Saturday, March 6, 2010

Review Bab 1 - 4 Manusia dan Kebudayaan Ernst Cassirer

RINGKASAN

Bab I - Krisis dalam Pengenalan-Diri Manusia

Dalam bab ini diuraikan penjelasan dan juga upaya-upaya yang telah ditempuh oleh beberapa pihak mengenai pentingnya pengenalan diri manusia yang ditegaskan oleh Ernst “sebagai kewajiban dasar manusia” (hal 6). Upaya pertama, yang dituliskan dalam buku ini, dalam pengenalan diri yang menjadi syarat utama untuk realisasi diri dan untuk mereguk kebebasan sejati diwujudkan dalam bentuk sebuah pendekatan dari metode introspeksi. Namun metode ini disangsikan oleh kaum skeptisis yang pandangan-pandangannya dinilai sebagai penyeimbang terhadap humanisme yang mutlak-mutlakan. Lebih lanjut pendekatan ini, menurut Ernst, hanya diakui oleh sedikit psikolog modern karena dianggap sebagai metode yang rawan. Hal ini berlawanan dengan pemikiran pada masa penulisan buku ini dimana pengenalan diri menuju ke arah yang berlawanan. Sehingga muncullah pendekatan behavourisme-objektif. Namun pendekatan ini dianggap gagal memecahkan semua problem psikologis karena keradikalan dan kekonsitenannya namun di lain pihak memberikan kontribusi dalam mempertimbangkan kemungkinan kekeliruan-kekeliruan metodologis.

Kembali pada metode introspeksi, Ernst memiliki pandangannya sendiri terlepas dari kritik atau sangsi terhadap metode tersebut. Ernst berpikir bahwa introspeksi diperlukan untuk menentukan lapangan psikologi yang didalamnya juga mencakup penyadaran langsung atas perasaan-perasaan, keharuan-keharuan, persepsi-persepsi dan pikiran-pikiran walaupun metode ini menyumbang sebagian kecil saja untuk mengetahui tentang manusia yaitu kodrat manusia itu sendiri.

Berbicara mengenai manusia juga berbicara mengenai lingkungan fisik tempat manusia tersebut bergantung. Pada tahap awal pertumbuhan dan perkembangannya, manusia belajar melalui lingkungan di luarnya sehingga dia dapat beradaptasi atau bisa disebut juga pandangan extrovert. Perkembangan kebudayaan kemudian mulai mengarah juga ke pandangan introvert yang dikatakan oleh Ernst, “yang menyertai dan melengkapi pandangan yang extrovert” (hal 6, baris 12-13). Dalam dunia religi diwujudkan dalam bentuk semboyan “Kenalilah dirimu sendiri”. Dalam semua bentuk keagamaan yang tinggi, semboyan “Kenalilah dirimu sendiri” dianggap sebagai suatu imperatif kategoris, sebagai moral dasar dan hukum agama. Prinsip ini juga ada dalam perkembangan pandangan-pandangan filosofis yang kemudian berujung pada pertanyaan pada apa itu manusia.

Dijelaskan dalam bab ini bahwa manusia tidak dapat diterangkan berdasar sifat-sifat objektifnya namun berdasarkan pada kesadarannya. “Benda-benda fisik dapat diterangkan berdasarkan sifat-siat objektifnya, tetapi manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya” (hal 9). Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan masuk ke dalam kehidupan manusia itu sendiri sehingga memperoleh kebenaran pemahaman mengenai manusia. Ditegaskan pada halaman berikutnya dengan kalimat “Kebenaran pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran dialektis ... Kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial”. Ada satu jawaban untuk pertanyaan mengenai manusia yang dianggap jawaban klasik oleh Ernst yaitu, “Manusia dimaklumkan sebagai makhluk yang terus menerus mencari dirinya – makhluk yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya” dan hal ini merupakan hasil kajiannya berdasarkan atas filsafat Sokrates yang menyatakan “Hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi”. Ernst menyatakan bahwa filsafat ini perlu dibandingkan dengan hasil pemikiran-pemikiran dari filosof yang lain yang dalam buku ini tidak dia jelaskan lebih lanjut mengenai perbandingan-perbandingan tersebut. Namun Ernst mengetengahkan kesimpulan dari pemikiran para filosof yaitu bahwa ”untuk menemukan kodrat dan hakikat manusia kita pertama-tama harus menyisihkan sifat-sifat yang insidental dan eksternal”. Dengan cara ini diharapkan dapat melihat self atau bentuk tak terubahkan dan tak tergoyahkan dari diri manusia.

