Thursday, November 8, 2012

Agama Bagiku bukan Agama Menurut Negaraku


BAB I PENDAHULUAN

1.1.            LATAR BELAKANG

Agama dengan definisinya yang berbeda – beda ada dalam dunia antropologi. Hal tersebut dituangkan oleh Suhardi dalam hand out yang dibagikan oleh Suhardi dalam mata perkuliahan Agama dan Dinamika Masyarakat pada halaman 1 dimana disebutkan “banyak definisi tentang agama yang dirumuskan para ahli, termasuk antropologi”. Koentjaraningrat tidak menggunakan kata agama dalam mengetengahkan pikirannya mengenai agama. Koentjaraningrat menggunakan kata religi yang menurut pemikirannya adalah: “Konsep yang saya anut adalah bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu:

1.      Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius
2.      Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan – bayangan manusia tentang sifat – sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam ghaib (supernatural)
3.      Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa – dewa atau makhluk – makhluk halus mendiami alam ghaib
4.      Kelompok – kelompok religius atau kesatuan – kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam sub. 2, dan yang melakukan sistem upacara – upacara religius tersebut dalam sub 3 (Koentjaraningrat, Jakarta: 137)” (Sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, September 2009, Pustaka Pelajar, halaman 19).
Pengertian agama menurut Suhardi sendiri adalah “pengertian agama yang saya anut adalah suatu institusi dimana manusia merasa takjub dan mengadakan komunikasi interaksi berpola secara budaya terhadap alam supranatural yang dipersepsikan terdiri dari makhluk – makhluk adimanusiawi dan daya – daya gaib, dan yang direalisasikan dalam tirus – ritus dan etika moral yang mencerminkan wawasan simbolik yang mengekspresikan pencarian jalan keselamatan spiritual (salvation) maupun kepaduan social” (Sumber: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi pada FIB UGM, 2009: 5). Dari dua antropolog dari Indonesia saja pengertian agama sendiri sudah berbeda dimana Koentjaraningrat memandang religi sebagai suatu sistem sedangkan Suhardi melihatnya sebagai sebuah institusi.

Apabila para ahli antropologi memiliki banyak definisi mengenai agama, Negara memiliki rumusan sendiri mengenai agama. “Depag, tahun 1961, secara resmi merumuskan apa yang disebut “agama” dengan lima unsurnya, yakni Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Umat, dan pengakuan internasional. Maka, dengan langkah itu, kelompok-kelompok yang meyakini kepercayaan lokal digolongkan sebagai "belum beragama"”. (Sumber: Laporan Alternatif Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia - “Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesia” 2007: 32).

Agama dalam praktiknya oleh para pengikutnya diatur oleh beberapa undang – undang. Ijinkan saya untuk mengetengahkan dua undang – undang Negara Republik Indonesia yang mengatur:

1)      UUD 1945
Pasal 28E *
      (1)   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
     (2)   Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
     (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
     * Perubahan II 18 Agustus 2000.

BAB XI AGAMA Pasal 29
     (1)  Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha  Esa.
     (2)  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap  penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat  menurut agamanya dan kepercayaannya  itu.

2)      Undang- Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak – Hak Asasi Manusia
Pasal 22
     (1)   Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
     (2)   Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Apabila pengertian agama sendiri ada berbeda – beda, pengertian akan kata ‘kepercayaan’ dalam UUD 1945 juga berbeda oleh beberapa pihak. Dua diantaranya adalah menurut Tim Kerja Dirjen Bimas Islam dan menurut IGM Nurdjana sebagaimana tertuang di bawah ini.

