Secara khusus, deskripsi singkat mengenai stratifikasi
sosial di Sumba ini diambil dari tulisan Janet Hoskins yang berjudul “Slaves, Brides and Other ‘Gifts’: Resistance, Marriage and Rank
in Eastern Indonesia” serta tulisan
Y. Argo Twikromo yang berjudul “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum
Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur Sumba”. Ada 4 (empat) pokok
pembicaraan yang perlu diulas dalam melakukan analisa ini yaitu (1) Stratifikasi Sosial, (2) Kelas, (3) Deskripsi Stratifikasi Sosial di Sumba
(menurut Hoskins, Twikromo), serta (4) Stratifikasi Sosial di Sumba vs. Teori
Kelas.
1. Stratifikasi
Sosial
Ada
dua perpektif dasar mengenai stratifikasi sosial (Nanda dan Warms[1]
Functionalism (Fungsionalisme)
Stratifikasi sosial pada umumnya menguntungkan seluruh
masyarakat dimana ada imbalan (reward) untuk masyarakat secara sosial
dan ekonomi apabila mereka bekerja lebih giat, berani mengambil risiko,
melakukan pekerjaan yang sulit dan sebagainya. Namun terkadang imbalan yang
diberikan tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan sehingga teori ini pada
akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan ketimpangan atau ketidakmerataan (inequality)
Teori Konflik
Stratifikasi sosial merupakan hasil dari perjuangan terus
menerus demi mendapatkan barang dan jasa yang terbatas. Ketidakmerataan muncul
karena individu dan kelompok yang memiliki kekuasaan, kekayaan dan presise
menggunakan aset – aset dan kekuasaan mereka untuk mempertahankan kekuasaan
atas sistem produksi dan aparatur negara.
Hal ini merupakan inti dari teori Karl Marx.
Setelah
menilik dua perspektif dasar tersebut, ada baiknya kita melihat beberapa definisi atas apa yang disebut dengan Stratifikasi Sosial.
1. Stratifikasi
sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya
dan sosial berdasarkan karakteristiknya masing – masing atau yang diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya dimana karakteristik tersebut mewujud
dalam fungsi kehidupan sehari – hari dalam
konteks sosial dan budaya tertentu (Ember dan Ember)
2. Hirarki
sosial yang terbentuk dari distribusi barang dan layanan yang secara relatif
dan permanen tidak sama dalam suatu masyarakat (Nanda dan Warms)
3. Struktur
evaluasi dan “hadiah”, yang berbeda, yang melekat pada peran dalam pembagian
kerja (Plotnicov dan Tuden). Plotnicov dan Tuden menuliskan bahwa peran – peran
penting dalam masyarakat Ch’ing secara fungsional dibagi ke dalam (1) peran
yang dinilai tinggi, (2) peran yang nilainya menengah, serta (3) peran yang
dinilai rendah.
4. Stratifikasi
sosial merupakan sistem dimana akses
terhadap sumber daya, otonomi, kekuasaan serta status berbeda. (Hoggart dan
Kofman)
5. Stratifikasi
sosial adalah produk dari diferensiasi dan evaluasi sosial dan tidak
menyiratkan kelas atau kasta tertentu, tetapi hanya bahwa cara kerja normal
masyarakat telah menghasilkan perbedaan sistematis antara lembaga-lembaga atau
orang-orang tertentu dan bentuk-bentuk ini berbeda dalam status atau prestise
dan diberi tingkatan (ranked) berdasarkan kesepakatan umum (Labov)
6. Stratifikasi
sosial menyangkut sebuah masyarakat yang memiliki dua atau lebih kelompok yang
berbeda peringkat dimana masing - masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut
memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang tidak sama
(Srivastava). Ketidaksamaan kekuasaan, keistimewaan dan prestise ini tidak bisa
disamakan dengan social inequality (ketimpangan sosial) karena,menurut
Srivastava, ketimpangan sosial lebih mengacu pada ketimpangan antar individu
dan bukannya sebagai anggota dan/atau kelompok. Dengan kata lain Social stratification berbicara pada
tataran kelompok sedangkan Social inequality berbicara pada tataran
individu.
