Saturday, March 6, 2010

Review Religions and Society A.R. Radcliffe-Brown

A. PENDAHULUAN

Makalah ini disusun berdasarkan tugas yang diberikan oleh Heddy Shri Ahimsa P., Prof., Dr., M.A, M. Phil dalam mata kuliah yang diajarkannya yaitu Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern. Mas Heddy, demikian dia biasa dipanggil oleh mahasiswa-mahasiswanya, meminta agar kami membaca beberapa tulisan mengenai Malinovski atau tulisan Radcliffe-Brown, memilih salah satunya dan membuat makalahnya. Menurut penuturan Mas Heddy, Malinovski lebih membahas kebudayaan, kebutuhan, fungsi, metode penelitian dan ethnography sedangkan Brown lebih pada struktur sosial dan fungsi. Dalam makalah ini saya membahas mengenai salah satu tulisan Brown yang berjudul Religion and Society dari sebuah buku yang berjudul Structure and Function in Primitive Society, Essays and Addresses by A. R. Radcliffe-Brown. Saya memilih tulisan Brown mengenai religion and society karena saya berharap bahwa tulisan ini akan memberi saya masukan-masukan teori untuk saya dalam menyiapkan thesis saya dari awal dimana dalam thesis saya nantinya saya ingin melihat fungsi agama dan pengaruhnya dalam sistem sosial dan sistem budaya di suatu komunitas serta menghubungkannya dengan pembangunan di Indonesia. Namun, saya juga berpikir bahwa saya juga tidak bisa mengesampingkan teori-teori yang telah dihasilkan oleh Malinovski yang menurut saya sangat berguna nantinya dalam melakukan penelitian.

Saya ingin memulai pembahasan tulisan ini dengan memberikan ringkasan atas apa yang diketengahkan Brown melalui dua poin di bawah ini, yang menurut saya, penting untuk digarisbawahi.

Poin 1 Apa itu Agama dan Paradigma yang (dianjurkan untuk) Digunakan

Brown memulainya dengan mengetengahkan cara yang biasa digunakan dalam memandang apa itu agama yaitu dengan cara ”to regard all of them, or all except one, as bodies of erroneous beliefs and illusory practices”. Pandangan bahwa agama merupakan “systems of erroneous and illusory beliefs” dipandang Brown tidak membantu dalam memahami apa inti dari agama itu sendiri karena pandangan ini tidak dapat menjawab bagaimana “beliefs came to be formulated and accepted.” Sebuah pandangan yang perlu dicermati juga yaitu memandang agama apa pun itu sebagai bagian penting dan bahkan mendasar dari motor penggerak sosial, seperti halnya moralitas dan hukum, dan juga sebagai bagian dari sebuah sistem yang kompleks dimana dengan agama tersebut memungkinkan manusia untuk hidup bersama dalam suatu hubungan sosial yang diatur sedemikian rupa. Hal ini didasarkan pada apa yang muncul dari adanya agama itu sendiri yang kemudian menjadi fungsi dari agama tersebut yaitu memberikan landasan kehidupan sosial yang teratur atau dengan kata lain memiliki nilai sosial.

Theory of the social function of rites and ceremonies ... is that an orderly social ife amonst human beings depends upon the presence in the minds of the members of a society of certain sentiments, which control the behaviour of the individual in his relations to others.

The religion is an intrinsic part of the constitution of society.

Loisy menambahkan sebuah formula bahwa agama juga bisa memberikan rasa percaya diri.

.... magic and religion have served to give men confidence.

Keteraturan kehidupan sosial tentunya diatur dalam sebuah peraturan yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Peraturan itu sendiri memilki beberapa sanksi apabila tidak dilakukan. Bentuk sanksi itu sendiri ada berbagai macam berdasarkan pada apakah dilihat dari moralitas, undang-undang yang berlaku ataukah menurut agama. Sanksi pelanggaran moral biasanya lebih pada pengucilan oleh masyarakat, pelanggaran undang-undang akan menyebabkan seseorang dikenai sanksi hukum secara legal sementara pelanggaran agama akan dikenai sanksi bahwa si pelanggar mendapat sanksi agama seperti bahwa dia sudah dianggap berdosa dan meninggalkan Tuhan. Seseorang bisa saja mendapatkan sanksi dari dua atau tiga macam sanksi tersebut.

