Friday, November 30, 2012

Review: Jawa (Bandit - Bandit Pedesaan), Suhartono W. Pranoto


LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DALAM PEMILIHAN BUKU
         
Landasan pemilihan buku ini adalah dengan kembali pada pengertian akan kebudayaan dan politik itu sendiri. Beberapa pengertian akan kebudayaan telah diungkapkan oleh beberapa ahli. Koentjaraningrat menyatakan paling sedikit ada 160 buah definisi akan kebudayaan (2000: 181). Di sini saya akan mengetengahkan definisi kebudayaan dari dua antropolog Indonesia. Dalam mendefinisikan kebudayaan Koentjaraningrat menuliskan, “Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (2000: 180).   Definisi kebudayaan yang lain ada dalam makalah dialog budaya yang berjudulkan Peran dan Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia yang ditulis oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra, Desember 2007. Kebudayaan menurut Ahimsa-Putra adalah “keseluruhan tanda dan simbol yang digunakan oleh manusia untuk mempertahankan keberadaannya sebagai mahluk hidup, yang diperolehnya lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat atau komunitas” (2007: 3).

Politik diartikan dalam kamus Sosiologi Antropologi oleh Al-Barry sebagai: (1) ilmu atau pengetahuan tentang ketata-negaraan dan (2) suatu cara atau usaha untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Uraian Kodiran akan arti Politik dalam perkuliahan Kebudayaan dan Perubahan Politik, yang merupakan salah satu mata kuliah di Jurusan Pasca Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM adalah sebagai berikut:
(1)  Politik terdiri dari tingkah laku manusia yang berpusat pada institusi – institusi dan praktek – praktek pemerintahan yang dijelaskan lebih lanjut dimana poliitik erat dengan power atau kekuasaan
(2)  Politik sebagai proses dimana masyarakat menangani masalah – masalah yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan
(3)  Politik sebagai interaksi antar manusia dengan mempergunakan atau mengancam akan memakai kekuasaan (power) dan otoritas
(4)  Politik adalah suatu proses dimana sumber – sumber daya manusia, material dan spiritual yang terbatas dialokasikan di dalam suatu unit sosial (suatu daerah, negara bagian, negara serta organisasi) untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dan keinginan – keinginan manusia
(5)  Unsur politik – kekuasaan (power) dari pengaruh (influence), pembuatan keputusan (decision making).   

Pada kelas yang sama pada waktu yang berbeda Kodiran merepresentasikan Politik
sebagai berikut:
(1)  Proses – proses keterlibatan dalam menentukan dan melaksanakan tujuan yang ingin dicapai oleh umum
(2)  Persaingan kekuasaan dan cara – cara untuk mencapai dan menggunakan kekuasaan
Dari uraian menurut kamus dan Kodiran ada satu kesamaan yaitu kekuasaan (power).
            
Apabila Politik berkaitan dengan kekuasaan, perubahan politik tentu berkaitan erat dengan perubahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan pada suatu masyarakat atau komunitas.
            
Kembali lagi pada mata kuliah ini Kebudayaan dan Perubahan Politik maka buku yang saya review, menurut pemahaman saya, adalah buku yang menunjukkan perubahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan simbol atau tanda apa yang digunakan oleh masyarakat sebagai hasil dari proses belajar untuk mempertahankan keberadaannya.
            
Melihat perubahan berarti ada suatu proses dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu masa ke masa yang lain. Ada aspek historis yang harus dimunculkan. Di sini saya tidak akan menilai positif atau negatifnya suatu perubahan atau sebuah kemajuan atau sebuah kemunduran akan perubahan tersebut juga pada cepat atau lambatnya perubahan tersebut. Pandangan akan baik atau buruknya suatu perubahan harus dilandasi oleh fakta yang ada di masyarakat berdasarkan simbol – simbol atau tanda – tanda yang digunakan oleh masyarakat dalam menyikapi perubahan tersebut. sehingga nilai baik dan buruk atas suatu perubahan muncul dari sikap masyarakat itu sendiri.
            
Di sini saya akan mereview buku tulisan Suhartono W. Pranoto yang berjudul Jawa (Bandit-Bandit Pedesaan) yang merupakan studi historis tahun 1850 – 1942 yang dicetak oleh Ghra Ilmu dan dicetak pada tahun 2010. Studi historis ini dilakukan di tiga daerah yaitu Keresidenan Banten dan Batavia, Yogyakarta dan Surakarta serta Pasuruan dan Probolinggo.


PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMEGANG KEKUASAAN

            Dalam melakukan studi historis dari tahun 1850 – 1942, Suhartono juga menilik ke tahun – tahun sebelum tahun tersebut. Berikut ini adalah perubahan – perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat mereka memegang kekuasaan di Indonesia:
Tahun                          Langkah – langkah yang diambil oleh pemerintah
1800                        Eksploitasi yang dilakukan pemerintah maupun swasta yang   dipusatkan pada tanah dan tenaga kerja dan mengganti tanaman tradisional ke tanaman komersil.
1800 – 1830             Pemerintah menarik pajak dari petani
1830 – 1833             Sistem tanam paksa diimplementasikan untuk mengeksploitasi tanah dan tenaga petani
1870                         Sistem tanam paksa dihapuskan
1870 – 1900             Sistem liberal diberlakukan yang merupakan sistem eksploitasi lain
1900 – 1942             Sistem Etis diberlakukan dimana eksploitasi agraris makin intensif dan petani menderita kemiskinan dan kelaparan. Sistem yang diterapkan adalah sistem tanam paksa.

Dari fokus perubahan – perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, Suhartono jelas 
melihat dari perubahan yang menyentuh bidang ekonomi para petani. Diuraikan lebih lanjut 
oleh Suhartono bahwa dalam sistem tanam paksa ini frekuensi kerja petani meningkat 
sementara upah kerja yang menurun. Dalam sistem tanam paksa ini, petani dipaksa untuk 
menanam tanaman – tanaman komersil seperti indigo, kopi, tebu, tembakau dan tanaman 
perdagangan lainnya. Dampak dari dibukanya perkebunan ini lembaga – lembaga tradisional 
terdesak dan kehidupan sosial ekonomi petani terancam. Ancaman ini menjadi kenyataan 
dimana penderitaan petani menjadi semakin parah dengan kepemilikan tanah yang di’rebut’ 
dan juga tenaga kerja mereka. Keadaan ini tidak kea rah yang lebih baik dengan terjadinya 
Perang Dunia I pada tahun 1914 – 1918, Depresi Ekonomi pada tahun 1929. Perang Dunia II 
pada tahun 1939 – 1945 bahkan memperburuk keadaan ekonomi petani dengan terjadinya 
fluktuasi ekonomi.

SIKAP MASYARAKAT PETANI TERHADAP PERUBAHAN

Seperti pada judul buku ini, buku ini bicara mengenai perbanditan yang oleh Suhartono dipandang sebagai salah satu respon petani yang diwujudkan dalam bentuk protes. Lebih lanjut dituliskan oleh Suhartono bahwa perbanditan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang marginal dari masyarakat petani (2010: 5).

Suhartono juga mengutip penjelasan David Crumney yang menyatakan bahwa pencurian adalah kejahatan yang mengacu pada bentuk protes yang primitif (: 6). Isaacman dalam buku ini menjelaskan bahwa protes, dalam berbagai bentuknya, bertujuan untuk mencoba memperbaharui tertib sosial yang berlaku dan juga melarikan diri dari sistem kolonial. Perbanditan itu sendiri dibedakan menjadi dua jenis yaitu yang semata – mata kriminal dan venal. Perbanditan yang semata – mata kriminal bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan perbanditan venal disamakan dengan legenda Robin Hood dimana hasil perbanditan dibagikan kepada anggota masyarakat yang miskin. Bentuk perbanditan yang terakhir disebut juga dengan istilah bandit sosial yang dipandang sebagai hero, kampion, orang yang mempunyai musuh sama dengan musuh petani. Mereka mengoreksi ketidakadilan, mengawasi penekanan dan pengurasan, dan bahkan mempertahankan kehidupan ideal yaitu emansipasi dan kemerdekaannya. Protes dari anggota masyarakat petani ini, pada halaman 7, didasarkan pada ketidakpuasan petani yang didukung oleh tindakan untuk mendapatkan hak – haknya.

