Friday, November 30, 2012

Review: Religious Movements in Central Africa: A Theoretical Study (Willy de Craemer, Jan Vansina dan Renee C. Fox)


PENGANTAR
            
Saya tidak menterjemahkan kata religious dengan kata keagamaan, dimana mengandung kata agama, untuk menghindari pemahaman akan agama sebagaimana yang dirumuskan oleh Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1961.
“Depag, tahun 1961, secara resmi merumuskan apa yang disebut “agama” dengan lima unsurnya, yakni Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Umat, dan pengakuan internasional. Maka, dengan langkah itu, kelompok-kelompok yang meyakini kepercayaan lokal digolongkan sebagai "belum beragama" (Sumber: LAPORAN ALTERNATIF PELAKSANAAN KONVENSI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL (ICERD) DI INDONESIA, 2007 - “Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesia” halaman 32)
            
Saya menggunakan kata religi berdasarkan pada istilah yang digunakan dan dijelaskan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut:
Konsep yang saya anut adalah bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen yaitu:
1.     Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius
2.     Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan – bayangan manusia tentang sifat – sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam ghaib (supernatural)
3.     Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa – dewa atau makhluk – makhluk halus mendiami alam ghaib
4.     Kelompok – kelompok religius atau kesatuan – kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam sub. 2, dan yang melakukan sistem upacara – upacara religius tersebut dalam sub 3 (Koentjaraningrat, Jakarta: 137)
(Sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia, IGM Nurdjana, September 2009, Pustaka Pelajar, halaman 19)


RINGKASAN DAN KOMENTAR ATAS ARTIKEL
            
Artikel ini ditulis oleh tiga penulis berdasarkan pada penelitian antropologis, sejarah dan sosiologis yang mengambil waktu beberapa tahun. Ketiga penulis tertarik dengan peran penting religi dan magis di masyarakat tersebut. Mereka berpandangan bahwa gerakan – gerakan tersebut merupakan dimensi integral dari kebudayaan pada umumnya di sebagian besar daerah Zaire dan daerah – daerah yang berada berdekatan dengannya di Afrika Tengah. Mereka juga berpandangan bahwa evolusi kebudayaan dalam bentuk simbol – simbol, ritus – ritus, kepercayaan – kepercayaan dan nilai – nilai tersebut memperkaya kebudayaan darimana kebudayaan tersebut berasal.
            
Sebelum mengetengahkan studi teoritisnya, ketiga penulis mengetengahkan pandangan dua kelompok penulis akan gerakan – gerakan tersebut dan komentar kritis penulis terhadap pandangan. Kelompok pertama dinilai oleh penulis menggunakan kerangka struktural sosial deterministik yang lebih sempit dimana mereka melekatkan pentingnya religi pada faktor – faktor ekonomi dan politik tanpa memperhatikan pada kinerja budaya itu sendiri atau paling tidak melihat proses dari produk kebudayaan itu sendiri. Kelompok penulis yang kedua dinilai berkutat secara khusus pada komponen – komponen kebudayaannya namun tidak melihat simbol – simbol yang mereka teliti sebagai sesuatu yang dapat berubah dan menklasifikasikan, atau kalau saya pahami sebagai melabeli, gerakan – gerakan tersebut pada kriteria yang tidak tepat. Kelompok penulis yang ke dua ini dinilai telah mengesampingkan karakteristik – karakteristik utama yang terlibat di dalamnya.

Berdasarkan pada kritik mereka pada kedua kelompok penulis sebelumnya, saya berpikiran bahwa ketiga penulis merasa dengan penelitian yang dilaksanakan di daerah – daerah kota serta pedalaman negara tersebut, ketiga penulis merasa yakin bahwa proses kebudayaan serta karakteristik – karakteristik utama dari gerakan – gerakan religi di Afrika Tengah akan terpresentasikan.

