Saturday, March 6, 2010

Review Musim Kawin di Musim Kemarau

RINGKASAN

Pada bagian ini saya akan meringkas apa yang ditulis oleh Mas Heddy pada bagian kata pengantar dari Musim Kawin di Musim Kemarau yang ditulis oleh Hamdanah yang berjudul Fenomenologi Gender di Jember. Bersama dengan ringkasan ini saya juga akan menyisipkan informasi tambahan yang saya dapatkan dari berbagai sumber yang menurut saya akan memperkaya pemahaman saya akan fenomenologi itu sendiri.

Mas Heddy memulai kata pengantar dengan informasi adanya kelangkaan studi yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan fenomenologis. Ada satu pertanyaan yang muncul di pikiran saya berhubungan dengan pernyataan Mas Heddy tersebut yaitu, “apa yang menyebabkan para antropolog atau ilmuwan sosial budaya, yang menurut asumsi saya, tidak tertarik untuk melakukan studi dengan menggunakan pendekatan fenomenologis?”.

Lebih lanjut, dalam kata pengantarnya Mas Heddy juga menyebutkan, ”saya hanya memilih butir-butir yang saya anggap telah dijadikan dasar bagi sebuah epistemology baru dalam ilmu sosial, serta telah memberikan pengaruh yang jelas pada munculnya perspektif baru dalam ilmu sosial, terutama dalam sosiologi”.

Istilah Fenomenologi

Istilah fenomenologi menurut pernyataan Mas Heddy telah digunakan sejak tahun 1765 dalam wacana filsafat namun “belum dirumuskan secara khusus dan eksplisit”. Salah satu nama yang disebutkan menggunakan istilah tersebut adalah Immanuel Kant. Dari informasi yang saya dapatkan dari sebuah website di internet yang beralamatkan di www.rumahmakalah.blogspot.com/2009/05/mengenai-filsafat-fenomenologi.html, disebutkan bahwa istilah fenomenologi secara filosofis digunakan pertama kali oleh J.H. Lambert pada tahun 1764. Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen)”. Dalam website tersebut juga diberikan informasi mengenai penggunaan istilah fenomenologi oleh Kant yang menyatakan ”Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah”.

Menurut Mas Heddy kejelasan mengenai makna kata “fenomenologi” disuguhkan oleh Hegel dalam dua makna yaitu, pertama Hegel mendefinisikannya sebagai ”pengetahuan sebagaimana pengetahuan tersebut tampil atau hadir terhadap kesadaran” dan yang ke dua adalah sebagai ”ilmu pengetahuan tentang penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang, apa yang dirasakan dan diketahuinya dalam immediate awareness dan experiencenya”. Penggunaan istilah fenomenologi oleh Kant dan definisi Hegel tidak mempengaruhi Edmund Husserl yang telah diklaim sebagai pelopor aliran fenomenologi yang membangun fenomenologi “sebagai ilmu pengetahuan tentang kesadaran”.

Fenomenologi Husserl dan Perkembangannya

Fenomenologi dibedakan menjadi dua macam yaitu

1. Fenomenologi transedental

Husserl merupakan tokoh dari fenomenologi transedental yang berusaha untuk menemukan dasar bagi sebuah filsafat yaitu filsafat yang membahas dan menelaah kenyataan yang “hanya dapat ditemukan dalam kenyataan itu sendiri atau sesuatu itu sendiri” yaitu kesadaran. Atau dengan kata lain Husserl memaparkan fenomenologi sebagai “ilmu mengenai pengalaman kesadaran” (diambil dari Rumah Makalah). Kesadaran menurut Husserl selalu kesadaran tentang sesuatu dengan dua aspeknya yang saling mengisi. Yang pertama adalah proses sadar dan yang terakhir adalah yang menjadi obyek dari kesadaran tersebut. Dalam kata pengantar ini diketengahkan juga bahwa kesadaran selalu memiliki maksud atau tujuan. Maksud dan tujuan tersebut “selalu diarahkan pada dunia kehidupan”. Dan dunia yang dimaksudkan disini adalah dunia antar subyek dimana “manusia yang berada di dalamnya saling berhubungan sehingga kesadaran yang terbentuk diantara mereka bersifat sosial atau dimiliki bersama.” Fenomenologi sebagai ilmu ditegaskan “harus memberikan suatu deskripsi setepat mungkin tentang apa yang hadir dan ada di hadapan kesadaran”.

