BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Agama dengan definisinya yang berbeda – beda ada dalam
dunia antropologi. Hal tersebut dituangkan oleh Suhardi dalam hand out yang dibagikan oleh Suhardi
dalam mata perkuliahan Agama dan Dinamika Masyarakat pada halaman 1 dimana
disebutkan “banyak definisi tentang agama
yang dirumuskan para ahli, termasuk antropologi”. Koentjaraningrat tidak menggunakan
kata agama dalam mengetengahkan pikirannya mengenai agama. Koentjaraningrat
menggunakan kata religi yang menurut pemikirannya adalah: “Konsep yang saya anut adalah bahwa tiap religi merupakan suatu sistem
yang terdiri dari empat komponen yaitu:
1. Emosi
keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius
2. Sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan – bayangan manusia tentang
sifat – sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam ghaib (supernatural)
3.
Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa –
dewa atau makhluk – makhluk halus mendiami alam ghaib
4. Kelompok – kelompok religius atau kesatuan – kesatuan
sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut dalam sub. 2, dan yang
melakukan sistem upacara – upacara religius tersebut dalam sub 3
(Koentjaraningrat, Jakarta: 137)” (Sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di
Indonesia, September 2009, Pustaka Pelajar, halaman 19).
Pengertian agama menurut Suhardi sendiri adalah “pengertian agama yang saya anut adalah
suatu institusi dimana manusia merasa takjub dan mengadakan komunikasi
interaksi berpola secara budaya terhadap alam supranatural yang dipersepsikan
terdiri dari makhluk – makhluk adimanusiawi dan daya – daya gaib, dan yang
direalisasikan dalam tirus – ritus dan etika moral yang mencerminkan wawasan
simbolik yang mengekspresikan pencarian jalan keselamatan spiritual (salvation)
maupun kepaduan social” (Sumber: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Antropologi pada FIB UGM, 2009: 5). Dari dua antropolog dari Indonesia saja
pengertian agama sendiri sudah berbeda dimana Koentjaraningrat memandang religi
sebagai suatu sistem sedangkan Suhardi melihatnya sebagai sebuah institusi.
Apabila para ahli antropologi memiliki banyak definisi
mengenai agama, Negara memiliki rumusan sendiri mengenai agama. “Depag,
tahun 1961, secara resmi merumuskan apa yang disebut “agama” dengan lima
unsurnya, yakni Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Umat, dan pengakuan internasional.
Maka, dengan langkah itu, kelompok-kelompok yang meyakini kepercayaan lokal
digolongkan sebagai "belum beragama"”. (Sumber: Laporan Alternatif Pelaksanaan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia -
“Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity
di Indonesia” 2007: 32).
Agama dalam praktiknya oleh para pengikutnya diatur oleh
beberapa undang – undang. Ijinkan saya untuk mengetengahkan dua undang – undang
Negara Republik Indonesia yang mengatur:
1)
UUD
1945
Pasal
28E *
(1)
Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)
Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
*
Perubahan II 18 Agustus 2000.
BAB XI AGAMA Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2)
Undang- Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999
tentang Hak – Hak Asasi Manusia
Pasal
22
(1)
Setiap
orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2)
Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan
untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Apabila
pengertian agama sendiri ada berbeda – beda, pengertian akan kata ‘kepercayaan’
dalam UUD 1945 juga berbeda oleh beberapa pihak. Dua diantaranya adalah menurut
Tim Kerja Dirjen Bimas Islam dan menurut IGM Nurdjana sebagaimana tertuang di
bawah ini.
