Tuesday, July 16, 2013

Poin - Poin Utama (Menurut Saya) dalam “Slaves, Brides and Other ‘Gifts’: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia”

Sumber: Hoskins, Janet. 2004. “Slaves, Brides and Other ‘Gifts’: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia.” Slavery and Abolition 25 (2)(August 2004): 90-107.

Saya berpendapat bahwa bahan penelitian dari daerah Timur Indonesia dapat membantu kita untuk melihat pertukaran dalam perkawinan dan perbudakan dengan kerangka berpikir yang baru, dengan menekankan kesamaan dan sifat koersif dari pertukaran. Pengantin wanita berada di antara sistem kekerabatan dan perbudakan (dengan cara yang agak berbeda dengan pengantin laki-laki) dan antara sebagai “hadiah” dan “komoditas”. 
  

KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA:
Koersif: bersifat atau berkenaan dengan koersi
Koersi: bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan dengan menggunakan tekanan sehingga salah satu pihak yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibandingkan dengan pihak lawan

1) Khususnya sistem pernikahan yang menyediakan ‘kepastian’ atas sistem tingkatan di seluruh wilayah bagian timur Indonesia, dan kemungkinan juga di masyarakat Asia Tenggara dimana beberapa bentuk perkawinan dan afiliasi diberi keistimewaan, dan (2) bahwa posisi budak dan orang – orang yang diangkat menjadi anggota keluarga dinilai dari kemampuan mereka untuk menikah beserta sumber dan ketersediaan pembayaran yang akan dipertukarkan dengan budak dan orang – orang tersebut.

Pernikahan adalah arena utama dimana permainan status sosial ini dimainkan

Aturan untuk membedakan budak yang menjadi barang “dagangan” dari pengantin yang tidak “diperdagangkan” membawa ke fokus pengertian lembaga secara budaya.

Budak dan pengantin perempuan – dalam masyarakat patrilineal – dianggap sebagai “makhluk asing” (orang luar) yang secara parsial dimasukkan ke dalam kelompok keturunan yang sudah ada, dan keduanya dapat memberikan keturunan yang statusnya harus dinegosiasikan melalui pertukaran barang – barang berharga. Keturunan dari pengantin perempuan yang mas kawinnya tidak dibayar berafiliasi melalui garis keturunan ibu. Keturunan dari para ata bisa menggunakan istilah kekerabatan yang menggambarkan bahwa ayah biologis mereka merupakan anggota dari rumah majikan mereka, namun mereka dianggap hanya sebagai ‘anak dalam rumah’ (ana uma dalo) kecuali mereka secara resmi diadopsi oleh salah satu istri ayah maramba mereka.

Perbudakan adalah lembaga adat yang begitu tertanam dalam karakter orang Sumba sehingga akan  sulit untuk memberhentikannya secara tiba-tiba. Suatu kekuatan penguasa tergantung pada kekuasaannya atas budak, yang tenaga kerja untuk budidaya sawah dan yang mana statusnya ditandai dengan ritual dan subordinasi hukum

Peringkat budak harus dibahas di arena pernikahan, tapi hampir tak terlihat di sebagian besar konteks lain
Pernikahan merupakan setengah jalan menuju perbudakan sementara setengah jalan lainnya menuju ke luar dari perbudakkan.

Istri adalah ‘dibeli’ dan bukannya ‘dijual’. Istri pada awalnya sebagai barang komoditas (hak – hak yang dimiliki perempuan ditukar dengan barang – barang berharga yang setara dengan hak – hak mereka), namun pada akhirnya dianggap sebagai sebuah hadiah dengan menihilkan pembayaran awal dengan kontra-pembayaran yang setara.

Bagi orang Sumba, mas kawin merupakan hipotek - kewajiban abadi tetapi juga menjadi sumber abadi kredit tambahan. Kesamaan dari tahap-tahap awal negosiasi pernikahan dengan transaksi komersial terletak pada pertukaran yang (dinilai) setara - jika selalu berbeda - hadiah, serta adanya kasih sayang dan ikatan yang mendalam diantara kedua kelompok yang terlibat.

Budak berbeda dengan pengantin karena mereka dinilai 'tanpa keluarga'.

Ketika keluarga pengantin wanita menghidupkan kembali isu awal dari hubungan antara komoditas ('harga hewan') dan hadiah (kekayaan ditransfer sebagai tanda hormat dan nilai) merupakan titik kritis. Mereka berpendapat bahwa kedua keluarga akan direndahkan jika kekayaan yang dialihkan terlalu kecil, dan hanya dengan menyetujui pembayaran timbal balik yang cukup besar kehormatan kedua belah pihak bisa di’amin’i.