Husserl berpendapat bahwa metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian dengan kerangka berpikir fenomenologi adalah dengan mengikuti “the nature” dari hal –hal yang diamati tanpa memasukkan prasangka atau konsepsi peneliti. Phenomenon yang berasal dari bahasa Yunani phaenesthat berarti “menyala, menunjukkan dirinya”. Hal ini juga menjadi dasar dari fenomenologi yang juga berarti “menuju sesuatu itu sendiri”. Dalam fenomenologi gejala bisa menjadi titik awal untuk sebuah penelitian bahkan persepsi yang ada dalam pikiran itu dapat menjadi awal pembuktian.

Husserl menambahkan bahwa fenomenologi tidah seharusnya hanya menjadi psikologi deskriptif namun juga memberikan kontribusi dalam ilmu sosial dalam hal ini dibuktikan dengan fenomenologi menjadi landasan filosofis sebuah penelitian dengan pandangan natural attitudenya. Salah satu murid Husserl yang kemudian mengembangkan pandangan ini adalah Alfred Schutz untuk sosiologi yang merupakan satu dari ilmu sosial yang ada.

Salah satu bagian dari fenomenologi Husserl yang diperdalam adalah konsep intersubyektifitas yang Schutz ketengahkan sebagai timbal balik perspektif yang mencakup dua macam bentuk idealisasi yaitu interchangability of viewpoints dan congruence of system of relevances. Penjelasan untuk interchangability of viewpoints adalah masing-masing individu memiliki viewpoints sendiri-sendiri yang kemudian melalui proses pemahaman dan pengalaman menjadi viewpoints bersama sedangkan penjelasan untuk congruence of system of relevances adalah perbedaan-perbedaan relevansi dapat dihilangkan karena inti dari congruence of system of relevances adalah mencari persamaan relevansi demi interaksi sosial yang dapat berjalan dengan lancar. Pengalaman bersama dan menghilangkan perbedaan yang ada kemudian menjadi dasar bagi masing-masing pihak dalam memprediksikan apa yang akan dihadapi.

Dalam proses interaksi sosial, Schutz menambahkan adanya proses typification dimana para pelaku yang ada didalamnya secara sadar atau tidak mendefinisikan situasi yang dihadapi dan kemudian menempatkan obyek-obyek ke dalam kelas yang sama berdasarkan ciri-ciri, unsur-unsur atau kualitas yag sama yang dhubungkan denan tujuannya. Oleh karena landasan berpikir natural attitude para pelaku mengabaikan hal-hal yang bersifat unik. Konsep typification inilah yang menurut Mas Heddy kemudian melahirkan antropologi yang fenomenologis.

Schutz, yang terpengaruh dengan konsep fenomenologi Husserl, mempengaruhi Harold Garfinkel yang memunculkan pendekatan Etnometodologi yang melihat gejala-gejala sosial-budaya dari sudut pandang pelaku.

Husserl yang secara tidak langsung mempengaruhi munculnya etnometodologi, juga memunculkan aliran baru dalam sosiologi yang disebut sebagai aliran konstruksionis yang dimunculkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann. Berger dan Luckmann memberikan perhatian khusus pada proses terbangunnya kenyataan-kenyataan dalam artian fenomenologis yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Keobyektifitasan tidak lagi dipertanyakan lagi karena dianggap sebagai common sense dalam kehidupan manusia. Common sense inilah yang kemudian dibedah oleh Berger dan Luckmann sehingga manusia dapat memandang sesuatu sebagai “kenyataan” yang dibungkus dengan tirai consciusness. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kenyataan yang dipahami lewat kesadaran individual ini kemudian menjadi bersifat sosial dan dapat menjadi dasar bagi terjadinya proses interaksi sosial sehari-hari. Dan hal inilah yang dianggap Mas Heddy menjadi ilham banyak kajian yang fenomenologis dalam sosiologi.

Antropologi yang fenomenologis atau yang disebut sebagai antropologi fenomenologi sebagai istilah dianggap kurang tepat oleh sebagian ahli antropologi oleh karena kecilnya pengaruh fenomenologi itu sendiri dalam antropologi. Ada perbedaan pendapat mengenai awal mula pengaruh fenomenologi terhadap antropologi. Dalam kata pengantarnya, Mas Heddy sependapat dengan pemikiran antropolog yang menyatakan bahwa antropologi yang fenomenologis belum lama muncul meskipun pengaruh fenomenologi dalam antropologi memperkuat landasan filosofis untuk kajian sisi kognitif kehidupan manusia yaitu Etnosains.

