Tema besar yang memayungi dari review artikel ini adalah distribusi dan
akumulasi asset – asset produktif dan dalam hal ini adalah tanah. Dalam artikel
ini terlihat adanya struktur pembatasan untuk adanya kepemilikan tanah secara
individual yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Struktur pembatasan sosial
budaya masyarakat dalam kegiatan ekonomi ini menjadi struktur pendukung bagi
pemerintah kolonial untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya dari
petani. Dalam artikel ini kental dengan nuansa hegemoni pemerintah yang sedang
berkuasa waktu itu. Pembatasan kepemilikan tanah oleh pemerintah ini juga
terkait erat dengan akses pemerintah untuk mendapatkan tenaga kerja. Resistensi
yang ditunjukkan oleh masyarakat terkait dengan ini adalah dengan adanya fakta
beberapa petani yang meninggalkan desanya sehingga tidak mendapatkan jatah
tanah yang dibagi – bagi secara ‘semena – mena’ oleh pemerintah desa yang
merupakan kaki tangan pemerintah kolonial masa itu dan menjadi pekerja.
Kedudukan mereka sebagai pekerja dan bukannya pemilik membuat mereka memiliki bargaining position di mana mereka dapat
menentukan upah yang mereka inginkan karena kepala desa atau pemerintah desa
yang kehilangan penduduknya itu mau tidak mau harus menyewa mereka demi
pemenuhan permintaan pemerintah. Dan
posisi pekerja ini juga memungkinkan mereka untuk bisa ke lapisan di atasnya.
Kondisi yang disampaikan dalam artikel ini
menurut saya contoh sebuah kebijakan yang melalui proses top – down. Beberapa pergerakan yang dilakukan oleh beberapa LSM
pemerhati masalah petani berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk membuat
kebijakan secara bottom – up. Sebagai
antropolog, yang oleh sebuah sumber dikatakan bahwa antropolog mampu melihat
segalanya secara menyeluruh, bagaimana kita akan mengambil posisi kita dalam
melihat kebijakan yang top – down ini?
No comments:
Post a Comment