Friday, November 30, 2012

Book Report: Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara


KATA PENGANTAR
Ringkasan dari buku ini sebenarnya telah dikemukakan oleh Ghee dan Gomes pada bagian pendahuluan. Saya banyak mengetengahkan ringkasan dari Ghee dan Gomes pada bagian pendahuluan tersebut dengan tambahan beberapa hal yang belum diungkapkan oleh Ghee dan Gomes dari masing-masing makalah yang terdapat pada bab-bab di dalam buku ini.

RINGKASAN BUKU
      
Buku ini merupakan kumpulan makalah-makalah hasil lokakarya yang diadakan pada bulan Mei tahun 1987 di Malaysia. Lokakarya ini mengangkat topik Perdamaian dan Transformasi Global. Berkaitan dengan topik utama lokakarya, ada enam hal yang diangkat dan dikaji karena memiliki konsekuensi-konsekuensi lokal, regional dan internasional, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) proses militerisasi, (3) krisis negara, (4) penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia dan indentitas kultural serta (6) konflik atas sumberdaya-sumberdaya alam serta masalah teknologi yang lolos dari kendali. Keenam hal tersebut dinilai merupakan bahaya yang lebih besar bagi kelangsungan komunitas asli yang kecil dan rentan dibandingkan bagi komunitas-komunitas bukan asli yang dominan,lebih besar, terorganisasi dengan baik dan kuat serta terintegrasi dalam sistem dunia modern. Ditambahkan bahwa identifikasi, penggambaran serta penganalisaan langkah-langkah koreksi yang diambil oleh negara untuk menghadapi gerakan-gerakan rakyat untuk perdamaian, demokrasi partisipatoris dan pelestarian lingkungan yang berkaitan dengan hak atas kelangsungan hidup dari budaya-budaya serta suku-suku asli yang terancam juga dianggap penting. Selain itu kesediaan budaya-budaya serta peradaban dunia yang dominan agar mempertahankan hak-hak sosial-kultural dari budaya-budaya minoritas perlu ditengok dengan menganalisa keadaan yang menimpa suku-suku asli dibahas secara nasional, regional dan global.

Dalam bagian pendahuluan, diketengahkan bahwa masalah-masalah utama kaum minoritas asli adalah (1) pemindahan, (2) pemiskinan budaya dan sosial serta (3) desintegrasi yang merupakan akibat tuntutan-tuntutan dunia luar akan energi, mineral, lahan pertanian serta sumberdaya-sumbedaya alam yang lain dan diperburuk dengan sistem-sitem negara yang membenarkan intervensi dunia luar dengan alasan “pemodernisasian” atau “pemajuan” kaum minoritas suku asli. Dengan kata lain, dalam lokakarya ini, studi-studi kasus mengenai cara-cara kekuatan ekonomi dan luat serta intervensi negara yang menimpa kaum minoritas suku asli di Malaysia, Indonesia, Filipina dan Pasifik dikaji dibarengi dengan melihat respon-respon suku-suku asli terhadap gangguan atas kehidupan mereka.

FILIPINA

Kajian mengenai keadaan di Filipina diketengahkan oleh Regpala dan Dorall. Fokus tulisan-tulisan kedua orang tersebut berfokus pada perkembangan organisasi-organisasi suku asli serta gerakan-gerakan yang dibentuk terutama untuk menjamin kelangsungan hidup kebudayaan dan mengamankan otonomi politik serta keswasembadaan ekonomi mereka terutama tentang komunitas Cordillera di Luzon Utara dan Luzon Tengah.

Perlawanan di Cordillera: Respons Bersejarah Orang Asli Filipina terhadap Invasi dan Perubahan yang Dipaksakan dari Luar
Ma. Elena R. Regpala

Regpala dalam makalahnya membahas sejarah perlawanan komunitas Cordillera di dataran tinggi terhadap kolonialisme Spanyol dan Amerika. Diceritakan pata tahun 1571 pada saat Spanyol memasuki daerah Cordillera untuk berburu emas. Mereka membantai, menjarah dan menghancurkan desa-desa suku asli serta memberlakukan control administrative dan religius yang oleh Regpala kemudian disebut dengan gerakan politik “tuhan, emas dan kemuliaan”. Rakyat Cordillera di dataran tinggi tersebut melakukan perlawanan dan mendapatkan otonomi sosial-politik dibandingkan dengan rakyat Cordillera di dataran rendah yang tidak melakukan perlawanan sehingga tidak mendapatkan otonomi sosial-politik.

