Artikel ini mengetengahkan bagaimana pasar digambarkan
mengikuti sosial budaya yang berlaku terutama di daerah Baguio, Phillipine. Sistem pasar yang mengikuti
sosial budaya di daerah ini di sebut Suki dimana transaksi yang seringkali
terjadi antara penjual dan pembeli adalah yang memiliki ikatan persaudaraan ataupun kekeluargaan. Suki
sendiri merupakan penunjuk hubungan tersebut. Kekeluargaan di sini tidak hanya
hubungan sedarah, namun juga lamanya hubungan yang terjalin antara penjual dan
pembeli. Struktur yang mendukung berlangsungnya sistem ini adalah adanya sistem
peminjaman uang atau yang di sini disebut sebagai credit. Dalam pemberian hutang ini, penjual tidak begitu saja
meminjamkan uang namun melihat juga kedekatan yang ada antara penjual dan
pembelinya. Alasan utama yang diketengahkan penulis mengenai berlakunya sistem
suki ini adalah untuk menghindari kebangkrutan yang mungkin terjadi pada pihak
penjual, sehingga penjual “mengikat” hubungan jual-beli dengan pembelinya atau
bisa juga dikatakan “menabung” kekayaan dengan memberikan pinjaman uang kepada
pembelinya. Credit di sini bukan
hanya sebagai struktur yang mendukung terjadinya transaksi ekonomi namun
merupakan hal utama dalam transaksi ekonomi tersebut. Meskipun ada kekhawatiran
bahwa mungkin saja hutang itu akan terbayar dalam waktu yang lama namun hal
tersebut tidak menghambat penjual untuk tetap memberikan pinjaman kepada
pembeli atau sukinya.
Menarik bahwa sistem ini juga kemudian memberikan
peluang untuk para pemberi hutang untuk memberikan pinjaman kepada yang lain
melalui informasi yang diberikan oleh si penerima hutang mengenai mereka. Artikel ini mengingatkan saya pada adanya bank plecit yang ada di desa – desa di
Bantul. Apakah peminjaman uang juga mempertimbangkan lama tidaknya si pemberi
hutang mengenal si peminjam uang juga?
No comments:
Post a Comment