Dari semua yang diketengahkan mengenai apa itu agama, Brown menutupnya dengan pernyataan bahwa sebagai makhluk sosial, manusia itu bergantung dengan yang lain. Apabila ada yang menyatakan bahwa mereka dapat mandiri, hanya menggantungkan diri pada diri sendiri dalam hal apapun merupakan makhluk asosial.

Poin 2 Metode Penelitian

Satu-satunya metode yang dianjurkan oleh Brown adalah dengan meneliti agama-agama atau cara-cara pemujaan tertentu dan melihat hubungannya dengan masyarakat di mana agama-agama atau cara-cara pemujaan tersebut hidup atau dilaksanakan. Hal ini berarti bahwa peneliti perlu melihat beberapa agama lain yang hidup dalam masyarakat yang lain juga. Dalam melakukan penelitian perlu ditinjau pemikiran-pemikiran atau keyakinan yang terkandung di dalam suatu agama atau cara pemujaan dan juga ketaatan yang ditunjukkan dengan mengobservasi tata cara-tata cara (observances saya terjemahakan sebagai tata cara) yang berlaku dalam masyarakat.

Brown juga mengetengahkan bahwa tata cara itu sendiri memiliki fungsi sosial dimana solidaritas sosial sangat tergantung padanya dengan memberikan contoh ancestor-worship yang ada di Cina dimana keturunan mereka diberikan nama marga dari pendahulu mereka.

The social function of the rites is obvious: by giving solemn and collective expression to them the rites reaffirm, renew and strengthen those sentiments on which the social solidarity depends.

Berseberangan dengan pendapat Brown bahwa untuk meneliti agama kita perlu menengok agama lain di beberapa masyarakat, Durkheim memilih untuk mengadakan penelitian di satu masyarakat saja dan melakukan analisa yang intensif dan detil. Teori-teori yang dihasilkan oleh Durkheim dianggap Brown sangat umum namun Brown mengambil satu teori dari Durkheim yang menyatakan bahwa ritual-ritual keagamaan merupakan cerminan persatuan suatu masyarakat dan fungsi dari ritual itu sendiri adalah untuk menciptaulang masyarakat atau tatanan sosial dengan menegaskan kembali dan lebih menguatkan sentimen-sentimen yang ada dimana solidaritas sosial dan tatanan sosial itu sendiri bergantung. Tesis Durkheim mengenai fungsi sosial dari totemic rites dianggap valid oleh Brown walaupun masih butuh revisi dan perbaikan dalam hal mengaitkannya dengan pengetahuan yang saat ini telah dikenal.

B. PEMBAHASAN

Setelah menyajikan ringkasan tersebut saya ingin membahas tulisan Brown dengan melihat apakah hal tersebut bisa menjadi salah satu landasan teori saya dalam menulis thesis seperti yang saya sebutkan di atas dan melakukan pengamatan di sebuah komunitas di Indonesia. Berikut ini adalah informasi mengenai komunitas tersebut yang saya ambil dari beberapa sumber, pembicaraan langsung dan juga informasi kebijakan pemerintah yang mempengaruhi komunitas tersebut.

Terdapatlah sebuah komunitas di Jawa Barat yang bertujuan merehabilitasi dasar, ajaran dan watak masing-masing individu ke dalam dasar ngaji rasa. Ngaji rasa di sini adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan istri”, ungkapnya.

Anggota komunitas ini tidak diberikan Kartu Tanda Penduduk oleh karena mereka tidak menuliskan apa agama mereka dalam kolom agama. Komunitas ini tidak bisa menerima apabila mereka harus menuliskan salah satu agama yang berlaku di Indonesia karena agama-agama tersebut bukanlah keyakinan yang mereka anut. Mereka pernah diminta untuk menulis aliran kepercayaan dalam kolom tersebut, namun mereka juga menolak karena keyakinan mereka bukanlah aliran kepercayaan. Pada saat mereka diminta untuk membubuhkan tanda strip (-) pada kolom tersebut mereka juga menolak karena tidak ada agama yang strip (-).

Berkenaan dengan KTP, aliran kepercayaan tidak bisa dimasukkan lagi dalam kolom agama di KTP dan saat ini Depdagri sedang mengkaji penghapusan kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi kehidupan anggota komunitas ini dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar komunitas itu tidak memiliki sumber pendapatan yang rutin atau lebih tepatnya yang mereka katakan sebagai kerja serabutan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan beberapa merupakan nelayan. Mereka pernah mengajukan permohonan tanah milik masyarakat yang bisa mereka jadikan lahan pertanian sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan rutin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Permintaan mereka selalu ditolak karena mereka tidak memiliki KTP. Informasi lainnya adalah bahwa aliran ini dianggap sesat oleh sebuah organisasi masa berlandaskan agama dan terkadang juga menjadi incaran salah satu organisasi masa lain yang juga berlandaskan agama untuk diobrak-abrik.