Disebutkan bahwa pada tahun 1896-1901, masyarakat dataran rendah dan tinggi bersatu menggulingkan rezim Spanyol yang kemudian digantikan kolonialisme Amerika Serikat. Dalam menghadapi masyarakat Cordillera ini, Amerika Serikat menerapkan kebijakan pasifikasi dan integrasi “orang-orang liar” ke dalam struktur politik kolonial. Langkah-langkah yang diambil oleh Amerika Serikat untuk menundukkan masyarakat Cordillera adalah dengan:
     (1)  Menerapkan sistem produksi baru
     (2)  Pembangunan jaringan jalan
     (3)  Kristenisasi
     (4)  Pendidikan
     (5)  Pembentukan pemerintahan sipil
     (6)  Mendirikan Biro Suku-suku Non Kristen
Biro ini kemudian melakukan riset secara antropologis yang hasilnya dimanfaatkan dengan mengeluarkan undang-undang untuk melindungi kepentingan mereka atau yang pada halaman 195 disebut dengan ‘Manipulasi Budaya’. Undang-undang tersebut terutama adalah undang-undang atas hak-hak tanah dan undang-undang penambangan.

Sistem kapitalis Amerika Serikat tersebut kemudian mengakar kuat di masyarakat Cordillera hingga masa rezim Marcos. Perusahaan-perusahaan kapitalis tersebut, terutama dalam hal penambangan, perkayuan, perkebunan agrikultur, pembangunan bendungan Ambuklai dan Binga HEP kemudian membawa dampak kepada masyarakat dalam hal pengusiran mereka dari tanah adat dan eksploitasi tenaga kerja. Namun, masyarakat Cordillera tidak begitu saja menerima keadaan ini. Protes dilakukan oleh rakyat dengan melakukan pemberontakan bersenjata oleh New Peoples Army demi mempertahankan otonomi sosial-politik dan penentuan nasib mereka sendiri.

Invasi Amerika Serikat ini diselingi dengan masa pendudukan Jepang di Filipina yang semakin menguatkan landasan bagi perlawanan gerilya anti-Jepang di Cordillera.

Dialektika Pembangunan: Respons Orang Asli terhadap Modal Pembangunan di Cordillera Tengah, Luzon Utara, Filipina
Richard F. Dorall

Makalah Dorall lebih merupakan studi kasus dalam dialektika pembangunan. Yang dimaksud dengan dialektika adalah seperti apa yang diungkapkan oleh Goulet dimana pemikiran dialektik adalah suatu cara pendekatan yang dibutuhkan bagi realitas dialektik, karena pengalaman manusia mengenai dunia tidak bebas, kendati ia memiliki aspirasi terhadap kebebasan yang mencakup penolakan terhadap suatu model perubahan yang seimbang berdasarkan homeostatis atau gerakan satu arah. Pemikiran Goulet ini didasarkan pada pemikiran bahwa proses pembangunan secara tak terelakkan melahirkan konflik-konflik yang mendalam dan konsekuensi-konsekuensi ini tak terramalkan (2003: 60-61). Dorall mendokumentasikan secara sosiologi dan kronologis proses aksi, reaksi dan interaksi kompleks yang terjadi antara orang Tinggian, yang merupakan penduduk Cordillera, dengan kekuatan-kekuatan kapitalis perusahaan swasta bernilai jutaan peso dan berlindung pada rezim Marcos. Fokus Richard Dorral adalah masyarakat Cordillera di Provinsi Abra, Luzon Tengah yang juga merupakan daerah dataran tinggi. Dituliskan bahwa pada periode tahun 1972 dan tahun 1981, Abra merupakan provinsi termiskin ke-empat berdasarkan pada indeks per kapita. Pada periode tersebut juga diadakan evaluasi atas dampak proyek pembangunan pemerintah. Orang Tinggian merupakan suku asi di Abra dimana (1) sistem kepercayaan mereka animistic dan (2) memiliki pakta-pakta perdamaian yang disebut kalon atau budong yang mengatur keharmonisan hubungan antarsuku asli.

