Thursday, November 8, 2012

Review: Chapter VI Peru – Weak National Movements and Subnational Variation dalam Contesting Citizenship in Latin America, Deborah J. Yashar

                A.    RINGKASAN SERTA PEMAHAMAN AKAN TULISAN

Dalam tulisan ini, Yashar berpendapat bahwa gerakan – gerakan masyarakat adat (indigenous people) membentuk perbedatan politik di tingkat nasional terutama yang berkaitan dengan demokrasi multietnis, kesetaraan dalam bidang politik serta otonomi subnasional. Ada dua hal yang menjadi landasan tulisan Yashar ini mengenai gerakan masyarakat adat. Yang pertama adalah bahwa gerakan – gerakan tersebut secara politis menonjol pada periode kontemporer serta yang kedua adalah bahwa di beberapa tempat terdapat organisasi – organisasi politik yang dinilai cukup signifikan. Yashar menawarkan penggunaan pendekatan historis dalam menganalisa gerakan – gerakan masyarakat adat yang meliputi tiga hal, yaitu (1) pada rezim pergantian kewarganegaraan, (2) jejaring sosial serta (3) ruang berserikat secara politik.

Yashar menempatkan perubahan makna kewarganegaraan dari korporatisme menjadi neoliberal sebagai variabel utama. Penjelasan mengenai korporatisme dan neoliberal akan dibahas di paragraf lain dari review ini. Setting kondisi terjadinya gerakan masyarakat adat di Peru ini adalah (1) tingginya tingkat kemiskinan masyarakat adat Peru yang lebih tinggi dari angka nasional serta bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat adat Peru lebih rendah dari angka nasional. Berdasarkan hal tersebut, Yashar berpendapat bahwa korelasi antara kemiskinan dan keaslian suatu etnis cukup tinggi di seluruh Amerika Latin; dan (2) Peru mengalami lintasan politik yang sama dengan daerah lainnya yang dimulai dengan periode masa kolonial.

               Corporatist Citizenship pada Masa Kolonial (Rezim Kewarganegaraan Korporatis)

Kewarganegaraan dengan paham korporatisme (paham yang mengutamakan kebersamaan sebagai satu kesatuan sehingga semua unsur atau bagiannya harus tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia)) diterapkan oleh negara kolonial dimana negara kolonial memberlakukan kebijakan – kebijakan masyarakat adat (yang kemudian dianggap sebagai versi awal dari “korporatisme”). Paham korporatisme ini menempatkan pengaturan sebuah negara ke tangan kelompok – kelompok utama dengan kepentingannya masing – masing (yang terkadang disebut dengan korporasi) dan masing – masing wakil kelompok menyelesaikan masalah melalui negosiasi dan kesepakatan bersama yang dilakukan melalui tawar menawar secara kolektif (www.sjsu.edu/faculty/watins/corporatism.htm). Pada saat yang bersamaan negara kolonial dinilai telah menyubordinasikan masyarakat adat dan memberi mereka unsur penting dari otonomi rakyat. Dengan kata lain, pada rezim ini, masyarakat adat merupakan warga negara yang memiliki otonomi untuk menentukan nasibnya sendiri.

Pada masa ini, mekanisme legal dan insitusional dibentuk bagi masyarakat adat agar mereka mendapatkan pengakuan resmi, posisi yudisial, dan dapat bertindak atas nama masyarakat adat. Apabila dilihat dari sisi masyarakat adat, sistem kewarganegaraan korporatis memberi mereka akses kepada negara. Sedangkan dari sisi negara, negara merasa telah memberikan peran penting kepada masyarakat adat dalam memerintah serta mengatur daerah pedesaan. Yashar juga menambahkan bahwa sesungguhnya dengan membentuk kelompok – kelompok tersebut, selain membantu negara, memberikan batasan keterlibatan masyarakat adat dalam partai politik. 

“Keuntungan” dari diterapkannya  hal tersebut adalah dikembalikannya hak atas kepemilikan tanah meskipun dampak langsungnya tidak dapat dirasakan. Kepemilikan lahan ini mengembalikan martabat serta rasa ke”Indian”an mereka karena mereka memiliki kekuasaan penuh atas tanah dan tenaga kerja. Di Peru, dampak yang signifikan atas penerapan tersebut menguntungkan banyak pemilik lahan dan pada saat yang bersamaan menimbulkan ketegangan diantara masyarakat adat. Organisasi SAIS atau Kelompok Pertanian Masyarakat atas nama Kepentingan Sosial hanya memberikan keuntungan pada bekas pekerja para patrón (haciendas – land owners) dan mereka ini hanya merupakan lingkaran kecil dari masyarakat petani. Ketegangan yang terjadi di sini merupakan ketegangan horizontal, dimana mereka yang tidak diuntungkan “membidik” petani lainnya. Ketentuan setempat yang mengharuskan seseorang untuk membeli lahan di daerahnya sendiri diprotes oleh mereka yang sebelumnya berdiam di daerah tersebut dan telah bermigrasi. Perang sipil yang terjadi menuntut dikembalikannya cara – cara pengaturan menurut masyarakat adat.