Menurut pengakuan komunitas ini, masyarakat di sekitar komunitas ini tidak memiliki masalah mendasar dengan mereka yang mereka kuatkan dengan alasan bahwa tidak pernah ada silang pendapat, pertengkaran atapun gangguan sosial yang disebabkan oleh adanya komunitas ini. Komunitas ini memetakan bahwa intrusi yang mereka terima adalah dari kebijakan pemerintah dan juga kebijakan sebuah organisasi masa dengan nama yang besar terkadang tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah.

Saya acap kali menceritakan keberadaan komunitas ini ke banyak orang yang saya temui dan saya melihat bahwa tidak banyak orang yang mengetahui mengenai keberadaan komunitas ini walaupun terkadang di ekspos oleh media massa dan satu lagi pernyataan menarik dari salah satu anggota komunitas tersebut adalah tidak mudah untuk mengetahui essensi dasar keyakinan mereka dan membuat dasar teori mengenai komunitas mereka karena kalau saya boleh menggunakan kata-kata dia adalah “ýang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah” (konsep ngaji rasa).

Selain melihat kenyataan atau realita yang ada, saya juga merasa perlu menilik kembali jenis-jenis teori yang ada. Jenis-jenis teori tersebut adalah nomothetic ideational, nomothetic materialisme, idiografis ideational dan yang terakhir adalah idiografis materialisme. yang ada ini saya tuangkan dalam bentuk tabel seperti halnya yang saya terima dari perkuliahan Suhardi, Prof., Dr., M.A dalam kuliahnya Metode Penelitian Kualitatif.

JENIS – JENIS TEORI

NOMOTHETIC

- teori – teori yang diilhami oleh ilmu fisika (metode fisika) menjadi fisika sosial

- berupaya mencadi dahlil – dahlil atau memformulasikan hukum universal tentang aktifitas socio-cultural

- berbasis positivisme (masyarakat dan budaya mencerminkan keteraturan – hukum – bersifat umum dan berlaku kapan saja dan dimana saja)

IDIOGRAFIS

- ilmu – ilmu yang berusaha menggambarkan secara teoritik realitas sosial dan mendalami apa yang menjadi native’s point of view

- sifatnya descriptive

- partikularistic (khas)

- tidak berupaya merumuskan formula – formula hukum yang bersifat universal

Konsepnya:

Ingin mengungkap ideologis / gagasan dasar komunitas bangsa yang diekspresikan dalam kegiatan sehari – hari baik yang teknik, normatif maupun ceremonial

Pendekatan:

Penjelasan meaning / interpretif

IDEATIONAL

dimulai dengan gagasan kemudian membuat model (pikiran peniliti sendiri) dan melihat realitanya

Structuralism – Levi Strauss

(culture and personality)

Bloomer; ”Simbolic Interactionalism

MATERIALISME

Realita yang kemudian dibuat konsepnya

Fungsionalisme Struktur (Radcliff Brown)

”Karl Marx”

Geertz

Victor Turner

Melihat kenyataan di atas dan jenis-jenis teori yang ada, saya berpikir bahwa selain membaca tulisan Brown, saya juga perlu membaca tulisan Geertz dimana Geertz dikelompokkan dalam idiografis materialisme yang mana tercakup didalamnya penulisan deskriptif mengenai suatu kebudayaan atau komunitas dan juga membuat konsepnya berdasarkan realita yang merupakan ciri dari materialisme.

Agama, ditambahkan oleh Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, juga memiliki perananan menimbukan konflik yang dapat menghasilkan perpecahan.

Karena, bertentangan dengan beberapa ahli teori, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial saja dalam masyarakat, tapi juga peranan memecah, dan dengan begitu mencerminkan perimbangan antara kekuatan integratif dan disintegratif antara ketiga tipe keagamaan itu maupun caranya konflik itu diperkecil dan sebenarnya, diubah menjadi keuntungan sosial yang positif. (1981; halaman 475)

Diantara yang mempertajam konflik adalah:

a) Konflik ideologis yang hakiki karena ketidaksenangan terhadap nilai-nilai kelompok lain

b) Sistem stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak di antara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak terpisah.

c) Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik (1981; halaman 476)

Terdapat empat situasi dan tipe konflik menurut Pusat Kerukunan Umat Beragama Departemen Agama RI, yang seterusnya akan saya singkat dengan PKUBDA RI, dalam bukunya Manajemen Konflik Umat Beragama.

