Tuesday, January 22, 2013

Danau Toba (Adalah Milik) Kami - Sebuah Penelitian Pustaka (Yang Terlalu Singkat)


Tulisan ini terinspirasi dari demonstrasi yang terjadi pada tanggal 5 September 2012 di Medan, Sumatera Utara. Demonstrasi dilakukan oleh puluhan orang dari Advokasi Jaringan Lembaga Sumtera Utara (Aksi Jaga Sumut) yang dituliskan merasa prihatin melihat kondisi Danau Toba dan banyaknya perusahaan yang beroperasi di sekitar Danau Toba. Demonstrasi dilakukan di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara. Para demonstran yang terdiri dari pecinta lingkungan dan masyarakat menuntut pihak BLH untuk menutup PT Allegrindo, yang berkantor di Jakarta dan Singapura, yang bergerak di bidang peternakan babi dan diduga telah mencemari Danau Toba dengan limbah padat dan cair[1]. Bupati Samosir yang berada dalam kursi kepemimpinan pada saat demonstrasi tersebut terjadi adalah Mangindar Simbolon yang beristrikan Roma Arta Sitinjak. Sementara itu, Ketua DPRD Samosir adalah Tongam Sitinjak dengan Wakil Ketuanya yang bernama Jonny Sihotang. Aksi Jaga Sumut yang melakukan demonstrasi tersebut dikoordinatori oleh Nanang Ardiansyah Lubis.  Kepala BLH Sumatera Utara adalah Hj. Hidayati.

Judul yang saya tuliskan di atas merupakan ringkasan dari analisa yang akan coba saya uraikan dengan terlebih dahulu memberikan beberapa poin yang mendukung.

DANAU TOBA

Danau Toba, dituliskan oleh Leach[2], sebagai gambaran dari apa yang disebut dengan ‘ketentraman’ (serenity) dan gerbang menuju surga (gateway to heaven). Menurut cerita rakyat[3], ikan dan segala kehidupan flora dan fauna di dalam air Danau Toba tercipta dari akar pohon Ara yang jatuh ke danau tersebut. Oleh karenanya, pohon Ara (Banyan tree) disebut sebagai pohon kehidupan[4].

Danau Toba merupakan salah satu tempat wisata daerah di Indonesia[5]. Dituliskan oleh Causey[6] bahwa Danau Toba diharapkan dapat memberikan pengalaman kepada para wisatawan akan apa yang disebut dengan keindahan alami (natural beauty). Causey menuliskan bahwa daerah yang dikelilingi oleh Danau Toba merupakan tanah air para Batak Toba yang merupakan para petani subsisten. Mereka yang tinggal di daerah pinggiran danau acapkali dikunjungi oleh wisatawan dan dinilai, oleh Causey, memiliki kehidupan yang lebih nyaman, Para penduduk di pinggiran danau tersebut membuat kerajinan tangan yang merupakan ukiran kayu sebagai tambahan dari kegiatan pertanian mereka. Setelah kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera, jumlah wisatawan menurun sangat drastis.

BATAK

Shufeldt[7] menuliskan bahwa pada tahun 1866, bangsa Melayu tinggal di sepanjang pantai dan menyebabkan orang Batak tinggal di daerah pedalaman (interior) sementara pada tahun 1886, orang Batak menempati daerah sekitar Danau Toba.

Leach[8] menyimpulkan bahwa beberapa tulisan mengenai orang Batak menunjukkan bahwa mereka terdiri dari tiga kelas, yaitu (1) bangsawan, (2) orang biasa, serta (3) budak. Pemukiman penduduk mengikuti pola yang disebut sebagai homologis (homologous) yang berarti memiliki hubungan secara genetis ataupun sejarah. Lee[9] menuliskan bahwa kata ‘Batak’ dalam Melayu Kuno berarti perampok atau pemakan babi. Orang Batak semuanya merupakan keturunan Si Raja Batak, seseorang yang lahir dari orang tua yang merupakan makhluk gaib dari Bukit Pusuk, sebuah gunung di pinggir barat Danau Toba. Lee juga menuliskan bagaimana para Antropolog berpikir bahwa orang Batak berasal dari suku yang tinggal di pegunungan di utara Thailand dan Burma pada jaman Neolitikum. Orang Batak terkadang disebut sebagai pekerja dan bukannya pemikir. Dijelaskan lebih lanjut bahwa orang Batak yang tinggak di Danau Toba sifatnya agresif, blak-blakan,flamboyán, pemberani dan dinamis.