Fokus dari penulisan artikel ini adalah pada proses serta karakteristik – karakteristik gerakan. Berdasarkan pada uraian tersebut pada halaman 458 - 459, untuk memahami artikel ini dengan mudah saya perlu meletakkan kerangka berpikir saya dengan paradigma yang digunakan oleh penulis tersebut untuk kemudian memberikan komentar saya akan artikel tersebut.  Tujuan penulis untuk melihat pada proses serta karakteristik – karakteristik umum, menurut saya, menggunakan epistemologi Positivisme dengan paradigmanya Evolusionisme. Asumsi dasar, nilai dan model sebuah epistemologi dinyatakan oleh Ahimsa-Putra tidak secara eksplisit terjelaskan atau bentuknya implisit. Positivisme memiliki asumsi bahwa gejala sosial budaya seperti gejala alam (mengacu pada ilmu alam karena ilmu alam muncul lebih dulu) yang modelnya bisa mewujud dalam organisme yang berubah (paradigma Evolusionisme) atau yang unsur – unsurnya berkaitan secara fungsional (paradigma Fungsionalisme). Positivisme juga beranggapan bahwa sebuah ilmu pengetahuan tujuannya adalah merumuskan hukum.

Paradigma Evolusionisme merupakan paradigma yang berlandaskan pada positivisme yang diuraikan oleh Comte, seorang positivistik Perancis, dimana paradigma ini memiliki landasan filsafat dimana gejala sosial budaya seperti gejala alam dan kebudayan tersebut mengalami suatu proses perubahan yang relatif lambat menuju sistem yang relatif lebih kompleks dan paradigma ini bertujuan merumuskan hukum – hukum dimana pada akhirnya akan tercapai hukum - hukum atas perkembangan historis yang penemuannya menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya, memahami apa yang terjadi sekarang dan memprediksikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

  1. Religi dan Magis
Studi teoritis ini dimulai dengan definisi akan religi dan magis menurut penulis. Religi didefinisikan sebagai sistem simbol, keyakinan, mitos – mitos dan ritus – ritus yang dialami dan dihayati sebagai sesuatu yang penting terutama karena religi tersebut memberikan orientasi demi eksistensi masyarakat. Ketiga penulis menambahkan bahwa religi menyediakan definisi akan diri secara individual dan kolektif serta membentuk kosmologi dan pola – pola pemikiran dan merupakan sumber utama solidaritas sosial. Pemaknaan akan religi disinggung di artikel ini dianggap sebagai transkultural dimana pemaknaan lebih berdasarkan pada apa yang dialami oleh masing – masing anggota. Diungkapkan juga bahwa masalah lain dalam pemaknaan lebih karena dibatasi oleh budaya si pemberi makna itu sendiri.

            Magis, penurut pandangan para penulis artikel ini, memiliki komponen yang sama dengan religi. Perbedaan mendasar antara religi dan magis adalah pada pemenuhan tujuan – tujuan individu atau kolektif. Pada religi tujuan pemenuhan kolektif lah yang dipenuhi sedangkan pada magis, tujuan individu lah yang dipenuhi meskipun pada prakteknya praktek religi dan magis bisa saja bercampur. Contoh yang diberikan pada artikel ini adalah jimat (460). Jimat untuk keselamatan dalam berperang sekelompok tentara merupakan jimat untuk praktek religi, sedangkan jimat yang digunakan agar seorang wanita dapat memiliki keturunan untuk bersaing dengan istri – istri yang lain dari suaminya merupakan praktek magis.

