Saturday, March 6, 2010

Review Etnosains dan Etnometodologi Sebuah Perbandingan Heddy Shri Ahimsa-Putra

RINGKASAN

Banyaknya perdebatan yang muncul dan tulisan-tulisan yang dihasilkan dari para antropolog dan para sosiolog mengenai pendekatan etnosains dan etnometodologi serta perlunya publikasi antologi terbaru menjadi latar belakang penulisan perbandingan dua aliran ini (halaman 103 paragraf 1). Perbedaan sifat kedua pendekatan ini tidak disarankan oleh Heddy (yang kemudian saya tulis sebagai penulis) untuk menjadi pusat perhatian dimana Etnosains, dengan unsur kata sains, dianggap memiliki sifat pasif sedangkan Etnometodologi, dengan unsur kata metodologi didalamnya, dianggap memiliki sifat aktif. Di lain pihak kedua pendekatan ini juga memiliki persamaan dalam hal pengambilan sudut pandang dalam penelitian. Yaitu memandang dari sudut pandang orang-orang yang terlibat di dalamnya dan mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan mereka.

Tulisan ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama akan menyuguhkan akar-akar pemikiran yang dibarengi dengan penyuguhan penyebab-penyebab munculnya pemikiran tersebut. Tentu saja di dalamnya mencakup asumsi-asumsi dasar dan juga melihat cabang-cabang ilmu yang mempengaruhi kedua pendekatan tersebut. Bagian kedua akan membandingkan kedua metode pendekatan atau cara analisis kedua pendekatan dengan didahului penyajian sebuah data. Bagian ketiga akan lebih mengulas mengenai persamaan dan perbedaan kedua aliran dan yang terakhir akan disuguhkan ringkasan serta pandangan penulis mengenai hubungan yang ada diantara kedua pendekatan ini dan bagaimana hubungannya dengan kegiatan pembangunan di Indonesia.

Dalam ringkasan ini saya memasukkan analisa data etnosains dan etnometodologi ke dalam ringkasan masing-masing pendekatan.

Etnosains

Dipandang sebagai sebuah pendekatan yang memiliki tujuan akhir yang sama dengan Etnografi, yaitu “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world”, namun menggunakan metode baru yang dianggap dapat menjawab permasalahan yang selama ini ditemui oleh para peneliti pada saat mereka mencoba untuk berbagai macam kebudayaan suku-suku bangsa di dunia. Tiga masalah pokok yang mereka temui adalah pertama, perbedaan minat ahli antropologi yang menyebabkan perbedaan data yang dikumpulkan, kedua adalah perbedaan metode dan masalah yang ketiga atau yang terakhir adalah ketidaksamaan pendapat diantara para antropolog dalam menentukan kriteria pengklasifikasian. Kemudian disepakatilah bahwa kelemahan para antropolog adalah pada cara pelukisan kebudayaan. Pendekatan dari linguistik yaitu cabang dari ilmu fonologi, yaitu fonemik dan fonetik kemudian digunakan. Namun penggunaan model ini juga tidak mampu menjawab permasalahan tersebut diatas oleh karena model ini masih tetap menggunakan sudut pandang si peneliti tetap terjadi perbedaan. Merekapun kembali memetakan letak permasalahan utama dan ditemukanlah bahwa perbedaan definisi kebudayaan diantara penelitilah yang mendasari permasalahan yang mereka temui selama ini.

Sebagai tambahan, peneliti disarankan untuk memberikan pertanyaan yang menggunakan konsep-konsep yang dimiliki oleh masyarakat yang diteliti tersebut (peneliti menyimpan dulu konsep-konsep yang dia ketahui) dan yang paling penting adalah menguasai bahasa masyarakat yang diteliti. Hal ini berlandaskan pada anggapan bahwa pemberian nama kepada bermacam-macam hal akan memudahkan klasifikasi dan menangkap pandangan hidup masyarakat tersebut. Hal ini merupakan akibat dari definisi kebudayaan menurut Goodenough. Definisi Goodenough mengenai kebudayaan, menurut yang saya tangkap dengan keterbatasan pemahaman saya, adalah pengorganisasian masyarakat, tingkah lau, emosi-emosi dan hal-hal lain. Apa yang mereka lakukan, katakan, tata cara hubungan sosial dan pelaksanaan even-even merupakan hasil penafsiran, penangkapan dan pengamatan-pengamatan berdasarkan situasi tertentu. Goodenough mengharuskan peneliti untuk mengetahui sistem pengetahuan suatu masyarakat yang meliputi klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hal-hal lain.

