Thursday, January 31, 2013

Kontribusi Etnografi dalam Analisa Gerakan Sosial


Bagaimana etnografi dapat memberikan kontribusi? Mari kita lihat dari beberapa tulisan yang pernah dibaca karena konstribusi yang, dinilai, dapat memberikan kontribusi sangat tergantung pada konteks penelitian serta paradigma penulis.

      1.      Pada saat menulis “naik-turunnya” (bekerja atau tidaknya) suatu jejaring, Edelman[1] mengusulkan agar pusat perhatian penelitian ada pada bidang sosial yang lebih luas atau yang dia tuliskan sebagai broader “social fields” dimana organisasi – organisasi yang kita teliti tersebut beroperasi karena Edelman berpendapat bahwa penelitan atas klaim para aktivis akan lebih mudah untuk dilakukan bila kita memusatkan perhatian pada gerakan – gerakan sosial yang place-based atau berbasis lokasi. Hal ini dapat diakomodir dengan etnografi yang, seperti diklaim oleh para Antropolog, mengetengahkan deskripsi berbasis lokasi (small-scale)

      2.      Dalam tulisan yang lain[2], Edelman banyak mengetengahkan kritisinya mengenai paradigm yang selama ini digunakan oleh Sosiologi dan Ilmu Politik, dan ini dapat dipahami karena Edelman adalah seorang Antropolog, serta sekaligus menunjukkan kekhusan Antropologi dalam memahami fenomena gerakan sosial. Ada tiga hal yang diketengahkan atas kekhususan Antropologi dalam memahami fenomena gerakan sosial.
Yang pertama adalah scope of analysis atau cakupan analisa. Hal tersebut dapat dipahami karena diutamakannya particularities atau kekhasan. Dan hal tersebut mengarah pada hal yang kedua yaitu kesmallscalean dari Antropologi yang dihadapkan pada paradigma Sosiologi dan Ilmu Politik yang mengarah pada generalization atau generalisasi yang dihasilkan dari kajian Sosiologi dan Ilmu Politik. Generalisasi dari Ilmu Sosiologi dalam analisa gerakan aksi sosial, yang diketengahkan dalam artikel ini, dapat dimengerti dengan mudah apabila kita membaca tulisan Sosiolog Henry A. Landsberger dalam salah satu tulisannya berjudul Peasant Unrest: Themes and Variations yang diambil dari bukunya yang berjudul Rural Protest: Peasant Movements and Social Change (1973: 19) dimana dia mengetengahkan empat ciri suatu aksi:
(1)   Adanya kesamaan nasib
(2)   Aksi yang dilakukan merupakan aksi kolektif dalam artian jumlah orang yang terlibat dan
      terkoordinasi dan terorganisirnya kegiatan tersebut
(3)   Aksi tersebut bersifat instrumental dalam artian dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan 
      bersifat ekspresif
(4)   Aksi yang dilakukan berdasarkan semata pada status ekonomi dan politik yang rendah

Disebutkan dalam artikel ini bahwa “ethnographic research resist grand theoretical generalizations because close-up views of collective action often looked messy” atau penelitian etnografis menolak dilakukannya generalisasi karena generalisasi tersebut kelihatan sembarangan. Yang terakhir adalah diketengahkannya lived experience of activists and non-activists atau pengalaman hidup dari para aktivis dan non-aktivis. Mengapa para aktivis dan non-aktivis karena adanya pandangan dalam dunia Antropologi bahwa pengalaman pribadi reflektif dalam kehidupan masyarakat dimana masyarakat merupakan tempat orang itu hidup. Hal terakhir inilah yang merefleksikan adanya relasi orang dengan orang lainnya (relasi sosial) dimana di dalamnya lahir gerakan-gerakan sosial.

     3.      Wolford[3] mengusulkan apa yang disebutnya sebagai Etnografi Politik yangmana memiliki arti ganda, yaitu (1) mengacu pada  dipolitisirnya etnografi sebagai metode yang unik serta sesuai untuk menganalisa serta mengungkap hubungan kekuasaan yang mengubah akhiran semua kehidupan sosial, serta (2) mengacu pada kebutuhan (serta praktik) penyelidikan etnografi politik dimana pemilu dan negara tidak lagi menjadi hal yang istimewa dalam kehidupan politik, namun orang – orang lah yang menjadi pusat perhatian.
Memusatkan perhatian pada orang (– orang) berarti kita memusatkan perhatian pada lokasi, pengalaman hidup, serta intensi dan/atau bukan intensi akan memperkaya kemampuan kita dalam memahami dan menjelaskan gerakan sosial.
     
     4.      Dove[4] mengusulkan dikemukakannya pemahaman emik, atau yang saya pahami sebagai local knowledge, atas keaslian (indigeneity). Pemahaman emik ini hanya, mungkin (untuk sementara ini), bisa didapat dari tulisan – tulisan etnografi yang, sekali lagi, mengedepankan ke-smallscale-an serta kedekatan dengan apa yang diteliti.

      5.      Clough-Riquelme menyatakan bahwa Antropologi Kewarganegaraan semestinya memusatkan perhatian pada interaksi di tingkat lokal yang disebut sebagai “jendela” kesempatan atau peluang yang tidak dihubungkan dengan kontrol dan aturan negara, namun lebih pada ruang yang menyediakan akses untuk informasi, saran dan orientasi yang berhubungan dengan spektrum isu dimana negara memiliki yurisdiksinya[5]. Sekali lagi, kelokalan ini lah yang saya pahami sebagai ke-smallscale-an.

     6.      Auyero[6] mengetengahkan gagasan utama yaitu adanya hubungan antara kehidupan sehari-hari dengan aksi protes dengan 3 (tiga) argument yaitu (1) sejarah hidup, bisa juga disebut dengan lived experience atau life history, membentuk aksi, pikiran dan perasaan; (2) agenda rutin politik mempengaruhi hakikat dan bentuk dari protes; serta (3) sejarah setempat menunjukkan pemahaman bersama para demonstran. Hal – hal berikut ini dapat dijawab dengan melakukan penulisan etnografi.


[1]       ‘When Networks Don’t Work: The Rise and Fall and Rise ofCivil Society Initiatives in Central America’
       [2]       Social Movements; Changing Paradigms and Forms of Politics’
       [3]       From Confusions to Common Sense: Using Political Ethnography to Understand Social Mobilization in the 
                  Brazilian Northeast
       [4]     Indigeneous People and Environmental Politics
[5]       Gender, Citizenship, and Local Democracy in Paraguay: A comparative Analysis of Social Power and Political 
           Participation in the Central Region, Jane Clough-Riquelme
        [6]    When Everyday Life, Routine Politics, and Protest Meet

No comments:

Post a Comment