Saturday, March 6, 2010

Review: “Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural”

There’s a saying: Men are like coffee.The best ones are rich, hot and can keep you up all night. Levi-Strauss fits the last one. He indeed kept me up all night just to finish this task. Hope I did it right.

RINGKASAN, REVIEW DAN KOMENTAR
Kata Pengantar
Kata pengantar ini ditulis oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra. Dimulai dengan ungkapan rasa bahagianya dengan terbitnya terjemahan buku ini, namun di lain pihak dia juga mengungkapkan tidak mudahnya membaca buku ini berdasarkan pada fakta bahwa latar belakang Paz adalah seorang penyair dan filosof. Dalam kata pengantar ini Ahimsa juga mengetengahkan siapa itu Levi-Strauss, landasan pemikirannya, teori – teori yang Levi-Strauss yang dia kemukakan untuk menanggapi kritikan yang dituliskan oleh Paz yang ditujukan untuk Levi-Strauss.
Seolah ingin menegaskan kembali (walaupun kata pengantar ini dituliskan sebelum saya mengikuti perkuliahannya) ungkapan Ahimsa di perkuliahan Epistemologi Antropologi dimana dia mengatakan bahwa seseorang bisa saja berteori namun apabila tidak ada karya tulis atau buku yang dia hasilkan maka teori itu, yang kemudian saya tafsirkan, akan menjadi “hisapan jempol belaka”, Ahimsa memulai dengan menuliskan karya besar yang telah dibuat oleh Levi-Strauss yaitu sebuah buku mengenai sistem kekerabatan yang memiliki judul Les structures elementaires de la parente yang enam bulan setelahnya disusul dengan buku lainnya yaitu Tristes Tropiques yang memdudukkan posisi Levi-Strauss menjadi posisi yang sangat penting dalam dunia antropologi meskipun ada satu hal yang dirasa oleh Ahimsa berbeda dengan tokoh – tokoh antropologi modern lainnya sebelum Levi Strauss adalah pada sedikitnya waktu yang diluangkan Levi-Strauss di lapangan dalam melakukan penelitian. Mengapa saya sebutkan tokoh – tokoh antropologi modern lebih kepada penjelasan Ahimsa sendiri dalam perkuliahan Antropologi Modern dimana Antropologi Modern dimulai oleh Malinowski dengan memiliki perbedaan penting dengan antropologi klasik sebelumnya pada lamanya penelitian, dimana paling tidak lama penelitian di lapangan adalah satu tahun dan digunakannya metode penelitian observasi partisipasi.
Poin – poin berikutnya yang disuguhkan Ahimsa adalah poin – poin penting dari pemikiran Levi-Strauss yang dibahas oleh Paz dalam buku ini.
1. Larangan Insest: Antara Alam (Nature) dan budaya (Culture)
Dikemukakan dalam poin ini, Levi-Strauss memandang bahwa fenomena larangan insest sama dengan fenomena fonem dalam bahasa. Fonem, menurut Levi-Strauss yang dipengaruhi oleh ahli Linguistik Roman Jakobson, dijelaskan dalam kata pengantar ini sebagai berikut:
- “Fonem merupakan unit terkecil yang tidak mengandung makna namun menjadi wahana yang turut menentukan makna” (halaman xvii) yang kemudian saya ringkas menjadi sesuatu yang tidak bermakna tetapi menentukan makna.
- Dikemukakan juga bahwa fonem “berada pada batas antara nature dan culture”. Fonem ada dalam posisi nature karena ada dalam semua bahasa di dunia dan juga berada pada posisi culture karena menentukan makna.
Larangan insest dipandang berada pada batas antara nature dan culture juga dimana fenomena tersebut ada dalam semua masyarakat (nature) dan juga berbeda antara satu suku dengan yang lain (culture) atau dengan kata lain makna yang dihasilkan bisa berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Jelas di sini bahwa Levi-Strauss mengadakan penelitian larangan insest yang ada di berbagai kelompok masyarakat, menganalisanya dan muncul dengan teori tersebut. Dan seperti dalam judul buku ini, “Levi-Strauss Empu Antropologi Struktural”, penting kiranya melihat analisa yang dibuat oleh Levi-Strauss. Ada prinsip penting dalam analisis struktural yang disebutkan Ahimsa di sini yaitu “salah satu prinsip penting dalam analisis struktural adalah melihat sesuatu dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks relasi sintagmatis dan paradigmatis” (halaman xviii).
