Saturday, March 6, 2010

Review Tafsir Kebudayaan – Clifford Geertz

Review: Tafsir Kebudayaan – Clifford Geertz

Dijelaskan pada pertemuan minggu lalu, 3 Maret 2010, bahwa dalam Strukturalisme kata kuncinya adalah Transformasi maka dalam Tafsir Kebudayaan ini kata kuncinya, menurut saya, adalah persepsi. Sedangkan arti dari persepsi adalah “Frederich dan Lindawati (2004), mendefinisikan persepsi secara lebih luas, yaitu sebagai suatu proses yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterpretasikan kombinasi faktor dunia luar (stimulus visual) dan diri kita sendiri (pengetahuan - pengetahuan sebelumnya)” (http://wikipediaku.blogspot.com/2009/06/persepsi.html). Persepsi dalam buku ini disebutkan dengan istilah “lukisan mendalam” (thick description) pada halaman 6).

Apabila Strukturalisme masih dianggap dalam kategoriNomothetic dimana dahlil – dahlil atau memformulasikan hukum universal tentang kegiatan sosial-budaya dicari (Prof. Soehardi dalam kuliah Metode Penelitian Kualitatif), maka Tafsir Kebudayaan tidak termasuk dalam kategori Nomotheticnamun masuk dalam kategori Ideografis. Berarti Tafsir Kebudayaan adalah salah satu ”ilmu yang berusaha menggambarkan secara teoritik realitas sosial dan mendalami apa yang menjadi native’s point of view dimana sifatnya deskriptif, khas dan tidak berupaya merumuskan formula – formula hukum yang bersifat universal” (Prof. Soehardi dalam kuliah Metode Penelitian Kualitatif).

Persepsi ini tidak dimiliki secara individual namun secara publik. Contoh sederhana adalah seperti mengedipkan mata yang bisa bermakna kedutan bagi orang lain (pihak pertama) atau persekongkolan bagi yang lain (pihak ketiga) ataupun ejekan bagi pihak ketiga (halaman 6 – 7). Diperlukan data etnografi yang cukup pagi peneliti untuk dapat mempersepsikan keadaan sosial-budaya pada saat data dikumpulkan untuk dapat menangkap pemaknaan pendukukung kebudayaan (tineliti) tertentu.

Dalam Tafsir Kebudayaan pemaknaan oleh tineliti kemudian ditafsir atau dipersepsikan lagi oleh peneliti seperti yang dilakukan Geertz pada buku ini. Salah satu contoh adalah pemaknaan sabung ayam oleh tineliti dan oleh peneliti pada halaman 214: ”Akan tetapi keranjingan itu memiliki beberapa dimensi yang kurang jelas. Sebabnya adalah bahwa walaupun betul bahwa ayam jantan adalah ungkapan simbolis atau ungkapan kebesaran pemiliknya sendiri, yakni ego lelaki yang narsistis terungkap dalam pengertian Aesopia, ayam itu adalah juga ungkapan – ungkapan – dan yang agak lebih langsung – dari apa yang oleh orang Bali dianggap sebagai pembalikan langsung, secara estetis, moral dan metafisis, dari status manusia: kebinatangan”.

Kritik terhadap Tafsir Kebudayaan ini adalah bahwa tafsir yang dilakukan peneliti dianggap ”liar” atau dalam bahasa Jawa disebut ”ngoyo woro”. Ada baiknya mungkin melakukan apa yang dilakukan Geertz dalam sub-babnya Bermain dengan Api (halaman 227 – 239) dimana Geertz menggunakan teori Weber (halaman 229) untuk menjelaskan apa yang dipertaruhkan oleh orang Bali pada saat melakukan sabungayam atau dengan kata lain penggunaan teori tertentu dalam melakukan tafsir terhadap suatu data etnografi perlu dilakukan demi menghindari kritik ”liar” atau ”ngoyo woro”sebagaimana digarisbawahi oleh Ahimsa-Putra dalam suatu diskusi dengan mahasiswa – mahasiswanya mengenai paradigma Tafsir kebudayaan.

No comments:

Post a Comment