swasta sukarela yang menjalankan kegiatan dalam rangka meringankan penderitaan, mempromosikan kepentingan orang miskin, melindungi lingkungan, menyediakan layanan sosial dasar, atau melaksanakan pemberdayaan masyarakat.

Kajian Antropologis pada era pasca perang, poskolonial dan akhir perang dingin.
       (1)   Periode Kolonial
Antropolog Sosial Inggris pada periode ini banyak melakukan kajian yang sinkronis serta menggunakan paradigma Fungsional Struktural (lokalisme). Kritik yang disampaikan terhadap kajian yang seperti ini adalah bahwa kajian ini tidak mencari tahu pola dan dampak dari kepemerintahan kolonial
       (2)   Poskolonial
Antropolog Amerika banyak bermunculan pada era ini dimana banyak diulas mengenai permasalahan atas faktor – faktor pembentuk dan penguat demokrasi. Pada era ini demokrasi dianggap sebagai sinyal kemodernan.
       (3)   Akhir perang dingin
Pada periode ini banyak dibahas mengenai bangsa (state), globalisasi, lembaga politik formal, pemerintahan yang baik (good governance) dan juga demokrasi.

Artikel ini mengetengahkan digunakannya pengamatan tentang perbedaan budaya untuk mempermasalahkan asumsi universalis dari praktik demokrasi di Barat itu sendiri. Dari beberapa etnografi, disimuplkan bahwa kewenangan tradisional merugikan kinerja demokrasi 


[1]       “Democracy is ‘something of the people’ (Readings in African Politics, Tom Young)
[2]       “Democracy is the continual striving toward a social order that sponsors reasoned deliberation, promotes civic participation in decision making, justly and equitably distributes political-economic power, and facilitate cultural inclusiveness” (A Companion to the Anthropology of Education, Bradley A. U. Levinson dan Mica Pollock)
[3]       Theoretical Anthropology: Second Edition, David Bidney dan martin Bidney
[4]       An Anthropologist at Work, Ruth Benedict dan Margaret Mead
[5]       The Anthropology of Power, Angela Cheater
[6]       A Companion to the Anthropology of India, Isabelle Clark-Deces
[7]       “A unity of individual lives – a sphere of solidarity and moral sentiment … it is an arena of active citizenry and concern about public issues” (The Failure of Civil Society?: The Third Sector and The State in Contemporary Japan, Akihiro Agawa)
[8]       Introduction to Indian Social Anthropology, K. S. Krishna Rao
[9]       “member of the nation … a way of thinking, a way of debating, a way of acting, in brief rules of the game that are common to all of us” (A Companion to the Anthropology of Europe, Ulrich Kockel, et.al.)
[10]     A Companion to the Anthropology of Education, Bradley A. U. Levinson dan Mica Pollock
[11]     Gender, Citizenship, and Local Democracy in Paraguay: A comparative Analysis of Social Power and Political Participation in the Central Region, Jane Clough-Riquelme
[12]     Morality: An Anthropological Perspective, Jarnett Zigon
[13]     Dalam Governing the Female Body: Gender, Health, and Networks of Power, Lori Stephens Reed dan Paula Saukko
[14]     A Companion to Medical Anthropology, Merril Singer dan Pamela I. Erikson

No comments:

Post a Comment