Pengertian dari konteks relasi sintagmatis dan paradigmatis akan saya ketengahkan berdasarkan pada buku Ahimsa yang berjudul Strukturalisme Levi-Strauss; Mitos dan Karya Sastra. Namun terlebih dulu saya ingin kembali pada fonem yang telah dikemukakan di atas merupakan unit terkecil dari bahasa yang dapat mempengaruhi makna dari sebuah kata, yang dicontohkan oleh Ahimsa adalah beda kutuk dan kuthuk yang merupakan dua kata dalam bahasa Jawa yang berbeda arti karena adanya fonem [t] dan [th]. Bagaimanakah konteks relasi sintagmatis dan paradigmatisnya? “Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam sebuah kalimat” (halaman 47 paragraf 2, Strukturalisme Levi-Strauss) sedangkan konteks relasi paradigmatis menurut Saussure yang dituliskan Ahimsa adalah “hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata lain yang dapat menggantikanya dalam suatu kalimat tanpa membuat kalimat tersebut secara sintagmatis tidak dapat diterima atau tidak bermakna” (halaman 50 paragraf 2, Strukturalisme Levi-Strauss). Dengan kata lain fonem tidak berdiri sendiri tetapi ada dalam konteks relasi. Seperti dalam contoh kutuk dan kuthuk, fonem juga dipandang merupakan kumpulan distinctive features atau ciri pembeda yang hanya bisa dilihat dari relasinya dalam sebuah konteks. Saya akan mencoba melihat contoh lain dalam bahasa Inggris. Kata tough \təf\ dan though \thō\. Jelas ada perbedaan pronunciation atau suara dan juga berbeda makna seperti halnya dengan kutuk dan kuthuk. “Dengan kata lain saat kita mengucapkan sebuah kata yang terwujud dengan suara, akan timbul konsep atau yang saya sebut pemvisualisasian dalam pikiran kita atas apa yang dikandung dalam kata tersebut. Kata yang berbeda akan menimbulkan suara yang berbeda dengan pemvisualisasian yang berbeda pula. Kata yang berbeda akan menimbulkan suara yang berbeda dengan pemvisualisasian yang berbeda pula. Jelas nampak di sini adanya hubungan antara penanda dan tinanda (yang ditandai). Contoh: pada saat seseorang menyuarakan atau mengucapkan kata televisi maka visualisasi akan kata televisi yang ada dalam pikiran saya adalah bentuk tv itu sendiri yang berupa kotak persegi panjang dengan beberapa tombol dan antena(Ringkasan dan Tanggapan untuk Strukturalisme Levi-Strauss tulisan Ahimsa oleh Diyah Perwitosari). Larangan insest juga dipandang merupakan penanda peralihan antara nature dan culture. Jika fonem dikatakan membentuk makna dan menciptakan komunikasi atau pertukaran makna dan informasi, bagaimana dengan larangan insest. Dituliskan oleh Ahimsa bahwa dalam larangan insest terjadi pertukaran wanita dan membentuk masyarakat yang merupakan akibat dari larangan menikah dengan individu dalam lingkaran sosial yang sama. Dan kalai digambarkan menjadi seperti di bawah ini:
Lingkaran Sosial Kerabat A Lingkaran Sosial Kerabat B

garis menunjukkan berpindahnya perempuan dari satu lingkaran ke lingkaran
lain karena menikah dengan laki – laki di luar lingkaran sosialnya.
Dari gambar tersebut terlihat adanya pertukaran dimana perempuan di lingkungan sosial
kerabat A berpindah ke lingkaran sosial kerabat B dan perempuan dari lingkungan sosial
kerabat B berpindah ke lingkaran sosial kerabat A.
Jenis pernikahan seperti ini disebut Eksogami (yang berkaitan erat dan saling melekat satu sama lain dengan larangan insest itu sendiri), http://organisasi.org/macam-jenis-bentuk-perkawinan-pernikahan-poligini-poliandri-endogami-eksogami-dll, adalah perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Lalu apa makna insest itu sendiri? Terlebih dahulu perlu diperhatikan bahwa Levi-Strauss memandang makna sebagai “fungsi”. Makna insest menurut Levi-Strauss, yang kemudian dikritik oleh Paz, adalah prinsip timbal balik dimana di dalamnya terdapat aturan pertukaran wanita. Paz berpikir bahwa dengan teori tersebut Levi-Strauss belum menjawab asal muasal dan keuniversalan (sisi natural) dari fenomena larangan insest yang kemudian segera disanggah oleh Ahimsa dengan mengutarakan bahwa Levi-Strauss tidak berusaha untuk mencari tahu asal muasal dari larangan insest tersebut karena mencari tahu asal muasal larangan insest adalah seperti mencari tahu asal muasal bahasa. Arti insest bagi Paz sendiri adalah kerja bawah sadar dari pikir/budi manusia yang dalam dirinya sendiri tidak mempunyai dasar. Lebih lanjut diketengahkan oleh Ahimsa bahwa mengetahui fungsi larangan insest sekaligus mengetahui nilai dari larangan insest tersebut yaitu kelompok manusia saling berkomunikasi melalui wanita – wanitanya sehingga membentuk masyarakat (untuk membedakan manusia dengan binatang) dan adanya saran untuk melihat arti dari suatu fenomena dengan melihat dari fungsinya bukan dalam arti material ataupun biologis.