Namun teori mengenai manusia dari para filosof saja tidak cukup. “Yang dicari sekarang adalah teori umum tentang manusia yang didasarkan atas observasi empiris dan prinsip-prinsip umum logika”. Pemikiran-pemikiran secara matematis pada mulanya dianggap sebagai metode untuk upaya tersebut yang kemudian digantikan dengan pemikiran-pemikiran biologis yang mengutamakan teori evolusinya. Pemikiran baru muncul bahwa pusat perhatian bukanlah pada fakta-fakta empiris dari evolusi manusia tersebut namun bagaimana melakukan interpretasi teoretis atas fakta-fakta tersebut. “Teori evolusi telah menghancurkan batas arbitrer di antara berbagai bentuk kehidupan organis. Tidak ada spesies yang terpisah, hanya ada satu arus kehidupan yang kontinyu dan tidak terputus-putus”. Ernst menutup bab ini dengan mengetengahkan pemikirannya mengenai belum adanya metode untuk “menguasai dan mengorganisasi bahan-bahan itu”. Dan bahan-bahan di sini yang dia maksud adalah fakta-fakta empiris.

Bab II – Petunjuk Kepada Kodrat Manusia; Simbol

Digantikannya dominasi evolusionisme dari kaum ahli bologi mengenai manusia dan teori mengenai perlunya menilik fakta-fakta empiris dengan metode-metode untuk menguasai dan mengorganisasi bahan-bahan tersebut ditanggapi oleh seorang biolog bernama Johannes von Uexkull dengan mengeluarkan teorinya, “ilmu pengetahuan alam yang harus dibangun menurut metode-metode empiris yang biasa – metode pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimentasi). Dia juga menganalogikan realitas dengan organisme dimana menurut Uexkull realita, mencakup benda-benda dan makhluk hidup, sama dengan organisme yang amat terbagi-bagi, dan begitu banyak bagan dan pola. Seperti organisme yang memiliki pengalamannya sendiri dan organismenya sendiri, demikian juga dengan manusia. Pengalaman – pegalaman tersebut bukanlah bahan perbandingan antara satu organisme dengan organisme yang lain.

Menurut saya yang sedang belajar antropologi, pembahasan dalam bab ini kemudian difokuskan kepada makhluk hidup sebagai bagian dari realita. Makhluk hidup yang bisa kita lihat sehari-hari, atau kalau boleh saya sebut sebagai makhluk hidup yang empiris, adalah binatang dan manusia. Dalam bab ini disebutkan, secara anatomi, manusia dan binatang sama – sama memiliki Merknetz dan Wirknetz tertentu namun ada satu hal khusus yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki binatang yaitu terdapatnya sistem simbolis. Sistem simbolis pada manusia merupakan hasil analisa pada respon – respon yang diberikan manusia terhadap suatu keadaan. Binatang merespon langsung pada stimulus yang diberikan sementara manusia melalui proses berpikir yang memakan waktu lebih lama dari binatang dan lebih rumit. Untuk memberikan perbedaan binatang dan manusia, dalam bab ini disebutkan bahwa binatang lebih memberikan reaksi sedangkan manusia memberikan respon. Simbol-simbol yang ada dalam kehidupan manusia lainnya adalah adanya bahasa, mite, seni dan agama. “Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis ini.” (hal 39 baris2-3). Tidak diketengahkan dalam bab ini konsep mengenai rationale namun pada halaman yang sama disebutkan bahwa manusia adalah animal rationale. Saya hanya bisa menebak bahwa karena memiliki proses berpikir, yang kemudian saya artikan sebagai rationale, yang tidak dimiliki oleh binatang manusia, kemudian disebut sebagai animal rationale.