Ada tiga kelompok yang digolongkan berhubungan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi. Kelompok pertama menekankan pada pengkajian yang bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka (halaman 108 paragraf 2). Didalamnya terdapat pengklasifikasian oleh masyarakat sendiri dalam mereka menghadapi lingkungan dan hasil akhirnya adalah peta kognitif. Prinsip-prinsip universal yang dihasilkan dilakukan dengan sistem perbandingan. Kelompok kedua menekankan pada aturan-aturan. Kelompok ini memberikan perhatian lebih pada kategori-kategori yang dipakai dalam interaksi sosial serta hak-hak dan kewajiban. Seperti halnya kelompok pertama, prinsip-prinsip universal juga dihasilkan melalui sistem perbandingan. Kelompok yang ketiga atau yang g terakhir memandang kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang juga dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua namun tidak diungkapkan secara eksplisit, dan kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Ada empat cara yang yang menurut Spradley dapat digunakan dalam mendapatkan tema-tema budaya. Pertama, setelah mendapatkan berbagai macam kategorisasi, peneliti membaca kembali data tersebut dan kemudian melihat kaitan antar berbagai macam kategorisasi. Kedua, memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada. Ketiga adalah dengan menganalisis secara mendalam sistem kategorisasi mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam suatu kegiatan tertentu. Dan yang terakhir adalah menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Seperti pada kelompok kedua, kelompok ini juga memperhatikan sistem klasifikasi yang ada di masyarakat menggunakan landasan teori tentang makna. Berbeda dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.

Ketiga kelompok tersebut di atas merupakan wujud dari aliran etnosains yang istilahnya sendiri belum disepakati oleh para ahli antropologi. Berbagai macam istilah yang dipakai berlandaskan pada apa yang dianggap penting namun memiliki keseragaman yaitu pada metode yang dipakai. Etnosains akhirnya disepakati sebagai metode. Etnosains atau Ethnoscience berasal dari kata Ethnos yang berarti bangsa dan Scientia yang berarti pengetahuan.

Hasil akhir sebuah penelitian yang menggunakan metode etnosains adalah pelukisan sistem pengetahuan yang ada pada warga masyarakat atu kelompok masyarakat tertentu, dan bukan pola dari tingkah laku mereka.

Etnometodologi

Dimulai dari filsafat fenomenologi transedental Husserl yang memusatkan perhatian pada kesadaran sama seperti fenomenologi eksistensial. Fenomenologi transedental berupaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul dan tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah. Hal ini agak berlainan dengan Goodenough yang menyatakan bahwa phenomenal order adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola tingkah-laku yang diamati. Kesadaran memiliki dua aspek yaitu proses sadar dan obyek dari kesadaran tersebut. Dan hal ini berkaitan dengan maksud dari orang tersebut yang nantinya akan memberi makna pada obyek yang dihadapi. Makna itu selalu diarahkan pada bidang kehidupan yang juga ada orang-orang lain di dalamnya yang saling berhubungan dan menjadi apa yang disebut intersubjective dimana terjadi timbal balik perspektif. Dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang lain ini kemudian menjadi pengalaman bersama. Dreitzel menegaskan bahwa makna yang diberikan oleh orang-orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna itu muncul, dimiliki bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu dan bagaimana kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda-beda dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata bagi mereka yang menghadapinya. Karena dipandang sebagai hal-hal yang wajar, biasa dan nyata kemudian ini disebut sebagai natural attitude. Jadi bisa dikatakan bahwa Etnometodologi berdasarkan pada maksud. Sejarah hidup sangat mempengaruhi hal-hal tersebut.