Seperti telah diungkapkan di atas bahwa larangan insest melekat erat dengan pernikahan eksogami layaknya dua sisi mata koin, Ahimsa mengajak pembaca untuk berbicara mengenai perkawinan dan sistem kekerabatan itu sendiri. Strukturalisme identik dengan model dan struktur dan hal tersebut, pada era dimunculkannya Strukturalisme oleh Levi-Strauss, dirasa asing oleh para positivistis yang lebih kepada data empiris, verifikasi dengan metode statistik. Pandangan Levi-Strauss mengenai perkawinan dianggap oleh Paz menghilangkan ciri perkawinan sebagai pengenah antara renunsiasi dan promiskuitas sehingga terbentuk lingkaran tertutup dan legal dimana permaian erotis boleh berkembang (hal xxiv). Ahimsa berpikir bahwa Paz memandang perkawinan tersebut dari perspektif fenomenologi yang berakibat pada dibawanya peneliti pada sisi subyektif dan relatif perkawinan serta hilangnya sisi keilmiahannya. Dari uraian Ahimsa ini, saya berpikir dia seperti ingin mengutarakan bahwa Strukturalisme berada antara Positivisme dan Fenomenologi. Dan nampak bahwa Strukturalisme Levi-Strauss ini, yang merupakan kritisi Levi-Strauss kepada kaum positivistis dan fenomenologi, mendapatkan kritikan baik dari kaum positivistis maupun fenomenologi. Lalu apa yang dikatakan oleh Levi-Strauss mengenai perkawinan itu sendiri? Levi-Strauss berpendapat bahwa perkawinan adalah persatuan antara pria dan pria dan yang dipertukarakan adalah perempuan yang kemudian mengubah pemahaman akan kinship yang sudah ada sebelumnya dimana didalam kinship hanyalah ada ayah, ibu dan anak. Menurut Levi-Strauss, pemahaman yang ada sebelumnya mengenai kinship gagal menjelaskan perilaku dan menjelaskan terbentuknya suatu keluarga. Dari penjelasan Ahimsa ini saya bisa memahami bahwa Levi-Strauss memang tidak berusaha untuk mencari asal muasal insest tapi dia mencari tahu asal muasal terbentuknya suatu keluarga dan saudara laki – laki ibu pun digambarkan dalam atom kekerabatan. Konsep persatuan, atau bertemunya, para pria dari lingkungan sosial lain menunjukkan hubungan anak dengan bapak, anak dengan saudara laki – laki ibu dan pertukaran wanita itu sendiri.
Levi-Strauss menganalisa dengan metode analisa linguistik struktural pranata perkawinan, larangan insest, perilaku kekerabatan serta pranata pertukaran dalam kehidupan manusia. Levi-Strauss menganalisa mite yang ada dalam beberapa lingkaran sosial dengan berlandaskan teori linguistik yang menyebutkan kalimat dalam suatu wacana sirkular, suatu discourse yang secara konstan mengubah arti, perulangan dan variasi. Mite adalah fenomena bahasa yang menyampaikan pesan dan seperti bahasa mite juga memiliki aspek langue dan parole atau memiliki struktur dan wujud dalam kehidupan sehari – hari. Pemahaman saya, berdasarkan kata pengantar ini, akan langue dan parole adalah
Langue
Parole
Struktur – struktur yang membentuk sistem
Statistikal (dalam kehidupan sehari-hari)
Tetap
Tidak tetap
Reversible
Non-reversible
Meskipun demikian mite juga berbeda dengan bahasa dalam artian:
  1. Mite memiliki sifat reversible dan non-reversible
  2. Isi dan susunan cerita yang khas yang tidak terpengaruh bahasa yang digunakan sehingga mite dipandang sebagai bahasa itu sendiri.
Hipotesa untuk analisis struktural terhadap mite adalah:
- Mite terbangun dari satuan – satuan tertentu
Mite berada di antara simbol dan tanda. Pengertian symbol di sini adalah segala ssuatu yang diberi makna dan tanda dipandang mempunyai nilai yang dapat dilihat pada saat diletakkan dalam sebuah konteks.
- Unit – unit mite berada pada tatanan yang lebih tinggi dan kompleks
Mite memiliki ceriteme – ceriteme (istilah yang digunakan Ahimsa untuk menunjukkan unit – unit dalam mite yang mengambil bentuk cerita – cerita), sebagai unit terkecil dalam bentuk kalimat – kalimat atau kata – kata. Dan sekali lagi perbedaan mite dengan bahasa adalah pada bahwa fonem tak bermakna namun bernilai sedangkan ceriteme, yang dipandang sebagai simbol, memiliki makna referential dan juga memiliki nilai.
