Tema yang melatarbelakangi review film ‘Umbu Bintang is Our Star’ adalah manuver yang
dilakukan para elit dalam perubahan. Manuver dapat dipahami sebagai sebuah
proses terencana yang dimaksudkan untuk meraih berbagai keuntungan atau pun
untuk keluar dari keadaan yang sulit, dan khusus untuk review ini, manuver yang dimaksudkan adalah “sepak terjang”
(meminjam istilah dalam ‘Elit Lokal dan Pembangunan Desa: Dinamika Manipulasi
dan Kebijaksanaan Politik di Sumba Timur, Y Argo Twikromo) para elit lokal
dalam usahanya untuk mempertahankan tampuk kekuasaan yang selama ini mereka
miliki secara kultural.
Film ini mengetengahkan beberapa hal yang berkaitan
dengan kampanye yang dilakukan oleh Umbu Sappi Pateduk (Umbu Bintang) sebagai
bakal calon Bupati dan pasangannya Imanuel Horo (Manuel Horo) sebagai calon
Wakil Bupati untuk masa jabatan 2005 - 2010. Umbu Sappi Pateduk sendiri pada saat ini (2012) menjadi
Bupati Sumba Tengah. Sumba Barat pada tahun 2007 dimekarkan menjadi 3 (tiga)
kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah serta Kabupaten
Sumba Barat Daya. Umbu Bintang sendiri merupakan anak dari Umbu Remu yang
menjabat Bupati Sumba Barat pada tahun 1962. Ipar laki – laki Umbu Remu ini
yaitu Umbu Sulung kemudian menjadi sebagai raja[1]. Anak dari Umbu Sulung,
Umbu Djima, menjadi Bupati Sumba Barat pada tahun 1985 - 1995[2]
Dalam film ini kita dapat melihat keaslian membentuk
identitas[3] serta otoritas
politik-ritual. Hal ini nampak dalam pernyataan Umbu Bintang dalam film
tersebut saat mengatakan, “saya adalah orang yang berhak …. darah dagingnya” pada
saat merespon pendapat lawan politiknya yang menuduhnya telah menyalahgunakan
ketenaran ayahnya[4]. Di
sini dapat pula kita lihat bahwa dengan menduduki posisi sebagai pemimpin
(bupati, raja, ratu) merupakan “hadiah”[5] yang memang sudah menjadi
hak yang melekat pada kaum maramba. Usaha untuk menjadi Bupati ini juga dapat
dilihat sebagai pemantapan posisi mereka sebagai seorang elit yang berfungsi
sebagai “penjembatan” antara domainnya dengan daerah di luar domain[6].
Dari poin (1) dan (2) tersebut di atas dapat dikatakan
bahwa beberapa pemimpin yang memiliki kekuasaan penuh berusaha untuk lebih
meninggikan posisi mereka melalui tindakan yang berorientasi kepada kepentingan
mereka semata[7],
dan dalam hal ini untuk meneguhkan bahwa meskipun ada bentuk pemerintahan yang
beraneka ragam, dari pemerintah kolonial hingga pemerintahan Republik
Indonesia, mereka lah yang tetap harus menduduki posisi elit dan pemimpin bagi
domain mereka. Hal yang dilakukan oleh Umbu Bintang ini adalah dilakukannya manipulasi
simbol, terutama simbol yang berkaitan menjadi modal sosial dan kultural untuk
menjadi pemimpin setempat ataupun politikus daerah (domain seseorang berasal
atau dilahirkan, kerabat kandidat yang telah dikenal sebelumnya, agama serta
posisi yang didudukinya pada saat ini ataupun sebelumnya[8]). Simbol di sini adalah aturan – aturan, budaya, norma – norma,
nilai, mitos serta ritual. Simbol disebutkan selalu dimanipulasi oleh
antarindividu dan antarkelompok demi memperoleh power atau kekuasaan[9] Selain menegaskan posisi
mereka, mereka juga merasionalisasikan posisi budak[10] (ata) yang selama ini “aturannya” adalah bahwa kaum budak (1) hampir
tidak pernah mempunyai kendali atas kekuasaan dan akan selalu (2) tergantung
vertikal dengan para tuannya yang kaya dan berwibawa[11].
Tidak
terpilihnya Umbu Bintang sebagai Bupati Sumba Barat, diungkapkan oleh H. G.
Schulte Nordholt, disebabkan adanya kemungkinan bahwa kekerabatan (garis
keturunan) serta kawin-mawin tidak lagi sesuai lagi sebagai modal untuk meraih
kekuasaan[12].
[1] Raja merupakan bentukan pemerintah kolonial.
Raja merupakan salah satu pemimpin klen dalam satu domain. Raja
dipilih berdasarkan (1) kekayaan, (2) kepersuasifan, (3) pengetahuan, serta (4)
kualitas individu (Chapter III dari ‘Uma Politics: An Ethnography of
Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986 – 2006 oleh Jacqueline A. C. Vel,
2008)
[2] ‘Permutations of Order: Religion and Law as
Contested Sovereignties’, Thomas G. Kirsch dan Bertram Turner, 2009
[3] Identitas ini
dibentuk berdasarkan pada (i) kekerabatan (garis keturunan), (ii) kawin-mawin, serta (iii)
domain – dimana apabila domain diketahui maka akan diketahui juga klen yang
berkuasa serta tuan tanahnya (mangu tana)
(Chapter III dari ‘Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West
Sumba, Indonesia, 1986 – 2006 oleh Jacqueline A. C. Vel, 2008).
[4] ‘Permutations of Order: Religion and Law as
Contested Sovereignties’, Thomas G. Kirsch dan Bertram Turner, 2009
[5] “Hadiah” dalam hal
ini sarat nilai secara kultural seperti penghormatan, kekuasaan atau
tanggungjawab yang harus mereka pikul (Strategems and Spoils, F. G. Bailey,
2001 – Bab 1 dan Bab 2)
[6]
Posisi elit di pedesaan di Jawa berperan
sebagai jembatan di dalam desanya (intra
village) dan antara desanya dengan daerah di luar desanya (supra village) – ‘The Village on Java
and The Early-Colonial State, Jan Breman , 1980
[8] Chapter III dari ‘Uma
Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986 –
2006 oleh Jacqueline A. C. Vel (2008)
[10] Budak yang dimaksud di sini adalah
perbudakan tertutup dimana istilah ‘budak’ merupakan konsep kelas sosial dan
menunjukkan status, gengsi, kekayaan serta kekuasaan pihak – pihak yang
memiliki budak (‘Dalam Bayang – Bayang Rasionalisasi Perbudakan Kaum Ningrat’,
Y. Argo Twikromo, 2009)
[12] “Central
Sumba changes criteria for leadership... land is no longer the most important source of power ... kinship and
marriage alliance might not be sufficient anymore” (‘Renegotiating
Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, H.
G. Schulte Nordholt, 2007: 104)
No comments:
Post a Comment