PERBANDITAN

Selain dua bentuk perbanditan berdasarkan tujuannya, perbanditan juga dibedakan berdasarkan pada pola rekrutmen, taktik, dan tingkat kesadaran dibedakan menjadi perlawanan dari hari ke hari, pengunduran, pengungsian dan pemberontakan petani oleh Scott sebagaimana dituliskan Suhartono pada halaman 7. Lebih lanjut, pada halaman yang sama, dijelaskan bahwa protes petani yang kemudian di buku ini disebut sebagai perbanditan sosial merupakan kegiatan dengan kesadaran penuh dari pelakunya baik individual maupun kolektif dengan organisasi tradisional, untuk mendapatkan hak – haknya kembali tanpa konfrontasi langsung dengan pemerintah atau perkebunan dengan jaringan yang telah sampai hingga tingkat regional.

Dari hasil studi historis di enam tempat di tiga bagian pulau Jawa tersebut, Suhartono menuliskan bahwa perbanditan yang banyak terjadi adalah kecu, rampok, koyok dan sejenisnya. Tujuan dari studi historis Suhartono ini sendiri adalah untuk mendeskripsikan perbanditan sosial di daerah – daerah tersebut dan untuk mencari tahu penyebab tidak hilangnya perbanditan di pedesaan. Untuk mengkerangkai studinya Suhartono menggunakan teori Hobsbawm yang menyatakan bahwa perbanditan merupakan counter respon terhadap penguasa. Sartono dalam buku ini dinyatakan merujuk pada teori Hobsbawm tersebut dan menambahkan bahwa perbanditan merupakan gerakan kolektif yang didukung oleh nilai agama. Dijelaskan lebih lanjut, kaitannya dengan pernyataan bahwa perbanditan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompoh orang marginal dari masyarakat petani, perbanditan berkembang setelah terjadi transisi dari agraris ke kapitalisme agraris dan adanya konflik kelas yang kronis.
            
Perbanditan akan dibahas lebih lanjut pada bab 4 buku ini.

PENDEKATAN DAN ORIENTASI TEORITIS
            
Suhartono dalam buku ini mengusulkan digunakannya pendekatan sosio-antropologis untuk mengadakan pengamatan perbanditan pedesaan ini dan sekaligus berpendapat bahwa untuk menghilangkan perbanditan pemerintah seharusnya memandang perbanditan ini dari segi sosio-ekonomi. Sedangkan hubungannya dengan kekuasaan Suhartono menegaskan bahwa hakikat perbanditan ini adalah sebuah resistensi yang merupakan manifestasi dari balance of power. Suhartono juga menyarankan untuk melihat faktor sosio-ekologi lahirnya perbanditan. Dalam melihat faktor sosio-ekologi hal – hal berikut ini perlu dianalisa:
  1. Struktur masyarakat; di sini akan tampak kelompok masyarakat yang dominan dan superior
  2. Golongan sosial
  3. Interrelasi
  4. Konflik dalam konteks sosial politik
  5. Transformasi otoritas tradisional ke rasional
Pada Bab II diketengahkan latar belakang sosial ekonomi masyarakat di enam lokasi penelitiannya. Di bab ini diketengahkan dilakukannya mapping masyarakat yang mencakup peta kependudukan etnis yang mendiami daerah tertentu, sejarah daerah, keadaan dan sumber ekonomi dimana di sini dipetakan daerah yang mengalami keterpurukan ekonomi yang menimbulkan perbanditan, transportasi dan bentuk pemerintahan. Pada bab ini juga diketengahkan sistem tanah apanage atau tanah lungguh. Tanah apage ini dimiliki oleh raja dengan dibantu oleh para lungguh yang kemudian menyerahkan penggarapan kepada bekel yang kemudian akan mengerahkan petani di desanya untuk menggarap tanah tersebut. Pada sistem ini, petani sudah mendapatkan tekanan dari para bekel, lungguh dan raja dalam artian hasil yang mereka dapatkan jauh lebih sedikit dari para bekel dan lungguh dan ditambah dengan pembayaran pajak. Dengan diimplementasikannya sistem tanam paksa, eksploitasi ini makin intensif.

Selain sosial ekonomi, struktur sosial masyarakat juga diketengahkan di sini. Tujuan pengetengahan struktur sosial masyarakat ini adalah untuk melihat dari golongan mana dalam masyarakat pedesaan yang selalu dalam situasi konflik dan pada bagian ini petani lah yang kembali terpetakan sebagai masyarakat yang selalu dalam situasi konflik.

