Thursday, November 8, 2012

Review: Indigenous People and Environmental Politics, Michael R. Dove


RINGKASAN SERTA PEMAHAMAN AKAN TULISAN

Berbicara mengenai gerakan – gerakan masyarakat di daerah, Dove menyatakan bahwa dahulu gerakan – gerakan tersebut mengedepankan isu ras, etnisitas dan agama. Pada saat ini, menurut Dove, gerakan – gerakan masyarakat daerah tersebut telah menjadi gerakan untuk memperjuangkan hak – hak masyarakat asli (indigeneous people), yang kemudian akan saya sebut sebagai masyarakat suku. Terdapat kesimpangsiuran bahkan ketidaksepakatan atas definisi indigenous people sehingga  dalam tulisannya ini, Dove mengusulkan agar memusatkan perhatian pada pemahaman atau artikulasi atas keaslian (indigeneity). Salah satu pemahaman atas keaslian diungkapkan oleh Kuper dalam tulisan Dove ini dimana indigeneity lebih bermuatan politis daripada tradisi.  Sementara itu Gerard Persoon dalam tulisannya berjudul Isolated Groups or Indigenous Peoples – Indonesia and the International Discourse[1] menuliskan bahwa negara Republik Indonesia mengacuhkan Tahun Masyarakat Asli PBB pada tahun 1993 dengan alasan bahwa pemerintah Republik Indonesia hanya mengakui satu bangsa dan menganggap bahwa seluruh bangsa Indonesia merupakan penduduk asli sementara untuk kelompok – kelompok masyarakat yang “melenceng” dari kebudayaan pada umumnya di Indonesia dianggap sebagai masyarakat terasing (isolated community).

“They were regarded as living isolated from the mainstream of Indonesian social and cultural life …, no consideration was given to using the term Orang Asli (‘original or indigenous people’), as is done in Malaysia, or ‘indigenous tribes’ (inheemsche volksstammen), which was the term used in Dutch colonial documents” (: 287)

Persoon pun akhirnya mengusulkan agar menggunakan istilah masyarakat suku (tribal people) yang dinilainya lebih netral serta dirasa cukup penting dimana pemahaman antropologis dari ‘tribe’ atau ‘tribal’ atau kesukuan mencakup bahasa, agama, kepemimpinan secara politis dan juga kewenangan dalam bidang hukum. Karakteristik dari masyarakat suku ini membawa identitas budayanya dalam berhadapan dengan kelompok etnis yang lebih dominan di tingkat nasional.

Tulisan Dove ini pada dasarnya mengetengahkan teori – teori serta kritik atas teori tersebut yang berkenaan dengan pemahaman atas indigenous people serta gerakan penyelamatan lingkungan. Dove memulai dengan mengetengahkan bahwa selama ini definisi dunia internasional atas indigenous people berputar disekitar adanya keberlanjutan sejarah, kekhasan, marjinalisasi, identitas akan diri, dan memiliki tata kelola atau tata pemerintahan sendiri. Dove menilai bahwa keaslian, menurut ilmu Antropologi, berkaitan erat dengan sejarah serta tempat. Ada dua risiko yang harus dicermati apabila kita mengedepankan pentingnya tempat (place) dalam memahami indigeneity. Risiko yang pertama adalah bahwa ada beberapa tempat dan situasi yang tidak begitu diperhatikan dan yang kedua adalah bahwa ada beberapa tempat dan situasi yang lebih diutamakan. Mengungkapkan sejarah identitas keaslian pun penuh risiko. Apabila status keasliannya dinilai terlalu primitif maka ada kemungkinan bahwa orang atau kelompok masyarakat tersebut akan mengalami pemindahan tempat dan apabila mereka dinilai tidak terlalu primitif maka mereka kemungkinan menghadapi risiko dipindahkan ke daerah lain melalui migrasi. Dengan kata lain akan selalu ada risiko perlakuan yang tidak menyenangkan secara politis terhadap kelompok masyarakat ini. Sementara itu ada tiga mitos yang dilekatkan pada masyarakat suku yaitu (1) orang atau kelompok lain yang tidak biasa (exotic other), (2) pemalas yang menerobos masuk (intruding wastrel), (3) masyarakat liar yang terhormat atau malaikat yang jatuh dari khayangan.