Langkah-langkah pemerintah yang dilakukan di daerah ini adalah kurang apresiatif terhadap jaringan hubungan yang telah mereka miliki dan dipaksakannya struktur administrative baru pada jaringan sehingga merusak pakta yang telah ada. Dikatakan oleh Ghee dan Gomes bahwa kajian Dorall ini lebih melihat pada perubahan di suku-suku asli Cordillera dalam kerangka studi pembangunan. Kajian dimulai dengan diketengahkannya proyek jutaan dolar di provinsi Abra pada awal 1970-an menyusul dikeluarkannya undang-undang darurat perang. Dua perusahaan besar muncul yaitu Cellophil Resources Corporation yang kemudian diikuti dengan Cellophil Processing Corporation. Kedua perusahaan ini diberi area lahan sebesar 198.785 hektar untuk kayu pinus dan melanggar lahan adat. Pemerintah menerapkan prosedur-prosedur yang sewenang-wenang dan mengeluarkan ancaman-ancaman terhadap oposisi lokal dan dipandang bahwa ada ketidakrelevansian proyek terhadap populasi suku asli lokal. Pada saat CRC runtuh, militerisasi meningkat dan Tentara Rakyat Baru yang komunis terbatasi kegiatannya karena kendala lingkungan.

Proyek Cellophil ini juga mengundang minat banyak pendatang. Pertemuan tribunal Rakyat diadakan dalam rangka upaya damai dengan cara dialog, seminar hingga intervensi gereja. Namun emosi semakin meningkat ketika Cellophil menolak mentah-mentah tuntutan awal orang Tinggian dan bahkan menuduh para pastor Catholic Divine Wolrd Missionaires (SVD) berdiri di pihak orang Tinggian yang menjadi umat mereka sebagai subversif dan anti-pemenrintah. Oleh sebab itu reaksi-reaksi yang ditampilkan oleh masyarakat adalah anti-pemerintah dan militan dan tindakan Cellophil tersebut dinilai orang Tinggian, yang sangat bergantung pada para pastor, bejat secara moral. Pada saat itu juga dibarengi dengan meningkatnya kasus kebakaran di area-area konsensi Cellophil. Dorall menyimpulkan bahwa pembangunan dengan menggunakan paradigma teknokratis yang kuat dari para birokrat ditambah dengan informasi yang salah tidak akan berjalan dengan baik. Paradigma teknokratis Filipina pada tahun 1965-1986 di bawah kepemimpinan Ferdinand E Marcos, menurut Dorall, mempersepsikan pembangunan sebagai proses garis-lurus yang sederhana. Ditambahkan oleh Dorral bahwa kesalahan utama proyek-proyek di daerah ini adalah dengan tidak diikutsertakannya rakyat dalam perencanaan.

INDONESIA
Orang Badui di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan
Judistira Garna

Kajian dari Indonesia diketengahkan oleh Judistira yang berfokus pada suku Badui. Dalam ulasannya Judistira mengetengahkan sejarah, kebudayaan material, agama dan kosmologi, sistem politik serta perubahan sosial yang terjadi pada suku asli ini. Dituliskan oleh Judistira bahwa suku Badui merupakan bagian dari kelompok etnis Sunda yang dinilai oleh Judistira sangat setia terhadap tradisinya berdasarkan tulisan Jul Jacobs dan bahasa Sunda yang mereka gunakan masih murni layaknya bahasa Sunda pada empat abad sebelum tahun 1928. Judistira, seperti pada judulnya, mengawali studi kasusnya dengan mengetengahkan upaya adaptasi Orang Badui dengan lingkungannya. Upaya pertama yang terdokumentasikan adalah pada akhir abad ke-16 pada saat Kerajaan Pajajaran dikalahkan oleh Kerajaan Islam Banten yang menyebabkan kabuyutan (tempat-tempat suci yang berupa batu-batu dari tradisi megalitikum) tidak lagi dipakai kecuali komunitas Badui yang bebas dari serangan Islam dan hal ini tidak dianggap membahayakan Kerajaan Islam Banten. Di abad ke-17, Sultan hasanuddin mempersempit lahan komunitas Badui yang dikelilingi oleh kampung-kampung orang Muslim. Pada masa pemerintahan Belanda, suku Badui menugaskan jago warega sebagai penghubung dengan dunia luar. Keberadaan jago warega ini tidak menganggu struktur sosial Badui yang berlaku. Orang Badui, dituliskan oleh Judistira, memiliki nilai bahwa rumah, ladang, mebel dan pakaian merupakan milik individu sedangkan saung lesung dan balai kampung merupakan milik bersama.

