Friday, November 30, 2012

Sekelumit tentang Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, disunting oleh Michael R. Dove


Ada dua hal utama yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini, yaitu (1) bahwa para penulis berpendapat bahwa kebudayaan tradisional “terkait erat dengan, dan secara langsung menunjang, proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar”; dan (2) “bahwa kebudayaan tradisional bersifat dinamis selalu mengalami perubahan, dan karena itu tidak bertentangan dengan proses pembangunan itu sendiri”. Dalam hal ideologi, sistem pengetahuan dan kepercayaan tradisional seharusnya dijasikan sebagai sumber pembangunan yang harus dipelajari, dihargai, dan dimanfaatkan sedapat mungkin. Dalam segi ekonomi, penguasa dinilai gagal dalam memahami pola – pola penggunaan tanah secara tradisional sehingga memicu kemarahan anggota suku karena diambilnya tanah yang sedang dibera (dianggap sebagai tanah tak bertuan oleh penguasa). Dalam hal ekologi, penguasa dinilai tidak tahu tentang “bagaimana suatu kelompok masyarakat bergantung dari hutan untuk menunjang kelangsungan hidupnya … kekurangan di antara para pelaksana pembangunan dalam hal pengetahuan tentang eksploitasi hutan secara tradisional membawa kita ke masalah … ideologi, yaitu bahwa satu-satunya ahli yang sesungguhnya mengai lingkungan ini … adalah anggota – anggota suku pribumi atau petani yang dibesarkan di sana dan hidup dari hutan itu sendiri”. Sedangkan dalam hal perubahan sosial/struktur sosial, Dove menyatakan adanya “usaha untuk mengubah, merintangi, atau menghilangkan sama sekali aspek kebudayaan tradisional tertentu sebelum pemerintah bersedia atau mampu memberikan penggantinya”. Dari semua hal tersebut, Dove menyatakan bahwa faktor penyebabnya adalah sikap pemerintah Indonesia yang hingga sekarang masih bersifat kolonial.  

Antropologi Budaya sebagai ilmu yang sedang kita pelajari, berarti kita belajar mengenai kebudayaan yang dinamis. Pertanyaan saya lebih kepada pertanyaan reflektif yaitu “what do we (Cultural Anthropologists) stand for? Science or Moral?”  Apakah kita akan menjadi seorang (1) intelektual tradisional (penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan kelas atasnya?, (2) intelektual organik (berbadan penelitian dan kajian berusaha memberikan refleksi atas keadaan tetapi biasanya terbatas hanya untuk kepentingan kelompoknya sendiri)?, (3) intelektual kritis (mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasaan elite penguasa yang sedang memerintah dan memberikan pendidikan alternative bagi proses pemerdekaan, ataukah (4) intelektual universal (selalu memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya dalam rangka pemanusiawian manusia agar harkat dan martabatnya dihormati)?[1]


[1]  Macam – macam elite intelektual sebagaimana dituliskan dalam “Peranan Elite Intelektual dalam Dinamika Masyarakat: Antara Harapan dan Kenyataan”, Bambang Dharwiyanto Putro, Humaniora Vol. XII, No. 2, tahun 2000. Halaman 161 - 169

No comments:

Post a Comment