Thursday, November 8, 2012

Review: The Village on Java and the Early-Colonial State, Jan Breman


Tema yang ‘memayungi’ review tulisan ini adalah posisi elit. Breman menunjukkan posisi elit yang ada di pedesaan di Jawa dengan mengetengahkan sistem pedesaan di Asia. Mengambil dari tulisan Schrieke, Breman mengetengahkan bagaimana ada dualisme sistem yaitu lingkungan kraton (kraton milieu) dan konglomerasi pedesaan dimana kepala desanya berfungsi untuk menghubungkan para penduduknya (petani) dengan administrasi kerajaan. Dengan demikian, untuk sementara ini, posisi elit di pedesaan di Jawa berperan sebagai jembatan di dalam desanya (intra village) dan antara desanya dengan daerah di luar desanya (supra village) dengan konsep populis di dalamnya. Masyarakat yang demikian merupakan masyarakat desa pertanian yang hampir seluruhnya tertutup dengan sistem penanaman padi, tradisi serta hukum yang kompleks yang berumur ratusan tahun serta tergantung pada otoritas warga desa yang lebih tua dan dihormati oleh semua orang. Kehidupan yang harmonis dan saling tolong menolong ini berakhir pada masa kolonial. Mengingat bahwa desa pada jaman kolonial kemudian berperan untuk melayani kekuasaan di atasnya dengan menyediakan produk pertanian dan tenaga kerja, maka desa yang dianggap sebagai unit kolektif tidak ada sebelum negara kolonial berkuasa, karena desa dengan pemahaman demikian merupakan bentukan dari negara kolonial itu sendiri; dan merupakan hasil dari lokalisasi dan horisontalisasi yang termanifestasi dengan sendirinya pada abad 19.

Kembali kepada elit pedesaan yang berfungsi sebagai “jembatan”, elit pedesaan ini disebut dengan priyayi. Priyayi ini tinggal di desa tersebut bahkan merupakan keturunan bangsawan dimana koneksi langsung dengan kraton dapat terwujud. Kedudukan para priyayi ini dapat disebut sebagai elit karena mereka berada di posisi tinggi. Di bawah para priyayi adalah cacah (para petani). Disini kekerabatan mengambil peran penting dalam menghubungkan tuan tanah (dalam hal ini pihak kraton) dengan daerah pedalaman. Selain kekerabatan, kepemilikan lahan juga mempengaruhi ke’elit’an seseorang. Para pemilik lahan ini disebut dengan istilah bumi atau sikep dan yang berada di bawah para sikep ini adalah para ‘numpang’ yang dapat menggarap tanah berdasarkan persetujuan sikep. Sikep merupakan posisi elit diantara para cacah dan mereka bertanggungjawab dalam menyetorkan upeti kepada petinggi. Sikep bertanggungjawab dalam memberikan bantuan dan perlindungan kepada para numpang. Hubungan priyayi – cacah ini nampak juga pada hubungan sikep – numpang hingga hubungan yang disebut dengan patrón – client dituliskan dalam tulisan ini dapat ditemukan pada setiap tingkatan hubungan sosial. Seperti juga pada hubungan jurugan – panukang.

Namun demikian, menurut Breman, penstereotipan tipe hubungan sosial yang demikian harus dipertanyakan terutama pada masa kolonial. Hal itu berkenaan dengan kebijakan negara kolonial yang dianggap “menjebol” tatanan yang sudah ada sehingga tulisan – tulisan mengenai pedesaan Jawa pada masa kolonial sangat lah dipertanyakan dan dapat diperdebatkan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam tulisannya ini dimana Breman menyebutkan bahwa (1) karakter introver dan terintegrasi yang statis dari masyarakat pedesaan tidak terjadi selama masa kolonial akibat dari intervensi administratif, pembangunan infrastruktur, perpanjangan ekonomi moneter, dan transisi ke arah produk pasar yang sistematis; (2) para penghubung atau para “penjembatan” tidak berperan dan bahkan sembunyi dari kekuasaan Belanda. Hal lain yang didebat oleh Breman adalah bahwa hubungan yang timbal balik antar anggota warga karena pada dasarnya masyarakat pedesaan di Jawa tidak sepenuhnya menganut hubungan timbal balik. Breman memberikan contoh pada saat diadakannya bentuk kerjasama ada banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan kerjasama yaitu pertanian, pertukaran sosial, ikatan agama dan pengalaman lainnya yang sama.

No comments:

Post a Comment