Selain apa yang dinilai sebagai milik pribadi, Judistira juga mengetengahkan kosmologi dan sistem kepemimpinan orang Badui. Menurut oran Badui, para penghuni bumi ini diciptakan oleh para Batara dan religi yang mereka pahami adalah hubungan antara cara berpikir dan perilaku. Pada halaman 153 dituliskan bahwa kehidupan bagi orang Badui berpusat sekitar pikukuh. Semua orang dilahirkan untuk menjadi pertapa, memenuhi kewajibannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kedudukannya, menjalani hidup yang sederhana dan tidak membebani siapa pun. Kepala pemerintahan orang Badui adalah Puun yang berkewajiban untuk memelihara Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas, membimbing dan menyuluhi komunitas, menjadi pertapa dan menyelenggarakan upacara kawalu. Jaro Warga (kepala kelompok) bertugas untuk berhubungan dengan orang luar atas nama Kanekes.

Pada perubahan sosial, dibedakan antara perubahan alamiah yaitu ketika orang Badui menyesuaikan diri untuk membela diri dan meningkatkan kesejahteraan mereka dan perubahan-perubahan yang dipaksakan kepada mereka oleh pemerintah. Suku Badui dinilai harus berhadapan dengan budaya-budaya yang dominan secara politik dan demografis di sekitarnya yang berusaha menaklukkan kaum minoritas. Pada abad 18 dijelaskan bahwa suku Badui dilokalisasi ke dalam daerah yang kecil oleh Kerajaan Islam yang kemudian juga dilakukan pada masa pemerintahan Belanda. Pertumbuhan penduduk pada suku ini menyebabkan penyempitan lahan untuk masing-masing orang sehingga mengakibatkan pemiskinan.

Judistira, sebagaimana diungkapkan oleh Ghee dan Gomes, beranggapan bahwa asumsi pemerintah dalam mengadakan proyek untuk orang Badui dinilai menyesatkan dimana pemerintah beranggapan bahwa suku Badui “terbelakang” sehingga perlu “dimajukan”. Proyek pemerintah yang dilaksanakan untuk suku Badui ini adalah dibangunnya rumah percontohan dan didorongnya suku ini untuk menanam tanaman komoditas yang kemudian membuat masyarakat suku ini bergantung pada perekonomian pasar.

MALAYSIA
Ada empat makalah yang dimuat dalam buku ini berkaitan dengan isu-isu tersebut di atas yang terjadi di Malaysia.

Hood

Hood meninjau bahwa dampak dari program-program dan kebijakan-kebijakan pembangunan dan pemerintah Malaysia terhadap Orang Asli. Hood mengetengahkan ada tiga isu utama yang mengganggu pembangunan, yaitu:
    (1)  Ketidaktepatan istilah Orang Asli sebagai sebuah kategori hukum. Terdapat konotasi yang tidak menguntungkan, negatif serta tidak disukai dari pendirian kultural. Konotasi-konotasi yang melekat pada Orang Asli adalah bahwa mereka primitif, terbelakang dan tidak memiliki agama.
    (2)  Penyatuan Orang Asli secara berangsur-angsur dan traumatis ke dalam sistem politik yang lebih luas
    (3)  Hubungan Orang Melayu-Orang Asli serta faktor-faktor sejarah, sosial dan ekonomi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Orang Asli tidak suka dengan Orang Melayu karena superioritas mereka tapi dalam beberapa hal meniru perilaku Orang Melayu.