Dengan demikian intermediasi kepentingan tidak dilaksanakan dengan baik serta kepemilikan lahan tidak dapat dijamin keberlangsungannya. 

Neoliberal Citizenship pada Masa Poskolonial (Rezim Kewarganegaraan Neoliberal)

      Paham neoliberal, sebagaimana dituliskan oleh Tracy Smith-Carrier dan Rupaleem Bhuyan dalam tulisan mereka berjudul Assessing the Impact of Neoliberalism on Citizenship: The Stratification of Social Rights by Immigration Status in Toronto, Ontario, memediasi hak – hak warga negara dengan kepentingan global. Paham ini “ditularkan” melalui ekspansi ideologi pasar dan melalui pengaruh – pengaruh yang di bawa oleh lembaga – lembaga internasional. Namun demikian, menurut M. Shamsul Haque, dalam tulisannya berjudul Global Rise of Neoliberal State and Its Impact on Citizenship: Experiences in Developing Nations,  neoliberalisme mengubah makna dan komposisi dari kewarganegaraan dalam artian menggerus hak – hak atau “tunjangan” milik warga negara yang disebabkan oleh agenda politik.

Yashar menuliskan bahwa pada masa poskolonial ini kebijakan – kebijakan yang bersifat liberal diterapkan oleh negara. Masyarkat adat dipandang sebagai individu – individu yang setara dari bangsa Republik “Masyarakat Mestizo”. Pada masa ini, kebijakan ekonomi neoliberal diterapkan dengan melakukan (1) penambahan hak – hak dalam bidang politik dan sosial; (2) mengurangi bantuan sosial dan bantuan dalam bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan; (3) privatisasi perusahaan dan merombak usaha – usaha asosiatif; (4) pembaruan peraturan kepemilikan lahan; (5) pengenaan pajak pada impor produk pertanian; serta (6) menstrukturulang pasar lahan dan produk pertanian. Negara dinilai melepaskan tanggungjawabnya dalam hal penyediaan infrastruktur dan investasi sosial.

Pada masa ini (1) klaim – klaim otonomi daerah dan hak istimewa masyarakat diambil dari mereka, (2) pasar jual beli lahan dirasa tidak menguntungkan bagi petani miskin, serta (3) para tuan tanah mencoba mendapatkan kembali kekuasaan mereka di daerah dimana mereka kehilangan tanah mereka.  Keadaan ini dirasa memburuk pada tahun 1990an dimana kemiskinan semakin parah dan pada tahun 1995 negara membatasi kepemilikan lahan dan membalikkan tanah rakyat yang sebelumnya tidak dapat diganggugugat. Kembali pada pernyataan semula bahwa kepemilikan lahan mengembalikan martabat serta rasa ke”Indian”an mereka karena mereka memiliki kekuasaan penuh atas tanah dan tenaga kerja, dengan hilangnya kepemilikan atas lahan atau tanah, para petani pun mulai memprotes negara.

Peru, tidak seperti tempat lainnya, tidak melakukan mobilisasi nasional, namun lebih melakukan debat – debat dan pengajuan proposal. Dua hal yang menghambat terjadinya mobilisasi di Peru adalah jaringan transkomunitas yang tidak bagus dan kurangnya ruang berserikat secara politik. Di Amazon dan Andes bagian selatan, masyarakat adat memperjuangkan pengaturan sesuai dengan ketentuan masyarakat adat serta menuntut otonomi teritorial dan penentuan nasib sendiri. Mereka berjuang melawan bangsa kolonial.

Apa yang terjadi di Peru menunjukkan adanya variasi bentuk gerakan masyarakat adat menurut daerahnya atau (regional variation). Ada tiga hal yang dapat dicermati dalam melihat regional variation tersebut yaitu (1) inti dari isu otonomi yang dihembuskan, (2) gereja dan LSM lah yang membentuk jaringan serta (3) dialaminya ruang berserikat politik yang lebih luas.

              B.    KESIMPULAN

             Esensi atas rasa kewarganegaraan yang berubah lah yang melatarbelakangi gerakan 
      masyarakat adat di Amerika Latin. Masyarakat Indian, merasa menjadi masyarakat Indian apabila 
      mereka memiliki kekuasaan atas lahan dan juga atas para pekerjanya. Perubahan pada rasa 
      kewarganegaraan dari Indian menjadi seorang warga bangsa tanpa memiliki kekuasaan atas 
      lahan dan nasib mereka menyebabkan mereka kehilangan identitas (kewarganegaraan) mereka.     
      Hingga dapat dikatakan bahwa gerakan masyarakat adat ini berjuang melawan negara demi 
      otonomi daerah.


    

No comments:

Post a Comment