1. Menurut
Tim Kerja Dirjen Bimas Islam:
“Dalam UUD 1945
pasal 29 tercantum kalimat “agamanya dan
kepercayaannya itu”. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan
Bung Hatta bahwa kata-kata “itu” di
belakang kata “kepercayaan” dalam pasal tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan
kepercayaan. Jadi yang dimaksud adalah
kepercayaan di dalam agama, bukan kepercayaan di luar agama. Dengan demikian
tugas Departemen Agama adalah membina
umat beragama sesuai yang
digariskan UUD 1945. Prinsip fundamental dalam UUD
1945 mengamanatkan supaya ajaran dan
nilai-nilai agama selalu berperan dan
memberi arah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.” (Sumber: Peran
Depag dalam Bingkai Nation State, M. Fuad Nasar, Tim Kerja Dirjen Bimas
Islam (2008))
2. Menurut
Dr. Drs. IGM Nurdjana, S.H., M.Hum:
“Keberadaan aliran kepercayaan secara hukum
menurut praktik agama dan kepercayaannya itu yang dicantumkan pada UUD 1945
pasal 29 ayat 2 bahwa kata – kata “kepercayaannya itu” yang dimaksud adalah
aliran kepercayaan, kebatinan dan kepercayaan suku, adat atau agama – agama
lokal yang saat proklamasi kemerdekaan populasinya mencapai 40% dan penduduk
Indonesia masih menganut berbagai aliran kepercayaan meliputi beberapa bentuk
aliran kepercayaan dan kebatinan antara lain: Paguyuban Pangestu Tunggal (Pangestu),
Sumarah, Susilo Budi Darmo (Subud), Perjalanan, Sapta Dharma, Tri Tunggal dan
Manunggal (Daftar, AKM: 1981)” (Sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan
Menyimpang di Indonesia, 2009: 7).
1.2.
TUJUAN
Paper ini
akan membahas bagaimana cara pandang Negara yang berbeda dengan kelompok “belum
beragama” di Indonesia, yang mencapai sejumlah 2,3% dari penduduk Indonesia
atau sejumlah 5.526.245 jiwa (sumber: Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang
di Indonesia, 2009: 5) yang semenjak tahun 1951 hingga tahun 1970an mengalami
peningkatan, dengan cara pandang suatu komunitas dalam memandang agama
berpengaruh dalam pelaksanaan UU yang merupakan produk kebijakan dari Negara
itu sendiri. Dalam paper ini akan
disinggung mengenai komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu
dengan tantangan yang dihadapinya sebagai komunitas yang “belum beragama”.
Pembahasan mengenai komunitas yang dianggap oleh Negara sebagai komunitas yang
“belum beragama” sangatlah penting mengingat ada banyak pelanggaran yang
dilakukan oleh Negara terkait dengan kebudayaan dimana salah satu hasil dari
budaya adalah agama. Namun yang terutama adalah paper ini berusaha menampilkan jawaban
tiga pertanyaan di bawah ini:
1. Dampak
apa yang dihadapi oleh komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu
berkaitan dengan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan agama?
2.
Bagaimana
pandangan pihak non-government yang
tergabung dalam HRWG (human rights
working group) terhadap dampak tersebut?
3. Dimanakah
posisi para antropolog dalam menyikapi fakta adanya perbedaan pengertian antara
pemerintah dan para antropolog?
1.3.
RUANG
LINGKUP MATERI
Pertanyaan
pertama dan kedua berusaha untuk melihat fakta yang terjadi atau dampak atas
pengertian pemerintah akan agama yang tertuang dalam rumusan agama menurut
Departemen Agama pada tahun 1961. Data yang akan diambil adalah dari laporan
alternatif pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial
(ICERD) di Indonesia pada tahun 2007 dan juga berdasarkan keterangan dari
anggota komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu yang
diungkapkan kepada saya.
Pertanyaan
ketiga lebih kepada pemikiran subyektif saya akan dimana sebaiknya posisi
antropolog dalam menyikapi fakta adanya perbedaan pengertian antara pemerintah
dan para antropolog mengenai agama.
BAB II DASAR TEORI/LANDASAN TEORI
Karena saya akan lebih banyak berbicara mengenai
komunitas yang kemudian disebut sebagai aliran kepercayaan, atau bisa disebut
juga aliran kebatinan dimana oleh Subagya tidak dibedakan antara kata
‘kepercayaan’ dan ‘kebatinan’, makan saya akan memberanikan diri untuk
menggunakan pendekatan postmodernisme dimana pendekatan ini dipicu dari sebuah
gerakan yang menurut Suhardi mirip dengan
gerakan kebatinan Jawa (handout,
2010: 5). Saya akan mengesampingkan kata ‘Jawa’ dan lebih menekankan pada
gerakan kebatinan atau kepercayaan yang pada intinya adalah memberikan
tekanan kepada tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup (Subagya,
1973: 42).