1.      Menurut Tim Kerja Dirjen Bimas Islam:
Dalam UUD 1945 pasal 29 tercantum kalimat  “agamanya dan kepercayaannya itu”. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta bahwa kata-kata “itu” di  belakang kata “kepercayaan” dalam pasal tersebut menunjukkan  makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan. Jadi yang  dimaksud adalah kepercayaan di dalam agama, bukan kepercayaan di luar agama. Dengan demikian tugas Departemen  Agama adalah membina umat beragama sesuai yang  digariskan UUD 1945. Prinsip fundamental dalam UUD 1945  mengamanatkan supaya ajaran dan nilai-nilai agama selalu  berperan dan memberi arah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.” (Sumber: Peran Depag dalam Bingkai Nation State, M. Fuad Nasar, Tim Kerja Dirjen Bimas Islam (2008))

2.      Menurut Dr. Drs. IGM Nurdjana, S.H., M.Hum:
Keberadaan aliran kepercayaan secara hukum menurut praktik agama dan kepercayaannya itu yang dicantumkan pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa kata – kata “kepercayaannya itu” yang dimaksud adalah aliran kepercayaan, kebatinan dan kepercayaan suku, adat atau agama – agama lokal yang saat proklamasi kemerdekaan populasinya mencapai 40% dan penduduk Indonesia masih menganut berbagai aliran kepercayaan meliputi beberapa bentuk aliran kepercayaan dan kebatinan antara lain: Paguyuban Pangestu Tunggal (Pangestu), Sumarah, Susilo Budi Darmo (Subud), Perjalanan, Sapta Dharma, Tri Tunggal dan Manunggal (Daftar, AKM: 1981)” (Sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, 2009: 7).

1.2.            TUJUAN
Paper ini akan membahas bagaimana cara pandang Negara yang berbeda dengan kelompok “belum beragama” di Indonesia, yang mencapai sejumlah 2,3% dari penduduk Indonesia atau sejumlah 5.526.245 jiwa (sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, 2009: 5) yang semenjak tahun 1951 hingga tahun 1970an mengalami peningkatan, dengan cara pandang suatu komunitas dalam memandang agama berpengaruh dalam pelaksanaan UU yang merupakan produk kebijakan dari Negara itu sendiri. Dalam paper ini akan disinggung mengenai komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu dengan tantangan yang dihadapinya sebagai komunitas yang “belum beragama”. Pembahasan mengenai komunitas yang dianggap oleh Negara sebagai komunitas yang “belum beragama” sangatlah penting mengingat ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Negara terkait dengan kebudayaan dimana salah satu hasil dari budaya adalah agama. Namun yang terutama adalah paper ini berusaha menampilkan jawaban tiga pertanyaan di bawah ini:

1.      Dampak apa yang dihadapi oleh komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu berkaitan dengan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan agama?
2.      Bagaimana pandangan pihak non-government yang tergabung dalam HRWG (human rights working group) terhadap dampak tersebut?
3.      Dimanakah posisi para antropolog dalam menyikapi fakta adanya perbedaan pengertian antara pemerintah dan para antropolog?


1.3.            RUANG LINGKUP MATERI
Pertanyaan pertama dan kedua berusaha untuk melihat fakta yang terjadi atau dampak atas pengertian pemerintah akan agama yang tertuang dalam rumusan agama menurut Departemen Agama pada tahun 1961. Data yang akan diambil adalah dari laporan alternatif pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (ICERD) di Indonesia pada tahun 2007 dan juga berdasarkan keterangan dari anggota komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu yang diungkapkan kepada saya.

Pertanyaan ketiga lebih kepada pemikiran subyektif saya akan dimana sebaiknya posisi antropolog dalam menyikapi fakta adanya perbedaan pengertian antara pemerintah dan para antropolog mengenai agama.

BAB II DASAR TEORI/LANDASAN TEORI
Karena saya akan lebih banyak berbicara mengenai komunitas yang kemudian disebut sebagai aliran kepercayaan, atau bisa disebut juga aliran kebatinan dimana oleh Subagya tidak dibedakan antara kata ‘kepercayaan’ dan ‘kebatinan’, makan saya akan memberanikan diri untuk menggunakan pendekatan postmodernisme dimana pendekatan ini dipicu dari sebuah gerakan yang menurut Suhardi mirip dengan gerakan kebatinan Jawa (handout, 2010: 5). Saya akan mengesampingkan kata ‘Jawa’ dan lebih menekankan pada gerakan kebatinan atau kepercayaan yang pada intinya adalah  memberikan tekanan kepada tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup (Subagya, 1973: 42).