· Tanpa konflik

· Konflik laten. .... perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

· Konflik terbuka, yaitu konflik yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya

· Konflik di permukaan, yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

(2007; halaman 138)

Ada solusi yang ditawarkan oleh Geertz (halaman 476-477) dan tiga metode oleh PKUBDA RI (halaman 138-141) untuk mengatasi konflik atau meredakan konflik namun saya tidak akan mengetengahkannya di sini.

Fungsi agama menurut Brown dan Geertz akan memberikan kontribusi yang besar kepada saya namun ada hal yang belum diisi oleh Brown dan Geertz yaitu adalah apa fungsi dan peran pemerintah yang sudah terbentuk dalam menyikapi keberadaan dan fungsi dari berbagai macam agama dan keyakinan yang ada. Tinjauan perundang-undangan, dan peraturan pemerintah sangatlah diperlukan.

Saya akan melanjutkan kepada pembahasan mengenai tulisan Brown. Brown menyarankan untuk meneliti juga agama-agama atau keyakinan-keyakinan yang lain, hal ini saya kira penting untuk melihat pengaturan-pengaturan kehidupan sosial yang ditimbulkan oleh agama-agama atau keyakinan-keyakinan yang lain. Namun menilik dari kenyataan yang ada, diperlukan adanya batasan yang jelas untuk sebuah agama atau keyakinan dalam memberikan keteraturan suatu kehidupan sosial. Karena pengaturan kehidupan sosial dari sebuah agama akan menimbulkan konflik apabila kemudian pengaturan kehidupan sosial sebuah agama diterapkan di setiap provinsi di sebuah negara yang mana di dalamnya terdapat berbagai macam keyakinan atau agama yang lain. Apabila peraturan kehidupan sosial agama atau keyakinan tertentu dipaksakan kepada agama atau keyakinan yang lain akan menimbulkan masalah.

“Masyarakat perlu tahu boundariesnya. Yang tidak jelas boundariesnya akan menimbulkan masalah karena berhubungan dengan masyarakat lainnya. Boundaries bisa jelas bisa tidak. Boundaries berhubungan dengan batasan kewenangan. Physical boundaries paling penting.” (Heddy Shri Ahimsa; diperkuliahan Pengantar Sejarah Teori Antropologi Modern; 15 September 2009)

Boundaries tidak dibahas oleh Brown dalam tulisannya ini. Sehingga saya berpikir bahwa ada benarnya Durkheim meneliti satu masyarakat saja dengan analisa yang intensif dan detil. Hal ini saya kaitkan dengan teori Brown sendiri bahwa metode penelitian yang meneliti juga agama-agama atau keyakinan-keyakinan yang lain bukanlah tugas satu peneliti saja namun beberapa peneliti.

This is a task not for one person but for a number.(page 154 last line of paragraph 3).

Landasan pengertian fungsi agama menurut Brown dan Geertz memperkaya wawasan saya. Metode penelitian Brown dan Durkheim yang dipandang berlawanan namun di lain pihak ada satu pernyataan Brown yang menurut saya menguatkan metode penelitian Durkheim adalah dua metode yang memperkaya satu sama lain. Kalau boleh saya menggabungkannya metode penelitian Brown untuk juga meneliti agama-agama lain penting namun kedetilan dan keintesitisan juga penting dalam melakukan penelitian dan ini tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Berkaitan dengan realita yang terjadi yang saya sebutkan di atas, saya berpikir bahwa metode penelitian di satu masyarakat yang pernah dilakukan Durkheim akan sangat membantu. Saya ingin melandasi pemikiran saya ini dengan kata sambutan dari Prof. DR. IB. Yudha Triguna dalam kata-kata sambutannya di buku Manajemen Konflik Umat Beragama terbitan PKUBDA RI.

