Tuesday, July 16, 2013

Stratifikasi Sosial di Sumba (Menurut Hoskins dan Twikromo)

Secara khusus, deskripsi singkat mengenai stratifikasi sosial di Sumba ini diambil dari tulisan Janet Hoskins yang berjudul “Slaves, Brides and Other ‘Gifts’: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia” serta tulisan Y. Argo Twikromo yang berjudul “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur Sumba”. Ada 4 (empat) pokok pembicaraan yang perlu diulas dalam melakukan analisa ini yaitu (1) Stratifikasi Sosial, (2) Kelas, (3)  Deskripsi Stratifikasi Sosial di Sumba (menurut Hoskins, Twikromo), serta (4) Stratifikasi Sosial di Sumba vs. Teori Kelas.

1.      Stratifikasi  Sosial
Ada dua perpektif dasar mengenai stratifikasi sosial (Nanda dan Warms[1]

Functionalism (Fungsionalisme)
Stratifikasi sosial pada umumnya menguntungkan seluruh masyarakat dimana ada imbalan (reward) untuk masyarakat secara sosial dan ekonomi apabila mereka bekerja lebih giat, berani mengambil risiko, melakukan pekerjaan yang sulit dan sebagainya. Namun terkadang imbalan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan sehingga teori ini pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan ketimpangan  atau ketidakmerataan (inequality)

                 
          Teori Konflik
Stratifikasi sosial merupakan hasil dari perjuangan terus menerus demi mendapatkan barang dan jasa yang terbatas. Ketidakmerataan muncul karena individu dan kelompok yang memiliki kekuasaan, kekayaan dan presise menggunakan aset – aset dan kekuasaan mereka untuk mempertahankan kekuasaan atas sistem produksi dan  aparatur negara. Hal ini merupakan inti dari teori Karl Marx.

Setelah menilik dua perspektif dasar tersebut, ada baiknya kita melihat beberapa definisi atas apa yang disebut dengan Stratifikasi Sosial.  

      1. Stratifikasi sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial berdasarkan karakteristiknya masing – masing atau yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dimana karakteristik tersebut mewujud dalam fungsi kehidupan sehari – hari dalam  konteks sosial dan budaya tertentu (Ember dan Ember)

      2. Hirarki sosial yang terbentuk dari distribusi barang dan layanan yang secara relatif dan permanen tidak sama dalam suatu masyarakat (Nanda dan Warms)

      3. Struktur evaluasi dan “hadiah”, yang berbeda, yang melekat pada peran dalam pembagian kerja (Plotnicov dan Tuden). Plotnicov dan Tuden menuliskan bahwa peran – peran penting dalam masyarakat Ch’ing secara fungsional dibagi ke dalam (1) peran yang dinilai tinggi, (2) peran yang nilainya menengah, serta (3) peran yang dinilai rendah.

      4. Stratifikasi sosial  merupakan sistem dimana akses terhadap sumber daya, otonomi, kekuasaan serta status berbeda. (Hoggart dan Kofman)

      5.  Stratifikasi sosial adalah produk dari diferensiasi dan evaluasi sosial dan tidak menyiratkan kelas atau kasta tertentu, tetapi hanya bahwa cara kerja normal masyarakat telah menghasilkan perbedaan sistematis antara lembaga-lembaga atau orang-orang tertentu dan bentuk-bentuk ini berbeda dalam status atau prestise dan diberi tingkatan (ranked) berdasarkan kesepakatan umum (Labov)

      6. Stratifikasi sosial menyangkut sebuah masyarakat yang memiliki dua atau lebih kelompok yang berbeda peringkat dimana masing - masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang tidak sama (Srivastava). Ketidaksamaan kekuasaan, keistimewaan dan prestise ini tidak bisa disamakan dengan social inequality (ketimpangan sosial) karena,menurut Srivastava, ketimpangan sosial lebih mengacu pada ketimpangan antar individu dan bukannya sebagai anggota dan/atau kelompok. Dengan kata lain  Social stratification berbicara pada tataran kelompok sedangkan Social inequality berbicara pada tataran individu.