Dalam pendahuluan dan kajian pustaka banyak dituliskan mengenai undang – undang yang dibuat oleh pemerintah yang merupakan perwakilan dari suara pemerintah akan agama dan juga artikel – artikel yang mengikutinya. Ahimsa-Putra (2007: 32) menyatakan bahwa analisis yang menggunakan kerangka berpikir postmodernisme ditujukan untuk dapat mengetahui siasat – siasat representasi yang digunakan, termasuk di dalamnya media representasinya. Dengan analisis ini sedikit banyak akan diketahui effek yang akan dicapai dari strategi dan media representasi tersebut. Dalam paper ini juga akan dihadirkan data pernyataan dari komunitas SDHBBSI atas dampak pengertian agama dan juga pendapat komunitas non-government organizations atas dampak yang dihadapi komunitas tersebut.

BAB III PEMBAHASAN   
            Apabila pada bagian pendahuluan telah saya sampaikan pandangan akan pengertian agama menurut dua ahli antropologi dan menurut Departemen Agama Republik Indonesia dan juga pengertian akan kepercayaan dari dua pihak. Saya akan mencoba memahami pengertian akan agama menurut pandangan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu mengenai ajaran mereka yang mereka anut. Berikut ini adalah ajaran yang menjadi panutan mereka yang saya ambil dari selebaran mereka mengenai sejarah alam ngaji rasa. Inti dari ajaran yang mereka anut adalah sebagai berikut:
-          Belajar pada anak dan istri
-          Wanita memarahi laki – laki agar laki – laki bisa sabar, melakukan yang benar dan jujur
-          Laki – laki menerima apa yang dilakukan istri kepadanya karena laki – laki tidak benar.
-          Ngaji rasa untuk menjadi yang sebenar – benarnya
-          Anak lebih benar daripada orang tua. Apabila anak memiliki keinginan turutilah sesuai dengan kemampuan.
-          Ngaji rasa mengajarkan kita untuk menjadi kuat karena sabar.
-          Menguji jasmani dan rohani. Secara jasmani menyatu dengan alam. Melakukan apa yang dikatakan.
-          Sebagai orang yang belajar ngaji rasa, janganlah melanggar peraturan, aturan hukum pemerintah, agama dan peraturan umum sebagai masyarakat umumnya.
-          Jangan merugikan orang atau pihak lainnya, contohnya tidak mencuri, tidak main judi, tidak mabok, tidak main perempuan dan kelakuan lainnya yang merugikan.
-          Adapun mengenai tujuan dan kepercayaan manusia, masing – masing orang bebas memilih tujuan dan kepercayaannya.

Dalam ajaran tersebut disebutkan kata ‘agama’ dan kata ‘kepercayaan’ sehingga dalam hal ini saya memaknainya dengan bahwa komunitas ini membedakan antara agama dan kepercayaan. Dan hal ini terbukti dengan pernyataan salah satu anggota komunitas ini yang menyatakan bahwa mereka menolak untuk mengisi kolom agama pada KTP yang diharuskan oleh catatan sipil kecamatan Losarang sementara pada UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pasal 64 ayat 2 menyatakan “keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”. Jelas bisa dikatakan bahwa komunitas ini termasuk dalam kelompok yang “belum beragama”. Mereka juga menolak untuk mengisi kolom agama dengan aliran kepercayaan seperti yang disarankan oleh petugas catatan sipil karena mereka berpikiran bahwa ajaran yang mereka anut bukanlah aliran kepercayaan. Pada prakteknya kolom agama pada KTP mereka diisi dengan agama Islam oleh catatan sipil. Karena ritus yang mereka lakukan tidak sama dengan ritus pengikut agama Islam mereka dinyatakan oleh MUI sebagai aliran sesat dan telah dinyatakan dibekukan oleh Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Indramayu.  