Perbandingan

Saya ingin meringkasnya ke dalam tabel persamaan dan perbedaan.

Metode

Persamaan

Perbedaan

Etnosains

1. Menggunakan data bahasa atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang diteliti sebagai bahan analisa

2. Tidak mempersoalkan apakah pengetahuan tersebut salah atau benar menurut kriteria tertentu

3. Berusaha mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah-laku manusia

4. Mencoba menemukan prinsip-prinsip yang universal

5. Berangkat dari asumsi yang sama tentang manusia dimana manusia pada dasarnya selalu memberi makna terhadap gejala yang dihadapai.

1. Mencapai prinsip-prinsip universal menggunakan metode perbandingan yang membawanya pada tingkat etnologi.

2. Pada tingkat etnografi, etnosains tidak mencari keuniversalan dan berusaha menggambarkan aspek tertentu dari suatu kebudayaan dengan cara tertentu agar dapat dibandingkan dengan data lain.

3. Lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si pelaku

Etnometodologi

1. Berusaha mendapatkan basic rule

2. Mencapai prinsip-prinsip universal bertitik-tolak dari phenomenologi yang berupaya mendapatkan essential features

3. Lebih banyak memperhatikan dengan usaha untuk menentukan basic features of everyday interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality is created outof the interlocked activity of human actors becomes an important and critical topic for examination

Relevansi Etnosains di Indonesia

Penulis lebih memfokuskan diri pada etnosains dengan alasan pengetahuan penulis yang minim mengenai etnometodologi. Penekanan aliran ini pada aspek kognitif mempengaruhi metode-metode untuk penelitian, pelukisan dan pengembangannya. Dalam kaitannya dengan pembangunan, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi siapa sebenarnya obyek pembangunan itu sendiri yang tentu saja manusia. Namun manusia yang mana itu yang harus digarisbawahi. Berlandaskan pada pengetahuan bahwa Indonesia ini terdiri dari berbagai macam kebudayaan, mengetahui kebudayaan setempat dan melibatkan partisipasi mereka adalah cara yang tepat menurut penulis. Dengan sudut pandang inilah kemudian etnosains menjadi metode yang bisa digunakan karena etnosains berangkat dari pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran yang ada pada masyarakat yang diteliti. Etnosains mencoba melihat lingkungan dimana suatu masyarakat berada lewat kacamata masyarakat itu sendiri, mencoba menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada dengan memperhatikan juga penafsiran-penafsiran para pelaku (halaman 130 paragraf 3 baris 1-5).

TANGGAPAN DAN KRITIK

Satu pernyataan dari Heddy yang saya ingat dan saya sangat setuju adalah bahwa seorang peneliti bukan hanya mencari kesenangan semata namun dia juga harus melihat apa kegunaan dari penelitian tersebut dalam pembangunan di Indonesia. Jadi tanggapan dan kritik saya lebih akan kepada hubungan pendekatan ini dengan pembangunan di Indonesia.

Sebelum saya memberikan tanggapan dan kritik, saya ingin mengcopy paste suatu kenyataan yang terjadi di Indonesia seperti yang saya tuliskan di tugas Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern dimana saya membahas tulisan A. R. Radcliffe-Brown yang berjudul Religion and Society.

Terdapatlah sebuah komunitas di Jawa Barat yang bertujuan merehabilitasi dasar, ajaran dan watak masing-masing individu ke dalam dasar ngaji rasa. Ngaji rasa di sini adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.

Anggota komunitas ini tidak diberikan Kartu Tanda Penduduk oleh karena mereka tidak menuliskan apa agama mereka dalam kolom agama. Komunitas ini tidak bisa menerima apabila mereka harus menuliskan salah satu agama yang berlaku di Indonesia karena agama-agama tersebut bukanlah keyakinan yang mereka anut. Mereka pernah diminta untuk menulis aliran kepercayaan dalam kolom tersebut, namun mereka juga menolak karena keyakinan mereka bukanlah aliran kepercayaan. Pada saat mereka diminta untuk membubuhkan tanda strip (-) pada kolom tersebut mereka juga menolak karena tidak ada agama yang strip (-).