Penggunaan istilah rationale itu sendiri masih menjadi pertanyaan oleh karena ketidakmungkinan penggunaan rasional dalam mempelajari struktur mitos yang juga merupakan simbol dalam kehidupan manusia yang tidak konseptual dan matematis. Sehingga diusulkanlah istilah animal symbolicum untuk mendefinisikan manusia.

Bab III – Dari Reaksi – Reaksi Binatang ke Respons – Respons Manusiawi

Bab ini dibuka dengan manusia seperti yang diketengahkan pada bagian akhir bab II dimana manusia yang dimodelkan sebagai animal symbolicum. Dengan mendasari pemikiran bahwa “pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondiri itu”. Lebih lanjut pada bab ini akan mengetengahkan perbedaan tajam antara perilaku simbolis pada manusia dan pada dunia binatang menilik pada kenyataan bahwa binatang-binatang pun tidak selalu bereaksi langsung. Metode pertama yang menurut Ernst perlu dilakukan adalah “menemukan titik tolak logis yang tepat dan mengarah kepada interpretasi mendalam dan memadai terhadap fakta-fakta empiris”. Titik tolak yang dimaksud disini adalah definisi tuturan. Ernst mengusulkan untuk menginvestigasi tatanan dan hubungan di antara unsur-unsur penentu daripada membuat definisi tuturan yang siap-pakai.

”Lapisan pertama dan paling dasar tentu saja bahasa emosi” (hal 44 baris 9-10) yang dipandang bukan hanya sebagai ungkapan perasaan namun juga memiliki struktur sintaktis dan logis. Saya menghubungkan teori ini dengan sebuah teori lain dari buku yang pernah saya baca (yang saya lupa judul dan pengarangnya) bahwa dalam diri manusia ada proses objektif – subjektif dan kemudian objektif. Contoh yang bisa menjelaskan ini adalah pada saat seorang individu membaca sebuah buku, sebagai bahan yang objektif, dia mengalami proses pemikiran-pemikiran tertentu yang merupakan sebuah proses peng”subyektifitas”an dan kemudian beralih menjadi proses objektif pada saat dia menuturkan kepada orang lain mengenai pemikiran-pemikiran tersebut agar orang lain bisa memahaminya. Proses objektif yang terakhir ini, menurut saya bila dihubungkan dengan pembahasan Ernst mengenai pengenalan diri manusia pada bab I, adalah saat dimana manusia mencari “kebenaran” melalui proses dialektis. Dalam segi bahasa pun, secara spesifik dalam bahasa proporsional dan emosi, belum ditemukan perbedaan tajam antara manusia dan binatang sehingga diambilah sudut pandang penelaahan yang lain yaitu dari segi inteligensi dan keluarlah teori yang diketengahkan pada halaman 50 yang menyatakan “binatang memiliki inteligensi praktis atau imajinasi-praktis, tetapi hanya manusialah yang mengembangkan suatu bentuk baru: intelegensi-simbolis dan imajinasi simbolis” (hal 50 baris 11-14). “Salah satu ciri istimewa yang paling mencolok pada simbolisme manusia adalah kemungkinannya untuk diterapkan secara umum, berdasarkan kenyataan bahwa setiap hal punya nama” (hal 54 paragraf terakhir).