Dengan melihat beberapa definisi tersebut di atas, saya meyakini bahwa Stratifikasi Sosial adalah cara manusia mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat perbedaan sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing – masing kelompok yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda serta memiliki kekuasaan , keistimewaan dan prestise yang tidak sama pula (penggabungan definisi menurut Ember dan Ember, Labov, serta Srivasta).

 2.      Teori Kelas
      2.1  Weinberg dan Lyons
      Weinberg dan Lyons mengajukan 4 (empat) pemahaman akan kelas yang dapat dipilih oleh  peneliti berdasarkan kepentingan utamanya, yaitu :
1.      Salah satu jenis dalam stratifikasi sosial,
2.      Perangkat heuristis yang memfasilitasi eksaminasi karakteristik dari situasi sosial dan bukannya karakteristik kelompok – kelompok,
3.      Perangkat empiris untuk mengidentifikasi kelompok sosial atau kelompok kuasi, serta
4.      Sesuatu yang (sama sekali) berseberangan dengan (pemahaman akan) stratifikasi sosial

Weinberg dan Lyons pada akhirnya menegaskan bahwa dimensi properti relevan 
bagi análisis kelas dalam artian bahwa properti digunakan untuk meraih kekuasaan.
  
      2.2  Karl Marx
      Menurut Karl Marx, kelas – kelas dalam masyarakat itu timbul sebagai akibat paling logis dari ketidakadilan itu sendiri – ketika orang mulai mengambil hasil lebih yang diproduksi orang lain, tidak bisa tidak, hal itu akan membelah masyarakat  (Kusumandaru) dan kelas seseorang ditunjukkan berdasarkan pada hubungan dan kekuasaanya atas alat – alat produksi (Hoggart dan Kofman). Ide utama dalam kelas Karl Marx adalah gagasan adanya suatu kelompok yang semufakat yang berlawanan dengan kelas sosial lainnya (Svalastoga).

      2.3  Max Weber
      Menurut Weber; kelas, kelompok (dengan) status (tertentu), serta partai politik (parties) merupakan fenomena distribusi kekuasaan di dalam komunitas (Weber) yang ditunjukkan dengan posisinya dalam pasar (Hoggart dan Kofman).
  
      2.4  Kaare Svalastoga
      Svalastoga menjelaskan bahwa kelas merupakan salah satu model dalam diferensiasi sosial, terutama diferensiasi tingkatan dalam masyarakat, yang derajat ketembusannya sekitar 40% dari maksimum.


3.      Deskripsi Stratifikasi Sosial di Sumba (menurut Hoskins dan Twikromo)
3.1              Hoskins – Stratifikasi Sosial di Sumba
Hoskins menyatakan bahwa untuk melihat sistem tingkatan di Sumba dapat dilihat dalam 
sistem pernikahan dimana sistem pernikahan merupakan arena utama dimana status 
sosial “bermain”. Dalam tulisan Hoskins tersebut terdapat perbedaan nilai antara 
pengantin perempuan kaum Maramba dengan perempuan kaum Ata. Perbedaan ini lah 
yang menunjukkan terjadinya “permainan” status sosial.

Pengantin Perempuan
(Perempuan Maramba)
Perempuan Ata
Putri keluarga terhormat tidak 'diberikan dalam keadaan telanjang' karena ia memiliki seorang ayah dan saudara-saudara yang akan mempertahankan siklus pembayaran yang sesuai (penyerahan perempuan ini “berpakaian” dan reproduktif)
Gadis budak 'diberikan dalam keadaan telanjang', karena ‘harga’ awalnya tidak dapat dilunasi dengan kontra-pembayaran yang nantinya akan secara dialektika mempengaruhi persepi dan mentransformasi pertukaran jauh dari komoditas dan hadiah (budak dalam keadaan 'telanjang' dan terputus dari resiprositas lebih lanjut, karena dia tidak memiliki keluarga untuk melanjutkan transaksi demi menyeimbangkan nilai pembayaran di masa depan)