            Komunitas ini disebut aliran sesat oleh MUI pada tanggal 5 November 2007 sedangkan kriteria sebuah aliran disebut sesat sendiri oleh MUI dikeluarkan pada tanggal 6 November 2007.

            Lalu bagaimana Negara mengatur kelompok – kelompok yang dikategorikan sebagai ”belum beragama” tersebut dalam melakukan ritus keagamaannya? Pengaturan itu sendiri masuk dalam UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam Bab I pasal 1 yang menyebutkan ”Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.

            Dapat dilihat bahwa komunitas ini berhadapan tidak hanya dengan struktur pemerintah dalam menjalani ajaran yang dianutnya namun juga dengan struktur lain yaitu organisasi kemasyarakatan seperti MUI yang melalui Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) telah membekukan komunitas ini. Pakem ini dibentuk lewat SK No. 167/PROMOSI/1954. “Lewat SK No. 167/PROMOSI/1954 dibentuklah Panitia Interdepartemental Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat yang, nantinya, pada tahun 1960 menjadi Biro Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) di bawah Kejaksaan Agung. Kemudian, lewat Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro PAKEM Pusat No. 34/Pakem/S.E./61 tanggal 7 April 1961, lembaga PAKEM didirikan di setiap provinsi dan kabupaten. Di antara tugas PAKEM adalah mengikuti, memerhatikan, mengawasi gerak-gerik serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran kepercayaan / kebatinan, memeriksa / mempelajari buku-buku, brosur - brosur keagamaan/aliran kepercayaan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri” (Sumber: Laporan alternative pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (ICERD) di Indonesia, 2007: 32).

            Apabila Negara dan MUI beserta Pakem bisa dianggap sebagai struktur yang menghalangi kegiatan ritus kelompok ini, adakah struktur lain yang bisa dianggap sebagai pendukung dalam kegiatan religi komunitas ini? HRWG atau human rights working group yang adalah merupakan sekumpulan NGO (Non Government Organization) di Indonesia memberikan wacana tandingan dan sekaligus fakta terhadap apa yang dilakukan Negara dan MUI yang diwakili Pakem berkenaan dengan perlindungan kegiatan kelompok “belum beragama” tersebut melalui laporan alternative pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (ICERD) di Indonesia. Laporan alternative ini disampaikan sebagai laporan alternative Negara Republik Indonesia kepada PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) akan pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) yang ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia dan dengan demikian wajib bagi Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan konvensi tersebut. Saya akan mengutip beberapa bagian dalam laporan alternative tersebut.

