Ada dua
hal utama yang perlu digarisbawahi dalam tulisan ini, yaitu (1) bahwa para
penulis berpendapat bahwa kebudayaan tradisional “terkait erat dengan, dan
secara langsung menunjang, proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat
secara mendasar”; dan (2) “bahwa kebudayaan tradisional bersifat dinamis selalu
mengalami perubahan, dan karena itu tidak bertentangan dengan proses
pembangunan itu sendiri”. Dalam hal ideologi, sistem pengetahuan dan
kepercayaan tradisional seharusnya dijasikan sebagai sumber pembangunan yang
harus dipelajari, dihargai, dan dimanfaatkan sedapat mungkin. Dalam segi
ekonomi, penguasa dinilai gagal dalam memahami pola – pola penggunaan tanah
secara tradisional sehingga memicu kemarahan anggota suku karena diambilnya
tanah yang sedang dibera (dianggap sebagai tanah tak bertuan oleh penguasa).
Dalam hal ekologi, penguasa dinilai tidak tahu tentang “bagaimana suatu
kelompok masyarakat bergantung dari hutan untuk menunjang kelangsungan hidupnya
… kekurangan di antara para pelaksana pembangunan dalam hal pengetahuan tentang
eksploitasi hutan secara tradisional membawa kita ke masalah … ideologi, yaitu
bahwa satu-satunya ahli yang sesungguhnya mengai lingkungan ini … adalah
anggota – anggota suku pribumi atau petani yang dibesarkan di sana dan hidup
dari hutan itu sendiri”. Sedangkan dalam hal perubahan sosial/struktur sosial,
Dove menyatakan adanya “usaha untuk mengubah, merintangi, atau menghilangkan
sama sekali aspek kebudayaan tradisional tertentu sebelum pemerintah bersedia
atau mampu memberikan penggantinya”. Dari semua hal tersebut, Dove menyatakan
bahwa faktor penyebabnya adalah sikap pemerintah Indonesia yang hingga sekarang
masih bersifat kolonial.
Antropologi
Budaya sebagai ilmu yang sedang kita pelajari, berarti kita belajar mengenai
kebudayaan yang dinamis. Pertanyaan saya lebih kepada pertanyaan reflektif
yaitu “what do we (Cultural
Anthropologists) stand for? Science or Moral?” Apakah kita akan menjadi seorang (1)
intelektual tradisional (penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan
kelas atasnya?, (2) intelektual organik (berbadan penelitian dan kajian
berusaha memberikan refleksi atas keadaan tetapi biasanya terbatas hanya untuk
kepentingan kelompoknya sendiri)?, (3) intelektual kritis (mampu melepaskan
diri dari hegemoni penguasaan elite penguasa yang sedang memerintah dan memberikan
pendidikan alternative bagi proses pemerdekaan, ataukah (4) intelektual
universal (selalu memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya dalam
rangka pemanusiawian manusia agar harkat dan martabatnya dihormati)?[1]
[1] Macam
– macam elite intelektual sebagaimana dituliskan dalam “Peranan Elite
Intelektual dalam Dinamika Masyarakat: Antara Harapan dan Kenyataan”, Bambang
Dharwiyanto Putro, Humaniora Vol. XII, No. 2, tahun 2000. Halaman 161 - 169
No comments:
Post a Comment