Etnosains dipandang sebagai jawaban permasalahan etnografi sebagai bahan utama untuk melakukan studi perbandingan dengan penekanan penguasaan bahasa dengan asumsi adanya persamaan pendeskripsian bahasa dengan pendeskripsian kebudayaan. Pendeskripsian seperti ini tidak lagi mencakup hal-hal yang bersifat fisik yang kemudian oleh Goodenough mendefinisikan kebudayaan sebagai perangkat pengetahuan yang merupakan hasil dari proses belajar. Demikian juga dengan bahasa yang merupakan perangkat aturan untuk menggunakan bahasa tertentu. Pandangan Goodenough inilah yang kemudian memunculkan aliran etnosains. Etnosains kemudian dikatakan sebagai antropologi yang fenomenologis. Hal ini diperkuat dengan adanya bukti penggunaan typification yang dalam etnosains disebut sebagi klasifikasi atau kategorisasi.

Kembali kepada antropologi fenomenologi, antropologi yang fenomenologis mempelari tentang kesadaran yang kolektif atau yang melibatkan banyak orang atau mencakup banyak orang. Hal inilah yang membedakan antropologi fenomenologi dengan psikologi yang mempelajari kesadaran secara individual.

2. Fenomenologi eksistensial

Tokoh-tokoh fenomenologi eksistensial adalah Jean Paul Sartre dan Marleau Ponty. Mas Heddy tidak menampilkan atau bahkan membicarakan lebih lanjut mengenai fenomenologi eksistensial selain bahwa tokoh-tokohnya adalah Jean Paul Sartre dan Marleau Ponty.

Fenomenologi Gender di Jember

Buku Musim Kawin di Musim Kemarau ini “mengkaji masalah gender dengan menggunakan perspektif antropologi fenomenologi”. Di dalam buku ini akan banyak ditemui pernyataan-pernyataan yang berasal dari informan yang kemudian tulisan dalam buku ini disebut sebagai kajian fenomenologis yang memandang masalah dari perspektif para pelakunya. Dalam bukunya ini penulis ingin mengetahui pandangan kalangan ulama perempuan Islam mengenai kesetaraan gender yang dilandasi pada persoalan ketimpangan dan kesetaraan gender yang muncul dari si peneliti. Berbeda dengan peneliti lain yang melihat ketimpangan tersebut dari kacamata mereka, penulis buku ini mencoba mengetengahkan pandangan dari yang diteliti.

Tantangan lain dari penelitian ini adalah masih barunya isu yang diketengahkan. Penulis mencoba mencari jalan keluarnya dengan dua hal. Pertama adalah menggunakan setengah dari perspektif pelaku. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan observasi dan partisipasi bila menggunakan keseluruhan perspektif pelaku. Kedua, seperti diketengahkan bahwa persoalan muncul dari peneliti, menggunakan perspektif yang diteliti secara penuh tidak akan menjamin terungkapnya hal-hal yang berkaitan dengan masalah gender.

Dari keterangan Mas Heddy, dapat dilihat bahwa penulis menggunakan metode wawancara mendalam dalam membicarakan topik yang diteliti dengan menggunakan pedoman atau indikator yang telah disusun oleh peneliti luar Indonesia dalam menentukan ada tidaknya kesetaraan atau ketimpangan relasi gender. Meskipun Hamdanah dipandang telah berhasil dalam mengetengahkan pandangan pelaku yang berkenaan dengan interaksi dan relasi antara laki-laki dan perempuan, Hamdanah masih belum secara maksimal dalam memanfaatkan potensi analistis fenomenologis. Ada dua alasan yang menurut Mas Heddy menjadi alasan penggunaan pendekatan fenomenologis oleh Hamdanah. Yang pertama adalah jarangnya penggunaan pendekatan fenomenologis dalam studi-studi gender di Indonesia yang meskipun ada dianggap kurang tepat dan hasil yang jauh dari memuaskan dan yang kedua adalah Mas Heddy menebak bahwa Hamdanah bukan termasuk salah satu orang yang mau menerima anggapan bahwa dalam Islam pandangan ulama laki-lakilah yang dijadikan rujukan oleh umat Islam.

