Thursday, November 8, 2012

Creating Excerpts - Commentary Units dari 'Pahlawan-Pahlawan Belia - Keluarga Indonesia dalam Politik', Saya Sasaki Shiraishi


Halaman 87 - 90

Analytic Point:
Kata hilang berarti lenyap atau tidak hadirnya seseorang atau sesuatu.

Orienting Information:
Sensasi kekosongan yang dingin dari sebuah kehilangan seseorang atau sesuatu, digambarkan dengan sangat indah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu cerita pendeknya yang berjudul “Yang Sudah Hilang”

Excerpt:
Kali Lusi melingkari separuh bagian kota Blora yang sebelah selatan. Di musim kering dasarnya yang dialasi batu-kerikil-lumpur-pasir itu mencongak – congak seperti menjenguk langit. Air hanya beberapa desimeter saja di tempat – tempat dangkal. Tapi bila hujan mulai turun, dan gunung – gunung di hutan diliputi mendung, dan matari tak juga muncul dalam empatpuluh atau limapuluh jam, air yang kehijau – hijauan itu jadi kuning tebal mengandung lumpur. Tinggi air melompat – lompat tak terkendalikan. Kadang – kadang hingga duapuluh meter. Kadangkala lebih. Dan air yang mengalir damai itu tiba – tiba berpusing – pusing dan mengamuk gila, diseretinya rumpun – rumpun bamboo di sepanjang tepi seperti anak kecil mencabuti rumput. Digugurinya tebing – tebing dan diseretnya beberapa bagian bidang lading penduduk. Lusi: dia merombak tebing – tebingnya sendiri.

Dan di dalam hidup ini, kadang – kadang aliran yang deras menyeret tubuh dan nasib manusia. Dan dengan tak setahunya ia kehilangan beberapa bagian dari hidup sendiri …
            
Dari depan rumah kami nampak pucuk rumpun – rumpun bamboo yang hijau hitam. Bila angin meniup mereka meliuk merayu – rayu. Kadang terdengar mereka bersuling sunyi di antara gerasakan angin. Dan semua pemandangan dan pendengaran itu sering menakutkan hatiku diwaktu kecil. Segera aku lari ke pangkuan bunda – menangis.
            
Hingga kini masih terdengar – terdengar olehku bunda bertanya: “Mengapa menangis?”
            
Dan tangannya yang tak lembut lagi seperti semasa gadisnya mengusap – usap pipiku yang kurus. Dan suara kanak – kanakku yang masih cedal menjawab di antara sedu-sedan: “Ibu – bamboo itu menangis.”
            
Dan bunda mengambil daku dan diletakkan di pangkuannya. Berkata ia memberanikan: “Dia tak menangis. Tidak. Ia sedang bernyanyi.”
            
Kemudian ibupun menyanyilah, nyanyian halus yang selalu dan selalu menenggelamkan ketakutan, kesedihan, dan kebencianku terhadap sesuatu. Nyanyian daerah! Tak jarang suaranya yang lembut lunak mendayu – dayu mengajak aku tidur. Kadang – kadang waktu menyanyi kubelai – belai rambutnya yang kacau ditiup angin. Kupermain – mainkan kupingnya yang dihiasi markis berlian. Kemudian, kemudian terdengar suaranya yang manis dalam perasaanku: “Engkau mengantuk,” katanya. “Mari kutidurkan.”
            
Dan kubuka mataku besar – besar agar dapat terus menikmati nyanyian bunda. Tapi aku tak kuasa lagi membuka tapuk mataku lagi…
            
Tapi semua itu sudah hilang kini. Semua itu telah lenyap seperti tebing – tebing dan rumpun – rumpun bamboo disereti air pasang kali Lusi. Dan aku tak kuasa menahan arus besar itu. Terasa benar olehku betapa mudah manusia didamparkan oleh gelombang waktu dari tempat ke tempat, dari perasaan ke perasaan.

Analytic Commentary:
Kehilangan, sensasi yang menyesakkan dada akibat lenyapnya sesuatu, begitu indah digambarkan Pramoedya dalam kutipan cerita pendeknya di atas. Rasa kehilangan di atas menggambarkan hilangnya sebuah keindahan yang polos, yang diambil oleh sebuah kekuatan besar di luar diri seorang anak kecil. Kehilangan itu menyublim karena terjadi di luar kekuasaan manusia. Seseorang mungkin menyaksikan hancurnya tanggul dan merenungkan nasib tanggul tua itu dengan masa kecil seseorang yang tersapu oleh arus sungai dan waktu. Tapi tanggul tua itu sudah tidak ada, dan karena sudah tidak ada lagi, orang tersebut membangunnya lagi dalam kenangannya dengan begitu sempurna dan indah. Inilah kehilangan yang sesungguhnya yang membuat apa yang hilang itu begitu asli dan nyata.
            