Dalam pendahuluan dan kajian pustaka banyak dituliskan
mengenai undang – undang yang dibuat oleh pemerintah yang merupakan perwakilan
dari suara pemerintah akan agama dan juga artikel – artikel yang mengikutinya.
Ahimsa-Putra (2007: 32) menyatakan bahwa analisis yang menggunakan kerangka
berpikir postmodernisme ditujukan untuk
dapat mengetahui siasat – siasat representasi yang digunakan, termasuk di
dalamnya media representasinya. Dengan
analisis ini sedikit banyak akan diketahui effek yang akan dicapai dari
strategi dan media representasi tersebut. Dalam paper
ini juga akan dihadirkan data pernyataan dari komunitas SDHBBSI atas dampak
pengertian agama dan juga pendapat komunitas non-government organizations atas dampak yang dihadapi komunitas
tersebut.
BAB III PEMBAHASAN
Apabila pada bagian pendahuluan
telah saya sampaikan pandangan akan pengertian agama menurut dua ahli
antropologi dan menurut Departemen Agama Republik Indonesia dan juga pengertian
akan kepercayaan dari dua pihak. Saya akan mencoba memahami pengertian akan
agama menurut pandangan komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu
mengenai ajaran mereka yang mereka anut. Berikut ini adalah ajaran yang menjadi
panutan mereka yang saya ambil dari selebaran mereka mengenai sejarah alam
ngaji rasa. Inti
dari ajaran yang mereka anut adalah sebagai berikut:
-
Belajar
pada anak dan istri
-
Wanita memarahi laki – laki agar laki – laki bisa sabar,
melakukan yang benar dan jujur
-
Laki – laki menerima apa yang dilakukan istri kepadanya
karena laki – laki tidak benar.
-
Ngaji rasa untuk menjadi yang sebenar – benarnya
-
Anak lebih benar daripada orang tua. Apabila anak memiliki keinginan
turutilah sesuai dengan kemampuan.
-
Ngaji rasa mengajarkan kita untuk menjadi kuat karena
sabar.
-
Menguji jasmani dan rohani. Secara jasmani menyatu dengan
alam. Melakukan apa
yang dikatakan.
-
Sebagai
orang yang belajar ngaji rasa, janganlah melanggar peraturan, aturan hukum
pemerintah, agama dan peraturan umum sebagai masyarakat umumnya.
-
Jangan
merugikan orang atau pihak lainnya, contohnya tidak mencuri, tidak main judi,
tidak mabok, tidak main perempuan dan kelakuan lainnya yang merugikan.
-
Adapun mengenai tujuan dan kepercayaan manusia, masing –
masing orang bebas memilih tujuan dan kepercayaannya.
Dalam ajaran tersebut disebutkan kata ‘agama’ dan kata ‘kepercayaan’
sehingga dalam hal ini saya memaknainya dengan bahwa komunitas ini membedakan
antara agama dan kepercayaan. Dan hal ini terbukti dengan pernyataan salah satu
anggota komunitas ini yang menyatakan bahwa mereka menolak untuk mengisi kolom
agama pada KTP yang diharuskan oleh catatan sipil kecamatan Losarang sementara
pada UU No. 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pasal 64 ayat 2
menyatakan “keterangan tentang agama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan”. Jelas bisa dikatakan bahwa komunitas ini termasuk
dalam kelompok yang “belum beragama”. Mereka juga menolak untuk mengisi kolom
agama dengan aliran kepercayaan seperti yang disarankan oleh petugas catatan
sipil karena mereka berpikiran bahwa ajaran yang mereka anut bukanlah aliran
kepercayaan. Pada prakteknya kolom agama pada KTP mereka diisi dengan agama
Islam oleh catatan sipil. Karena ritus yang mereka lakukan tidak sama dengan
ritus pengikut agama Islam mereka dinyatakan oleh MUI sebagai aliran sesat dan
telah dinyatakan dibekukan oleh Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat
Indramayu.