Selain kritisi Levi-Strauss terhadap kaum positivistis dan fenomenologi, Levi-Strauss juga mengkritisi pemahaman orang barat yang menganggap logika masyarakat sederhana berbeda dengan logika masyarakat modern. Levi-Strauss melihat persamaan itu dalam bentuk totemisme (untuk masyarakat sederhana) dan agama (untuk orang modern). Dipaparkan oleh Ahimsa bahwa menurut Levi-Strauss totemisme adalah suatu bentuk sistem klasifikasi dengan menggunakan sarana atau konsep-konsep yang diambil dari lingkungan alam atau yang kemudian disebut dengan istilah science of the concrete perbedaan dengan masyarakat modern adalah pada sarananya. Masyarakat sederhana mengkateogrisasikan apa yang ada di alam untuk menyampaikan ide abstrak sedangkan manusia modern memulai dengan merencanakan terlebih dahulu, kemudian mencari alat dan bahan yang diperlukan. Levi-Strauss merasa sudah ada kesalahan dalam konsep totemisme itu sendiri yang kemudian pasti lah anggapan akan totemisme itu sendiri akan salah. Ada satu pernyataan bahwa totemisme tidak melulu religi (halaman xIii).
Dalam penutup kata pengantarnya, Ahimsa mengutarakan bahwa Strukturalisme merupakan epistemology baru dengan landasan pemikiran dan cara analisisnya yang baru dengan menggabungkan asumsi – asumsi filosofis, dam model serta konsep linguistik. Disebutkan keinginan akan antro agar menjadi ilmiah dan obyektif, semakin jelas filsafatnya dan dilakukannya studi perbandingan dalam mempelajari manusia secara mendalam. Di sini saya menangkap ke positivistisan Strukturalisme yang ingin mempertahankan keilmiahan dan keobyektifitasan suatu penelitian, studi perbandingan dan mungkin mempelajari manusia secara mendalam merupakan kefenomenologian dari Strukturalisme.
BAB 1 METAFOR GEOLOGIS. PERSATUAN VERBAL DAN PERSATUAN SEKSUAL: NILAI,
TANDA, WANITA
Paz juga memulai dengan buku – buku Levi-Strauss yang ia baca seperti yang telah disebutkan Ahimsa dan memandang bahwa buku – buku Levi-Strauss memiliki tiga sisi arti yaitu antropologi, filosofis dan estetis. Dipandang oleh Paz bahwa Levi-Strauss menggunakan linguistik struktural berangkat dari gagasan – gagasan Mauss.
Relasi
Mauss, dalam kaitannya dengan teori Durkheim atas fungsionalisme strukturalisme, menyatakan bahwa “setiap fenomen memiliki ciri-ciri khasnya sendiri dan bahwa “fakta sosial total”nya Durkheim itu terdiri atas serangkaian tataran yang saling tumpang: tiap fenomen, tanpa kehilangan keunikannya, mengacu pada fenomena lainnya” (halaman 5).
Tanda dan Penanda
Mauss juga berbicara mengenai pemberian tanda dimana “pemberian tanda itu bersifat timbal-balik (resiprokal) dan melingkar (sirkular)” (halaman 6) yang kemudian diperjelas oleh Malinowski dengan teori fungsinya: “benda – benda dan institusi (pranata, lembaga) adalah tanda – tanda bagi fungsi” (halaman 7).
Larangan Insest
“Tidak ada tujuan lain dari tabu insest kecuali memungkinkan sirkulasi perempuan dan dalam hal itu tabu insest sejajar dengan kewajiban untuk member, sebagai yang dikaji oleh Mauss” (halaman 14)
Catatan:
Saya tidak begitu memahami apakah di sini artinya Mauss mengkaji dan menyetujui pemikiran Levi-Strauss ataukah Mauss telah mengkaji tujuan dari larangan insest dan keluar dengan teori tersebut sebelum Levi-Strauss menyatakannya.
Orisinalitas Levi-Strauss, menurut Paz, adalah pada
1. Cara Levi-Strauss memandang struktur itu sendiri. Levi-Strauss “memandang struktur bukan semata – mata fenomen yang bersumber pada asosiasi manusia melainkan “suatu sistem yang tunduk dan ditentukan oleh kohesi internal ... tersingkap dalam kajian mengenai transformasi yang memungkinkan ditemukannya kembali ciri – cirri yang sama dalam sistem – sistem yang kelihatannya berbeda – beda” (halaman 7).
2. Pandangan Levi-Strauss akan bawah sadar yang menurutnya bukanlah sesuatu yang irrasional atau sekadar fungsional.
Dalam kaitannya dengan tanda yang ada dalam tabu insest disebutkan oleh Paz bahwa Levi-Strauss mengatakan wanita merupakan tanda yang ada dalam fenomena larangan insest. Dan dalam bab ini, Paz mempertanyakan mengenai arti-dari-arti yang dia ungkapkan dengan dalam kaitannya dengan sebuah teori yang menyatakan bahasa member saranan tutur yang kemudian dia bertanya apa arti dari tutur itu sendiri dan yang kemudian ditanggapi oleh Levi-Strauss dengan “yang kita hadapi adalah kerja bawah sadar dari pikir/budi manusia yang dalam dirinya tidak mempunyai dasar kendati bukannya tidak memiliki kegunaan”.
BAB II SIMBOL, METAFORA, DAN EVAKUASI, POSISI DAN ARTI. ASIA, AMERIKA DAN EROPA. TIGA TRANSPARENSI: BIANGLALA. RACUN, DAN MUSANG. SPIRIT: SESUATU YANG BUKAN APA – APA.