Sensasi kehilangan itu dibangun untuk dipertentangkan dengan ketakberdayaan manusia menolak gelombang arus sungai dan waktu. Dalam kutipan di atas, setiap pertanyaan pada soal kerja mesin hidraulik yang mengatur arus air sungai Lusi, akan menghancurkan kemurnian sensasi yang dibangun dan akan terlihat tidak berkaitan atau tidak perlu.
            
Pramoedya menciptakan kembali yang sudah hilang, dan melalui cerita itu, dia menghidupkan kembali dalam benak pembacanya, sensai kehilangan yang dirasakan seorang anak kecil, yang sekarang sudah dewasa dan melihat kembali apa yang sudah hilang dari dirinya. Apa yang hilang adalah dunia masa kanak – kanak, dengan seorang ibu yang menyanyikan tembang Jawa untuk menghibur anaknya. Latarnya memang dunia Jawa. Tapi apa yang ditulis dalam cerita pendek Pramoedya bukan lagi dunia Jawa, tapi Indonesia. Pramoedya menulis tentang penciptaan dunia baru dari kekosongan bagi bangsa yang masih muda yang dimulai dengan penciptaan masa lalunya, masa kanak – kanaknya, yang “hilang”.


 CONTOH LAINNYA (DIAMBIL DARI CATATAN ETNOGRAFI PENULIS BLOG INI)

SUSUNAN KALIMAT DAN RAS

Analytic Point:
Untuk Miun, individu – individu yang berasal dari suku yang berbeda yang dilihat berdasarkan dari penyusunan kalimat

Orienting Information:
Miun mengutarakan adanya perbedaan di antara individu – individu dengan suku yang berbeda tersebut berdasarkan pada sifat orang – orang tersebut.

Excerpt:
Menurut Miun, “kalau Jawa itu … lebih tahu … lebih memahami gitu … kayak misalnya  dari cara ngomong itu kan beda antara orang Jawa dengan orang Batak”. Saya pun kemudian meminta keterangan lebih lanjut mengenai perbedaan cara berbicara kedua suku tersebut. Sambil tertawa kecil Miun mengungkapkan, “kalau Batak itu kebanyakan … to the point. Kalau Jawa itu biasanya nyamping dulu”. Miun kemudian mencontohkannya dengan cara individu – individu tersebut dalam meminta Miun untuk membuatkan minuman untuk mereka. Berikut ini adalah kata – kata yang dikutip oleh Miun dari orang – orang dengan suku yang berbeda tersebut: Jawa: “mas kalau bisa saya buatin teh”; Batak: “mas saya buatin teh”. Kata Miun, “nah … itu kan beda. Seperti Mbak ****** (menyebutkan marga seseorang) itu dulu awal pertengahan kerja di sini kalau minta minum bilang “mas, saya buatin teh” … walaupun dia ngomongnya sambil senyum tapi bagi orang Jawa itu to the point … itu dulu kalau sekarang sudah enggak. Tapi kalau kayak Mas Andi (nama disamarkan) kalau minta minum bilangnya “mas, minta tolong buatin minum””

Analytic Commentary:
Dalam kutipan di atas diberikan contoh – contoh kalimat dalam konteks meminta bantuan untuk membuatkan teh. Senyuman yang ditunjukkan oleh ******* (marga) tidak diperhitungkan dalam membedakan suku bangsa oleh Miun. Miun lebih memperhatikan susunan kata – kata yang dikatakan oleh ke dua orang yang berbeda suku bangsa itu. Bagi Miun kata – kata, “Mas, Saya buatin teh” adalah perintah langsung tanpa bumbu – bumbu yang lainnya atau yang di sebut dengan to the point. Sedangkan untuk orang Jawa penambahan kata dalam kalimat perintah dianggap tidak to the point. Bagi Miun, to the point yang ditunjukkan lewat kalimat yang diutarakan merupakan sifat orang Batak sedangkan kalimat yang “menyamping” biasanya diucapkan oleh orang Jawa.

No comments:

Post a Comment