Dengan melihat beberapa
definisi tersebut di atas, saya meyakini bahwa Stratifikasi Sosial adalah
cara manusia mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial
dimana terdapat perbedaan sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing
– masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang
berbeda serta memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang tidak
sama pula (penggabungan definisi menurut Ember dan Ember, Labov, serta
Srivasta).
2. Teori
Kelas
2.1
Weinberg dan Lyons
Weinberg dan Lyons mengajukan 4 (empat) pemahaman akan
kelas yang dapat dipilih oleh peneliti
berdasarkan kepentingan utamanya, yaitu :
1.
Salah satu jenis
dalam stratifikasi sosial,
2.
Perangkat
heuristis yang memfasilitasi eksaminasi karakteristik dari situasi sosial dan
bukannya karakteristik kelompok – kelompok,
3.
Perangkat
empiris untuk mengidentifikasi kelompok sosial atau kelompok kuasi, serta
4.
Sesuatu
yang (sama sekali) berseberangan dengan (pemahaman akan) stratifikasi sosial
Weinberg dan Lyons pada akhirnya menegaskan bahwa dimensi
properti relevan
bagi análisis kelas dalam artian bahwa properti digunakan
untuk meraih kekuasaan.
2.2
Karl Marx
Menurut Karl Marx, kelas – kelas dalam masyarakat itu
timbul sebagai akibat paling logis dari ketidakadilan itu sendiri – ketika
orang mulai mengambil hasil lebih yang diproduksi orang lain, tidak bisa tidak,
hal itu akan membelah masyarakat
(Kusumandaru) dan kelas seseorang ditunjukkan berdasarkan pada hubungan
dan kekuasaanya atas alat – alat produksi (Hoggart dan Kofman). Ide utama dalam
kelas Karl Marx adalah gagasan adanya suatu kelompok yang semufakat yang
berlawanan dengan kelas sosial lainnya (Svalastoga).
2.3
Max Weber
Menurut Weber; kelas, kelompok (dengan) status (tertentu),
serta partai politik (parties) merupakan fenomena distribusi kekuasaan
di dalam komunitas (Weber) yang ditunjukkan dengan posisinya dalam pasar
(Hoggart dan Kofman).
2.4
Kaare Svalastoga
Svalastoga menjelaskan bahwa kelas merupakan salah satu
model dalam diferensiasi sosial, terutama diferensiasi tingkatan dalam
masyarakat, yang derajat ketembusannya sekitar 40% dari maksimum.
3. Deskripsi
Stratifikasi Sosial di Sumba (menurut Hoskins dan Twikromo)
3.1
Hoskins – Stratifikasi Sosial di Sumba
Hoskins menyatakan bahwa untuk melihat sistem
tingkatan di Sumba dapat dilihat dalam
sistem pernikahan dimana sistem
pernikahan merupakan arena utama dimana status
sosial “bermain”. Dalam tulisan
Hoskins tersebut terdapat perbedaan nilai antara
pengantin perempuan kaum
Maramba dengan perempuan kaum Ata. Perbedaan ini lah
yang menunjukkan
terjadinya “permainan” status sosial.
