Thursday, October 25, 2012

Review ‘Movements’ dalam Friction: An Ethnography of Global Connection, Anna Tsing


Tsing menyuguhkan dua hal dalam menganalisa proses gerakan sosial dalam skala global. Yang pertama adalah gerakan sebagai sebuah mobilitas atau gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat, baik secara fisik maupun secara sosial (Kamus Sosiologi Antropologi, M. Dahlan Yacub Al-Barry) dan yang kedua adalah gerakan sebagai sebuah mobilisasi sosial atau perpindahan (tempat, kedudukan, atau tingkah laku) orang – orang dalam masyarakat dengan pola yang baru (Kamus Sosiologi Antropologi, M. Dahlan Yacub Al-Barry). Gerakan sebagai sebuah mobilitas, dijelaskan lebih lanjut oleh Tsing, sebagai bentuk - bentuk aktivisme yang berpindah tempat (traveling forms of activism) sedangkan gerakan sebagai sebuah mobilisasi merupakan transformasi dari kesadaran (transformation of consciousness). Dalam menyuguhkan pemaparan gerakan sebagai sebuah mobilitas dan mobilisasi, Tsing memulai dengan bentuk gerakan pada era pasca perang dingin (post cold wars).

Gerakan Liberalisme

            Pada era tersebut gerakan – gerakan yang muncul merupakan gerakan liberalisme yang mengambil bentuk advokasi hak – hak asasi manusia. Gerakan liberalisme tersebut dipandang sebagai sebuah usaha untuk membebaskan diri dari takhayul, jarak dan hirarki kultural dan membentuk dunia yang bebas dan dunia yang tanpa perpecahan. Jika gerakan liberalisme memandang kebebasan sebagai usaha untuk menghilangkan segala macam hambatan dan gerakan tersebut semata hanya untuk memenuhi hasrat perorangan, maka tidak perlu dilakukan mobilisasi. NGO, advokasi hak asasi manusia dan masyarakat sipil berubah menjadi bentuk penguasa imperial yang baru. Liberalisme kemudian terjebak dalam kekuasaan tersebut karena pola berpikir bahwa liberalisme dimaknai sebagai kebebasan. Praktik – praktik lokal, tentu saja, dalam gerakan semacam ini kehilangan kekuatannya.

Tsing berpikir bahwa suatu gerakan semestinya menggambarkan bentuk – bentuk dari mobilitas dengan definisinya secara kultural dan politik dan mobilisasi membentuk makna baru atas identitas meskipun lahir dari hubungan dan perbandingan dengan pihak luar. Dalam memobilisasi, sebuah gerakan harus memberikan model perubahan yang dapat dibayangkan oleh para aktivis perorangan dan kelompok – kelompok sosial. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan gerakan yang demikian.

Yang pertama adalah individu dan kelompok seperti apa yang dapat menjadi agen pengubah (agents of change). Yang kedua adalah hubungan yang saling mempengaruhi yang dilakukan secara hati-hati antara paham nasionalisme dan transnasionalisme dibawah tekanan Order Baru. Transnasionalisme memiliki praktik – praktik atau kegiatan yang regular, instan, simultan, prevalen dan intens (Asian Americans = Contemporary Trends and Issues, Pyong Gap Min), merupakan produk dari globalisasi (Traversing Transnationalism: The Horizons of Literary and Cultural Studies disunting oleh Pier Paolo, Frassinelli, Ronit Frenkel, David Watson)dan dapat dilihat sebagai sebuah proses sosial (Anthropology and Migration: Essays on Transnationalism, Ethnicity, and Identity, Caroline Brettell). Sedangkan nasionalisme oleh Bennedict Anderson (Deep Mexico, Silent Mexico: An Anthropology of Nationalism, Claudio Lomnitz-Adler) dijelaskan sebagai (1) bentuk spesifik dari komunitarianisme dimana keadaan cultural dari kemungkinan – kemungkinan ditentukan oleh perkembangan media komunikasi dan tatanegara kolonial, (2) semacam penerus budaya universalisme agama pra-modern (Eropa), dan (3) konstruksi budaya yang memiliki pertalian dengan “kekerabatan” atau “agama”. Sementara Adler berpikir bahwa nasionalisme merupakan sebuah idiom yang mengartikulasikan warga negara ke dalam beberapa komunitas dari keluarga, kelompok usaha, desa, kota hingga tingkat nasional. Dan yang ketiga atau yang terakhir adalah mobilisasi agen – agen yang bersemangat pada era desentralisasi pasca Order Baru dimana lokalisasi etnis, agama dan gender digunakan secara transnasional.

