Berdasarkan
pada beberapa asumsi dasar yang disuguhkan oleh Koentjaraningrat: (1) daratan
Australia dan daratan Asia dulunya tersambung, (2) keadaan lingkungan
mempengaruhi iklim, (3) tanah yang subur merupakan tanah yang paling padat
penduduknya (4) terjadinya evolusi dari bentuk fisik tubuh, (5 diyakininya akan
terjadinya penyebaran dan pengaruh kebudayaan maka dapat saya simpulkan bahwa
penulisan buku ini adalah menggunakan paradigma
EVOLUSI MODERN yang dalam tulisan
Dahler dan Chandra (1976: 82 – 84) yang berjudul Asal dan Tujuan Manusia (Teori
Evolusi) memiliki prinsip – prinsip dasar sebagai berikut: (1) manusia adalah
bagian dari alam yang berevolusi; (2) kemampuan reflektif manusia akan
meningkat; (3) manusia memiliki kesadaran moral (kesadaran akan yang baik dan
buruk bagi kehidupan manusia), kesadaran sosial (sikap hidup yang aktif dalam
pergaulan dengan manusia – manusia lin), serta kesadaran kosmis (kemampuan
manusia untuk melihat dan merasa dirinya sebagai bagian dari alam semesta
keseluruhan dan yang bersatu dengan itu); (4) akan terjadi kompleksifikasi
dalam alam akal-budi umat manusia; (5) akan terjadi unifikasi dan konvergensi
dalam dunia kesadaran manusia; serta (6) dalam diri manusia-manusia modern yang
telah menyentuh dan memahami pengertian evolusi, maka sesungguhnya proses
evolusi alam di bumi ini dapat dikatakan “telah menyadari dirinya” sendiri
dalam artian manusia sekarang dapat merencanakan perkembangannya sendiri, dan
mengikutsertakan kehendaknya dalam proses itu. Dalam mengetengahkan kebudayaan
yang beranekaragam di Indonesia ini, pada dasarnya Koentjaraningrat mengurai isi kebudayaan menjadi tiga aspek[1]
yaitu (1) ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma serta peraturan (ujud
idiil); (2) kelakuan berpola (sistem sosial); serta (3) ujud kebudayaan
(kebudayan fisik).
Perlu diketahui bahwa tujuan dari
penulisan buku ini, selain apa yang dipaparkan dalam bagian Kata Pengantar,
adalah untuk membedah orientasi nilai budaya Indonesia untuk mencari sosok
manusia Indonesia yang memiliki mentalitas cocok dalam rencana pembangunan
serta membangun kesatuan teoretis dari segala perbedaan kultural yang
membentang dari Sabang sampai Merauke[2].
Pertanyaannya kemudian adalah apabila penulisan ini menggunakan paradigma
evolusi yang “percaya” bahwa segalanya tidak langgeng, apakah dengan demikian
kesatuan teoretis dapat dilahirkan dari paradigma ini?
No comments:
Post a Comment