Thursday, October 11, 2012

Review: ‘When Everyday Life, Routine Politics, and Protest Meet’ ditulis oleh Javier Auyero


                               Setting Artikel

Sebelum menguraikan pemahaman saya terhadap isi dari artikel, ada baiknya saya sampaikan setting kejadian protes yang ada dalam artikel ini.

Aksi protes ini bermula dari digagalkannya kesepakatan antara pemerintah dengan sebuah perusahaan pupuk Kanada bernama Agrium yang disinyalir dapat menyediakan 50 jenis pekerjaan penuh waktu (full time jobs), dan dilakukan di daerah yang kaya minyak dan gas bumi

Aksi protes dilakukan dengan memblokade jalan yang terjadi pada tahun 1996 selama 5 (lima) hari di Argentine Patagonia yang dilakukan oleh piqueteros, yang dalam artikel ini disebut sebagai picketers. Piquetero adalah anggota faksi politik yang modus operandinya berbasis pada piquete. Piquete adalah tindakan di mana sekelompok orang memblokir jalan dengan tujuan untuk menunjukkan serta menarik perhatian atas isu atau permintaan tertentu. Tren ini dimulai di Argentina pada pertengahan 1990-an, selama pemerintahan Presiden Carlos Menem, yang segera menjadi bentuk protes yang sering dipakai dan masih berlaku di kancah sosio-politik Amerika Selatan. Tujuh puluh persen piquetero adalah perempuan ( http://en.wikipedia.org/wiki/Piquetero).

Tuntutan yang disuarakan oleh para picketers tersebut utamanya adalah penyediaan lapangan kerja, makanan, serta penyediaan gas bumi dan listrik untuk 2.500 keluarga yang listrik serta gas diputus karena tidak dapat melunasi tagihan. Protes ini menggambarkan kelaparan yang diderita oleh penduduk dan yang kemudian dikeluarkannya wacana ‘Darurat Pekerjaan dan Kehidupan Sosial’.

Aksi ini mereda setelah ditandatanganinya kesepakatan antara picketers dengan pemerintah dimana penandatanganan tersebut dimaknai oleh salah satu picketer (Laura) sebagai penandatanganan aksi melawan ketidakadilan, penghinaan dan kesengsaraan.


                  Pemahaman atas Artikel

Dalam artikel yang ditulis oleh Marc Edelman berjusul ‘Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics’, Edelman mengetengahkan kekhususan Antropologi dalam melihat suatu aksi kolektif yaitu diketengahkannya lived experience of activists and non-activists atau pengalaman hidup dari para aktivis dan non-aktivis. Mengapa para aktivis dan non-aktivis karena adanya pandangan dalam dunia Antropologi bahwa pengalaman pribadi reflektif dalam kehidupan masyarakat dimana masyarakat merupakan tempat orang itu hidup. Hal terakhir inilah yang merefleksikan adanya relasi orang dengan orang lainnya (relasi sosial) dimana di dalamnya lahir gerakan-gerakan sosial. Artikel ini mengetengahkan beberapa penjelasan berdasarkan lived experience, yang dalam artikel ini disebut sebagai everyday life,  salah satu picketer yaitu Laura Padilla, yang dalam artikel ini diketengahkan sebagai orang yang menandatangani kesepakatan dengan pemerintah. Dari pemaknaan Laura atas kehidupannya, dia memaknai kemiskinan, atau poverty, sebagai apa yang selama ini dia derita sehingga dia harus tetap berjuang dan berusaha untuk menghidupi anak-anaknya serta rasa malu yang harus selalu dia tanggung setiap kali berada dalam sistem pengadilan untuk memperoleh hak asuh serta tunjangan hidup untuk anak-anaknya dari suaminya yang selama dia menikah selalu menyiksanya.

Media Radio turut ambil bagian dalam ‘menggerakkan’ Laura untuk ambil bagian dalam aksi kolektif ini dimana radio mensuarakan dan membuat keadaan yang selama ini ditanggung oleh Laura menjadi logis. Singkatnya protes yang dilakukan bukanlah semata aksi politik namun lebih merupakan pernyataan para demonstran yang merefleksikan kegelisahan yang dalam kehidupan sehari-hari mereka alami.

Artikel ini mengetengahkan gagasan utama yaitu adanya hubungan antara kehidupan sehari-hari dengan aksi protes dengan 3 (tiga) argument yaitu (1) sejarah hidup, bisa juga disebut dengan lived experience atau life history, membentuk aksi, pikiran dan perasaan; (2) agenda rutin politik mempengaruhi hakikat dan bentuk dari protes; serta (3) sejarah setempat menunjukkan pemahaman bersama para demonstran.