  1. Atribut – atribut Gerakan Religi Afrika Tengah
Bagian ini dibuka dengan teori bahwa gerakan religi Afrika Tengah ada ketika secara kolektif bentuk – bentuk religi baru diterima dan diteruskan ke individu dan kelompok – kelompok lain. Bentuk – bentuk religi baru ini biasanya terdiri dari ritual – ritual, simbol – simbol, keyakinan – keyakinan dan/atau mitos – mitos yang telah dicampuraduk atau dikombinasi ulang, dan hanya beberapa saja yang ditambahi dengan materi baru ke dalamnya. Saya ingin menggarisbaawahi kata kolektif dalam teori gerakan religi Afrika Tengah dalam artikel ini yang mengingatkan saya pada penjelasan Suhartono pada saat perkuliahan dimana gerakan – gerakan tidak ada yang mono aspect dan biasanya multi aspect agar lebih mencakup banyak orang. Dugaan awal saya dengan adanya pencampuradukkkan dan pengkombinasian serta penambahan materi baru dalam religi adalah upaya untuk lebih multiaspect agar penerusan ke individu dan kelompok – kelompok lain dapat lebih diterima.

Pada kesempatan perkuliahan yang sama, Suhartono juga menjelaskan faktor – faktor munculnya gerakan sosial adalah salah satunya leadership, dalam bagian ini dituliskan bahwa suatu gerakan muncul dari seorang leader, seorang figure karismatik dimana visi – visinya didapat dari mimpi  - mimpi atau pada saat dia mengalami ‘kerasukan’. Dan dugaan saya akan tujuan pencampuradukkan dan pengkombinasian serta penambahan materi baru muncul pada bagian akhir paragraph pertama bagian ke dua ini dimana disebutkan bila materi – materi religi yang dikenalkan agar dapat diakui dan diterima oleh yang lain, maka materi – materi religi tersebut harus sedekat mungkin dengan komponen – komponen klasik religi Afrika Tengah.

Dalam bagian ini dikemukakan sebuah teori atas tujuan utama dari seluruh gerakan – gerakan religi tersebut, yaitu untuk mencegah bala dan mendapatkan keberuntungan yang sebesar – besarnya. Hal utama yang di’jual’ agar religi ini diterima pada saat ditularkan ke individu – individu atau kelompok – kelompok lain adalah kekuatan dan kekebalan dari segala bala dengan kata lain adalah keselamatan. Dalam bagian ini juga disebutkan akan keberadaan wujud Adimanusiawi atau Pencipta seluruh alam raya dan juga roh – roh yang mendiami tempat antara kehidupan dunia dan akhirat.

Selain religi dan magis, di bagian ini juga disebutkan adanya praktik sihir yang memiliki nilai negative dibandingkan religi dan magis. Praktik sihir di sini disebutkan dilakukan karena rasa sombong, cemburu, pikiran jahat, dan lain – lain. Selain kosmologi akan adanya mahluk supranatural, di sini juga disebutkan adanya baik dan jahat atau good dan evil. Evil ini diyakini tidak hanya karena ulah dari orang lain, namun juga bisa karena akibat perbuatan orang itu sendiri yang telah melakukan taboo atau juga karena orang itu berubah dari yang dulunya baik menjadi jahat. Sehingga konsep manusia di sini adalah bahwa seseorang dapat saja berbuat baik namun dia juga dapat berbuat jahat.

Meskipun oleh beberapa pihak gerakan religi ini dianggap tradisional atau primitive, namun gerakan ini juga memiliki struktur. Struktur yang dimaksud di sini berkaitan erat dengan posisi leader dengan karismanya dan pergerakan berdasarkan visi – visinya. Struktur ini kemudian di berbagai tempat dimodifikasi dan mengalami transformasi. Transformasi, modifikasi serta pembaharuan struktur ini dilakukan melihat dari fakta bahwa gerakan ini bertahan paling tidak selama 25 tahun atau lebih meskipun janji – janji dan harapan – harapan yang ditawarkan belum terpenuhi sehingga menurut saya, dan berdasarkan pada uraian Suhartono, gerakan religi Afrika Tengah ini merupakan gerakan Millenarisme.

Setelah menjelaskan panjang lebar di bagian akhir, ketiga penulis menggarisbawahi bahwa kolektif dan berkelanjutan merupakan karakteristik utama dari suatu gerakan.