Catatan Metodologis

Ada dua catatan yang berkenaan dengan metodologi penampilan data yang dikumpulkan oleh Hamdanah oleh Mas Heddy, yaitu:

  1. Tabel-tabel yang dikemukakan bukanlah merupakan analisa statistik namun merupakan penampilan pola-pola pandangan ulama perempuan yang menunjukkan ciri, kategori atau isi pandangan informan.
  2. Kevalidan data tidak lagi menjadi pertanyaan apabila hanya berdasarkan pada alasan sedikitnya jumlah informan karena penelitian ini menggunakan kerangka berpikir fenomenologis yang bertujuan akhir memapakarkan dan menggambarkan pola-pola yang ada di lapangan. Dan pola-pola ini dimiliki bersama atau bersifat intersubyektif atau bersifat sosial, kolektif dan tidak individual baik disadari oleh masing individu-individu tersebut atau tidak.

Alasan lain adalah penguasaan bahasa untuk memudahkan berkomunikasi. Memiliki sedikit informan tidak lagi menjadi permasalahan asalkan informan tersebut dapat banyak memberikan informasi dan memaparkan pola-pola perilaku warga masyarakat.

Sumbangan Penting Musim Kawin di Musim Kemarau

  1. Munculnya kajian gender dengan paradigma fenomenologis yang jarang digunakan oleh peneliti gender di Indonesia karena kurang begitu dikenalnya pendekatan ini memberikan alternatif ditengah kebosanan dalam penggunaan paradigma positivistis dan historis.
  2. Buku ini memberikan contoh nyata penyajian data kualitatif dan analisanya
  3. Disuguhkannya kenyataan bahwa ada heterogenitas pandangan di kalangan para ulama mengenai pandangan tentang kesetaraan gender.
  4. Penekanan pada bahwa perilaku manusia dibimbing oleh pengetahuan yang dimilikinya.

TANGGAPAN

Dalam kata pengantarnya Mas Heddy lebih banyak mengetengahkan apa fenomenologi itu sendiri berdasarkan pada asal kata dan sejarah perkembangannya namun tidak diketengahkan alasan mendasar dari munculnya fenomenologi itu sendiri yang saya pikir penting untuk diketengahkan dalam memahami lebih lanjut apa fenomenologi itu. Sehingga sayapun browsing dari internet dan sumber yang saya peroleh dari sebuah website, adalah:

“Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri.” (http://rumahmakalah.blogspot.com/2009/05/mengenal-filsafat-fenomenologi.html)

Ditambahkan oleh sumber lain mengenai fenomenologi yang tidak disinggung oleh mas Heddy, yaitu dari website http://www.lintasberita.com/Dunia/Berita-Dunia/Aliran_Fenomenologi_Filsafat_Masa_Kontemporer, disebutkan bahwa “Kant dan Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita amati hanyalah fenomena bukan neumenon atau sumbernya gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap hal yang kita amati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni sehingga perlu adanya reduksi”. Fenomenologi merupakan landasan filsafat dan seperti filosof kebanyakan yang berusaha mendapatkan kebenaran yang murni disebutkan bahwa pengamatan biasa akan menimbulkan bias. Ada tiga hal yang disarankan agar mendapatkan kebenaran yang murni, yaitu:

a. Membebaskan diri dari unsur subjektif,
b. Membebaskan diri dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis-hipotesis,
c. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional

Berhubungan dengan kebenaran yang murni, ditambahkan oleh rumah makalah,

“Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.

Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.

2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

Hal ini menarik perhatian saya menilik dari pernyataan Mas Heddy yang menyatakan ”Di sini Hamdanah menggunakan pedoman atau indikator yang telah disusun oleh peneliti Barat untuk dapat menentukan ada-tidaknya kesetaraan dan ketimpangan relasi gender dalam masyarakat yang diteliti” (halaman xxiv paragraf 2 baris 7-11). Dari hal tersebut saya melihat bahwa penelitian Hamdanah tersebut dilakukan berdasarkan pandangan dari si peneliti sendiri yang mana pedoman atau indikatornya tidak “Indonesia”, yaitu kesetaraan dan ketimpangan gender.