Seperti yang telah dikemukakan Ahimsa bahwa Levi-Strauss menganalisa mite, di sini Paz juga mengungkapkan bahwa Levi-Strauss menganalisa mite. Sudah banyak diutarakan Ahimsa pada kata pengantarnya mengenai analisa struktural Levi-Strauss pada mite, dan sekali lagi Paz mempertanyakan mengenai arti-dari-arti ketika berhadapan dengan analisa struktural Levi-Strauss terhadap mite. Di sini diketengahkan analisa struktural mite yang dilakukan Levi-Strauss dalam bentuk tabel dan cara membaca tabel tersebut dari kanan ke kiri dan dari atas ke bawah. Sebelumnya Paz mengetengahkan langkah- langkah yang diambil Levi-Strauss:
  1. Menghimpun sebanyak mungkin versi kisah Oedipus
  2. Menuliskan mitem – mitem pada kartu dan menyusunnya dalam larik dan kolom
Yang kemudian dijelaskan oleh Paz bahwa mitem itu merupakan ekspresi-konkret untuk suatu fungsi relasional
Dari tabel dan analisa struktural Levi-Strauss, Paz mengungkapkan adanya pemaduan dua hal yang kontradiktif dan menyadari bahwa strukturalisme tidak berupaya menjelaskan sejarah serta menyetujui teori bahwa mite merupakan kerja mental yang bertumpu pada logika yang sama dengan mite – mite lain.
Tentang mite, dalam bab ini dan beberapa bab lain ada beberapa teori megenai mite yang dikeluarkan oleh Paz:
  1. mite menimbulkan mite; oposisi, permutasi, mediasi, dan oposisi baru. Setiap solusi ‘sedikit berbeda” dari solusi sebelumnya sehingga mite “bertumbuh seperti spiral””. (halaman 28)
  2. ”arti suatu mite adalah mite lain” (halaman 28)
  3. “Mite adalah suatu kalimat dalam sebuah wacana yang melingkar, suatu wacana yang terus menerus mengubah artinya: perulangan dan variasi” (halaman 28 – 29)
  4. “Mite – mite saling berkomunikasi sesama mereka melalui manusia sebagai sarananya, dan tidak sepengetahuan manusia” (halaman 29)
  5. Wacana mitis sesungguhnya dari mite tidaklah dapat diterjemah (halaman 30)
  6. “Tema sesungguhnya semua mite ini adalah oposisi antara kultur dan natur ...” (halaman 37).
  7. “Mite mengulang dirinya sendiri, melahirkan kembali dirinya” (Bab III, halaman 44)
  8. “Musik dan Mite “bekerja dalam suatu kontinum rangkap yaitu yang eksternal dan internal” (Bab III, halaman 46)
  9. ”Mite adalah bagian dari fungsi puitik: mite adalah “benda verbal” dan oleh sebab itu menggunakan kunci linguistik”
Paz juga menyadari adanya keuniversalan penalaran atau logika manusia yang dia ketengahkan pada halaman 34, “spirit manusiawi yang di segala tempat dan waktu tunduk pada hukum – hukum yang sama.”
BAB III INTERMESO DISONAN. PEMBELAAN BAGI CINDERELLA DAN PENYIMPANGAN LAIN. SEGITIGA VERBAL: MITE, EPIK, SAJAK.
Saya tidak akan mengetengahkan mengenai analisa Cinderella serta epik yang dianggap sebagai penengah antara oposisi biner antara sajak dan mite, namun saya akan mengetengahkan teori – teori besar yang melandasi analisa dan teori mengenai epik tersebut. Teori kedelapan mengenai mite oleh Paz pada halaman 46 pada bab ini dijelaskan lebih lanjut.
“Kontinum eksternalnya berupa suatu runtunan kejadian historis yang secara teoretis tak terbatas, dan dari runtunan itulah setiap masyarakat mengambil sejumlah peristiwa” (halaman 46) sedangkan kontinum internalnya dijelaskan sebagai berikut, “kontinum internal didasarkan pada waktu psiko-fisik pendengar. Panjang dongeng, perulangan kemunculan tema, kejutan, paralelisme, asosiasi dan pembagian semuanya itu memancing – mincing reaksi mental serta jasmani khalayak: interes menjadi vital” (halaman 47).
Paz juga mengetengahkan perbedaan antara musik dan mite pada struktur verbal dan nonverbal. Paz berpendapat musik memiliki struktur nonverbal sedangkan mite memiliki struktur verbal. Keuniversalitasan keduanya dipandang dari pesan atau amanat yang disampaikan. Amanat verbal dari mite dipandang paz mencakup dua kegiatan yaitu seleksi dan kombinasi. Sejalan dengan pendapat Levi-Strauss, Paz juga menyatakan, “unit minimal mite ialah frase atau kalimat yang merupakan kristalisasi buhul – buhul hubungan” (halaman 56).