Hal ini berulang dalam hal birokrasi tradisional sekali lagi petani menjadi objek birokrat – birokrat tradisional dan objek yang mendapat tekanan ini kembali berulang pada saat keadaan ekonomi agraris dikemukakan oleh Suhartono.

Pada bab III, diulas lebih lanjut mengenai perluasan perkebunan yang menjadi variable faktor penyebab perbanditan. Dengan perluasan perkebunan ini patron-client dimana patron, dalam hal ini raja, membatasi tindakannya agar tidak berbuat sewenang – wenang digantikan dengan bentuk patron-client yang dinilai lebih berbuat sewenang – wenang kepada petani sebagai client. Perubahan pada patron-client ini kemudian diperparah dengan pencaplokan tanah dan tenaga kerja petani. Pada sub bab III dengan judul Kehidupan Subsisten, dipaparkan fakta – fakta yang menggambarkan ketertekanan kehidupan petani pada masa tersebut. Pada bagian ini diketengahkan bagaimana petani dikenakan layanan kerja yang disebut kompenian yaitu kerja wajib yang dilakukan lima hari sekali dalam sebulan dan ditambah tiga hari setiap bulannyademi pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian kerja di perkebunan maupun di rumah tuan tanah. Penarikan pajak juga memperberat kehidupan petani dimana penarikan pajak tetap diberlakukan terlepas apakah panen mereka gagal atau tidak. Pada bab III ini juga dipaparkan bagaimana lembaga tradisional terdesak eksistensinya dengan masuknya perkebunan. Pada bagian akhir bab ini dikenalkan istilah counter culture untuk kembali mengangkat nilai tradisional. Ditegaskan pula pada bagian terakhir ini dimana pada buku ini tidak dibahas gerakan individual dan kolektif tanpa di back up oleh ajaran keagamaan. 

Pada bab 4 dibahas lebih lanjut mengenai perbanditan. Istilah perbanditan sendiri dipaparkan oleh Suhartono muncul dari para penguasa yang menganggap kegiatan ini bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan sekelompok orang yang berkuasa. Dalam studi historis ini Suhartono menggunakan perbanditan pedesaan yang mengandung pengertian perampokan yang terjadi di pedesaan. Pada bab ini ditegaskan kembali oleh Suhartono bahwa perbanditan pedesaan merupakan manifestasi protes sosial yang terjadi di tanah partikelir, tanah kerajaan dan tanah gubernurmen maupun yang disewa (: 107). Terminologi seperti brandhal, durjana, dan lun merupakan klasifikasi kegiatan kriminal yang semata – mata untuk memenuhi kebutuhan hidup semata yang berbeda dengan perbanditan sosial.

Hubungan patron-client antara raja, lungguh dan bekel yang diangkat pada bab sebelumnya diangkat kembali pada bab ini yang dijelaskan dengan istilah gusti-kawula yang pada satu sisi dinilai sebagai sebuah hubungan simbiosis mutualisme antara raja dan petani meskipun keduanya memiliki budayanya masing – masing. Di sini disebutkan raja dengan budaya kraton sedangkan petani atau pedesaan dengan sifat budayanya yang populis dan demokratis. Pada bab 4 ini nilai positif dan negatif diutarakan. Suatu fenomena dianggap positif apabila segalanya berjalan sesuai dengan pranatan dan negatif apabila ada yang menolak aturan yang ada atau kemudian yang disebut berada dalam alam peteng atau antiketertiban atau secret society.  Masyarakat yang tergolong dalam alam padhang maupun alam peteng keduanya dipandang sebagai organisasi masa yang memiliki struktur dan pemimpin. Fakta menarik yang diungkapkan oleh Suhartono di sini adalah bahwa sebagian besar pemimpin gerakan perbanditan, yang dikelompokkan dalam masyarakat dalam alam peteng, adalah termasuk elite pedesaan. Pemimpin dalam gerakan ini dengan ritual – ritualnya dianggap memiliki kekuatan tersendiri dan meletakkannya sebagai pribadi yang memiliki karisma tradisional dan mendapatkan keloyalan dari pengikutnya. Dan tentu saja dalam memimpin gerakan ini pemimpin memiliki ideologi untuk menuntun segala perbuatannya. Meskipun latar belakang keagamaan menjadi orientasi suatu gerakan sekuler, perbanditan dipandang oleh Suhartono semata sebagai bentuk resistensi petani yang menurut saya semata resistensi atas kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah.