Komunitas ini disebut aliran sesat
oleh MUI pada tanggal 5 November 2007 sedangkan kriteria sebuah aliran disebut
sesat sendiri oleh MUI dikeluarkan pada tanggal 6 November 2007.
Lalu bagaimana Negara mengatur
kelompok – kelompok yang dikategorikan sebagai ”belum beragama” tersebut dalam
melakukan ritus keagamaannya? Pengaturan itu sendiri masuk dalam UU No. 8 tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam Bab I pasal 1 yang menyebutkan ”Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah
organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk
berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.
Dapat dilihat bahwa komunitas ini
berhadapan tidak hanya dengan struktur pemerintah dalam menjalani ajaran yang
dianutnya namun juga dengan struktur lain yaitu organisasi kemasyarakatan seperti
MUI yang melalui Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) telah
membekukan komunitas ini. Pakem ini dibentuk lewat SK No. 167/PROMOSI/1954. “Lewat SK No. 167/PROMOSI/1954
dibentuklah Panitia Interdepartemental
Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat yang, nantinya, pada tahun 1960
menjadi Biro Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) di bawah Kejaksaan
Agung. Kemudian, lewat Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro PAKEM Pusat No.
34/Pakem/S.E./61 tanggal 7 April 1961, lembaga
PAKEM didirikan di setiap provinsi dan kabupaten. Di antara tugas PAKEM adalah
mengikuti, memerhatikan, mengawasi gerak-gerik serta perkembangan dari semua
gerakan agama, semua aliran kepercayaan / kebatinan, memeriksa / mempelajari
buku-buku, brosur - brosur keagamaan/aliran kepercayaan, baik yang berasal dari
dalam maupun luar negeri” (Sumber:
Laporan alternative pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
rasial (ICERD) di Indonesia, 2007: 32).
Apabila Negara dan MUI
beserta Pakem bisa dianggap sebagai struktur yang menghalangi kegiatan ritus
kelompok ini, adakah struktur lain yang bisa dianggap sebagai pendukung dalam
kegiatan religi komunitas ini? HRWG atau human
rights working group yang adalah merupakan sekumpulan NGO (Non Government Organization) di
Indonesia memberikan wacana tandingan dan sekaligus fakta terhadap apa yang
dilakukan Negara dan MUI yang diwakili Pakem berkenaan dengan perlindungan
kegiatan kelompok “belum beragama” tersebut melalui laporan alternative
pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (ICERD) di
Indonesia. Laporan alternative ini disampaikan sebagai laporan alternative
Negara Republik Indonesia kepada PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) akan
pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) yang
ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia dan dengan demikian wajib bagi
Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan konvensi tersebut. Saya akan
mengutip beberapa bagian dalam laporan alternative tersebut.
1.
Pada bab III yaitu mengenai isu tematik dalam hal
ini kerangka hukum disebutkan: “43.Pertentangan antar UU misalnya,
antara UU Administrasi Kependudukan (UU No 23/2006) dimana di dalamnya masih
mengatur tentang pembatasan kepemelukan agama dan berkeyakinan, hal ini bertentangan
dengan UU Hak Asasi Manusia (UU No 39/1999) yang menjamin kekebasan setiap
orang untuk memeluk agama dan kepercayaannya. UU No. 23/2006 ini juga bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28E
yang menjamin kebebasan setiap warga Negara untuk memeluk agama dan
kepercayaannya.”
2.