Selesai membaca kata pengantar ini saya mengeluarkan judgement yang terlalu dini dengan mengatakan bahwa penelitian Hamdanah ini bukanlah penelitian yang fenomenologis dipandang dari topik penelitian itu sendiri yaitu kesetaraan dan ketimpangan gender yang berangkat dari pandangan Barat dan diketengahkannya dua tebakan mas Heddy yang berkaitan dengan alasan Hamdanah menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu pertama sangat jarangnya digunakan pendekatan ini dalam studi-studi gender di Indonesia dan kedua adalah kemungkinan Hamdanah sebagai salah satu orang yang tidak bersedia menerima anggapan bahwa dalam Islam pandangan laki-lakilah yang pada umumnya dijadikan rujukan oleh umat Islam. Dari tebakan yang terakhir ini saya menganggap bahwa permulaan pemunculan masalah berasal dari si peneliti yang menurut saya tidak fenomenologis. Hal lainnya adalah tidak diketengahkannya, setidaknya dalam kata pengantar ini, fenomena yang muncul di lapangan sehingga dilakukannya penelitian ini.

Dari sharing pendapat yang saya lakukan dengan beberapa teman yang mengambil mata kuliah ini saya mengetahui bahwa Hamdanah merupakan salah satu ulama perempuan di Jember sehingga saya menebak bahwa Hamdanah telah melihat fenomena kesetaraan dan ketimpangan gender yang terjadi di Jember. Hal ini menumbuhkan minat saya, yang belum saya lakukan, untuk membaca tulisan Hamdanah ini untuk lebih mengetahui apakah pandangan-pandangannya mempengaruhi penulisannya ataukah memang dalam penulisannya Hamdanah semata-mata mendeskripskan apa yang ada dalam kehidupan kaum ulama di Jember. Dan saya juga menjadi tertarik untuk mengetahui apakah konsep gender itu sendiri sebenarnya sudah ada dalam kehidupan kaum ulama yang mungkin menggunakan istilah mereka sendiri atau istilah local.

Tanggapan lain dari saya lebih yang bersifat teknis seperti beberapa kesalahan dalam pengetikan dan kurang diketengahkannya fenomenologi eksistensial secara eksplisit. Dari kata pengantar mas Heddy juga saya berpendapat bahwa mas Heddy sangat kuat dalam mendukung penelitian Hamdanah ini sebagai penelitian dengan kerangka berpikir fenomenologi demi adanya penelitian fenomenologi di Indonesia dan jawaban atas pertanyaan saya di awal membaca kata pengantar ini yaitu “apa yang menyebabkan para antropolog atau ilmuwan sosial budaya, yang menurut asumsi saya, tidak tertarik untuk melakukan studi dengan menggunakan pendekatan fenomenologis?” hanya terjawab dengan satu pernyataan dari mas Heddy yaitu pada bagian sumbangan penting disebutkan “kajian ini menggunakan perspektif ilmu sosial-budaya yang relatif jarang digunakan (karena kurang begitu dikenal) oleh peneliti gender di Indonesia, yakni pendekatan fenomenologis”, secara pribadi saya masih belum terpuaskan dengan pernyataan mas Heddy tersebut lebih kepada mengapa kurang begitu dikenal dan apakah hanya kurang begitu dikenal oleh peneliti gender saja atau oleh para antropolog itu sendiri.

Untuk menutup tanggapan ini saya ingin mengatakan bahwa saya masih belum bisa menyetujui apakah penelitian ini bisa disebut sebagai fenomenologis atau tidak sebelum saya membaca buku Hamdanah tersebut. Namun saya berpikir bahwa dari awal penformulasian masalah seharusnya sudah mencerminkan pemakaian kerangka berpikir fenomenologi yang bisa dicapai dengan menggunakan metode Partisipasi Observasi yang menurut Jorgensen dalam bukunya Participant Observation menggunakan kerangka berpikir fenomenologi. Dalam Partisipasi Observasi ada dua langkah penformulasian masalah yaitu pertama dapat berawal dari si peneliti yang kemudian mengcross-checkan kembali dengan keadaaan lapangan sehingga masalah awal bisa saja diredefinisi dan yang kedua adalah berawal dari lapangan yang kemudian dibuat masalah penelitian. Dan benak saya juga masih terngiang dengan kata-kata mas Heddy yang menyatakan bahwa Hamdanah menggunakan pedoman dan indikator dari barat, diketengahkan oleh Jorgensen yang dia ambil dari Bruyn dan Glazer and Strauss bahwa “basic concepts are defined phenomenologically: that is, in terms of what the ideas and actions mean to people in particular situations. Indicators of key concepts likewise involve a search within the field context for meaning, relevancy, andlinkages of key concepts and ideas. In formulating concepts based on the insider’s perspective, paricipant observers seek out multiple indications (or indicators) of what an edea means, including how it is used”

No comments:

Post a Comment