Selain mengetengahkan perbedaan mite dan musik, Paz juga mengetengahkan perbedaan mite dengan sajak, ilmu dan filsafat. Dia berpendapat:
“Mite bukanlah sajak, bukan ilmu, dan bukan juga filsafat, meski memiliki koinsidensi dengan ketiganya. Koinsidensinya dengan sajak adalah dalam hal prosedurnya (fungsi putik). Dengan sains, koinsidensi mite adalah dalam hal logikanya. Dengan filasafat, koinsidensi terletak pada tujuannya yaitu mengajukan gagasan tentang semesta
Lalu perbedaannya apa?, dengan pemahaman cekak saya berdasarkan pada uraian Paz:
Puisi mengandung makna plural, sains, dalam hal ini matematika, tanda lebih mudah diganti-ganti dan filsafat lebih pada tataran konsep.
BAB IV KUALITAS DAN KONSEP: DUA SERANGKAI DAN PASANGAN, GAJAH DAN HARIMAU. GARIS LURUS DAN LINGKARAN. PEDIHNYA KEMAJUAN. MENELAN–CERNA, MENGUBAH–TUKAR, MEMAKSA-ENYAH. AKHIR ZAMAN KEEMASAN, DAN AWAL-MULA TULISAN.
Adanya persamaan logika pemikiran masyarakat primitif dan modern diulas lebih lanjut oleh Paz pada bab ini.
1. Dengan menggunakan contoh Paz yaitu herbalis Australia dan ilmuwan Eropa yang kedua-duanya merumuskan bahwa “yang ini seperi itu atau ini tidak seperti itu” (halaman 60).
2. Disebutkan oleh Paz bahwa “taksonomi masyarakat primitf tidaklah mistikal atau irasional. Sebaliknya metodenya tidak berbeda dengan metode computer: pada dasarnya adalah matriks-matriks relasional” (halaman 61).
3. Menetapkan suatu relasi antara penanda dengan petanda atau istilah Ahimsa adalah tinanda
4. Persamaan metode pengintegrasian oposisi biner
Perbedaan antara kedua masyarakat tersebut adalah:
Masyarakat Primitif
Masyarakat Modern
Presisi, ke-eksak-an dan kesempurnaan penalaran
Presisi, ke-eksak-an dan kesempurnaan peralatan
Merasa dirinya bagian dari alam dan mengungkapkan persaudaraanya dengan spesies hewan tertentu
Ke-tiada-dua-an dan ekslusivitas spesies manusia sebagai satu – satunya yang memiliki sejarah sekaligus mengetahui sejarahnya sendiri
Mengkateogrisasikan apa yang ada di alam untuk menyampaikan ide abstrak
Merencanakan terlebih dahulu, kemudian mencari alat dan bahan yang diperlukan
Dalam bab ini Paz juga berbicara mengenai totemisme dan kasta yang dipandangnya sebagai “kerja suatu struktur mental yang bersifat bawah-sadar dan kolektif serta berjalan menurut metode kombinasi antara pertentangan (oposisi) dan kemiripan (similaritas)” (halaman 63). Menurut Paz Kasta dan totemisme merupakan ungkapan dari sebuah modus operandi universal yang bersumbu pada relasi antara yang terindera dengan yang terpikirkan, yang khusus dan yang universal, yang konkret dan yang abstrak dan kemiripannya ada pada pemikiran bahwa kemarin dan besok sama saja; akhir identik dengan awal. Namun, seperti disebutkan adanya penengah antar oposisi biner, di sini Paz mengetengahkan lagi teorinya tersebut. Menurut Paz kasta adalah penengah, perantara (mediasi) antara totemisme dengan sejarah berdasarkan pada landasan pemikirannya bawah semua masyarakat primitf berusaha menyingkirkan sisi historisnya. Kasta berkaitan erat dengan pengelompokkan – pengelompokkan yang dianalogikan sama dengan pengelompokkan tumbuhan atau binatang ke dalam ordo, spesies, famili yang berbeda – beda. Namun tidak seperti binatang yang tetap pada ordo, spesies dan familinya, dalam kasta seseorang dalam berpindah dari satu golongan ke golongan yang lain tidak halnya dengan totemisme yang dipahami oleh Paz. Namun Ahimsa dalam kata pengantarnya menyuguhkan suatu teori mengenai totemisme yang dapat dijadikan sebagai tandingan teori Paz tersebut. Pada halaman xIii disebutkan:
Sesuatu disebut totemisme bila:
- Suku atau kelompok yang terdiri dari kelompok – kelompok totem dari semua populasi dimana masing – masing kelompok memiliki hubungan tertentu (hubungan totemik dimana tidak saling menikahi, aturan mengenai makanan, penggunaan istilah, bendera, perilaku pada obyek totemik) dengan sekumpulan obyek totem baik yang hidup maupun tidak
- Hubungan kelompok sosial dan obyeknya adalah sama
- Anggota kelompok sosial tidak bisa mengubah keanggotaannya kecuali dalam kondisi tertentu misalnya untuk adaptasi
Sepertinya dalam bab ini, Paz ingin berargumentasi mengenai perlunya analisa sisi historis suatu fenomena dengan berbicara mengenai progress yang menurut saya sangat memuat unsur historis. Dia menggarisbawahi apa yang telah dilakukan Levi-Strauss berkenaan dengan progress. Paz menilau bahwa Levi-Strauss telah menunjukkan “bahwa progress bukanlah suatu hokum historis universal dan bukan pula tolok-ukur nilai yang dapat diberlakukan pada semua masyarakat”. Menanggapi teori Levi-Strauss tersebut Paz menyatakan bahwa “progress merupakan suratan historis kita; hal yang sewajarnya ialah bahwa kritik kita adalah kritik terhadap progress, “kemajuan” itu”” (halaman 76) dan yang kemudian pembicaraan menjadi meluas kepada permasalahan kekuasaan hingga pada penulisan sebuah buku adalah di”matikannya” dialog antar orang.
