Thursday, December 6, 2012

Review: From Confusions to Common Sense: Using Political Ethnography to Understand Social Mobilization in the Brazilian Northeast, Wendy Wolford


Review: From Confusions to Common Sense: Using Political Ethnography to Understand Social Mobilization in the Brazilian Northeast, Wendy Wolford (Dalam ‘New Perspectives in Political Ethnography’, Disunting oleh: Lauren Joseph, Matthew Mahler, dan Javier Auyero)

PEMAHAMAN AKAN ARTIKEL
Peralihan dari Perkebunan serta Penyulingan Tebu ke Tanaman Subsisten, Pisang dan Kelapa / Identitas Pekerja menjadi Pemilik Lahan
Wolford memulai tulisannya dengan mengetengahkan krisis sektoral yang biasanya merupakan respon terhadap perubahan pasokan dan permintaan barang Internasional. Digambarkan bagaimana dekade 1990-an merupakan dekade yang dirasa cukup sulit yang kemudian diperburuk oleh pemerintahan baru Brasil, yang dituliskan sebagai pemerintahan yang demokratis, mulai  “melucuti” dan  secara perlahan – lahan menarik subsidi bagi produsen tebu di daerah Timur Laut. Ditariknya subsidi tersebut menyebabkan 15 dari 26 penyulingan tebu di Pernambuco mati atau berada dalam ambang kebangkrutan. Pemilik perkebunan dan penyulingan pun akhirnya meninggalkan tanah mereka dan beralih ke industri (pariwisata) yang lebih sehat di tempat lain. Yang paling merasakan dampak dari krisis ini adalah para buruh kasar. Karena industri penyulingan tebu ini sangat bergantung pada tenaga kerja atau buruh kasar, matinya dan sekaratnya industri penyulingan tebu menyebabkan 350.000 pekerja menganggur dan tidak mendapatkan pekerjaan bahkan pada saat musim panen.
Semakin parahnya krisis, gerakan pekerja pedesaan yang tak bertanah atau MST pun secara efektif mulai memobilisasi para mantan pekerja di  pedesaan untuk menduduki lahan perkebunan yang dianggurkan dan menekan pemerintah agar mendistribusikan tanah. Kefektifan ini, saya rasa, dinilai dari tercapainya tujuan untuk mendistribusikan tanah kepada para pekerja pedesaan, pada tahun 1996, yang identitasnya diraih melalui posisi pekerjaannya di perkebunan[1]. Para pekerja pedesaan ini kemudian diberi kepemilikan atas suatu wilayah dan berubah menjadi petani kecil. Atas desakan dari para pemimpin MST, mereka menanam tanaman subsisten[2] serta pisang dan kelapa untuk kebutuhan pasar.

MST (O Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra)
Dibentuk di daerah Selatan Brasil pada tahun 1984 dengan tujuan untuk memperjuangkan reformasi agraria. Pemimpin – pemimpin gerakan ini beranggapan bahwa dilakukannya mobilisasi di daerah timur laut negara itu, yang merupakan daerah yang miskin, merupakan langkah penting dalam mentrasformasikan gerakan regional menjadi gerakan nasional. Metode yang digunakan oleh MST ini adalah dengan menunjukkan pembangkangan warga sipil misalnya dengan okupasi dan perampasan yang sifatnya simbolis atas perkebunan dan peternakan yang berskala besar, gedung – gedung pemerintah serta jalan umum dengan tujuan tertentu. Ideologi gerakan MST mencerminkan kepemimpinan yang berakar dari budaya petani di bagian Selatan Brasil dan campuran eklektik pemikiran para radikal kiri seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, Paulo Freire, Mao Tse-Tung, dan Mahatma Ghandi.

Peralihan dari ke Tanaman Subsisten, Pisang dan Kelapa ke Perkebunan serta Penyulingan Tebu
Pada tahun 1999, harga tebu meningkat dua kali lipat. Sebagian besar pemukim di Flora, bagian dari Pernambuco, kembali bekerja dalam perkebunan dan penyulingan tebu. MST tidak lagi dianggap sebagai perwakilan resmi politik Flora dan MST merasa posisinya di wilayah tersebut berada dalam keadaan krisis. Ada dua cara dalam melihat ditinggalkannya MST, yaitu (1) para mantan pekerja di pedesaan meninggalkan gerakan karena mereka tidak lagi membutuhkannya dan hal itu dipahami sebagai tanggapan rasional terhadap perubahan harga tebu, dan (2) adanya kesadaran palsu, sebagaimana dipahami oleh para pemimpin MST, karena para pemukim tidak bisa membebaskan diri dari hegemoni sistem perkebunan.
Peralihan – peralihan yang terjadi (tebu ke subsisten, pisang dan kelapa kemudian beralih lagi ke tebu; peralihan dari pekerja menjadi pemilik lahan; peralihan dari menjadi anggota MST kemudian keluar dari MST) dipandang sebagai suatu kebingungan dan dari kebingungan ini, baik dari pihak petani maupun MST, Wolford menarik dua hal. Yang pertama adalah perlu digarisbawahinya alasan strategis (yang bagi pengamat alasannya adalah politik atau kesolidaritasan) yang dipandang dari luar maupun dari dalam gerakan itu sendiri jarang mencerminkan apa yang terjadi di tataran akar rumput. Dan yang kedua adalah jalan menuju mobilisasi sosial “diaspal” dengan unsur kesengajaan. Baik berfokus pada orang yang terlibat dalam aksi kolektif ataupun pada beberapa perwakilan yang (dinilai) hegemonik (elit perkebunan dan penyulingan tebu) yang memanipulasi orang lain, seseorang, yang memiliki akses informasi yang sempurna dan akses ke pasar politik yang kompetitif, telah membuat keputusan (secara sepihak). Dan ketika kita menemui seorang informan yang bertentangan dengan diri mereka sendiri, atau yang tidak menjelaskan motivasi mereka dalam mengikuti gerakan, hal ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan kata lain, Wolford mempermasalahkan etik dan emik dari suatu gerakan sosial, dimana ada perbedaan mendasar antara keduanya, dan perbedaan itulah yang disebutnya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan menimbulkan kebingungan. Dengan demikian, menurut saya, kebingungan (confusiĆ³n) tidak hanya terjadi  pada informan (yang tidak bisa menjelaskan motivasi mereka mengikuti gerakan) maupun pada MST (ditinggalkannya mereka oleh para pekerja/pemilik lahan), namun juga pada para peneliti (tidak sinkronnya antara pandangan informan/pekerja dengan MST). Wolford menilai bahwa dalam hal perubahan dan mobilisasi sosial, orang – orang merasa bingung, merasa bahwa kehidupan itu rumit, emosional dan tidak menentu:
people are “confused, life is complicated, emotional and uncertain,” to our analyses of social change and mobilization