Selain mengetengahkan isu utama penghambat pembangunan, diketengahkan pula aspek lain dalam menghambat perkembangan Orang Asli yaitu:
     (1)  Departemen Urusan Orang Asli tidak membantu Orang Asli secara berarti
     (2)  Tengkulak
     (3)  Jalan
     (4)  Pengembangan lahan sekitar pemukiman Orang Asli
     (5)  Penebangan Kayu
     (6)  Pembangunan dam-dam
     (7)  Etos Melayu masa kini

Hood menutup makalahnya dengan pertanyaan:
      1.    Bagaimana Orang Asli menjadi orang-orang yang tersisihkan?
      2.    Bagaimana proses penyatuan Orang Asli ke dalam sistem politik?
      3.    Apa dampak undang-undang yang mengatur kedudukan mereka dalam masyarakat Malaysia?

Ketetapan Konstitusi dan Undang-Undang yang Mengatur Orang Asli
S. Sothi Rachagan

Rachagan, diketengahkan oleh Ghee dan Gomes, mengkaji masalah-masalah potensial dalam ketetapan konstitusional dan undang-undang mengenai Orang Asli. Orang Asli yang dimaksud oleh Rachagan di sini adalah orang-orang asli Semenanjung Malaya. Diketengahkan oleh Ghee dan Gomes bahwa menurut Rachagan Orang Asli tidak menikmati ketetapan-ketetapan mengenai hak istimewa, atau yang disebut oleh Rachagan dalam makalahnya dengan istilah hak-hak khusus. dan proteksi khusus yang didefinisikan dengan jelas dan bersifat mengikat seperti yang diberlakukan untuk Orang Melayu dan pribumi Sarawak. Dalam makalah Rachagan ada poin Pencadangan Tanah yang untuk Orang Asli tidak diatur dalam undang-undang dan juga tidak adanya perwalian Orang Asli dalam Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Legislatif. Hal ini membawa dampak dimana setiap perubahan pada definisi istilah Orang Asli dapat diberlakukan tanpa suara mayoritas 2/3 di parlemen dan persetujuan yang relevan dari Yang Di-Pertuan Agong.

Beberapa isu-isu lain yang diketengahkan adalah:
-       Tidak ada perwalian khusus Orang Asli di Dewan Rakyat atau Dewan Legislatif
-       Orang Asli tidak memiliki jaminan atas daerah dan daerah cadangan, lebih tepatnya dikutp oleh Ghee dan Gomes dari makalah tulisan Rachagan sebagai berikut:
“Orang Asli dapat diperintahkan untuk meninggalkan dan tetap berada di luar daerah-daerah seperti ini, kecuali, bila mereka dapat menegaskan suatu klaim atas pohon-pohon buah atau karet di daerah itu, maka menurut hukum tak berhak atas kompensasi”.

Pada halaman 169-174 diketengahkan secara detail poin-poin dimana Orang Asli dirugikan yaitu:
     1.    Definisi orang asli
     2.    Daerah dan daerah cadangan orang asli
     3.    Hak menempati atas daerah dan daerah cadangan orang asli dan hak kepemilikan tanah
     4.    Konpensasi untuk hak-hak yang hilang
     5.    Mengeluarkan orang-orang
     6.    Kebebasan berserikat
     7.    Pengangkatan kepala

Gomes dan Nicholas
Makalah ke-tiga dan ke-empat ditulis oleh Gomes dan Nicholas yang mengkaji dampak kapitalisme dan intervensi negara terhadap Orang Asli.

Konfrontasi dan Kontinuitas: Produk Komoditi Sederhana di Kalangan Orang Asli
Alberto G. Gomes

Dalam makalahnya Gomes berbicara mengenai Orang Asli dan Kapitalisme. Gomes memandang bahwa Orang Asli memiliki nilai-nilai yang baik dengan komoditas sederhananya yaitu dimana mereka relative makmur, sangat independen dan cukup lentur. Ditambahkan oleh Gomes bahwa Orang Asli memiliki pilihan-pilihan pada saat terjadi kegagalan produksi seperti (1) mendiversifikasi produksi; (2) menintensifkan tenaga kerja; (3) mengurangi pengeluaran; (4) meminjam atau menggadaikan hasil panen mereka; (5) menjual milik mereka, terutama pohon-pohon buah, dan (6) menjual tenaga kerja mereka. Yang dimaksud dengan komoditi sederhana oleh Gomes di sini adalah dimana Orang Asli menghasilkan barang-barang untuk pasar namun juga memproduksi nilai pakai untuk konsumsi langsung mereka (1993: 20).