Pengantin Perempuan
(Perempuan Maramba)
|
Perempuan Ata
|
Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan dalam keadaan telanjang'
karena ia memiliki seorang ayah dan saudara-saudara yang akan mempertahankan
siklus pembayaran yang sesuai (penyerahan perempuan ini “berpakaian” dan
reproduktif)
|
Gadis budak 'diberikan dalam keadaan telanjang', karena ‘harga’
awalnya tidak dapat dilunasi dengan kontra-pembayaran yang nantinya akan
secara dialektika mempengaruhi persepi dan mentransformasi pertukaran jauh
dari komoditas dan hadiah (budak dalam keadaan 'telanjang' dan terputus dari
resiprositas lebih lanjut, karena dia tidak memiliki keluarga untuk
melanjutkan transaksi demi menyeimbangkan nilai pembayaran di masa depan)
|
Kata ‘Ata’ diartikan sebagai manusia (Sumba
Barat) dan juga budak (Sumba Timur dan
Kodi). Perbudakan diyakini sebagai
lembaga (masyarakat suku[2]) yang dikonstruksikan
oleh
masyarakat suku (Matt Childs (2010), Andrea Major (2012)). Hoskins menyatakan
bahwa perbudakan adalah lembaga adat yang begitu tertanam dalam karakter
orang
Sumba sehingga akan sulit untuk
memberhentikannya secara tiba-tiba. Suatu kekuatan
penguasa tergantung pada
kekuasaannya atas budak, yang tenaga kerja untuk
budidaya sawah dan yang
mana statusnya ditandai dengan ritual dan subordinasi
hukum.
Penulis lainnya
yang menyebutkan perbedaan antara Sumba Barat dan Sumba Timur ini
adalah Kal
Muller (1997) yang menjelaskan bahwa di Sumba
Timur (1) terdapat kelas –
kelas bangsawan, kaum biasa dan budak yang
diwariskan, (2) hirarki sosialnya kaku, (3)
rumah bangsawan serta desa para
pendahulu mereka merupakan wilayah politik dan
ritual, (4) kekayaan didapat
dari ekspor kuda, ternak, kain (dibuat oleh perempuan
bangsawan), serta (5) otoritas
dipertegas dengan melaksanakan ritual – ritual yang
meriah ; sementara di Sumba
Barat (1) hirarki tidak kaku serta (2) status utamanya
diperoleh melalui
senioritas, hubungan dengan pendahulu, serta kemampuan
(kemampuan dalam ritual,
kapasitas untuk menggerakkan tenaga kerja yang lebih
banyak juga memobilisasi
kekayaan).
Ada 2 (dua) hal mendasar dari tulisan Hoskins ini yaitu
(1) kebangsawanan meliputi
kewajiban untuk memberikan tanggungan kepada
seseorang, yang meliputi mengatur
pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang pria
yang kaya tetapi tidak bertanggung
jawab secara sosial dipandang rendah, serta
(2) bangsawan yang tidak memiliki budak
dan hanya kaya saja tidak memiliki
pengaruh sosial.
3.2
Twikromo – Stratifikasi Sosial di Sumba (Timur)
Ada 4 (empat) poin utama yang diketengahkan Twikromo,
yang menurut saya,
mengarahkan kita dalam memahami keadaan startifikasi sosial
di Sumba Timur, yaitu (1)
Orang Sumba berkelompok – kelompok ke dalam unit yang
disebut uma (rumah), (2)
melalui pelacakkan garis keturunan tergarislah
dua tingkatan yaitu (a) tingkat bangsawan
(maramba) dan (b) tingkat
budak (ata), (3) tingkatan sosial ini menjadi “social guidance”
bagaimana harus bertindak dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan
posisi
sosialnya, serta (4) posisi
sosial menentukan kewajiban. Namun demikian, cue atau
petunjuk mengenai stratifikasi sosial di Sumba ini dapat
ditemukan pada halaman 138
dimana Twikromo menuliskan bahwa terdapat “perbedaan
yang tegas antara kaum
budak dan kaum bangsawan”. Dari perbedaan – perbedaan yang dituliskan
oleh