Kata ‘Ata’ diartikan sebagai manusia (Sumba Barat) dan juga budak (Sumba Timur dan 
Kodi). Perbudakan diyakini sebagai lembaga (masyarakat suku[2]) yang dikonstruksikan 
oleh masyarakat suku (Matt Childs (2010), Andrea Major (2012)). Hoskins menyatakan 
bahwa perbudakan adalah lembaga adat yang begitu tertanam dalam karakter orang 
Sumba sehingga akan  sulit untuk memberhentikannya secara tiba-tiba. Suatu kekuatan 
penguasa tergantung pada kekuasaannya atas budak, yang tenaga kerja untuk 
budidaya sawah dan yang mana statusnya ditandai dengan ritual dan subordinasi 
hukum. 

Penulis lainnya yang menyebutkan perbedaan antara Sumba Barat dan Sumba Timur ini 
adalah Kal Muller (1997) yang menjelaskan bahwa di Sumba Timur (1) terdapat kelas – 
kelas bangsawan, kaum biasa dan budak yang diwariskan, (2) hirarki sosialnya kaku, (3) 
rumah bangsawan serta desa para pendahulu mereka merupakan wilayah politik dan 
ritual, (4) kekayaan didapat dari ekspor kuda, ternak, kain (dibuat oleh perempuan 
bangsawan), serta (5) otoritas dipertegas dengan melaksanakan ritual – ritual yang 
meriah ; sementara di Sumba Barat (1) hirarki tidak kaku serta (2) status utamanya 
diperoleh melalui senioritas, hubungan dengan pendahulu, serta kemampuan 
(kemampuan dalam ritual, kapasitas untuk menggerakkan tenaga kerja yang lebih 
banyak juga memobilisasi kekayaan).

Ada 2 (dua) hal mendasar dari tulisan Hoskins ini yaitu (1) kebangsawanan meliputi 
kewajiban untuk memberikan tanggungan kepada seseorang, yang meliputi mengatur 
pernikahan dan pemakaman mereka. Seorang pria yang kaya tetapi tidak bertanggung 
jawab secara sosial dipandang rendah, serta (2) bangsawan yang tidak memiliki budak 
dan hanya kaya saja tidak memiliki pengaruh sosial.  

3.2              Twikromo – Stratifikasi Sosial di Sumba (Timur)
Ada 4 (empat) poin utama yang diketengahkan Twikromo, yang menurut saya, 
mengarahkan kita dalam memahami keadaan startifikasi sosial di Sumba Timur, yaitu (1) 
Orang Sumba berkelompok – kelompok ke dalam unit yang disebut uma (rumah), (2) 
melalui pelacakkan garis keturunan tergarislah dua tingkatan yaitu (a) tingkat bangsawan 
(maramba) dan (b) tingkat budak (ata), (3) tingkatan sosial ini menjadi “social guidance” 
bagaimana harus bertindak dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan posisi 
sosialnya, serta (4)  posisi sosial menentukan kewajiban. Namun demikian, cue atau 
petunjuk mengenai stratifikasi sosial di Sumba ini dapat ditemukan pada halaman 138 
dimana Twikromo menuliskan bahwa terdapat “perbedaan yang tegas antara kaum 
budak dan kaum bangsawan”.  Dari perbedaan – perbedaan yang dituliskan oleh 
Twikromo, saya coba rangkum dalam tabel berikut ini:

Konteks
Budak (Ata)
Bangsawan (Maramba)
Kendali atas ekonomi, sosial maupun budaya
Tidak  punya kendali atas modal ekonomi, sosial maupun budaya
Memiliki kendali  dengan menggunakan kekuasaan eksternal, internal, serta institusi eksternal
Ketergantungan
Tergantung vertikal dengan para tuan
Mempunyai budak untuk membantu kabihu mereka serta untuk menunjukkan kekayaan, status, gengsi dan pengaruh mereka yang besar
Kepentingan politik negara
Kurang memiliki bargaining position
Memiliki bargaining position yang kuat
Reformasi
Memberi ruang yang lebih luas bagi para elit daerah untuk memantapkan posisi politik mereka dengan berpijak pada tradisi atau budaya lokal
Dampak nilai ekonomi modern
Memaksimalkan eksploitasi pada para budak sebagai tenaga kerja terikat dan sekaligus memperkecil kewajiban dalam menjamin kebutuhan sehari – hari bagi para budak mereka
Menyuarakan pendapat
Tidak mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda di depan para tuan mereka atau di forum terbuka
Pengambilan keputusan
(Dinilai) tidak memiliki pengetahuan cukup dalam pengambilan keputusan
Menduduki posisi sosial penting di desa
Jarang mendapat kesempatan untuk menduduki posisi sosial penting di desa
Kondisi kehidupan
Didasarkan pada kepribadian dan bukannya kekayaan tuan mereka

 Alih – alih berbicara mengenai ketimpangan antara Maramba dan Ata, Twikromo 
meyakini bahwa hubungan antara Maramba dan Ata merupakan hubungan kewajiban 
timbal balik seperti dalam tabel berikut:

Budak (Ata)
Bangsawan (Maramba)
Bekerja tanpa gaji
Membantu mendapatkan istri dan tempat tinggal
Menghormati tuannya (selalu mendukung gagasan para tuan mereka, dll)
Membayar mas kawin pengantin perempuan
Menyediakan kebutuhan dasar untuk upacara penguburan, pakaian, makanan


    Dari apa yang dituliskan oleh Twikromo, ada 3(tiga) kesimpulan yang dapat saya tarik:
  1.  Jelas tergaris adanya kelompok masyarakat di tingkat bangsawan (maramba) dan tingkat budak (ata).
  2. Hubungan maramba dengan ata digambarkan Twikromo di”ikat” dengan apa yang disebut dengan kewajiban timbal-balik.
  3.  Apabila kewajiban dari tuan tidak dipenuhi, maka para ata melakukan strategi tandingan, dalam bentuk guyonan atau pun tindakan – tindakan yang mengakibatkan minor damage, yang kemudian dinilai (oleh penulis) sebagai pengetahuan bersama diantara para ata.

3.3   Kesamaan Pandangan Hoskins dan Twikromo
Hoskins dan Twikromo meyakini bahwa Maramba dan Ata merupakan “rangkaian dua 
yang berlawanan tapi toh saling isi-mengisi” (Koentjaraningrat dalam Wouden). Isi-
mengisi ini, dituliskan oleh Hoskins dan Twikromo, dalam bentuk kewajiban. Kewajiban 
yang dimaksud oleh Hoskins adalah kewajiban Maramba untuk menanggung seseorang 
demi pengaruh sosial, sedangkan kewajiban yang dimaksud oleh Twikromo adalah 
kewajiban yang, saya rasa, dinilai “adil” untuk kedua belah pihak.

4.      Stratifikasi Sosial di Sumba vs. Teori Kelas
Secara singkat,
1. Teori Kelas Karl Marx dan Weber berbicara mengenai ketimpangan sosial (social inequality).
2. Kelas sebagai salah satu model diferensiasi sosial Svalastoga tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial namun dia menyatakan bahwa selama bagian – bagian sistem sosial (masyarakat) mempertahankan hubungan saling tergantung, maka akan tetap tercipta kesamaan.
3. Hoskins dan Twikromo tidak berbicara mengenai ketimpangan sosial. Mereka berbicara mengenai isi-mengisi antara bangsawan dan budak di Sumba.