Kekayaan dan kekuasaan, dijelaskan oleh Lee, bukanlah hal – hal yang menentukan status sebuah keluarga di masyarakat. Orang Batak mengenal apa yang disebut dengan Dalihan Natau atau Segitiga Demokrasi yang menunjukan interdependensi hubungan masing – masing hirarki orang Batak yang melarang dominasi satu kelompok kepada kelompok yang lain. Lee menuliskan apa yang disebut sebagai kelompok yang inferior dan superior. Mereka yang berada dalam kelompok superior adalah mereka yang dalam hirarki keluarga dinilai senior dan mereka yang berada dalam kelompok inferior adalah penerima wanita.

Orang Batak (di Danau) Toba

Meijl dan Benda-Beckman[10] menuliskan bahwa ada lima kelompok orang Batak yang tinggal di Danau Toba yaitu Toba Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Kelimanya merupakan keturunan Si Raja Batak yang tinggal di gunung Pusuk Buhit (Bukit Pusuk) yang merupakan tempat tinggal salah satu makhluk gaib (Sombaon) di bumi yang paling sakti. Bagian ujung utara dari danau merupakan milik Batak Toba yang berarti hukum adatnya diterapkan di sebagian besar wilayah sekitar danau. Ada tiga hal yang perlu dicermati mengenai hubungan orang Batak Toba dengan Danau Toba, yaitu (1) unit sosial yang ada menunjukkan hubungan satu sama lain, (2) hubungan yang  berkaitan dengan lahan, serta (3) hak, kewajiban, keuntungan, serta kemungkinan yang dimiliki oleh masing – masing unit sosial semata – mata berdasarkan pada hubungan yang berkaitan dengan lahan.

Telah dituliskan di atas bahwa, orang Batak mengenal apa yang disebut dengan superior dan inferior. Meijl dan Benda-Beckman mengemukakan hal lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Unit sosial yang superior disebut dengan bius yang terdiri dari beberapa marga. Kelompok yang lebih inferior dari bius adalah yang disebut dengan portalian, yang diikuti oleh golat dan huta. Meskipun berada dalam hirarki yang lebih bawah, kelompok yang berada dalam golat dan huta ini lah yang mengatur dan memberikan hak pada masing – masing anggota marga dalam hal penggunaan dan penguasaan lahan. Golat sendiri sekarang dimengerti oleh beberapa sebagai hak memiliki tanah.

Precedence

Saya ingin menjelaskan keturunan Si Raja Batak dan marga – marga keturunannya untuk menunjukkan kesenioritasan, sekaligus kesuperioritasan marga.

Si Raja Batak
Si Raja Batak memiliki dua orang anak bernama (1) Guru Tatea Bulan, dan (2) Raja Isombaon.

(1)   Guru Tatea Bulan
Guru Tatea Bulan memiliki anak
(1.1)           Raja Uti
(1.2)        Tuan Sariburaja (Pasaribu) – melahirkan marga-marga seperti Situmorang, Sinaga (Almarhum Wakil Bupati Samosir adalah Mangadap Sinaga), Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar.
Salah satu keturunan Tuan Sariburaja menikah dengan Raja Borbor dan melahirkan marga Lubis (Ketua Aksi Jaga Sumut adalah Nanang Ardiansyah Lubis)
(1.3)           Limbong Mulana (Limbong)
(1.4)           Sagala Raja (Sagala)
(1.5)           Silau Raja (Malau, Manik, Ambarita, Gurning)

(2)   Raja Isombaon
Salah satu anak Raja Isombaon, yaitu Si Raja Lontung menikah dengan anak dari Tuan Sariburaja (anak dari Guru Tatea Bulan) melahirkan marga Pandiangan yang melahirkan marga Sitinjak (istri dari Bupati Samosir adalah Roma Arta Sitinjak, Ketua DPRD Samosir adalah Tongam Sitinjak)

Anak lain dari Raja Isombaon, yaitu Tuan Sorimangaraja menikah dengan Nai Ambaton dan melahirkan marga-marga seperti Simbolon (Bupati Samosir adalah Mangindar Simbolon). Marga lain keturunan Sorimangaraja adalah Sorbadibanua yang melahirkan Raja Oloan yang melahirkan Sigodang Ulu yang kemudian melahirkan marga Sihotang (Wakil Ketua DPRD Samosir adalah Jonny Sihotang).