BAB V PRAKTEK DAN SIMBOL. YA ATAU TIDAK, DAN LEBIH ATAU KURANG, KETAKSADARAN MANUSIA DAN TAKSADARAN MESIN. TANDA – TANDA YANG SALING MENGHANCURKAN: TRANSFIGURASI. TAXILA.
Dalam bab ini banyak dilontarkan kritik – kritik dari para antropolog yang ditujukan kepada Levi-Strauss. Pengaruh Jakobson pada Levi-Strauss ditegaskan lagi dalam hal bahwa dalam bahasa tidak ada hak-milik pribadi, semuanya disosialisasikan, Levi-Strauss berpendapat bahwa masyarakat sebagai suatu sistem komunikasi yang kemudian tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Paz namun saya pikir pasti Paz melandaskannya pada larangan insest di mana aturan – aturan mengenai mereka sendiri disosialisasikan kepada kelompok lain. Paz mengutarakan keraguannya akan kemampuan Levi-Strauss dalam menjawab atau berhadapan dengan teori yang memandang budaya sebagai suatu cerminan sederhana dari relasi – relasi materi pada alasan bahwa hasil – hasil analisa Levi-Strauss masih terbatas pada masyarakat – masyarakat historis.
Terkait dengan pernyataannya di awal bab ini yang mengungkapkan bahwa Levi-Strauss memaklumkan diri sebagai murid Marx, Paz melihat adanya perbedaan antara Levi-Strauss dan Marx dalam hal relasi antara praxis dengan pikiran.
Levi-Strauss
Marx
- Praktik: ranah etnologi, superstruktur
- Praxis: ranah sejarah
- Dijembatani oleh kerangka konseptual
- Praxis hanya dapat diangankan jika ia ada sebelum pikiran, tersamar sebagai objektif psike dan otak.
- pengutamaan ihwal kimiawi hayati
- Praxis dan pikiran bukan dua utuhan yang masing – masing berdiri sendiri dan keduanya tidak terpisahkan
- Konsep historis mengenai materi
- Dunia indrawi adalah dunia praxis: dunia benda yang dibentuk dan disosok serta diubah oleh kegiatan manusia
- Fungsi praxis: memodifikasi alam secara historis
- Pengutamaan hal – hal historis
Sekali lagi dalam bab ini, Paz mengetengahkan kegelisahannya mengenai historis yang menurutnya dihilangkan oleh Levi-Strauss dan dia melanjutkannya dengan memperlihatkan letak perbantahan Levi-Strauss dan Sartre yang bersumber pada masalah historisme.
Levi-Strauss
Sartre
- Penalaran yang bergerak
- Gerak penalaran: gerak yang mengubah penalaran dan membelokkannya sehingga berhasil menjadi suatu corak penalaran lain.
Pertentangan antara penalaran analitis (penalaran yang tidak dapat memahami dan menghakimi penalaran dialektis) dan penalaran dialektis (menegasikan, menyangkal penalaran analitis) adalah sesuatu yang nyata, karena bersifat historis
Di lain pihak Paz juga menyatakan bahwa, baik Sartre maupun Levi-Strauss, keduanya telah mengubah pengertian tentang praxis Marx membuat mereka berdua menjadi pemikir paruh kedua abad ini, dengan perbedaan pada tujuan dan pandangan mengenai sejarah.
Levi-Strauss
Sartre
Demi mengutamakan suatu alam yang di luar sejarah
Demi menjunjung dialektika yang sepenuhnya bersifat historis semata
Sejarah adalh suatu kategori penalaran
Penalaran merupakan suatu kategori historis
Kritik lain yang diarahkan pada Levi-Strauss diambil Paz dari pernyataan Leach:
- alat analitis yang ampuh namun mengandung kelemahan serta kerugian tertentu. Salah satu kelemahan itu ialah bahwa alat analitis itu cenderung sewenang melecehkan arti dari soal – soal yang terkait dengan nilai (halaman 92).
- Levi-Strauss menunjukkan pada kita logika kategori religious, dan serentak dengan itu dia justru mengesampingkan segi – segi fenomen yang khas religius itu.