Twikromo, saya coba rangkum dalam tabel berikut ini:
Konteks
|
Budak (Ata)
|
Bangsawan (Maramba)
|
Kendali atas ekonomi, sosial maupun budaya
|
Tidak punya
kendali atas modal ekonomi, sosial maupun budaya
|
Memiliki kendali dengan
menggunakan kekuasaan eksternal, internal, serta institusi eksternal
|
Ketergantungan
|
Tergantung vertikal dengan para tuan
|
Mempunyai budak untuk membantu kabihu mereka
serta untuk menunjukkan kekayaan, status, gengsi dan pengaruh mereka yang
besar
|
Kepentingan politik negara
|
Kurang memiliki bargaining position
|
Memiliki bargaining position yang kuat
|
Reformasi
|
Memberi ruang yang lebih luas bagi para elit daerah untuk memantapkan
posisi politik mereka dengan berpijak pada tradisi atau budaya lokal
|
|
Dampak nilai ekonomi modern
|
Memaksimalkan eksploitasi pada para budak sebagai tenaga kerja terikat
dan sekaligus memperkecil kewajiban dalam menjamin kebutuhan sehari – hari
bagi para budak mereka
|
|
Menyuarakan pendapat
|
Tidak mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda
di depan para tuan mereka atau di forum terbuka
|
|
Pengambilan keputusan
|
(Dinilai) tidak memiliki pengetahuan cukup dalam pengambilan keputusan
|
|
Menduduki posisi sosial penting di desa
|
Jarang mendapat kesempatan untuk menduduki posisi
sosial penting di desa
|
|
Kondisi kehidupan
|
Didasarkan pada kepribadian dan bukannya kekayaan tuan
mereka
|
Alih – alih berbicara mengenai
ketimpangan antara Maramba dan Ata, Twikromo
meyakini bahwa hubungan antara
Maramba dan Ata merupakan hubungan kewajiban
timbal balik seperti dalam tabel
berikut:
Budak (Ata)
|
Bangsawan (Maramba)
|
Bekerja tanpa gaji
|
Membantu mendapatkan istri
dan tempat tinggal
|
Menghormati tuannya (selalu
mendukung gagasan para tuan mereka, dll)
|
Membayar mas kawin pengantin
perempuan
|
Menyediakan kebutuhan dasar
untuk upacara penguburan, pakaian, makanan
|
Dari apa yang dituliskan oleh
Twikromo, ada 3(tiga) kesimpulan yang dapat saya tarik:
- Jelas tergaris adanya kelompok masyarakat di tingkat bangsawan (maramba) dan tingkat budak (ata).
- Hubungan maramba dengan ata digambarkan Twikromo di”ikat” dengan apa yang disebut dengan kewajiban timbal-balik.
- Apabila kewajiban dari tuan tidak dipenuhi, maka para ata melakukan strategi tandingan, dalam bentuk guyonan atau pun tindakan – tindakan yang mengakibatkan minor damage, yang kemudian dinilai (oleh penulis) sebagai pengetahuan bersama diantara para ata.
3.3 Kesamaan Pandangan Hoskins dan Twikromo
Hoskins dan Twikromo meyakini bahwa Maramba dan Ata merupakan
“rangkaian dua
yang berlawanan tapi toh saling isi-mengisi” (Koentjaraningrat
dalam Wouden). Isi-
mengisi ini, dituliskan oleh Hoskins dan Twikromo, dalam
bentuk kewajiban. Kewajiban
yang dimaksud oleh Hoskins adalah kewajiban Maramba
untuk menanggung seseorang
demi pengaruh sosial, sedangkan kewajiban yang
dimaksud oleh Twikromo adalah
kewajiban yang, saya rasa, dinilai “adil” untuk
kedua belah pihak.
4. Stratifikasi
Sosial di Sumba vs. Teori Kelas
Secara singkat,
1. Teori Kelas Karl
Marx dan Weber berbicara mengenai ketimpangan sosial (social inequality).
2. Kelas sebagai
salah satu model diferensiasi sosial Svalastoga tidak berbicara mengenai
ketimpangan sosial namun dia menyatakan bahwa selama bagian – bagian sistem
sosial (masyarakat) mempertahankan hubungan saling tergantung, maka akan tetap
tercipta kesamaan.