Aksi protes tersebut dipicu oleh adanya perubahan besar yang secara tidak langsung membentuk aksi kolektif dengan mempengaruhi kepentingan, kesempatan, organisasi dan identitas orang awam dimana aksi kolektif tersebut merupakan hasil dari harapan bersama dan improvisasi – improvisasi yang dipelajari. Khasanah, atau repertoire, yang diusung merupakan hasil dari pergumulan yang dialami oleh para demonstran.


                Komentar

Membaca dari sebuah buku yang ditulis oleh K.S. Krishna Rao yang berjudul ‘Introduction to Social Anthropology’ saya berpikir bahwa aksi protes yang dikemukakan di atas merupakan dapat dimasukkan dalam sebuah aksi protes yang berada dalam sistem stratifikasi yang terbuka (open system stratification) dimana protes yang dilakukan dalam sistem stratifikasi yang terbuka biasanya muncul pada saat mobilitas terkendala oleh sistem (protest occurs when for some reason mobility is blocked within the system). Pertanyaan selanjutnya adalah mobilitas apa atau mungkin mobilitas siapa yang terkendala. Hal tersebut dapat dijawab oleh Emilio F. Moran dalam bukunya yang berjudul ‘Transforming Societies, Transforming Anthropology’ dimana dia mengatakan “The defining characteristics of more recent protest movement is the access of the poor to natural resources” atau karakter yang mendefinisikan gerakan protes pada akhir – akhir ini adalah akses masyarakat miskin terhadap sumber daya alam.

Mengacu pada penjelasan Rao mengenai Economism yaitu bahwa  “Economism does not challenge the hierarchy, but attacks those who, it is believed, have not played fair by the rules of the extant hierarchical system”, yang kemudian terjemahan lepasnya adalah Ekonomisme tidak menantang hirarki, tetapi menyerang orang-orang yang diyakini tidak bermain adil berdasarkan pada aturan dari sistem hirarki yang masih ada, saya berpikir bahwa aksi protes di Argentina pada tahun 1996 ini merupakan aksi protes yang mengambil bentuk Economism. Dijelaskan lebih lanjut oleh Rao bahwa “protests of this sort will recall working class traditions, tales of bravery and sacrifice, homilies and aphorisms of moral probity and virtue, to realize a community, even a fraternity, that is redolent with a multitude of specific characteristics” yang saya pahami sebagai bahwa protes semacam ini akan mengingatkan kita pada tradisi kelas pekerja, cerita keberanian dan pengorbanan, homily dan aforisme dari kejujuran moral dan kebajikan, untuk mewujudkan masyarakat, bahkan bentuk persaudaraan, yang diwarnai dengan banyak karakteristik yang spesifik.

Komentar saya ini tentu saja masih sangat dapat diperdebatkan karena perlu dilihat sistem hirarki mana yang dimaksud serta pada bagian mana orang – orang yang berada pada sistem hirarki ini tidak bermain dengan adil. Namun saya akan mempertahankannya berdasar pada pernyataan bahwa ada ketidakadilan yang disuarakan oleh media radio dalam menggerakkan aksi ini dan juga pada mindset yang ditanamkan oleh ayah Laura dimana politik itu jahat, politikus itu ‘kotor’ dan korup.

Ada beberapa bagian yang saya pikir perlu untuk kita kaji atau cari tahu lebih dalam adalah:
(1)  Pernyataan structural change on collective action and the transformation of the culture of popular protest. Hal ini membuat saya berpikir bahwa kita perlu menkaji lebih dalam budaya protes yang ada dalam suatu masyarakat
(2)  Terlibatnya orang – orang yang sudah memiliki pekerjaan, pemilik toko bahkan para pekerja dalam aksi ini. Saya berpikir bahwa kita juga perlu mencari tahu driving force orang – orang ini dalam mengikuti aksi protes. Pada aspek kehidupan sehari-hari mereka serta lived experience mereka yang mana yang ‘menggiring mereka mengikuti aksi ini.
(3)  Routine politicsroutine politics, menurut saya, tidak digambarkan secara lengkap karena lebih menunjukkan sedikit dari kebijakan – kebijakan politik yang kemudian memicu aksi protes tersebut


No comments:

Post a Comment