Monday, December 31, 2012

Transformasi Kesuperioritasan Orang Tua dalam Keluarga Jawa ke Dalam Posisi Sesepuh Pada Ritual Garebek Kupat di Mertoyudan, Magelang - Analisa Singkat

Garebek Kupat
Pada tahun 2012, acara Garebek Kupat[1] ini dilaksanakan pada bulan Syawal yang dimaknai sebagai bulan dimana manusia menjadi bersih seperti bayi baru lahir. Acara Garebek Kupat ini diawali dari lapangan yang letaknya tepat di tengah kampung Dawung. Sebagian besar warga mengenakan pakaian adat Jawa, busana muslim, dan kostum kesenian tradisional. Pada barisan paling depan, sesepuh setempat dengan membawa kendi berisikan air dari sumber mata air Dawung, diikuti oleh para gadis desa yang membawa tumpengan nasi kuning. Terdapat gunungan kupat yang dipanggul oleh empat pemuda desa dan diikuti berbagai keompok kesenian tradisional dan para warga dan disusul tetabuhan gamelan dari bende kendang dan bedug. Sampai di tengah – tengah desa, sesepuh desa membasuh beberapa warga sebagai simbol ajakan untuk menyucikan pikiran dan jiwa dalam setiap laku. Setelah itu sesepuh desa menaburkan kembang ke arah tumpeng sebagai simbol ajakan untuk selalu bersyukur dengan setiap rahmat. Selanjutnya seorang Kiai memimpin doa, dan diakhiri dengan dibunyikannya gamelan sebagai tanda Garebek Kupat dimulai.

Garebek Kupat sebagai Sebuah Ritual
Definisi Ritual (Diambil dari: Introducing Anthropology of Religion: Culture to the Ultimate, Jack Eller, Taylor & Francis, 2007).
Victor Turner mendefinisikan ritual sebagai “perilaku yang bersifat formalitas yang dikonstruksikan untuk acara – acara yang “bebas-teknologi”, serta adanya kepercayaan terhadap makhluk atau kekuasaan mistis dimana simbol merupakan unit terkecil dari ritual tersebut”. Stanley Tambiah mendefinisikan secara panjang lebar pemahamannya akan ritual, yaitu merupakan sistem komunikasi simbolik yang dikonstruksi secara kultural, yang terdiri dari urutan kata – kata serta perilaku yang berpola dan berurutan, yang acapkali diekspresikan melalui beberapa media serta berisi dan dibedakan atas dasar keformalitasannya (konvensional), sterotip (kekakuan), kondensasi (fusi), serta pengulangannya. Anthony Wallace menjelaskan ritual sebagai komunikasi tanpa informasi sehingga ritual diyakini sebagai  serangkaian sinyal yang memungkinkan ketidakpastian, tanpa pilihan, dan oleh karena itu dalam pengertian statistik teori informasi,  di dalam ritual tidak terjadi pertukaran informasi antara pengirim dan penerima sehingga ritual merupakan sistem keteraturan dan satu perbedaan saja dianggap sebagai suatu kesalahan. Sementara pemahaman ritual yang akan saya gunakan di sini adalah apa yang ada dalam buku “The Social Implications of Ritual Behavior in Maya Lowlands: A Perspective from Minanha, Belize” yang ditulis oleh Sonja Andrea Schwake dimana ritual merupakan aksi bermakna karena aksi – aksi tersebut berhubungan dengan posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial mereka.

Pentingnya (Menjadi Lebih) Tua dalam Masyarakat Jawa
Hubungan Orang Tua dan Anak dalam Keluarga Jawa
Kesuperioritasan menjadi orang tua nampak dalam sebuah tesis yang berjudul “Alokasi Waktu bagi Anak – Anak di Des Jawa” dan ditulis oleh Ekna Satriyati. Satriyati menuliskan bahwa “Alokasi waktu mempunyai nilai kontrol orang dewasa terhadap anak – anak” (Orang tua memiliki posisi superior dan anak – anak dalam posisi subordinat) dan juga “Bagi orang tua, alokasi waktu (yang diterapkan pada anak – anak disertai) dengan menaruh harapan moril dan beban pekerjaan (yang diberikan pada anak) (adalah) sebagai bekal awal mendidik anak.”
Saudara yang Lebih Tua Mendapatkan Sumber Daya Lebih
Makmuri Sukarno dalam disertasinya yang berjudul “The Transition from School to Work and Job-Seeking Behavior Among Youth in Three Cities of Java” menyatakan bahwa secara sosiologis “Alokasi sumber daya dilakukan berdasarkan pada urutan kelahiran”

Analisa ini pada akhirnya tidak akan berakhir pada teori kelas apa pun karena hubungan orang tua – anak yang bertransformasi tersebut pada dasarnya merupakan hubungan yang resiprosikal. Hal ini dibuktikan oleh Sukamtiningsih dalam tesisnya berjudul “Resiprositas antara Anak dan Orang Tua dalam Keluarga Jawa”. Sukamtiningsih menuliskan, “ … anak bagi orang tua dapat dijadikan sebagai tumpuan hidup nantinya di hari tua … mempertahankan salah satu anaknya supaya dapat tetap tinggal dalam rumah (tabon) … umunya adalah anak yang dianggap dapat dijadikan tumpuan hidupnya” (Hal. 141). Usaha yang dilakukan orang tua antara lain (1) memberi tabon/tanah garapan ataupun ternaknya, (2) memberikan bantuan dari anak yang tinggal serumah berupa kebutuhan sehari-hari, (3) ikut terlibat meringankan pekerjaan dalam rumah tangga anak, serta (4) memberikan bantuan keuangan untuk yang tidak terencana.



[1]       Suara Merdeka, Rabu 28 Agustus 2012, Hal. 25

No comments:

Post a Comment