5.      Kesimpulan
Dengan demikian stratifikasi sosial di Sumba tidak bisa diterangkan dengan teori kelas Marx 
maupun Weber karena pemahaman akan kelas Marx dan Weber, seperti poin 4  
pemahaman akan kelas yang diusulkan Weinberg dan Lyons, merupakan sesuatu yang 
(sama sekali ) berseberangan dengan (pemahaman akan) stratifikasi sosial.

Oleh karena itu, Stratifikasi Sosial di Sumba adalah merupakan  cara masyarakat Sumba 
mengorganisir diri mereka ke dalam kelompok budaya dan sosial dimana terdapat 
perbedaan sistematis berdasarkan kesepakatan umum dimana masing-masing kelompok 
yang terdiferensiasi tersebut berada dalam tingkatan yang berbeda serta memiliki 
kekuasaan, keistimewaan dan prestise yang tidak sama, dan hubungan antar kelompok 
tersebut diikat dengan apa yang disebut dengan hubungan kewajiban timbal-balik.

6.      References

  1.  Anenshensel, Carol S. dan Phelan, Jo C. 2006. Handbook of the Sociology of Mental Health. Springer Science+Business Meida, LLC, USA.
  2.  Childs, Matt. 2010. Atlantic Slavery: Oxford Bibliographies Online Research Guide. Oxford University Press.
  3.  Ember, Carol L. dan Ember, Melvin. 2003. Encyclopedia of Medical Anthropology: Health and Illness in the World’s Cultures Topics – Volume 1. Kluwer Academic/Plenum Publishers, NY.
  4.  Forshee, Jill. 2001. Between the Folds: Stories of Cloth, Lives, and Travels from Sumba. University of Hawai’i Press, Honolulu.
  5.  Hoggart, Keith dan Kofman, Eleonore Kofman. 1986. Politics, Geography & Social Stratification. Croom Helm.
  6.  Hoskins, Janet. 2004. “Slaves, Brides and Other ‘Gifts’: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia.” Slavery and Abolition 25 (2)(August 2004): 90-107.
  7. Kusumandaru, Ken Budha. 2003. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme: Sanggahan terhadap Frans Magnis-Suseno. Insist Press, Yogyakarta
  8. Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. University of Pennsylvania Press Inc., USA.
  9. Major, Andrea. 2012. Slavery, Abolitionism and Empire in India, 1772-1843. Liverpool University Press.
  10.  Muller, Kal. 1997. East of Bali: from Lombok to Timor. Tuttle Publishing.
  11.  Nanda, Serena dan Warms, Richard L. 2010. Cultural Anthropology, Tenth Edition. Wadsworth, Cengage Learning, USA.
  12.  Plotnicov, Leonard dan Tuden, Arthur. 1970. Essays in Comparative Social Stratification. University of Pittsburgh Press, USA.
  13. Srivasta, A. R. N. 2005. Essentials of Cultural Anthropology. Prentice-Hal of India Private Limited, New Delhi.
  14. Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Bina Aksara, Jakarta.
  15. Twikromo, Y. Argo. 2009. “Dalam Bayang-Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum Ningrat: Sisa Ruang Bagi Perjuangan Kaum Budak Di Wilayah Ujung Timur Sumba.” Dalam Jurnal Renai (Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora), Tahun IX, No. 2, 2009. Halaman 135-167
  16. Vel, Jacqueline A. C. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. KITLV Pres, Leiden.
  17. Weber, Max. Class, Status and Party. Dalam Class Status, and Power: Social Stratification in Comparative Perspective, Second Edition disunting oleh Reinhard Bendix dan Seymour Martin Lipset. 1966. The Free Press, USA.
  18. Weinberg, Aubrey and Lyons, Frank. Class Theory and Practice. The British Journal of Sociology, Vol. 23, No. 1, (Mar., 1972), pp. 51-65 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The London School of Economics and Political Science
  19. Wellem, F. D. 2004. Injil dan Marapu Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876 – 1990. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
  20. Wouden, F. A. E. 1981. Kelompok-Kelompok Setempat dan Garis Keturunan Kembar di Kodi Sumba Barat. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.



No comments:

Post a Comment