  1. Kebudayaan Afrika Tengah pada Umumnya. 
Menilik pada sejarahnya, ditegaskan dalam bagian terakhir bagian ini bahwa kebudayaan di Afrika Tengah pada masa pra kolonial adalah klasik dimana faktor utamanya adalah pertukaran perempuan, dan terjadi migrasi, dalam hal penerusan kebudayaan. Penerusan atau gerakan ‘penularan’ religi tersebut juga terjadi pada bidang perdagangan dengan diterimanya jimat – jimat dalam tiga atau empat jaringan perdaganngan dimana jimat – jimat ini diterima oleh pihak penjual dan pembeli. Pada masa peperangan narapidana dan budak – budak memberikan elemen – elemen baru pada musuhnya karena meminjam jimat musuh merupakan kebiasaan umum. Hal tersebut juga berlaku dalam sistem pertanian dan penyakit – penyakit yang ditemui dimana jimat – jimat dipertukarkan antar komunitas.
            
Pada masa kolonial juga terjadi dalam bidang transportasi yang lebih maju, migrasi besar – besaran, mass media dan sekolah – sekolah. Elemen - elemen ggama – agama baru seperti Nasrani dan Islam dipilih secara selektif untuk diintegrasikan dalam budaya mereka.

Berdasarkan fakta – fakta tersebut di bagian akhir ditegaskan bahwa kebudayaan Afrika tengah yang berevolusi dan menyebar adalah gerakan – gerakan religi.

  1. Paradigma Gerakan – Gerakan Religi Afrika Tengah
Pada bagian ke dua telah disinggung leader. Pada bagian ke empat ini visi dari leader yang merupakan awal dari sebuah gerakan diungkapkan di awal. Visi dari pemimpin yang dia peroleh selama beberapa tahun ini kemudian dia teruskan ke masyarakat dan meyakinkan masyarakat bahwa visi tersebut benar adanya. Leader tidak serta merta mendapatkan kepercayaan masyarakat namun dia mulai dengan menarik hati masyarakat dengan menyuguhkan tarian dan lagu – lagu pemujaan baru. Setelah memiliki kongregasinya, sebuah organisasipun dibentuk dan struktur – struktur di dalamnya. Gerakan kemudian dapat disebarkan setelah pemukiman – pemukiman yang bersebelahan teryakinkan bahwa gerakan religi baru tersebut memang menawarkan perlindungan dari bala.

Suatu gerakan religi akan hilang setelah ada gerakan yang untuk pihak luar nampak sama namun dianggap baru oleh kongegrasi tersebut. Menilik dari pernyataan ini, bisa dikatakan bahwa gerakan religi baru merupakan transformasi dari gerakan religi yang sudah ada sebelumnya.

  1. Parameter Kultural Gerakan
Pada bagian ini diketengahkan dua kelompok parameter untuk memahami lebih dalam struktur dan dinamika gerakan religi tersebut:

1.    Tujuan dan nilai yang di bawah ini merupakan daftar yang dibuat dari yang paling spesifik hingga umum:
-       Kesuburan wanita
-       Keberhasilan perburuan
-       Panen yang melimpah
-       Kematian yang wajar
-       Kekuatan
-       Menang perang
-       Kekebalan
-       Kekebalan hukum dan otoritas
-       Harta benda dan kemakmuran
-       Menundukkan laki – laki atau perempuan
-       Menjadi seperti orang Eropa (kekayaan, otoritas, kekuasaan, power, kepintaran teknis, magis)
-       Menguasai orang Eropa
-       Unggul dalam status dan martabat
-       Kesehatan
-       Bebas dari dendam yang dilindungi
-       Afrikanisasi Kristen
-       Kembalinya masa – masa kejayaan
-       Kekuatan, kekuasaan
-       Kemerdekaan, kemandirian
-       Pengorbanan
-       Sukses dalam segala aktifitas
-       Menjadi manusia yang baik seutuhnya
-       Perlindungan dari kejahatan, nujum dan sihir
Dari seluruh daftar tersebut dapat dikatakan bahwa mereka menginginkan kehidupan yang baik dalam artian harmonis dan tidak ada kejahatan.