Berkenaan dengan KTP, aliran kepercayaan tidak bisa dimasukkan lagi dalam kolom agama di KTP dan saat ini Depdagri sedang mengkaji penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi kehidupan anggota komunitas ini dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar komunitas itu tidak memiliki sumber pendapatan yang rutin atau lebih tepatnya yang mereka katakan sebagai kerja serabutan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan beberapa merupakan nelayan. Mereka pernah mengajukan permohonan tanah milik masyarakat yang bisa mereka jadikan lahan pertanian sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan rutin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Permintaan mereka selalu ditolak karena mereka tidak memiliki KTP. Informasi lainnya adalah bahwa aliran ini dianggap sesat oleh sebuah organisasi masa berlandaskan agama dan terkadang juga menjadi incaran salah satu organisasi masa lain yang juga berlandaskan agama untuk diobrak-abrik.

Menurut pengakuan komunitas ini, masyarakat di sekitar komunitas ini tidak memiliki masalah mendasar dengan mereka yang mereka kuatkan dengan alasan bahwa tidak pernah ada silang pendapat, pertengkaran atapun gangguan sosial yang disebabkan oleh adanya komunitas ini. Komunitas ini memetakan bahwa intrusi yang mereka terima adalah dari kebijakan pemerintah dan juga kebijakan sebuah organisasi masa dengan nama yang besar terkadang tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.

Saya acap kali menceritakan keberadaan komunitas ini ke banyak orang yang saya temui dan saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mengetahui mengenai keberadaan komunitas ini walaupun terkadang di ekspos oleh media massa dan satu lagi pernyataan menarik dari salah satu anggota komunitas tersebut adalah tidak mudah untuk mengetahui essensi dasar keyakinan mereka dan membuat dasar teori mengenai komunitas mereka karena kalau saya boleh menggunakan kata-kata dia adalah “ýang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah” (konsep ngaji rasa).

Saya sangat setuju apabila kemudian etnosains digunakan sebagai metode untuk meneliti masyarakat ini. Namun kemudian karena kenyataan di atas ada unsur pemerintah dan organisasi massa yang lain saya pikir perlu ditambahkan pengamatan sistem kepemerintahan, analisa hukum dan perundang-undangan yang telah diberlakukan oleh pemerintah dalam mengatur kebudayaan, kebebasan memeluk agama dan keyakinanya, peraturan perundangan pembentukan dan operasional sebuah organisasi massa dan juga menganalisa dan mengamati kebudayaan atau agama atau keyakinan yang bersinggungan dengan kebudayaan atau agama atau keyakinan tersebut.

Alasan lain yang menguatkan saya untuk menyetujui penggunaan etnosains adalah kelompok ketiga yang digolongkan menurut implikasi-implikasi permasalahan di antropologi yang saya pikir cara berpikir dan metodenya dapat digunakan. Yaitu kelompok yang melihat kebudayaan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk perceiving dan dealing with circumstances. Penekanan peneliti pada kelompok ini adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu masyarakat atau subkultur tertentu, yang kemudian hasil akhirnya adalah tema-tema budaya. Tema-tema budaya inilah yang nantinya akan membantu peneliti dalam melihat budaya-budaya di Indonesia yang kemudian akan menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia dalam merencanakan pembangunannya karena disitu salah satunya adalah memperhatikan dimensi-dimensi kontras dan melihat persamaan yang ada dan yang tidak kalah pentingnya juga menggambarkan hubungan-hubungan yang ada antar berbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti.

Dalam makalah pembahasan tulisan Brown tersebut saya juga mengungkapkan bahwa cara penelitian intensif dan detil juga diperlukan dan hal ini juga diketengahkan oleh oleh penulis bahwa kelompok terakhir ini mencari prinsip-prinsip universal melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal.

No comments:

Post a Comment