Kembali lagi Paz mengkritisi landasan metode Levi-Strauss yang tidak disinggung oleh Leach yaitu pada keuniversalan teori komunikasi yang diketengahkan Levi-Strauss meskipun pada awal bab ini Paz telah mengemukakan bahwa Levi-Strauss terpengaruh oleh Jakobson yang merupakan salah satu ahli bahasa.
Komentar:
Apakah itu merupakan alasan Paz untuk tidak memperuncing pembahasan mengenai pengaruh teori Jakobson, bahasa sebagai alat komunikasi yang selalu disosialisasikan, pada Levi-Strauss di awal bab ini ataukah dia mempertanyakan teori masyarakat sebagai sistem komunikasi itu sendiri? (atau terjemahannya tidak tepat? ... entah lah!!!)
Pembaca pun kemudian di bawa oleh Paz untuk kembali pada unconscious dan subconscious yang oleh Paz, Levi-Strauss telah mengajukan ciri pembeda satu – satunya di antara keduanya.
Unconscious (tak-sadar)
Subconscious (bawah-sadar)
Selalu kosong melompong, semacam ruang yang menerima denyut – denyut, denyar – denyar emosi, representasi, rangsang – rangsang lain dari luar dan ia menata serta mentransformasikan semuanya itu. Contoh: apa yang dilakukan perut terhadap makanan yang masuk dan lewat di dalamnya
Gudang timbunan citra dan ingatan, kenangan dan adalah suatu aspek dari ingatan.
Teori Levi-Strauss mengenai unconscious dan subconscious ini diletakkan oleh Paz berbeda dengan konsepsi alam-tak-sadar Marx dan Freud “dimana manusia mencapai pengetahuan tentang suatu ketaksadaran yang aktif, yang terikat pada satu tujuan, sedangkan Levi Strauss, manusia merenung – renung suatu alat yang tidak mengenal kegiatan apapun juga selain mengulang dan itu pun tanpa tujuan”. (halaman 99). Paz, selain menunjukkan perseberangan teori – teori Levi-Strauss dan ahli antropologi lain, juga menunjukkan adanya kemiripan antara sistem Kant dan Levi-Strauss yang ditemukan oleh Riceour dimana kedua – duanya merumuskan pemahaman universal yang diatur oleh kaidah – kaidah dan kategori – kategori yang tidak berubah – ubah. Dan sekali lagi walaupun menunjukkan kemiripan, Paz juga menunjukkan perbedaan – perbedaan yang ada antara Kant dan Levi-Strauss.
Levi-Strauss
Kant
Membaurkan dan menghablurkan pemahaman dengan/dalam alam
Berupaya untuk menyingkap batas – batas pemahaman
Menghapuskan pemilahan subyek dan obyek
Adanya subyek dan obyek
Paz bisa saja mengkritisi landasan metode analitis struktural Levi-Strauss, namun pada halaman 101 dia pada akhirnya berkesimpulan dan mengutarakan pernyataan – pernyataan seperti di bawah ini:
.
1. “dengan cara reduksi berantai dan keras-ketat, Levi-Strauss menyusuri jalur filsafat modern; hanya saja dia menempuh arah yang berlawanan lalu tiba pada simpulan – simpulan yang persis bertolak belakang dengan filsafat modern itu”.
Paz memetakan adanya tiga “jurus” yang dimiliki Levi-Strauss dalam strukturalisme:
  • Levi-Strauss mereduksi pluralitas masyarakat dan sejarah menjadi suatu dikotomi yang meliput-cakup serta melarut-lumatkannya, yaitu dikotomi antara pemikiran primitive dan pemikiran adab
  • Mengoposisikan alam dan budaya, natur dan kultur
  • Menyingkap kesamaan antara alam dan budaya
  1. Struktur bukan sesuatu yang historis melainkan alami, dan didalamnya terkandunglah sifat-hakekat manusia. Sifat hakekat manusia merupakan sebuah concerto, suatu harmoni, suatu proporsi.
Lalu bagaimana dengan pertanyaan Paz mengenai arti-dari-arti?
Mengambil dari jawaban Levi-Strauss kepada Pierce, Paz mengetengahkan jawaban Levi-Strauss akan pertanyaannya ini: “arti” dan “bukan apa – apa” adalah sama belaka. Yang kemudian ditanggapi Paz dengan pernyataan “mereduksi dunia menjadi arti adalah sama absurdnya dengan mereduksinya indera-mengindera saja.”
Buku yang sangat menyenangkan untuk dibaca. Sebuah buku yang penuh dengan “emosi” paz terhadap strukturalisme Levi-Strauss yang dia suguhkan dengan mengetengahkan pertentangan – pertentangan teori – teori Levi-Strauss dengan pendahulunya dan diakhiri dengan tanggapan akhir Paz yang sangat membuat saya “terhibur” setelah membaca buku ini selama beberapa hari dan meringkasnya kembali semalam suntuk..

No comments:

Post a Comment