Pada makalah ini, Gomes mengetengahkan perubahan pada komoditi kalangan Orang Asli di Malaysia. Disebutkan oleh Gomes bahwa Orang Asli telah mengubah komoditi sederhana mereka demi memelihara hubungan secara nasional dan global. Hal tersebut dibandingkan dengan produksi komoditi kapitalis dimana kontrol atas alat-alat produksi dikuasai.

Perubahan yang terjadi pada Orang Asli adalah sebagai berikut:
-       Pada awalnya Orang Asli memenuhi kebutuhan mereka dengan berburu, foraging, menangkap ikan serta ladang berpindah
-       
         Orang Asli kemudian diperbudak pada tahun 1900 dan dipaksa bekerja untuk mendapatkan hasil hutan, meskipun kegiatan berburu, foraging, menangkap ikan dan ladang berpindah tidak seluruhnya hilang. Setelah hilangnya perbudakan, jiwa mendapatkan uang yang lebih ini kemudian mengubah Orang Asli untuk memenuhi kebutuhan pasar-pasar Cina, India, TImur Tengah dan Eropa dari pengumpulan hasil hutan, penanaman tanaman komoditi, dan penangkapan ikan. Selain pemenuhan kebutuhan pasar di luar komunitas mereka demi mendapatkan uang lebih dan kontan, Orang Asli juga kemudian memburuh untuk non Orang Asli.

Di lain pihak asumsi pemerintah yang menyatakan bahwa Orang Asli mempunyai ikatan yang lemah dengan tanah dan tidak adanya pasar yang pasti bagi produk-produk Orang Asli membawa dampak pada terbatasinya kebebasan Orang Asli dalam bertindaj serta alienasi tanah bagi orang-orang luar. Gomes berpendapat bahwa apa yang diperlukan untuk kelangsungan hidup perekonomian Orang Asli adalah adanya pengakuan yang realistik terhadap watak Orang Asli oleh Pemerintah Malaysia.

Pada kesimpulannya Gomes menyatakan bahwa produksi komoditi sederhana Orang Asli telah berubah seiring dengan pengaruh kapitalisme dari luar dan juga kebijakan dari pemerintah itu sendiri yang membatasi gerakan mereka dan mengubah mereka menjadi kapitalis oleh karena akses kapitalisme yang dipermudah oleh pemerintah agar menyentuh Orang Asl.

Demi Orang Semai? Negara dan Masyarakat Semai di Semenanjung Malaysia
Colin Nicholas

Orang Semai dipaparkan oleh Nicholas sebagian besar hidup di negara-negara bagian Pahang dan Perak dan merupakan kelompok terbesar dari suku-suku Asli di Semenanjung Malaysia. Pada catatan kaki halaman 109 dituliskan, “Orang Asli (secara harfiah ‘original people’) adalah orang-orang pribumi Semenanjung Malaysia. TErdiri dari Sembilan belas kelompok suku yang jelas berbeda, mereka berjulah 63.348 pada tahun 1983 (Jimin 1983:3-4, 26). Populasi mereka kini diperkirakan sekitar 70.000”. Nicholas mengulas dampak negara Malaysia dan kapitalisme terhadap Orang Semai dan berpendapat bahwa organisasi pemerintah Malaysia terhadap Semai lebih menguntungkan negara dan kapitalisme dimana pertimbangan-pertimbangan keamanan nasional lebih diutamakan. Keamanan nasional ini berkaitan dengan adanya serbuan-serbuan komunitas dari Muangthai yang kemudian dikeluarkanlah kebijakan untuk pemindahan Orang Asli keluar dari kampung-kampung halaman mereka. Ditambahkan oleh Nicholas bahwa dengan maksud ‘integrasi’ Departemen Urusan Orang Asli merumuskan strategi-strategi pembangunan Orang Semai dan Orang Asli sebagai berikut (halaman 115):
1.    
    Menyediakan pelayanan masyarakat yang layak (kesehatan, pendidikan, perumahan dan kesejahteraan umum), sehingga Orang Asli berpartisipasi secara efektif dalam proses pembangunan sosial-ekonomi
      2.    Memperbaiki standar hidup mereka melalui perbaikan dan modifikasi pertanian mereka
   3. Meningkatkan kapasitas dan tingkat pendapatan mereka dengan melibatkan mereka secara langsung dengan ekonomi pasar.