1.      Pada bab III yaitu mengenai isu tematik dalam hal ini kerangka hukum disebutkan: “43.Pertentangan antar UU misalnya, antara UU Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006) dimana di dalamnya masih mengatur tentang pembatasan kepemelukan agama dan berkeyakinan, hal ini bertentangan dengan UU Hak Asasi Manusia (UU No 39/1999) yang menjamin kekebasan setiap orang untuk memeluk agama dan kepercayaannya. UU No. 23/2006 ini juga bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28E yang menjamin kebebasan setiap warga Negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya.”
2.      Pada bagian 2 dengan judul Bentuk Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat di Indonesia dan sub judul 2.3 yaitu mengenai Stereotype:         “116.   Yang dimaksud dengan stereotip di sini adalah sudut pandang yang di(re)produksi secara terus menerus untuk melihat dan mengkategori komunitas lain sebagai komunitas yang serba negatif, seperti tidak beradab, terbelakang, bandel, malas, pembangkang, tidak modern, dan sebagainya. Paska 1965, stereotip seperti ini semakin menguat, khususnya melalui berbagai sosialisasi pengetahuan tentang komunitas-komunitas yang dianggap membahayakan eksistensi kelompok mayoritas dan stabilitas nasional”
“119.         Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu juga mengalami stigmatisasi yang tidak kalah memprihatinkan. Komunitas ini juga diidentikkan sebagai komunitas pembangkang yang tidak patuh kepada aturan hukum Negara, seperti tidak memiliki KTP, tidak memakai helm ketika berkendaraan, tidak mau melakukan pemberitahuan pelaksanaan ritual atau hajat tertentu. Bahkan, dalam hal berkeyakinan pun, mereka dituding sebagai kelompok yang suka mencampurbaurkan antara beberapa ajaran agama - agama resmi. Pada tanggal 26 April 2007 yang lalu, komunitas ini disidang oleh beberapa pejabat pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama (Depag), Polisi, Militer, dan Jaksa untuk dimintai keterangan mengenai seluruh aktivitas keseharian mereka. Intinya, pemerintah memaksa komunitas dayak Indramayu ini untuk patuh dan mengikuti seluruh aturan hukum yang ada di Indonesia.”
3.      Pada bagian 2.3 disebutkan mengenai karena legalitas dipaksa mengganti kepercayaannya dengan agama resmi tidak disebutkan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu yang mengalami hal serupa. Pada kenyataannya sebagaimana dituturkan salah satu anggota komunitas ini kepada saya, pada kolom agama di KTP mereka diisi dengan agama Islam oleh petugas catatan sipil kecamatan Losarang.

BAB IV PENUTUP
Dari apa yang saya sampaikan  tersebut di atas dapat dilihat mengenai perang wacana
yang dilakukan oleh kelompok non-government organizations dan juga pemerintah terkait dengan pemahaman akan agama dan juga pelaksanaannya. Pemerintah tidak memahami pengertian agama seperti para antropolog dan yang kemudian menyebabkan pandangan terjadinya pelanggaran dari berbagai pihak satu sama lain. Dan hal tersebut terjadi karena tidak adanya kesepakatan antara satu pihak dengan pihak yang lain.

Dalam dunia antropologi perbedaan wacana tidak menyebabkan pelanggaran namun
apabila terkait dengan pemerintahan hal tersebut menjadi suatu masalah. Lalu bagaimana seharusnya seorang antropolog menanggapi hal ini? Ataukah memang Antropolog hanya mau bermain dalam wacana saja seperti layaknya seorang ahli yang hidup dalam menara gading dan dengan teori – teorinya sementara teori – teori tersebut bisa saja menimbulkan perpecahan atau konflik dalam pemerintahan. Seorang antropolog seharusnya berdiri untuk kebudayaan itu sendiri dan dengan kemampuannya untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh seharusnya antropolog berperan dalam pemerintahan dan yang paling penting adalah mampu membuat kebijakan yang mewakili suara seluruh masyarakat Indonesia dan bukannya kepentingan satu kelompok saja meskipun kelompok tersebut merupakan mayoritas.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Dr. Drs. IGM. Nurdjana, S.H., M.Hum., Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, Pustaka Pelajar, 2009
2.      Prof. Drs. Suhardi, M.A., Ph.D., Ritual Pencarian jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif Antropologi – Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi pada FIB UGM, 2009
3.      Human Rights Working Group, Laporan Alternatif Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia – Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesia, 2007
4.      Undang – Undang Dasar 1945
5.      Undang – Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
6.      Undang – Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
7.      M. Fuad Nasar, Peran Depag dalam Bingkai Nation State, Tim Kerja Dirjen Bimas Islam, 2008
8.      Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1973
9.      Heddy Shri Ahimsa – Putra, Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya – Sebuah Pemetaan, Makalah Pelatihan ”Metodologi Penelitian”, 2007
10.  Komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, Sejarah Alam Ngaji Rasa

No comments:

Post a Comment