Thursday, November 22, 2012

Review Film "Umbu Bintang is Our Star", Sebuah Film oleh Jacqueline A. C. Vel


Tema yang melatarbelakangi review film ‘Umbu Bintang is Our Star’ adalah manuver yang dilakukan para elit dalam perubahan. Manuver dapat dipahami sebagai sebuah proses terencana yang dimaksudkan untuk meraih berbagai keuntungan atau pun untuk keluar dari keadaan yang sulit, dan khusus untuk review ini, manuver yang dimaksudkan adalah “sepak terjang” (meminjam istilah dalam ‘Elit Lokal dan Pembangunan Desa: Dinamika Manipulasi dan Kebijaksanaan Politik di Sumba Timur, Y Argo Twikromo) para elit lokal dalam usahanya untuk mempertahankan tampuk kekuasaan yang selama ini mereka miliki secara kultural.
Film ini mengetengahkan beberapa hal yang berkaitan dengan kampanye yang dilakukan oleh Umbu Sappi Pateduk (Umbu Bintang) sebagai bakal calon Bupati dan pasangannya Imanuel Horo (Manuel Horo) sebagai calon Wakil Bupati untuk masa jabatan 2005 - 2010. Umbu Sappi Pateduk sendiri pada saat ini (2012) menjadi Bupati Sumba Tengah. Sumba Barat pada tahun 2007 dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah serta Kabupaten Sumba Barat Daya. Umbu Bintang sendiri merupakan anak dari Umbu Remu yang menjabat Bupati Sumba Barat pada tahun 1962. Ipar laki – laki Umbu Remu ini yaitu Umbu Sulung kemudian menjadi sebagai raja[1]. Anak dari Umbu Sulung, Umbu Djima, menjadi Bupati Sumba Barat pada tahun 1985 - 1995[2]
Dalam film ini kita dapat melihat keaslian membentuk identitas[3] serta otoritas politik-ritual. Hal ini nampak dalam pernyataan Umbu Bintang dalam film tersebut saat mengatakan, “saya adalah orang yang berhak …. darah dagingnya” pada saat merespon pendapat lawan politiknya yang menuduhnya telah menyalahgunakan ketenaran ayahnya[4]. Di sini dapat pula kita lihat bahwa dengan menduduki posisi sebagai pemimpin (bupati, raja, ratu) merupakan “hadiah”[5] yang memang sudah menjadi hak yang melekat pada kaum maramba.  Usaha untuk menjadi Bupati ini juga dapat dilihat sebagai pemantapan posisi mereka sebagai seorang elit yang berfungsi sebagai “penjembatan” antara domainnya dengan daerah di luar domain[6].
Dari poin (1) dan (2) tersebut di atas dapat dikatakan bahwa beberapa pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh berusaha untuk lebih meninggikan posisi mereka melalui tindakan yang berorientasi kepada kepentingan mereka semata[7], dan dalam hal ini untuk meneguhkan bahwa meskipun ada bentuk pemerintahan yang beraneka ragam, dari pemerintah kolonial hingga pemerintahan Republik Indonesia, mereka lah yang tetap harus menduduki posisi elit dan pemimpin bagi domain mereka. Hal yang dilakukan oleh Umbu Bintang ini adalah dilakukannya manipulasi simbol, terutama simbol yang berkaitan menjadi modal sosial dan kultural untuk menjadi pemimpin setempat ataupun politikus daerah (domain seseorang berasal atau dilahirkan, kerabat kandidat yang telah dikenal sebelumnya, agama serta posisi yang didudukinya pada saat ini ataupun sebelumnya[8]). Simbol di sini adalah aturan – aturan, budaya, norma – norma, nilai, mitos serta ritual. Simbol disebutkan selalu dimanipulasi oleh antarindividu dan antarkelompok demi memperoleh power atau kekuasaan[9] Selain menegaskan posisi mereka, mereka juga merasionalisasikan posisi budak[10] (ata) yang selama ini “aturannya” adalah bahwa kaum budak (1) hampir tidak pernah mempunyai kendali atas kekuasaan dan akan selalu (2) tergantung vertikal dengan para tuannya yang kaya dan berwibawa[11].
Tidak terpilihnya Umbu Bintang sebagai Bupati Sumba Barat, diungkapkan oleh H. G. Schulte Nordholt, disebabkan adanya kemungkinan bahwa kekerabatan (garis keturunan) serta kawin-mawin tidak lagi sesuai lagi sebagai modal untuk meraih kekuasaan[12].









[1]   Raja merupakan bentukan pemerintah kolonial. Raja merupakan salah satu pemimpin klen dalam satu domain. Raja dipilih berdasarkan (1) kekayaan, (2) kepersuasifan, (3) pengetahuan, serta (4) kualitas individu (Chapter III dari ‘Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986 – 2006 oleh Jacqueline A. C. Vel, 2008)
[2]   ‘Permutations of Order: Religion and Law as Contested Sovereignties’, Thomas G. Kirsch dan Bertram Turner, 2009
[3]   Identitas ini dibentuk berdasarkan pada (i) kekerabatan (garis  keturunan), (ii) kawin-mawin, serta (iii) domain – dimana apabila domain diketahui maka akan diketahui juga klen yang berkuasa serta tuan tanahnya (mangu tana) (Chapter III dari ‘Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986 – 2006 oleh Jacqueline A. C. Vel, 2008).
[4]   ‘Permutations of Order: Religion and Law as Contested Sovereignties’, Thomas G. Kirsch dan Bertram Turner, 2009
[5]   “Hadiah” dalam hal ini sarat nilai secara kultural seperti penghormatan, kekuasaan atau tanggungjawab yang harus mereka pikul (Strategems and Spoils, F. G. Bailey, 2001 – Bab 1 dan Bab 2)
[6]   Posisi elit di pedesaan di Jawa berperan sebagai jembatan di dalam desanya (intra village) dan antara desanya dengan daerah di luar desanya (supra village) – ‘The Village on Java and The Early-Colonial State, Jan Breman , 1980

[7]   ‘Political Anthropology: Manipulative Strategies’, Joan Vincent (1978)
[8]   Chapter III dari ‘Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986 – 2006 oleh Jacqueline A. C. Vel (2008)
[9]   ‘Political Anthropology: Manipulative Strategies’, Joan Vincent  (1978)
[10]     Budak yang dimaksud di sini adalah perbudakan tertutup dimana istilah ‘budak’ merupakan konsep kelas sosial dan menunjukkan status, gengsi, kekayaan serta kekuasaan pihak – pihak yang memiliki budak (‘Dalam Bayang – Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum Ningrat’, Y. Argo Twikromo, 2009)
[11]     ‘Dalam Bayang – Bayang Rasinalisasi Perbudakan Kaum Ningrat’, Y. Argo Twikromo, 2009
[12]     “Central Sumba changes criteria for leadership... land is no longer the most important source of power ... kinship and marriage alliance might not be sufficient anymore” (‘Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, H. G. Schulte Nordholt, 2007: 104)

No comments:

Post a Comment