Pengeluaran akan pembayaran atas aliansi akan dikembalikan dari waktu ke waktu, sehingga pembayaran di awal yang (dinilai) memberatkan dalam bentuk kerbau dan kuda akan kembali tidak hanya dengan pemberian kembali dalam bentuk kain namun juga nantinya dalam bentuk babi, pinjaman uang, penggunaan lahan, dan layanan lainnya.

Kehormatan putrinya akan dinodai apabila sejumlah kain tidak disertakan pada saat putrinya diserahkan, dan hal tersebut merupakan penghinaan terburuk, karena tanpa sejumlah kain yang menyertainya berarti anak perempuannya diserahkan dalam keadaan “telanjang”.

Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan dalam keadaan telanjang' karena ia memiliki seorang ayah dan saudara-saudara yang akan mempertahankan siklus pembayaran yang sesuai. Gadis budak 'diberikan dalam keadaan telanjang', karena ‘harga’ awalnya tidak dapat dilunasi dengan kontra-pembayaran yang nantinya akan secara dialektika mempengaruhi persepi dan mentransformasi pertukaran jauh dari komoditas dan hadiah.

Perundingan pernikahan yang dipenuhi oleh “harap-harap cemas” akan peringkat dan prestise, yang tampil dalam retorika tentang kehormatan keluarga. merupakan bagian dari skenarionya keluarga pengantin pria untuk selalu setidaknya berpura-pura terkejut pada saat dimintanya sejumlah ternak dan keping emas, hal itu juga merupakan bagian dari naskah keluarga pengantin wanita untuk mengingatkan pihak keluarga pria akan adanya keuntungan bersama yang akan didapat dari biaya  pembayaran perkawinan yang tinggi. Sebuah tampilan pidato indah dan gerakan kekayaan dari kedua belah pihak akan menarik pujian dan kekaguman dari penonton, dan bahkan mungkin mengguncang seluruh wilayah dengan pengaturan kembali secara sosial yang (dinilai) penting.

Retorika perundingan perkawinan menunjukkan betapa kehormatan dibangun atas penggunaan kekayaan untuk mengatasi pelanggaran seksual dan mengubahnya menjadi modal budaya, membangun hubungan pinjaman jangka panjang atas dasar rayuan dan pengabsahan keturunan melalui pembayaran ternak dan emas . Penyerahan perempuan ini berpakaian dan reproduktif, sedangkan budak dalam keadaan 'telanjang' dan terputus dari resiprositas lebih lanjut, karena dia tidak memiliki keluarga untuk melanjutkan transaksi demi menyeimbangkan nilai pembayaran di masa depan. Hal ini merupakan contoh atas apa yang disebut dengan ‘clothes make the man (or woman)’, dan secara metaforis menandai keutuhan pribadinya.

Clothes make the (wo)man: baju yang kita kenakan menunjukkan siapa diri kita.

Ata mema identitasnya terkait erat dengan tuan mereka dimana mereka merupakan perpanajangan kekuasaan majikannya. Keluarga bangsawan akan menunjuk satu budak laki-laki untuk memikul kantong sirih majikannya serta satu budak wanita yang akan didandani mengenakan riasan (pakaian) nyonyanya.
Kepribadian budak diidentikkan dengan tuannya.

Di Sumba Timur, di mana hirarki paling kuat tertanam, banyak budak tampaknya telah menerima peran mereka sebagai bawahan.

Ada beberapa kasus dimana perempuan ata keluar dari ke-ata-annya menjadi wanita seutuhnya yang dapat memikat pria dari tingkatan yang lebih tinggi sehingga dia dapat bergerak leluasa secara sosial.
Budak hingga kini dianggap sebagai satu kategori dalam masyarakat

Di Sumba Timur, perbudakan menunjukkan berlanjutnya rasa hormat kepada hirarki dan presise keluarga bangsawan. Di Sumba Barat, budak diperlakukan sebagai saudara yang lebih miskin, namun pernikahan dengan mereka masih saja “bermasalah” karena mereka masih teringat pada “belenggu” dan “tali” yang mengekang mereka.

Kebangsawanan meliputi kewajiban untuk memberikan tanggungan kepada seseorang, yang meliputi mengatur pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang pria yang kaya tetapi tidak bertanggung jawab secara sosial dipandang rendah

Bangsawan yang tidak memiliki budak dan hanya kaya saja tidak memiliki pengaruh sosial
Perbudakan memang berfungsi untuk menterjemahkan hubungan dominasi ekonomi menjadi klaim sosial lainnya, tapi selalu dihantui oleh adanya  kemungkinan keluar dari pakemnya.

No comments:

Post a Comment