Saya berpendapat bahwa bahan penelitian dari daerah Timur Indonesia dapat membantu kita untuk melihat pertukaran dalam perkawinan dan perbudakan dengan kerangka berpikir yang baru, dengan menekankan kesamaan dan sifat koersif dari pertukaran. Pengantin wanita berada di antara sistem kekerabatan dan perbudakan (dengan cara yang agak berbeda dengan pengantin laki-laki) dan antara sebagai “hadiah” dan “komoditas”.
KAMUS
BESAR BAHASA INDONESIA:
Koersif:
bersifat atau berkenaan dengan koersi
Koersi: bentuk akomodasi yang prosesnya
dilaksanakan dengan menggunakan tekanan sehingga salah satu pihak yang
berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibandingkan dengan pihak lawan
1) Khususnya sistem pernikahan yang
menyediakan ‘kepastian’ atas sistem tingkatan di seluruh wilayah bagian timur
Indonesia, dan kemungkinan juga di masyarakat Asia Tenggara dimana beberapa
bentuk perkawinan dan afiliasi diberi keistimewaan, dan (2) bahwa posisi budak
dan orang – orang yang diangkat menjadi anggota keluarga dinilai dari kemampuan
mereka untuk menikah beserta sumber dan ketersediaan pembayaran yang akan
dipertukarkan dengan budak dan orang – orang tersebut.
Pernikahan
adalah arena utama dimana permainan status sosial ini dimainkan
Aturan untuk membedakan budak yang menjadi barang
“dagangan” dari pengantin yang tidak “diperdagangkan” membawa ke fokus
pengertian lembaga secara budaya.
Budak dan pengantin perempuan – dalam masyarakat
patrilineal – dianggap sebagai “makhluk asing” (orang luar) yang secara parsial
dimasukkan ke dalam kelompok keturunan yang sudah ada, dan keduanya dapat
memberikan keturunan yang statusnya harus dinegosiasikan melalui pertukaran
barang – barang berharga. Keturunan dari pengantin perempuan yang mas kawinnya
tidak dibayar berafiliasi melalui garis keturunan ibu. Keturunan dari para ata
bisa menggunakan istilah kekerabatan yang menggambarkan bahwa ayah biologis
mereka merupakan anggota dari rumah majikan mereka, namun mereka dianggap hanya
sebagai ‘anak dalam rumah’ (ana uma dalo) kecuali mereka secara resmi diadopsi
oleh salah satu istri ayah maramba mereka.
Perbudakan
adalah lembaga adat yang begitu
tertanam dalam karakter orang Sumba sehingga akan sulit untuk memberhentikannya secara
tiba-tiba. Suatu kekuatan penguasa
tergantung pada kekuasaannya atas budak, yang tenaga kerja untuk budidaya
sawah dan yang mana statusnya ditandai dengan ritual dan subordinasi hukum
Peringkat budak harus dibahas di arena pernikahan,
tapi hampir tak terlihat di sebagian besar konteks lain
Pernikahan merupakan setengah jalan menuju perbudakan
sementara setengah jalan lainnya menuju ke luar dari perbudakkan.
Istri adalah ‘dibeli’ dan bukannya ‘dijual’. Istri pada
awalnya sebagai barang komoditas (hak – hak yang dimiliki perempuan ditukar
dengan barang – barang berharga yang setara dengan hak – hak mereka), namun
pada akhirnya dianggap sebagai sebuah hadiah dengan menihilkan pembayaran awal
dengan kontra-pembayaran yang setara.
Bagi orang Sumba, mas kawin merupakan hipotek - kewajiban
abadi tetapi juga menjadi sumber abadi kredit tambahan. Kesamaan dari
tahap-tahap awal negosiasi pernikahan dengan transaksi komersial terletak pada
pertukaran yang (dinilai) setara - jika selalu berbeda - hadiah, serta adanya kasih
sayang dan ikatan yang mendalam diantara kedua kelompok yang terlibat.
Budak berbeda dengan pengantin karena mereka dinilai
'tanpa keluarga'.
Ketika keluarga pengantin wanita menghidupkan kembali isu
awal dari hubungan antara komoditas ('harga hewan') dan hadiah (kekayaan
ditransfer sebagai tanda hormat dan nilai) merupakan titik kritis. Mereka
berpendapat bahwa kedua keluarga akan direndahkan jika kekayaan yang dialihkan
terlalu kecil, dan hanya dengan menyetujui pembayaran timbal balik yang cukup
besar kehormatan kedua belah pihak bisa di’amin’i.