Berdasarkan teori-teori di atas, muncullah pertanyaan baru atas “ketergantungan pemikiran rasional kepada pemikiran simbolis yang memiliki asumsi dasar “tanpa sistem simbol yang rumit, pemikiran rasional tak mungkin tumbuh apalagi berkembang secara penuh”. Kemampuan mengembangkan inilah yang membedakan manusia dengan binatang meskipun disebutkan bahwa dalam binatang pun ada “benih benih distinctio rationis”. Sehingga pembedaan manusia dengan binatang dari sudut pandang bahasa mulai ditemukan titiknya dengan sebuah teori yang menyatakan bahwa “tuturan adalah suatu proses, suatu fungsi umum dari pikiran manusia”. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah penelitian atas para penderita aphasia yang “tidak hanya kehilangan kemampuan menggunakan kata-kata tetapi mengalami perubahan kepribadian pula. Mereka tidak lagi mampu berpikir dalam konsep – konsep umum atau kategori – kategori umum. Tidak mampu menangkap pengertian – pengertian umum, mereka melekatkan diri pada fakta – fakta langsung pada situasi – situasi kongkret”.

Bab IV – Dunia Ruang dan Waktu Manusiawi

Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan ruang dan waktu yang membingkainya. Menurut Ernst, “lapisan paling rendah boleh kita sebut ruang dan waktu organis. Setiap organisme hidup dalam lingkungan tertentu, dan supaya tetap bertahan organisme itu harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya.” Selain ruang organis yang berada pada lapisan paling rendah, pada binatang – binatang “tinggi” ada yang biasa disebut dengan “ruang perseptual. Ruang ini bukan sekadar data inderawi, sifatnya amat kompleks, memuat unsur-unsur dari berbagai macam pengalaman inderawi – optik, taktik, akustik, dan kinestetik.” Ada kritik mengenai ruang ini dianggap tidak ilmiah atau “benar” secara filosofis. Ilmiah atau kebenaran filosofis dalam bab ini adalah filsafat harus mengabstraksi dari data – data inderawi dan ruang perseptual tidak dapat diabstraksi dari data – data inderawi sehingga ruang ini dapat ditilik dari kebenaran pernyataan – pernyataan dan putusan – putusan. Hal ini juga tidak lepas dari kritik oleh Ernst dimana disebutkan pada halaman 68 paragraf pertama menyebutkan, “dari sudut pandangan kebudayaan atau mentalitas primitif, langkah menentukan dari ruang aksi ke konsep ruang ilmiah atau teoretis – ruang geometri – adalah langkah yang hampir – hampir mustahil”. Sehingga pada halaman 69 disebutkan bahwa ada perbedaan yang jelas “antara penangkapan secara kongkret dan secara abstrak terhadap ruang dan hubungan – hubungan spasial”. Alasan lain yang dikemukakan oleh Ernst adalah “ruang geometris menyisihkan ruang mitis dan magis.” Ada satu teori oleh Kant berhubungan dengan ruang dan waktu yang dia tuliskan sebagai, “ruang adalah bentuk “pengalaman luar”, sedangkan waktu adalah bentuk “pengalaman dalam”. Manusia dengan pengalaman - pengalamannya ini kemudian melalui proses kreatif dan konstruktif yang diterangkan dengan “ingatan manusia harus mengumpulkannya kembali, menata, mencari sintesis, mengarahkannya pada fokus pemikiran.” Menurut saya, spabila kita berbicara mengenai pengalaman maka kita juga berbicara mengenai masa lampau yang kemudian manusia dengan proses kreatif dan konstruktifnya memberikan respon – respon pada situasi masa kini.

Dalam bab ini juga disebutkan “Tujuan kita adalah fenomenologi kebudayaan” yang dicapai dengan cara “menjelaskan dan memberi illustrasi dengan contoh – contoh yang kongkret yang diangkat dari kehidupan manusia” (hal 78 dengan penekanan oleh saya). Saya menangkap bahwa itu juga menjadi tujuan dari Antropologi sebagai ilmu yang mengkaji gejala sosial budaya dalam masyarakat.