2.    Ritual, simbol, keyakinan dan mitos – mitos

Saya tidak akan mengetengahkan apa yang dituliskan penulis di bagian ini namun saya ingin mengkritisi pendefinisian ritual, simbol, keyakinan dan mitos – mitos. Meskipun simbol di buat terpisah dengan ritual, keyakinan dan mitos – mitos namun dalam menjelaskan arti dari masing – masing kata tersebut, penulis memasukkan kata simbol:
“Ritual is symbolic action that refers to the goals and values ….
“The mythical element in classical movements is important only insofar as it can be broken down into preexisting, familiar symbols”
Sedangkan keyakinan tidak diulas lebih lanjut di bagian ini.

Pada bagian akhir disebutkan bahwa beberapa mitos di Afrika Tengah telah dipengaruhi oleh Kristenisasi orang Eropa yang ada di sana seperti penggunaan api (lilin), air (baptis), candi – candi (tempat – tempat ibadah) dan himne (musik).

  1. Dinamika Gerakan – Gerakan
Dinamika yang dimaksud di sini adalah proses – proses inovasi dimana parameter kebudayaan dikombinasikan dan direkombinasikan dan proses – proses difusi dimana gerakan – gerakan religi menyebar dari satu komunitas ke komunitas yang lain. Dari apa yang telah diketengahkan di bagian – bagian sebelumnya, ditegaskan bahwa kebudayaan Afrika Tengah telah mengalami difusi. Kriteria yang dimaksudkan di sini bukanlah kriteria gerakan – gerakan religi namun merupakan ciri – ciri khusus atau ciri – ciri dasar dari seluruh gerakan religi di Afrika Tengah.

  1. Kesimpulan
Pusat dari gerakan – gerakan religi di Afrika Tengah adalah ideologi Millenarisme dimana adanya janji – janji dan harapan – harapan keselamatan, atau yang disebut di sini dengan the fortune-misfortune complex, ditawarkan oleh gerakan – gerakan religi tersebut sehingga landasan ideologi ini mempengaruhi nilai – nilai dan tujuan dari semua gerakan. Simbol dan ritual merupakan parameter kebudayaan yang lebih penting dibandingkan keyakinan dan mitos – mitos. Jimat merupakan produk material utama yang muncul di semua gerakan – gerakan.

Konsep dari kebudayaan sendiri di sini dipandang berbeda dengan asumsi – asumsi para antropolog dimana kebudayaan di Afrika Tengah tidak terlalu hegemoni dan tidak khusus. Satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain di Afrika Tengah tidak selalu sama namun memiliki aspek mendasar.

Pola dari gerakan juga dianggap stabil dimana bentuk – bentuk ekspresinya beragam dengan batasan aturan – aturan tertentu. Kesimpulan ini ditutup dengan saran agar ilmuwan dan ahli – ahli sejarah yang menganalisa gerakan – gerakan serupa sebaiknya menilik dasar dari perubahan dan skala waktu yang mengiringinya, memberikan analisa dengan interval waktu panjang karena bagian komprehensif dari tradisi kebudayaan berubah sangat lambat. Pada akhir kesimpulan dinyatakan bahwa penemuan ini mungkin saja tidak valid untuk daerah – daerah di luar Afrika Tengah. Pendekatan analitis yang telah mereka lakukan perlu untuk diujicobakan dengan menggunakan data dari daerah lain sehingga teori umum atas gerakan – gerakan religi dan kebudayaan pada umumnya dapat tercapai.

KOMENTAR AKHIR

Jika pada awal tulisan ini saya berpendapat bahwa studi ini menggunakan paradigma Evolusi, pada bagian 6 jelas bahwa paradigma penulisan artikel ini adalah Difusi dimana diyakini bahwa gerakan religi di Afrika Tengah mengalami difusi oleh karena adanya pertukaran perempuan, imigrasi, peperangan dan juga masuknya agama – agama baru.

No comments:

Post a Comment