Perilaku kagamaan yang berkembang ditengah masyarakat akhir-akhir ini cenderung mengarah ke eklusive; pemahaman dan penafsiran ajaran agama secara tekstual, parsial, dan sepotong-sepotong merupakan ancaman bagi kerukunan hidup umat beragama, dan akhirnya berujung pada konflik horizontal antar umat beragama. (2007; halaman iv)

Metode Brown harus diterapkan apabila satu agama bersinggungan, baik yang positif maupun negatif, dengan agama atau keyakinan lain. Bicara mengenai persinggungan agama-agama atau keyakinan-keyakinan dengan agama-agama atau keyakinan-keyakinan lain, kemampuan untuk menganalisa agama-agama atau keyakinan-keyakinan tersebut secara sistematis sangatlah perlu untuk dimiliki oleh peneliti.

Untuk menjawab ini saya perlu memetakan kemampuan para peneliti namun melihat bahwa saya sendiri baru menginjak semester 1 dari Prodi S2 Antropologi dan berlatar belakang non antropologi, bukanlah tempat saya untuk memberikan komentar mengenai kemampuan para peneliti tersebut. Namun saya ingat pernyataan Mas Heddy di perkuliahannya dua minggu lalu waktu ada seorang mahasiswa yang bertanya bagaimana sistem budaya berbenturan dengan sistem budaya lain, Mas Heddy menjawab, “belum adanya kemampuan untuk beradaptasi dan kemampuan untuk menganalisa secara sistematis.” Dengan kata lain mas Heddy menambahkan adanya ketidaksinkronan antara budaya dan sosial.

Meskipun Brown menyarankan untuk meneliti beberapa agama yang lain, Brown tidak menjelaskan jenis data yang diambil. Apakah data kualitatif, data kuantitatif ataukah data kualitatif dan kuantitatif. Ketidakadaan informasi mengenai jenis data yang dipakai, tentu saja tidak ada informasi mengenai apa yang harus dilakukan pada data yang nantinya diperoleh. Apakah nantinya data-data mengenai agama-agama tersebut dibandingkan, diklasifikasikan dan kemudian ditarik kesimpulan juga tidak dijelaskan dalam tulisan Brown ini.

C. KESIMPULAN

Ijinkan saya untuk menutup makalah ini dengan memberikan ringkasan terhadap apa yang saya kemukakan di atas.

1. Agama memiliki dua fungsi yang satu sama lain sifatnya bertentangan. Fungsi yang pertama adalah mempersatukan sementara fungsi yang kedua adalah memecah belah persatuan.

2. Untuk memahami suatu agama atau keyakinan, pengamatan terhadap peraturan-peraturan yang dihasilkan dan ritual-ritual yang dilakukan perlu dilakukan karena di dalamnya terdapat makna dari agama atau keyakinan tersebut.

3. Pengamatan terhadap suatu agama atau keyakinan perlu didampingi dengan data-data mengenai agama-agama atau keyakinan-keyakinan lain. Hal ini membutuhkan lebih dari satu peneliti untuk dapat melakukannya.

4. Pengamatan terhadap suatu agama atau keyakinan haruslah detil, intensif dan sistematis.

5. Batasan-batasan suatu peraturan kehidupan sosial yang dilandaskan pada suatu agama atau keyakinan perlu dipetakan.

6. Perlunya analisa peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan pemerintah dalam mengatur kehidupan atau hubungan sosial masing-masing agama atau keyakinan.

Dari keenam hal tersebut di atas diperlukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kerjasama sekelompok peneliti dalam penganalisaan agama-agama atau keyakinan-keyakinan yang ada.
  2. Kemampuan peneliti untuk dapat menganalisa secara sistematis suatu agama atau keyakinan.
  3. Kejelian seorang peneliti untuk menentukan jenis data seperti apa yang dibutuhkan.
  4. Suatu aturan atau persepsi yang sama antara peneliti dalam mengolah data-data yang diperoleh.
  5. Dengan hubungannya dengan konteks pembangunan Indonesia, seorang peneliti perlu menilik keterlibatan kelompok-kelompok minoritas dalam menentukan arah pembangunan.

Saya yakin bahwa makalah ini banyak sekali kekurangan dan saya akan sangat berterimakasih apabila makalah ini dikritisi yang nantinya akan menjadi masukan-masukan saya dalam melakukan penelitian.

Referensi

A.R. Radcliffe-Brown. 1952. Structure and Function in Primitive Society,

Routledge & Kegan Paul, London and Henley.

Clifford Geertz. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka

Jaya, Jakarta.

Pusat Kerukunan Umat Beragama Departemen Agama Republik Indonesia.

2007. Manajemen Konflik Umat Beragama, Pusat Kerukunan Umat

Beragama Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.

No comments:

Post a Comment