Etnografi Politik sebagai Pemecah Kebingungan
Kebingungan atau ketidakmasukakalan ini berusaha dijawab oleh Wolford dengan mempertimbangkan aspek budaya yang dipahami sebagai sebuah akal sehat dan akal sehat itu sendiri adalah kebenaran sederhana atas hal – hal yang ditangkap secara begitu saja (dalam artikel disebut sebagai artlessly yang bisa dimaknai sebagai secara kasar dan tidak terampil). Analisis terhadap kontradiksi, diamnya serta kebingungan pelaku gerakan hanya bisa dilakukan dengan mendekat pada yang berwujud saja dan menggunakan Etnografi Politik yangmana memiliki arti ganda, yaitu (1) mengacu pada  dipolitisirnya etnografi sebagai metode yang unik serta sesuai untuk menganalisa serta mengungkap hubungan kekuasaan yang mengubah akhiran semua kehidupan sosial, serta (2) mengacu pada kebutuhan (serta praktik) penyelidikan etnografi politik dimana pemilu dan negara tidak lagi menjadi hal yang istimewa dalam kehidupan politik, namun orang – orang lah yang menjadi pusat perhatian.
Memusatkan perhatian pada orang (– orang) berarti kita memusatkan perhatian pada lokasi, pengalaman hidup, serta intensi dan/atau bukan intensi akan memperkaya kemampuan kita dalam memahami dan menjelaskan gerakan sosial. Wolford memberikan contoh dengan menyuguhkan wawancaranya dengan Cicero dan muncul dengan 4 (empat) kesimpulan.
Pertama, kebingungan dan kontradiksi yang ada dalam diri Cicero hadiah tidak dapat begitu saja dinilai sebagai suatu kesalahan atau tidak penting namun merupakan bagian dari usahanya untuk mempertemukan keadaan pribadinya dengan cara dia membayangkan dunia ini “berputar”.
Kedua, rasa ketidakpastian Cicero dalam meninggalkan MST menunjukkan ketidakjelasan keanggotaan suatu gerakan secara lebih umum - dalam setiap gerakan, ada berbagai tingkat keterlibatan, dan melakukan wawancara sepanjang kontinum memberikan kita gambaran yang lebih representatif atas politik gerakan dari sekedar mewawancarai para “pecandu” dan elit gerakan.
Ketiga, kebanggaan Cicero dalam memiliki tanah harus diletakkan dalam sejarah “penahanan” perkebunan yang cukup lama: sebagai mantan pekerja perkebunan, ia merasakan kebebasan baru. Bagi para pemimpin gerakan, kebebasan ini berarti kebebasan dari dominasi elit perkebunan dan penyulingan tebu, serta negara, akan tetapi bagi Cicero, kebebasan berarti mampu mengalokasikan waktu kerjanya sendiri dan bekerja kapanpun dia inginkan. Kebebasan, untuk Cicero, berarti hak untuk menolak saran MST dan akhirnya menarik diri dari gerakan.
Keempat atau yang terakhir adalah, diskusi Cicero mengenai politik di permukiman menyoroti sejauh mana partisipasinya dalam MST menjadi dasar bagi partisipasi politiknya  di masa depan. Bahkan jika gerakan itu sendiri tidak pernah mendapatkan kembali kekuatan politik di kawasan itu, alat-alat partisipasi yang aktivis gerakan terapkan pasti akan digunakan lagi. Gerakan sosial datang dan pergi, tetapi mereka membangun dan menghasilkan repertoar yang lebih luas dari perjuangan; repertoar ini akan hilang bila kita mengistimewakan gerakan sebagai obyek penelitian yang terbatas.


[1]    Di perkebunan ada empat identitas yang bisa dikenali berdasarkan posisinya. Keempat identitas tersebut ada dituliskan dalam artikel ini, yaitu (1) bos, (2) pekerja administratif elit, (3) buruh biasa, (4) pembantu rumah tangga.

[2]    Tanaman yang ditanam hanya sekedar dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari

No comments:

Post a Comment