Kebijakan hidup menetap juga diterapkan dengan pemikiran bahwa gaya hidup Orang Asli yang tampaknya nomaden menimbulkan masalah bagi pasukan keamanan dalam usaha mereka untuk memelihara pengawasan terhadap aktifitas dan gerakan mereka.

Kebijakan menetap dan integrasi oleh pemerintah pun dinilai menyebabkan hilangnya otonomi, perekonomian alamiah dan akses tanah adat Orang Semai yang diuraikan dalam tiga tema besar yaitu (1) reorganisasi ekonomi Semai, (2) pengaturan produksi oleh modal dagang, dan (3) keruntuhan struktur tradisional. Mereka ditempatkan pada daerah dengan sumberdaya yang jauh lebih sedikit dan memiliki ketergantungan pada hubungan komoditi dan perekonomian pasar.

Nicholas, seperti dituliskan oleh Ghee dan Gomes pada bagian pendahuluan, mengusulkan:
     (1)  Pembagunan  yang endogen, needs-oriented, sehat secara ekologis
     (2)  Penekanan pada swadaya dan tanggungjawab kolektif laki-laki dan perempuan
     (3)  Mengamankan mata pencaharian Orang Semai
     (4)  Pembaharuan kembali tradisi swadaya
     (5)  Mengurangi ketergantungan Orang Semai pada struktur politik dominan
     (6)  Penyediaan basis bagi pembangunan dari dalam
     (7)  Melancarkan akses bagi kekuasaan masyarakat

RINGKASAN MASALAH-MASALAH DAN USULAN-USULAN (PROPOSAL)
Pada bagian akhir pendahuluan oleh Ghee dan Gomes diringkas masalah-masalah yang ada serta usulan yang disampaikan.

Masalah-masalah:
    (1)  Respon-respon suku asli terhadap pembangunan
    (2)  Dampak kapitalisme terhadap suku asli
    (3)  Nilai-nilai budaya suku asli dalam kaitannya dengan masalah pembangunan
    (4)  Perundang-undangan dan hak-hak tanah suku asli
    (5)  Dampak ideologi-ideologi dominan terhadap kaum minoritas suku asli
    (6)  Pertanan kapital internasional
    (7)  Citra-citra mengenai suku asli (orang primitive, terbelakang, naïf serta irasional)

Usulan-usulan
   (1)  Pemimpin dan cendekiawan suku asli perlu menelaah kemungkinan untuk memanfaatkan sistem pendidikan yang ada guna mengkomunikasikan dan menafsirkan kembali sejarah dan kondisi-kondisi sosial suku asli
  (2)  Pelucutan Departemen Urusan Orang Asli karena perencanaan mereka yang kurang baik, manajemen dan sikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan serta aspirasi Orang Asli dan digantikan dengan organisasi multi departemen
    (3)  Semua komunitas asli di Asia Tenggara membutuhkan lebih banyak proteksi dan perhatian khusus meski mereka minoritas
   (4)  Pertukaran pengetahuan dan data menyangkut suku-suku asli melalui riset dan jaringan informasi perlu digalakkan untuk mengorganisir dukungan untuk cendekiawan dan suku-suku asli itu sendiri untuk masa depan yang lebih baik.

Sumber:
SUKU ASLI DAN PEMBANGUNAN DI ASIA TENGGARA
Penyunting: Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes
Kata Pengantar: Parsudi Suparlan
Penerjemah: A. Setiawan Abadi
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993
Jumlah halaman: 242

No comments:

Post a Comment