DANAU TOBA (ADALAH MILIK) KAMI

Samosirkami dapat dipahami dalam tiga kerangka berpikir (paradigma) sebagai berikut:

1.      Yang menduduki posisi pemerintahan
Terlihat jelas bagaimana garis keturunan beserta kesenioritasn, kesuperioritasan, serta keinferioritasan menentukan siapa yang duduk dalam kursi kepemimpinan. Mangindar Simbolon, yang untuk sementara ini saya sebut sebagai cicit keturunan Si Raja Batak, dinilai layak untuk berperan sebagai Bupati Samosir melihat bahwa dia merupakan keturunan yang dekat dengan nenek moyang orang Batak Toba dan berpasangan dengan Mangadap Sinaga (alm.) yang juga merupakan cicit keturunan Si Raja Batak. Ketua DPRD yaitu Tongam Sitinjak merupakan anak dari cicit keturunan Si Raja Batak, atau kurang senior dibandingkan Simbolon dan Sinaga, dan berpasangan dengan Jonny Sihotang yang bahkan lebih kurang senior dari ketiganya karena dia merupakan cicit dari cicit keturunan Si Raja Batak. Penempatan Sitinjak sebagai Ketua DPRD dapat dipahami karena Sitinjak merupakan marga pemberi istri untuk Simbolon.

2.      Hubungan orang Batak dengan lingkungannya
Tulisan yang menyatakan bahwa Danau Toba berpotensi meningkatkan taraf hidup masyarakat dari tujuh kabupaten/kota (Simalungun, Dairi, Karo, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Samosir) pemilik kawasan Danau Toba[11] bukanlah berlebihan menilik dari cerita rakyat yang ada. Kehidupan perairan serta hutan yang ada yang “lahir” dari akar pohon Ara seolah – olah melegitimasi pendapat tersebut. Dengan pemahaman bahwa (1) Danau Toba sebagai simbol ketentraman, (2) lingkungan sekitar Danau Toba merupakan tanah air nenek moyang orang Batak Toba, serta (3) gunung Bukit Pusuk sebagai gerbang menuju surga, sangat dimengerti bagaimana masyarakat bersikeras untuk menjaga kejernihan danau tersebut.

3.      Paradigma atau kerangka berpikir yang ketiga dapat ditarik dari apa yang dituliskan oleh Meijl dan Benda-Beckman[12] yang menuliskan bagaimana keprihatinan atas Danau Toba serta lingkungan sekitarnya digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan isu hak kepemilikan atas lahan yang muncul dari hubungan yang timpang dan seringkali tidak dapat terrekonsiliasi antara pemerintah pusat dan masyarakat daerah, aturan nasional dan hukum adat, serta kepentingan ekonomi nasional dan setempat.









[2]       Leach, E. R. 2004. Rethinking Anthropology. Berg, UK.
[3]       Abernethy, Francis Edward. 1993. Corners of Texas. Texas Folklore Society, USA.
[4]       Lee, Khoon Chog. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. World Scientific Publishing Co, Pte.Ltd., Singapore.
[5]       Causey, Andrew. ‘The Hard Sell – Anthropologists as Brokers of Crafts in the Global Marketplace’. Dalam
        ‘Artisans and Cooperatives: Developing Alternate Trade for the Global Economy’, disunting oleh Kimberly M. Grimes dan Barbara Lynne Milgram. 2000. University of Arizona Press, USA.
[6]       Causey, Andrew. ‘The Hard Sell – Anthropologists as Brokers of Crafts in the Global Marketplace’. Dalam
Artisans and Cooperatives: Developing Alternate Trade for the Global Economy’, disunting oleh Kimberly M. Grimes dan Barbara Lynne Milgram. 2000. University of Arizona Press, USA.
[7]       Shufeldt, R. W. Notes on Bhils, Burmese, and Battaks. Dalam Popular Science Monthly, Vol. L, November 1896. D. Appleton and Company, New York.
[8]       Leach, E. R. 2004. Rethinking Anthropology. Berg, UK.
[9]       Lee, Khoon Chog. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. World Scientific Publishing Co, Pte.Ltd., Singapore.
[10]     van Meijl, Toon dan von Benda-Beckman, Franz. 2010. Property Rights and Economic Development: Land and Natural Resources in Southeast Asia and Oceania. Routledge, Oxon.
[12]     van Meijl, Toon dan von Benda-Beckman, Franz. 2010. Property Rights and Economic Development: Land and Natural Resources in Southeast Asia and Oceania. Routledge, Oxon.

No comments:

Post a Comment