Thursday, October 11, 2012

Review: Bab VII Images of a Social Order Precedence and Social Practice ditulis oleh Andrew McWilliam dalam PATHS OF ORIGIN, GATES OF LIFE: A Study of Place and Precedence in Southwest Timor


Menilik pada tujuan William pada Bab VII ini bahwa dia berusaha “to present an interpretation of the important principles and ideas which influence and condition the practice of social life at the local level” atau  diterjemahkan sebagai “untuk mengetengahkan interpretasi dari prinsip dan gagasan penting yang mempengaruhi dan membentuk praktik kehidupan sosial setempat”, maka dapat dikatakan bahwa William sedang berusaha untuk memaknai sistem nilai yang ada di kuan dan ume  dalam komunitas di Desa Meto, dan yang kemudian mewujud dalam praktik – praktik sosial dan salah satunya adalah praktik pernikahan. Sekali lagi saya harus mengetengahkan definisi akan sistem nilai karena konsep sistem nilai ini lah yang melandasi pengamatan William. Sistem nilai budaya Koentjaraningrat lah (2010: 387-388) yang menurut saya sesuai untuk digunakan:

“Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Dengan demikian suatu sistem nilai-budaya itu biasanya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia. Karena sistem nilai-budaya itu hanya merupakan konsep-konsep yang abstrak, tanpa perumusan yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya bisa dirasakan, tetapi sering tidak dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. … Kalau sistem nilai-budaya itu merupakan pengarah bagi tindakan manusia, maka pedomannya yang nyata adalah norma-norma, hukum dan aturan, yang biasanya memang bersifat tegas dan konkret”

Ada beberapa kata kunci dalam tulisan William di bab ini yang menyebabkan saya memilih definisi Sistem Nilai Budaya Koentjaraningrat, yaitu (1) ideas, (2) important, dan (4) influence and condition the practice of social life. Dalam definisi Koentjaraningrat “Konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran” saya maknai sama dengan ideasnya Willliam; sementara “…, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya … yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia” sesuai dengan apa yang ditulis William sebagai important dan influence and condition the practice of social life.

Saya menemukan ada satu nilai dalam komunitas di Desa Meto yang kemudian mempengaruhi praktik kehidupan sosial mereka dan salah satunya adalah praktik serta aturan dalam pernikahan. Nilai tersebut adalah bahwa kelompok atau keluarga pertama yang menduduki suatu daerah, yang kemudian dipahami sebagai penduduk asli, memiliki otoritas terhadap wilayah hutan sekitarnya (hal. 161). Otoritas tersebut meliputi berbagai bidang yaitu secara politik, ekonomi dan sosial. Praktik – praktik sosial yang lahir dari nilai yang demikian diketengahkan dalam tulisan William. Yang pertama adalah bahwa bahkan dengan adanya sistem kepemerintahan desa yang mendudukkan Kepala Desa sebagai pengatur desa, sang Kepala Desa meneruskan permintaan pengelolaan lahan dari para pendatang kepada pemuka kampung atau dusun (hamlet). Yang kedua adalah pemuka kampung atau dusun tersebut biasanya merupakan anggota laki-laki tertua dari kelompok yang disebutkan sebelumnya.  Praktik selanjutnya adalah memiliki nama marga yang sama dengan nama adalah praktik lainnya yang merefleksikan nilai yang melandasinya dimana dengan memiliki nama marga yang sama dengan orang tua laki-laki atau kakek atau buyut dari kelompok atau keluarga yang menguasai suatu area memperluas akses terhadap sumber daya hutan.

Nilai yang dikemukakan di atas disadari oleh para pendatang yang kemudian menikahi perempuan dari kelompok penguasa dan disebut sebagai pihak yang ‘makan’ dari tanah keluarga pemberi istri karena afiliasi dengan penduduk asli harus diciptakan agar memiliki kesempatan untuk mengambil sumber daya yang ada. Di dalam trah penduduk asli itu sendiri terdapat hirarki dimana garis keturunan yang paling awal (elder sibling line) menentukan kesenioran seorang laki – laki meskipun umurnya lebih muda dari laki – laki lain dalam satu marga namun dia berada dalam garis keturunan yang relalif muda (younger sibling line) dan dalam praktiknya apabila terjadi perselisihan antar garis keturunan ini, maka pihak yang berasal dari garis keturunan yang relatif muda akan menyingkir dan membentuk kuannya sendiri.

Mempertahankan keotoritasan suatu marga dalam suatu wilayah ditunjukkan meskipun anak perempuannya harus kehilangan nama marga karena suatu pernikahan. Namun demikian, hilangnya nama marga ini bukan berarti kehilangan otoritas, karena adanya nilai bahwa keluarga pemberi perempuan merupakan keluarga yang memberikan kehidupan terhadap keluarga lain yang berafiliasi dengannya melalui sebuah perkawinan dan secara sosial keluarga pemberi wanita itu dianggap superior. Nilai ini pun kembali lagi kepada nilai yang saya sebutkan di atas bahwa kelompok atau keluarga pertama yang menduduki suatu daerah, yang kemudian dipahami sebagai penduduk asli, memiliki otoritas terhadap wilayah hutan sekitarnya berdasarkan pada pernyataan William “ ... marriage is important in terms of control over resources and political authority” (hal. 172). Dan pada saat si istri tidak dapat memberikan keturunan kontrol terhadap sumber daya dan otoritas politik ini tetap dipertahankan dengan menikahkan saudara perempuan si istri dengan si laki-laki.

Saya ingin menutup review ini dengan mengetengahkan pendapat saya bahwa ‘keaslian’ dalam konteks ini lebih untuk kontrol sumber daya.

No comments:

Post a Comment