Pada bagian 2
dengan judul Bentuk Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat di Indonesia dan sub
judul 2.3 yaitu mengenai Stereotype: “116. Yang
dimaksud dengan stereotip di sini adalah sudut pandang yang di(re)produksi
secara terus menerus untuk melihat dan mengkategori komunitas lain sebagai
komunitas yang serba negatif, seperti tidak beradab, terbelakang, bandel,
malas, pembangkang, tidak modern, dan sebagainya. Paska 1965, stereotip seperti
ini semakin menguat, khususnya melalui berbagai sosialisasi pengetahuan tentang
komunitas-komunitas yang dianggap membahayakan eksistensi kelompok mayoritas
dan stabilitas nasional”
“119. Komunitas
Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu juga mengalami stigmatisasi yang tidak
kalah memprihatinkan. Komunitas ini juga diidentikkan sebagai komunitas
pembangkang yang tidak patuh kepada aturan hukum Negara, seperti tidak memiliki
KTP, tidak memakai helm ketika berkendaraan, tidak mau melakukan pemberitahuan
pelaksanaan ritual atau hajat tertentu. Bahkan, dalam hal berkeyakinan pun,
mereka dituding sebagai kelompok yang suka mencampurbaurkan antara beberapa
ajaran agama - agama resmi. Pada tanggal 26 April 2007 yang lalu, komunitas ini
disidang oleh beberapa pejabat pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Departemen Agama (Depag), Polisi, Militer, dan Jaksa untuk dimintai
keterangan mengenai seluruh aktivitas keseharian mereka. Intinya, pemerintah
memaksa komunitas dayak Indramayu ini untuk patuh dan mengikuti seluruh aturan
hukum yang ada di Indonesia .”
3. Pada bagian 2.3 disebutkan mengenai karena legalitas dipaksa mengganti
kepercayaannya dengan agama resmi tidak disebutkan komunitas Suku Dayak
Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu yang mengalami hal serupa. Pada kenyataannya
sebagaimana dituturkan salah satu anggota komunitas ini kepada saya, pada kolom
agama di KTP mereka diisi dengan agama Islam oleh petugas catatan sipil
kecamatan Losarang.
BAB IV PENUTUP
Dari apa yang saya sampaikan tersebut di atas dapat dilihat mengenai perang
wacana
yang dilakukan oleh kelompok non-government organizations dan juga
pemerintah terkait dengan pemahaman akan agama dan juga pelaksanaannya.
Pemerintah tidak memahami pengertian agama seperti para antropolog dan yang
kemudian menyebabkan pandangan terjadinya pelanggaran dari berbagai pihak satu
sama lain. Dan hal tersebut terjadi karena tidak adanya kesepakatan antara satu
pihak dengan pihak yang lain.
Dalam
dunia antropologi perbedaan wacana tidak menyebabkan pelanggaran namun
apabila terkait dengan pemerintahan
hal tersebut menjadi suatu masalah. Lalu bagaimana seharusnya seorang
antropolog menanggapi hal ini? Ataukah memang Antropolog hanya mau bermain
dalam wacana saja seperti layaknya seorang ahli yang hidup dalam menara gading
dan dengan teori – teorinya sementara teori – teori tersebut bisa saja
menimbulkan perpecahan atau konflik dalam pemerintahan. Seorang antropolog
seharusnya berdiri untuk kebudayaan itu sendiri dan dengan kemampuannya untuk
melihat segala sesuatu secara menyeluruh seharusnya antropolog berperan dalam
pemerintahan dan yang paling penting adalah mampu membuat kebijakan yang
mewakili suara seluruh masyarakat Indonesia dan bukannya kepentingan satu
kelompok saja meskipun kelompok tersebut merupakan mayoritas.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dr. Drs. IGM. Nurdjana, S.H., M.Hum., Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di
Indonesia, Pustaka Pelajar, 2009
2.
Prof. Drs. Suhardi, M.A., Ph.D., Ritual Pencarian jalan Keselamatan Tataran
Agama dan Masyarakat Perspektif Antropologi – Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Antropologi pada FIB UGM, 2009
3.
Human Rights Working Group, Laporan Alternatif Pelaksanaan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia – Menguak
Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Indonesia, 2007
4.
Undang – Undang Dasar 1945
5.
Undang – Undang Nomor 23 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan
6.
Undang – Undang Nomor 8 tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan
7.
M. Fuad Nasar, Peran Depag dalam Bingkai Nation State, Tim Kerja Dirjen Bimas
Islam, 2008
8.
Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1973
9.
Heddy Shri Ahimsa – Putra, Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu
Sosial-Budaya – Sebuah Pemetaan, Makalah Pelatihan ”Metodologi Penelitian”,
2007
10. Komunitas
Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, Sejarah Alam Ngaji Rasa
No comments:
Post a Comment