Pemahaman emik atas keaslian (indigeneity) pun diusulkan oleh Dove.  Menurut Dove, pemaknaan emik atas status keaslian merupakan upaya untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka dan bukannya identitas politik. Konsep dari keaslian tersebut, oleh Dove, dipandang sebagai reaksi terhadap dampak delokalisasi dari dunia modern serta cara pandang modern yang dianggap melucuti dan berdampak pada masyarakat daerah. Yang kemudian dilakukan oleh masyarakat suku tersebut, dalam rangka menyerang balik wacana pembangunan yang dominan, adalah menyatakan bahwa mereka memiliki sistem pengetahuan yang unik yang dapat menjadi dasar dan membantu kesuksesan pembangunan. Keunikan sistem pengetahuan ini pun masih dipertanyakan karena adanya keyakinan bahwa pengetahuan masyarakat asli ini sudah lama bersentuhan dengan pengetahuan dunia barat sejak, paling tidak, abad 15.

Pembahasan atas keaslian pun berpindah ke pembahasan mengenai pengetahuan masyarakat suku. Dove menyebutkan bahwa pengetahuan masyarakat suku berada di sekitar sumber daya alam dan lingkungan. Dove juga mengetengahkan ini dalam tulisannya yang berjudul Living Rubber, Dead Land, and Persisting Systems in Borneo[2] dimana konsepsi masyarakat suku Kantu di Kalimantan Barat atas penanaman pohon karet merupakan bagian dari beberapa kategori besar atas metafor yang mneghubungkan alam dengan kebudayaan. Dove mengetengahkan adanya perilaku yang disengaja dan tidak disengaja oleh para masyarakat suku dalam hal konservasi alam. Perilaku yang disengaja diungkapkan Dove sebagai perilaku orang modern dan perilaku yang tidak disengaja dikaitkan dengan perilaku orang – orang pramodern. Dove dalam tulisannya berjudul Living Rubber, Dead Land, and Persisting Systems in Borneo[3] menyebut konservasi alam ini dengan apa yang disebut dengan keberlanjutan secara ruang dan waktu (spatial and temporal dimensions of sustainability). Sistem penanaman pohon karet masyarakat suku Kantu di Kalimantan Barat terkait erat dengan kebutuhan daerah setempat dan luar daerah, hambatan yang ada serta kesempatan yang terbuka dalam artian bahwa sistem yang dijalankan berkaitan erat dengan masalah politik dan ekonomi. Solusi yang tidak statis yang dijalankan masyarakat suku Kantu ini pun menunjukkan bahwa sistem mereka tidak lah tradisional (tradisional dalam artian tidak pernah berubah). Pembukaan lahan dan pembangunan dilaksanakan dengan dalih untuk meningkatkan standards of living. Shem Migot-Adholla dkk dalam tulisannya berjudul Indigenous Land Rights Systems in Sub-Saharan Africa: A Constraint on Productivity?[4] Mengusulkan bahwa intervensi pemerintah dalam hal ekonomi dan politik pedesaan sebaiknya dilakukan apabila memang ada permintaan (genuine demand) untuk dilakukannya perubahan.

Pembahasan akan sistem pengetahuan masyarakat suku yang “lahir” dari sumber daya alam dan lingkungan sekitar, menurut saya, membuat Dove muncul dengan pembahsan mengenai ecological anthropology yang hanya bertahan pada era 1960an dan 1970an dan yang kemudian muncul istilah environmental anthropology yang diyakini berlandaskan pada teori Pos-struktural.

Bagian selanjutnya hingga akhir dari tulisan Dove ini adalah dilontarkannya beberapa pertanyaan dan perhatian terkait dengan gerakan – gerakan masyarakat suku seperti:
  1. Apabila gerakan masyarakat suku selama ini dianggap penuh dengan kekerasan, apa makna   kekerasan bagi masyarakat suku itu sendiri?
  2. Apa tanggungjawab moral peneliti terhadap gerakan masyarakat suku tersebut? Atau dengan kata lain what do you stand for? Moral or Science? Dengan kata lain pertanyaan ini mengarahkan kita pada pilihan Science for Science? atau Science for People?
  3. Topografi yang tidak merata tidak memungkinkan peneliti untuk berada di posisi netral dan adanya bias ideologi di dalamnya








[1] Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, Volume 154-2, 1998
[2] Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, Volume 154-1, 1998
[3] Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, Volume 154-1, 1998
[4] The World Bank Economic Review, Vol. 5, No. 1: 155 - 175

No comments:

Post a Comment