3. Hoskins
dan Twikromo tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial. Mereka berbicara
mengenai isi-mengisi antara bangsawan dan budak di Sumba.
5. Kesimpulan
Dengan
demikian stratifikasi sosial di Sumba tidak bisa diterangkan dengan teori kelas
Marx
maupun Weber karena pemahaman akan kelas Marx dan Weber, seperti poin
4
pemahaman akan kelas yang diusulkan
Weinberg dan Lyons, merupakan sesuatu yang
(sama sekali ) berseberangan dengan
(pemahaman akan) stratifikasi sosial.
Oleh
karena itu, Stratifikasi Sosial di Sumba
adalah merupakan cara masyarakat
Sumba
mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana
terdapat
perbedaan sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing-masing
kelompok
yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda
serta memiliki
kekuasaan, keistimewaan dan prestise yang tidak sama, dan
hubungan antar kelompok
tersebut diikat dengan apa yang disebut dengan hubungan
kewajiban timbal-balik.
6.
References
- Anenshensel, Carol S. dan Phelan, Jo C. 2006. Handbook of the Sociology of Mental Health. Springer Science+Business Meida, LLC, USA.
- Childs, Matt. 2010. Atlantic Slavery: Oxford Bibliographies Online Research Guide. Oxford University Press.
- Ember, Carol L. dan Ember, Melvin. 2003. Encyclopedia of Medical Anthropology: Health and Illness in the World’s Cultures Topics – Volume 1. Kluwer Academic/Plenum Publishers, NY.
- Forshee, Jill. 2001. Between the Folds: Stories of Cloth, Lives, and Travels from Sumba. University of Hawai’i Press, Honolulu.
- Hoggart, Keith dan Kofman, Eleonore Kofman. 1986. Politics, Geography & Social Stratification. Croom Helm.
- Hoskins, Janet. 2004. “Slaves, Brides and Other ‘Gifts’: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia.” Slavery and Abolition 25 (2)(August 2004): 90-107.
- Kusumandaru, Ken Budha. 2003. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme: Sanggahan terhadap Frans Magnis-Suseno. Insist Press, Yogyakarta
- Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. University of Pennsylvania Press Inc., USA.
- Major, Andrea. 2012. Slavery, Abolitionism and Empire in India, 1772-1843. Liverpool University Press.
- Muller, Kal. 1997. East of Bali: from Lombok to Timor. Tuttle Publishing.
- Nanda, Serena dan Warms, Richard L. 2010. Cultural Anthropology, Tenth Edition. Wadsworth, Cengage Learning, USA.
- Plotnicov, Leonard dan Tuden, Arthur. 1970. Essays in Comparative Social Stratification. University of Pittsburgh Press, USA.
- Srivasta, A. R. N. 2005. Essentials of Cultural Anthropology. Prentice-Hal of India Private Limited, New Delhi.
- Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Bina Aksara, Jakarta.
- Twikromo, Y. Argo. 2009. “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur Sumba.” Dalam Jurnal Renai (Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora), Tahun IX, No. 2, 2009. Halaman 135-167
- Vel, Jacqueline A. C. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. KITLV Pres, Leiden.
- Weber, Max. Class, Status and Party. Dalam Class Status, and Power: Social Stratification in Comparative Perspective, Second Edition disunting oleh Reinhard Bendix dan Seymour Martin Lipset. 1966. The Free Press, USA.
- Weinberg, Aubrey and Lyons, Frank. Class Theory and Practice. The British Journal of Sociology, Vol. 23, No. 1, (Mar., 1972), pp. 51-65 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The London School of Economics and Political Science
- Wellem, F. D. 2004. Injil dan Marapu Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876 – 1990. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
- Wouden, F. A. E. 1981. Kelompok-Kelompok Setempat dan Garis Keturunan Kembar di Kodi Sumba Barat. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
No comments:
Post a Comment