Pada bab ini diketengahkan pemimpin – pemimpin perbanditan di enam daerah tersebut beserta struktur organisasi mereka. Meski dipandang negative oleh para elit penguasa, namun gerakan perbanditan sosial ini dilindungi oleh masyarakat dan bahkan pemerintah desa sendiri tidak dapat mencari jalan keluar untuk mencegah perbanditan ini karena seharusnya kegiatan ini mereka dukung. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah , salah satunya dengan sistem ronda. Selain mereka yang masuk dalam perbanditan, petani juga melakukan resistensi mereka dengan melakukan pembakaran kebun tebu yang kasusnya semakin banyak pada tahun 1880-an.

Bab 5 merupakan bagian dimana penjelasan lebih lanjut bahwa perbanditan merupakan manifestasi protes sosial diuraikan lebih mendetail bagaimana sistem komersialisasi tanaman telah menekan petani. Pada bab ini juga ditampilkan fenomena baru gerakan sosial atau perjuangan Sarekat Islam yang juga berpihak pada petani. Pada sub bab ini ditampilkan fakta – fakta atau kasus – kasus perbanditan pedesaan di enam wilayah studi ini.

KOMENTAR

Meskipun tidak dipaparkan secara lugas dan penegasan oleh Suhartono bahwa dia bukan penganut Marxism pada salah satu perkuliahannya, saya memandang studi historis ini berdasarkan pada teori Marx akan kondisi material masyarakat. Kondisi material yang dimaksud di sini referred to the specific physical means by which human beings provide for their own life needs sebagaimana dituliskan oleh Jason Bradley de Fay dalam papernya yang berjudul The Sociology of Social Movements pada halaman 13. Pada halaman yang sama Fay menegaskan “The fact that we constantly produce leads Marx to the conclusion that at some point in history humans reached a stage where they produced more than they consumed. As Individuals began to accumulate and stockpile surplus goods, or capital, the first signs of political struggle also began to emerge”.

Analisis yang dilakukan oleh Suhartono mengikuti dimensi yang disarankan oleh Henry A. Landsberger dalam bukunya Rural Protest: Peasant Movements and Social Change pada halaman 10 dimana disebutkan “the key dimensions in the case of the ‘peasantry’, especially for understanding their movements are economic and political ones”. Poin - poin analisa Suhartono juga mengacu pada tulisan Landsberger ini pada halaman 23 – 28 dimana poin – poin analisanya adalah sebagai berikut:
a.    Societal changes preceeding the establishmen of a peasant movement
b.    The goals and ideologies of the movement
c.    The means and methods of the movement
d.    The mass base of the movement
e.    Conditions facilitating organizations
f.      The allies of peasant movement
g.    Conditions of success and failure

Fenomena perbanditan ini juga, menurut saya, menjelaskan teori kepentingan dan teori ketegangan yang keduanya dilakukan sekaligus oleh Geertz dalam bukunya Politik Kebudayaan pada halaman 12.  
“Dalam teori kepentingan, pernyataan – pernyataan ideologis dilihat dalam latarbelakang sebuah perjuangan universal untuk memperoleh keuntungan dan dalam teori ketegangan, dalam latarbelakang sebuah usaha terus – menerus untuk memperbaiki ketidakseimbangan sosiopsikologis. Dalam yang satu, manusia mengejar kekuasaan; dalam yang lain, mereka melarikan diri dari kecemasan”.

Teori kepentingan ini kemudian oleh Geertz diketengahkan disempurnakan oleh tradisi Marxis yang menjadi standar para intelektual untuk mengamati suatu fenomena yang dilandasi pada terrenggutnya sumber utama pendapatan ekonomi mereka.

REFERENSI
Landsberger, Henry A. Rural Protest: Peasant Movements and Social Change. New York:
Barnes and Noble, 1973.

De Fay, Jason Bradley. The Sociology of Social Movements – A Field Examination paper. 
California: Deparment of Sociology, University of California.

Geertz, Clifford. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

No comments:

Post a Comment