Masa Orde Baru

Orde Baru memberikan janji untuk membentuk Indonesia yang modern dengan melahirkan peraturan hukum, sains dan usaha transnasional yang bermutu. Gerakan lingkungan, yang kemudian membuka jalan bagi bentuk gerakan yang lain pada tahun 1990an, mengalami represi tanpa ujung di bawah rejim Orde Baru. Mereka mempertanyakan bagaimana caranya agar menjadi pihak oposisi yang kritis dapat terwujud. Pertanyaan tersebut dijawab dengan ditemukannya kebutuhan akan jejaring transnasional dan jika relevan dengan permasalahan nasional. Nasionalisme khayalan pun diciptakan dan membayang-bayangi negara. Transnasionalisme disalurkan ke dalam nasionalisme dan disiplin ilmu pun diterapkan.

Gerakan lingkungan yang dilakukan oleh WALHI mengusung isu – isu seperti isu hutan, pestisida dan perubahan iklim. Mereka memiliki anggota di masing – masin gpropinsi, aktivis masyarakat pedesaan dan pecinta lingkungan di tingkat propinsi. WALHI menggunakan bentuk perlawanan yang menggunakan liberalisme untuk melawan liberalisme itu sendiri melalui jalur hukum. Dengan kata lain liberalisme dapat digunakan untuk melawan liberalisme ketika berhadapan dengan permasalahan hukum. Dengan cara ini mereka berharap untuk memberikan kesadaran politik dan mengubah prioritas nasional menjadi gerakan transnasional. Ada banyak kendala yang dihadapi seperti lambatnya mobillisasi petani, banyak kesalahpahaman terhadap apa yang diperjuangkan, taktik ad hoc dinilai tidak demokratis, serta sebagian besar keberhasilan yang dicapai hanyalah simbolik. Mereka kemudian melakukan penterjemahan terhadap istilah – istilah dalam liberalisme sehingga dapat dimengerti oleh pendukungnya.

Pasca Orde Baru

Pada masa ini ruang politik terbuka lebar dan ideologi yang selama ini ditekan bermunculan. Tsing menggambarkan keadaan pasca rezim Orde Baru sebagai periode reformasi yang penuh harapan namun semrawut serta desentralisasi dijadikan agenda nasional. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memobilisasi orang – orang marjinal, yang dalam tulisan ini disebut sebagai disenfranchised people, agar berjuang untuk hak – hak mereka. Jawabannya adalah melokalkan inisiatif nasional dengan cara menyebarluaskan cerita – cerita transnasional yang memberikan harapan alternatif.

Tsing berpendapat bahwa mobilitas tidak ada artinya tanpa mobilisasi dan melihat bahwa aktivisme mengambil kesempatan atas kebingungan yang terjadi serta reformasi yang terbuka lebar. Gerakan lingkungan di Indonesia pada era pasca Order Baru berkembang ke gerakan perjuangan hak – hak manusia dan isu buruh. Mereka berusaha untuk menciptakan budaya untuk melawan pembangunan negara yang dipaksakan dan memberikan kesempatan pada pemimpin di daerah – daerah pedesaan untuk bicara. Isu – isu yang dibawa adalah ancaman pada lingkungan seperti polusi, pembangunan yang berdampak buruk, atau pencurian hasil hutan dari masyarakat pedesaan. Mereka berusaha untuk mewujudkan gerakan nasional (aktivisme transnasional) untuk melindungi lingkungan.

Politik bergerak ke arah pinggiran. Mereka mulai menciptakan aliansi – aliansi pada tingkat domestik dan dalam waktu yang bersamaan melakukan advokasi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Hal ini dilatarbelakangi dari semangat bahwa hanya dengan bekerja dari dalam dan sekitar Negara, aktivis dapat membanyangkan alternative untuk mendapatkan dukungan dana atas kerusakan lingkungan. Dan pergerakan ini berkembang sebagian karena beberapa teknokrat dalam birokrasi pemerintahan Negara mendukung gerakan mereka. Pergerakan ini terjadi ketika mereka tidak lagi bertumpu pada konteks budaya dan politik dimana mereka muncul.

Ada banyak teori – teori dan pandangan Tsing mengenai gerakan, terlepas dari fakta bahwa buku ini merupakan suatu tulisan etnografis, namun saya masih kurang puas dengan tidak disuguhkannya
(1)  Definisi gerakan secara kultural dan politik
(2)  Definisi atas transnasionalisme dan nasionalisme










No comments:

Post a Comment