Setelah berbicara masa lampau dan masa kini, manusia juga memiliki masa yang ketiga yaitu masa depan dan belum dapat dipastikan bahwa hal ini juga terdapat pada dunia binatang. Ernst mengungkapkan bahwa masa depan adalah “dalam bentuk paling luhur kewajiban-kewajiban itu melampaui batas – batas kehidupan empiris manusia, yang berhubungan dengan dan beranalogi ketat dengan masalah-simbolis” yang kemudian disebut sebagai masa depan “profetis” atau masa depan kenabian dimana masa depan tersebut bukanlah fakta empiris melainkan kewajiban religius dan etis. Bab ini kemudian ditutup dengan pernyataan bahwa manusia dengan kekuatan simbolisnya mampu mengembara melewati semua batas keberadaannya yang kemudian saya tangkap di sini adalah manusia mampu mengembara melewati batas ruang dan waktu.

REVIEW

Pertama – tama saya ingin mengungkapkan bahwa buku ini adalah salah satu buku dimana saya merasa sangat mengalir pada saat. Yang saya ingat bahwa buku ini diminta untuk dibaca pada saat topik perkuliahan adalah epistemologi Hermeunetik dimana peneliti melakukan tafsir atau interpretasi terhadap suatu fenomena sosial budaya. Saya berasumsi bahwa buku ini akan memperkaya pemahaman saya akan Hermeunetik itu sendiri. Memang dalam Bab I ini dimana diketengahkan perlunya interpretasi terhadap teoretis terhadap fakta-fakta empiris yang ada dalam kehidupan manusia. Namun saya juga memiliki harapan bahwa saya akan melihat secara metodologis dan analitis mengenai Hermeunetik atau dengan kata lain proses berhermeunetik dalam ilmu sosial budaya. Saya akan coba menelaah pemikiran Ernst dalam buku ini dengan kerangka elemen – elemen dasar paradigma terutama pada bagian epistemologinya.

1. Asumsi Dasar

Manusia adalah salah satu spesies dalam makhluk hidup yang berbeda dengan binatang dari segi rasionalnya, bahasa yang mereka gunakan dan kemampuan manusia dalam menembus ruang dan waktu dalam hal ini bukan yang empiris atau organis namun yang perseptual. Hal ini saya pikir merupakan kritik terhadap dominasi kaum biologist dengan teori evolusionismenya dimana manusia tidak berbeda dengan kera – kera antropoid.

2. Nilai

“Kebenaran pada hakikatnya, adalah buah hasil pemikiran dialektis ... Kebenaran hanya dapat dipahami melalui aksi sosial”.

3. Model / perumpaan / analogy

Manusia adalah animal symbolicum.

Metode penelitian yang diketengahkan dalam buku ini, yang saya tangkap, adalah observasi dan eksperimentasi. Saya masih ragu apakah obervasi dan eksperimentasi ini sama dengan metode observasi partisipasi dengan landasan berpikir fenomenologinya. Sedangkan untuk metode analisa yang disarankan adalah interpretasi terhadap fakta-fakta empiris terhadap apa yang ditemukan pada kehidupan manusia yang merupakan hasil dari pemikiran yang kreatif dan konstruktif. Fakta – fakta empiris tersebut, sesuai dengan analogi bahwa manusia adalah animal symbolicum, juga merupakan simbol – simbol dalam kehidupan manusia sehingga muncullah saran untuk memberikan interpretasi terhadap fakta – fakta tersebut.

Saya setuju apabila buku ini bisa menjadi referensi untuk pemahaman mengenai epistemologi Hermeunetik lebih kepada penguat alasan pada penggunaan metode interpretasi atau tafsir sebagai metode analisa data yang dimiliki dengan penegasan kepada interpretasi yang teoretis. Namun harus saya akui, membaca buku ini mengalir karena telah sebelumnya terdapat diskusi mengenai Hermeunetik sebelumnya.

No comments:

Post a Comment