Pengeluaran akan pembayaran atas aliansi akan dikembalikan
dari waktu ke waktu, sehingga pembayaran di awal yang (dinilai) memberatkan
dalam bentuk kerbau dan kuda akan kembali tidak hanya dengan pemberian kembali
dalam bentuk kain namun juga nantinya dalam bentuk babi, pinjaman uang,
penggunaan lahan, dan layanan lainnya.
Kehormatan putrinya akan dinodai apabila sejumlah kain
tidak disertakan pada saat putrinya diserahkan, dan hal tersebut merupakan
penghinaan terburuk, karena tanpa sejumlah kain yang menyertainya berarti anak
perempuannya diserahkan dalam keadaan “telanjang”.
Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan dalam keadaan
telanjang' karena ia memiliki seorang ayah dan saudara-saudara yang akan
mempertahankan siklus pembayaran yang sesuai. Gadis budak 'diberikan dalam
keadaan telanjang', karena ‘harga’ awalnya tidak dapat dilunasi dengan
kontra-pembayaran yang nantinya akan secara dialektika mempengaruhi persepi dan
mentransformasi pertukaran jauh dari komoditas dan hadiah.
Perundingan pernikahan yang dipenuhi oleh “harap-harap
cemas” akan peringkat dan prestise, yang tampil dalam retorika tentang
kehormatan keluarga. merupakan bagian dari skenarionya keluarga pengantin pria
untuk selalu setidaknya berpura-pura terkejut pada saat dimintanya sejumlah
ternak dan keping emas, hal itu juga merupakan bagian dari naskah keluarga
pengantin wanita untuk mengingatkan pihak keluarga pria akan adanya keuntungan
bersama yang akan didapat dari biaya pembayaran perkawinan yang tinggi. Sebuah
tampilan pidato indah dan gerakan kekayaan dari kedua belah pihak akan menarik
pujian dan kekaguman dari penonton, dan bahkan mungkin mengguncang seluruh
wilayah dengan pengaturan kembali secara sosial yang (dinilai) penting.
Retorika perundingan perkawinan menunjukkan betapa
kehormatan dibangun atas penggunaan kekayaan untuk mengatasi pelanggaran
seksual dan mengubahnya menjadi modal budaya, membangun hubungan pinjaman
jangka panjang atas dasar rayuan dan pengabsahan keturunan melalui pembayaran
ternak dan emas . Penyerahan perempuan ini berpakaian dan reproduktif,
sedangkan budak dalam keadaan 'telanjang' dan terputus dari resiprositas lebih
lanjut, karena dia tidak memiliki keluarga untuk melanjutkan transaksi demi
menyeimbangkan nilai pembayaran di masa depan. Hal ini merupakan contoh atas apa yang disebut dengan ‘clothes make the man (or woman)’, dan
secara metaforis menandai keutuhan pribadinya.
Clothes make the
(wo)man: baju yang kita kenakan
menunjukkan siapa diri kita.
Ata
mema identitasnya terkait
erat dengan tuan mereka dimana mereka merupakan perpanajangan kekuasaan
majikannya. Keluarga bangsawan akan menunjuk satu budak laki-laki untuk memikul
kantong sirih majikannya serta satu budak wanita yang akan didandani mengenakan
riasan (pakaian) nyonyanya.
Kepribadian budak diidentikkan dengan tuannya.
Di Sumba Timur, di mana hirarki paling kuat tertanam,
banyak budak tampaknya telah menerima peran mereka sebagai bawahan.
Ada beberapa kasus dimana perempuan ata keluar dari ke-ata-annya
menjadi wanita seutuhnya yang dapat memikat pria dari tingkatan yang lebih
tinggi sehingga dia dapat bergerak leluasa secara sosial.
Budak hingga kini dianggap sebagai satu kategori dalam
masyarakat
Di Sumba Timur, perbudakan menunjukkan berlanjutnya
rasa hormat kepada hirarki dan presise keluarga bangsawan. Di Sumba Barat,
budak diperlakukan sebagai saudara yang lebih miskin, namun pernikahan dengan
mereka masih saja “bermasalah” karena mereka masih teringat pada “belenggu” dan
“tali” yang mengekang mereka.
Kebangsawanan meliputi kewajiban untuk memberikan tanggungan
kepada seseorang, yang meliputi mengatur pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang
pria yang kaya tetapi tidak bertanggung jawab secara sosial dipandang rendah
Bangsawan yang tidak memiliki budak dan hanya kaya
saja tidak memiliki pengaruh sosial
Perbudakan memang berfungsi untuk menterjemahkan
hubungan dominasi ekonomi menjadi klaim sosial lainnya, tapi selalu dihantui
oleh adanya kemungkinan keluar dari pakemnya.
No comments:
Post a Comment